Senin, 04 Januari 2016

My Trip, My Runaway - Kotabaru




            Akhir – akhir ini banyak tempat wisata di Kalimantan Selatan yang banyak terekspos di Media Cetak seperti Banjarmasin Post dan pertelevisian lokal. namun, tempat wisata yang paling ditonjolkan adalah Pulau Samber Gelap yang terkenal dengan keindahan biota bawah lautnya yang katanya tidak kalah dengan Raja Ampat, Papua dan pantai yang 11 : 12 dengan Bali, juga sebagai tempat konservasi penyu hijau dan bersisik. Padahal, ada beberapa tempat wisata tak kalah menarik di Kotabaru selain ini, diantaranya ...

1. Siring Laut.
Bagi Kal - Sel, Siring adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam aspek persungaian. Sadar dengan hal itu, pihak Pemerintah Kotabaru mempunyai Siring sebagai trademark yaitu Siring Laut. Tempat tersebut difokuskan sebagai sarana hiburan murah meriah bagi rakyat Kotabaru sehingga sering diadakan festival musik dan kebudayaan disana setiap tahunnya. Bahkan disediakan panggung yang membelakangi laut sehingga siapapun yang tampil disana, akan merasakan angin sepoi dan kapal – kapal besar datang dan pergi sebagai latar belakangnya. Kalu dimiripin sih, 11 : 12 agak nyerempet dikit gitu dengan Festival Musik Pantai Mertasari, Sanur Timur, Bali Bedanya Cuma yang satu nonton di hamparan pasir, satunya lagi di tanah. Tapi sama – sama amboi, kan?



Siring Laut difoto dari atas.





Festival Musik  di Pantai Mertasari, Sanur Timur, Bali


2. Air Terjun Tumpang Dua
Sebenarnya agak kaget juga sih Kotabaru mempunyai air terjun. Karena selama ini yang dikenal masyarakat Kal – Sel dan sekitarnya adalah air terjun Haratai, di Kawasan Wisata Loksado. Air terjun ini berlokasi di desa Sebelimbingan, Kecamatan Pulau Laut Utara. Berjarak 4 km dari Kotabaru. Mungkin, air terjun ini lebih mirip dibilang perosotan karna kemiringannya yang tidak terlalu menakutkan layaknya air terjun pada umumnya, dan aman bagi anak kecil, sehingga kalau kalian ingin menikmati suasana pegunungan alami dan mengisi penuh paru – paru dengan oksigen yang melimpah ruah, mungkin tempat ini bisa jadi pilihan bersantai diakhir pekan.



 Air Terjun Tumpang Dua.

3. Pantai Gedambaan (Sarang Tiung)
Katanya, kalian belum ada di Kotabaru kalau tidak meninggalkan jejak cantik di Pantai Gedambaan, atau lebih dikenal dengan nama Sarang Tiung. Pantai yang berlokasi 14 Km dari Kotabaru adalah pantai kebanggan Kotabaru, sebagaimana Bali yang mengelu - elukkan indahnya pantai Kuta. Dengan putihnya pasir yang terasa lembut di kaki, pemandangan luas ke depan tanpa batas dan barisan kokoh pohon Kelapa seperti Tembok Cina, dan aroma asin yang terbawa hembusan angin pantai semakin membuat pantai ini pantas disukai. Bagaimana masalah fasilitas? Jangan khawatir, Pihak Pariwisata disana sudah menyediakan pendukung seperti cottage (penginapan) dengan tarif per malam 200 ribu (kalau bayarnya patungan sih gak akan menguras dompet, dijamin), Mushala, tempat pemancingan buat kalian yang tak bisa jauh – jauh dari alat pancing, serta area parkir cukup luas sehingga kalau kalian datanya rombongan, bahkan satu RT menyerbu kesini, insyaallah mencukupi. Pantai ini selalu ramai di hari libur dan banyak pengunjung yang ingin menikmati rasanya tidur di alam terbuka dengan membawa tenda sendiri lalu mendirikan di pinggir pantai dan menyalakan api unggun sambil bernyanyi lagu riang. Nikmat apalagi yang dapat kau dustakan, teman?



 Pantai Gedambaan, Kebanggan Masyarakat Kotabaru.


Salah Satu cottage  di Pantai Pengambaan yang berdesain seperti Rumah Adat Banjar dalam versi mini.

         
  Membahas tempat pariwisata di Kotabaru kurang klop rasanya kalau tidak membahas makanan khasnya. Salah satunya adalah Jepa Ubi Kayu. Termasuk sulit ditemui karna makanan ini bersifat cemilan untuk dirumah yang dibikin sendiri oleh pemiliknya, bukan untuk dijual. Cemilan ini berasal dari suku Mandar, Terbuat ubi kayu (Singkong) yang diparut lembut dan berteman akrab dengan parutan gula merah yang disebut Jepa, jadi ketika dicicip bersamaan, rasanya terlalu enak untuk bisa dijelaskan dengan ribuan kata – kata. Tapi kalau kalian penasaran dan kebetulan berkunjung di Kotabaru, tak ada salahnya melipir  di Desa Lontar, Teluk Tamiyang, Kec. Pulau sembilan karena ada masyarakat yang menjual makanan khas tersebut.


Jepa Ubi Kayu, cemilan rumahan khas Kotabaru.
       
   
Liat sedikit rangkuman diatas pasti bikin kalian penasaran, kan bagaimana caranya kesana? Well, Dari Banjarmasin kalian akan menempuh 8 jam perjalanan menuju Kotabaru (Sebelumnya melipir dulu ke Batulicin untuk menyebrang kesana dengan Feri berukuran kecil), setelah itu kalian akan turun di pelabuhan Tj. Serdang dan melanjutkan lagi perjalanan selama 1,5 jam. melelahkan? pasti. tapi dengan semua keindahan alam dan nikmatnya kuliner lawas  yang menunggu, semua perjalanan kalian insyaallah terbayar lunas. kalian bisa hubungi travel agent terpercaya untuk mengetahui paket liburan singkat yang tersedia. selamat menikmati indahnya pesona Kotabaru, Kalimantan Selatan.:)


Nama Kelompok :

Regina Maharani Nurlie, D1A212016
Khairul Akbar, D1A212066

Prodi Administrasi Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Tugas E - Bisnis.

Minggu, 29 Desember 2013

Cintaku di Tiang Jemuran Part 2





“Hoaamm...” Akina bangun dari tidur panjangnya dan melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Dengan langkah terseok – seok mengalahkan suster ngesot, dia berjalan ke dapur untuk membantu mamanya yang sudah “berperang” ria di dapur sambil menggaruk rambutnya yang panjang dan tebal.
            “Kinaa... Astaga! Kamu ngagetin mama tau!” Mamanya shock melihat anak tunggalnya berdiri di depan pintu dapur dengan mata merah, rambut awut – awutan dan baju kaos yang kebesaran untuk tubuhnya yang kurus dan kecil itu. Membuatnya seperti hantu penculik anak yang berasal dari Jepang.
            Kina nyengir kuda dan sambil mengucek matanya, dia mengambil gelas di samping ibunya, menuangkan air dan meminumnya. “Kina akhirnya bisa bangun pagi ma. Tanpa alarm loooo...” ucapnya dengan nada bangga seolah – olah itu adalah prestasi yang patut didaftarkan oleh MURI dengan kategori “Bangun pagi tercepat tanpa alarm setelah selama ini dibangunkan oleh benda – kecil – mungil – berisik itu selama 18 tahun.”
            “Iyaa... tapi mama jadi serasa meliat hantu Jepang bangkit dari kubur atau sumur daripada liat orang bangun tidur.” Balas mamanya sambil mengacak rambut Kina yang tebal. Warisan turun – temurun dari keluarganya dan menatap mata sipit namun bola matanya yang besar itu dengan jenaka. Tak menyangka anaknya yang satu ini sudah besar sekarang. Perasaan dia baru saja menggendong Akina kemana – mana. Ah... waktu terlalu cepat berlalu hingga dia tak menyadarinya. Batin mamanya.
            Akina mendadak salah tingkah sendiri dilihatin sedemikian rupa, seolah kesalahan dalam tubuh mungilnya di cari – cari oleh mamanya sendiri. Kina pun berdehem kecil. “Ma... ada jemuran gak?” tanyanya membuat mamanya melongo.
            “Jam 5 pagi ini apa yang mau dijemur, Kina? Kamu?” Tanya mamanya balik membuatnya manyun.
            “Kan siapa tauuuu....”
            Mamanya berpikir sebentar, lalu tersenyum. “Kamu sekarang terpesona dengan tiang jemuran yang baru dipasang yah jadi gak sabar mau jemur pakaian?” Pertanyaan ngawur mamanya membuat Kina entah harus tertawa terbahak – bahak atau malah sebaliknya.
            “Emang Kina segitu gilanya ma jadi terpesona dengan tiang jemuran yang baru dibeli kemaren?” Sahutnya sewot. “Ish! Kina terpesona dengan pemandangan yang terlihat dari atas jemuran ma! Si Angga! Auoooo...” Batinnya menjerit senang.
            “Kan siapa tau... udah deh, kamu bangunin papah dulu. Setelah itu, ambil handuk di atas yah. Mama jemur malam tadi. Ok?” Perintah mamanya yang biasanya membuatnya manyun, kini menjadi semangat ’45 untuk dilaksanakan.
            “Ok deh,” Kina langsung siap lari untuk melaksanakan perintah. Tapi mendadak tangannya ditarik mamanya.
            “Sebelum kamu laksanakan itu semua, kamu sisir dulu tuh rambut. Takutnya nanti bila kamu bangunin papah, bukannya bangun, malah pingsan liat kamu kayak hantu.” Perintah mamanya yang membuatnya tertawa.
            “Hahahaha... ok deh ma.” Dia langsung berlari ke kamar untuk membereskan rambutnya sebelum membanguni papahnya.

            “Papah... pah... bangun dong...” Kina berbisik membangunkan papahnya sambil menggoyangkan perut tambunnya. Sukses membuat papahnya mengerang karna tidurnya terganggu.
            “Kamu ganggu tidur papah yah. Dasar bandel.” Papahnya bangun lalu duduk di samping Kina yang cengengesan. Tanpa peringatan apalagi sinyal bahaya, Kaki Kina sukses digelitiki papahnya hingga dia susah mencari napas karna terlalu tertawa.
            “Aaahaha.. sudah... pah... ampun... ampun... Hik...” Kina meminta ampun diselingi cegukan dan tawanya melengking nyaring. Membuat papahnya tak tega menyiksa anak kandungnya lebih jauh lagi dan menghentikan gelitikannya. Membiarkan Kina menarik napas lega.
            “Papah kejam!” Sungutnya sambil mengambil gelas berisi air putih di belakangnya dan meminumnya agar cegukannya hilang. “Habis kamu ganggu Papah sih. Gak tau papah lagi mimpi indah.”
            “Emang papah mimpi apaan?”
            “Mimpi mancing ikan di sungai, terus papah dapat ikan Arwana gede banget! Pas lagi senang – senangnya, ikan yang papah pancing susah payah malah lepas begitu saja karna suara kamu!” Papahnya menjelaskan dengan mulut tipis yang dimanyunkan. Persis seperti dirinya bila mengambek.
            Kina melongo total. Tak menyangka bahwa hobi papahnya yang freak memancing hingga tengah malam terbawa sampai alam mimpi. “Kalo papah kayak gini ma hobi mancingnya, gimana gue yah yang kayaknya kesengsem akut dengan pesona seorang Angga? Ngomong – ngomong soal dia, tuh anak udah bangun belum yah?”
            “Kok melamun? Anak gadis gak boleh melamun pagi – pagi. Ntar jadi ayam. Hahahahaa...”
            Kina manyun dan mencubit lengan papahnya agar berhenti tertawa. Usahanya berhasil karna sekarang papahnya menarik napas sehingga perut tambunnya seakan mengempis. “Handuk mandi mana?”
            “Di atas pah. Kenapa?”
            “Ambilin dong. papah mau mandi nih.”
            Kalau biasanya dia manyun disuruh mengambil handuk di tempat jemuran dengan udara subuh yang dingin menggigit tulang, kini dia malah sukarela melakukannya. Bahkan sambil tersenyum. “Ok deh pah. Bubye...” Ucapnya lalu bersinandung riang keluar kamar menuju lantai atas.
            Papahnya hanya mengerutkan keningnya dan memutuskan untuk berolahraga ringan.


♥ ♥
           
            “Gue cantik kan? Sudah cantik kan? Sip...” Kina berbicara sendiri sambil tangannya menyisir rambutnya yang tak mau kompromi untuk rapi sedetik saja. Sebelum membuka pintu jemurannya dan menghela napas. Udara dingin yang menggigit tulangnya tak dia rasakan lagi. Yang ada dia malah merasa deg – degan. Berharap bertemu Angga sedang bermain basket atau apa saja di saat subuh.
            Kina mengambil handuk yang tergantung di sisi pinggir kanan jemuran. Dia menoleh ke samping dan terpesona untuk kedua kalinya dengan apa yang dilihatnya.
            Di pagi buta, dia melihat Angga bertelanjang dada menjalankan mesin pemotong rumput dan berjalan mengitarinya. Memangkas rumput – rumput dengan mesin yang didorongnya. Dari atas dia bisa melihat apa yang dilakukannya dan matanya tak bisa beralih kemana – mana. Terlalu terpesona dengan Angga, otaknya mendadak tidak beres.
            “Angga! Angga! Met pagi!” Kina teriak gila – gilaan sambil loncat sana – sini agar Angga mengalihkan pandangan dari mesin rumput dan melirik ke arahnya.
            “Kok dia gak noleh yah? Ahh... mungkin suara gue kurang menggelegar.”  Kina bergumam dan berdehem sebentar lalu menatap Angga lurus yang tak bergeming.
            “Angga! Angga! Helooooo! Met pagi! Guten murgen! Good morning!” Kina semakin berteriak gila – gilaan dan usahanya berhasil. Angga menoleh ke arahnya dengan kening berkerut.
            Dia langsung memasang senyum paling manis sambil melambaikan tangan sambil sesekali menyisir rambutnya yang mulai acak – acakan karna semilir angin pagi. Hatinya semakin jingkrak ketika Angga membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis. Membuatnya melayang.
            Kina melambaikan tangannya dan bergegas masuk dalam rumah. Tak ingin Angga melihat betapa merah wajahnya sekarang.

            Angga tersenyum sambil terus menatap ke atas. Awal pagi yang indah menurutnya setelah 18 tahun tinggal disini. Saking fokusnya, tak menyadari sang kakak sekarang berdiri di belakangnya dan ikut – ikutan melirik ke atas. “siapa?”
            Angga hampir terlonjak hingga tubuhnya menjauh karna pertanyaan kakaknya seperti sapaan roh halus. Sambil mengusap dadanya. Dia menatap ke atas lalu beralih ke kakaknya yang berkerut kening. “Gak papa kak.”
            “Gak papa kenapa lo lirik – lirik ke atas sambil senyum? Ada apaan sih?” Dia berdiri di samping. Namun tak melihat objek yang membuat adiknya tersenyum sendiri di pagi buta.
            Merasa tak bisa merahasiakan. Dia mengaku. “Tetangga kemaren yang gue ceritain. Tadi dia ada disitu.” Jelasnya sambil menunjuk ke tempat jemuran. “sifatnya anak – anaknya itu. Gue suka, kak.” Tambahnya lagi.
            Sang kakak hanya mengangguk. “Terus?”
            “Ya gitu aja kak.”
            “Oh... itu doang ternyata.” Respon kakaknya membuatnya tertawa.
            “Kalo kakak ketemu sama dia, dijamin responnya gak akan begitu.”
            “Terserah deh. Kakak juga gak berharap ketemu sama gadis jepang pujaan lo itu.”
            “Lo akan terpesona sama dia kak. Tapi sebelum lo terpesona, lo harus ingat kalo gue naksir dia.”
            “Hati gue udah mati untuk urusan kayak gituan. Jadi lo gak usah ngomong gitu. Santai aja.” Sang kakak menepuk pundaknya dan berjalan meninggalkannya yang terdiam.
            “Trauma bikin lo kayak manusia hidup tanpa hati, kak.” Bisiknya pelan lalu memutuskan masuk ke dalam rumah karna dia mulai merasa masuk angin.

g h

            “Ma... pah... Akina berangkat dulu yah,” Pamitnya sambil buru – buru mencium tangan kedua orang tuanya. Entah setan apa yang merasukinya, tapi setelah kejadian di atas tadi, Akina turun terburu – buru ke bawah hingga hampir jatuh, melakukan apa yang disuruh kedua orang tua dengan senang hati. Tanpa omelan. Bahkan dilengkapi senandung kecil dan senyuman khas gadis jatuh cinta. Membuat kedua orang tuanya bingung.
            “Anak kita kenapa ma?” Tanya papahnya yang bingung dengan perilaku drastis anaknya.
            Mamanya mengangkat bahu. Tanda tak tau. “ Gak tau pah. Mungkin... Kina lagi jatuh cinta dengan tiang jemuran yang kita beli kemaren itu. Soalnya mama liat dia pasti kesengsem sendiri setiap turun dari atas.” Teori mamanya membuat papahnya tertawa ngakak.
            “Teorimu sungguh sesat sekali, sayang.” Ucap papahnya sambil mengacak rambut istrinya yang ikut menertawakan teorinya sendiri.

           
            “Angga... selamat pagi.” Akina tanpa basa – basi mendekatinya bahkan menepuk pundaknya ketika dia hendak turun sekolah dengan sepedanya, melihat Angga berdiri membelakanginya.
            Cowok itu berbalik dan berdiri di depannya dengan tatapan mata yang sangat tidak bersahabat. Membuat Akina ingin menghilang saat itu juga. “Apa maksud lo tepuk pundak gue? Emang kita kenal?” Ucapannya membuat Akina diam membatu. Melongo drastis.
            “Angga makan apaan jadi amnesia seketika kayak gini? bukannya pagi tadi dia baru aja membalas lambaian tangan gue?”
            “Ah... Angga... lo jangan pura – pura amnesia di depan gue deh. muka lo gak ada tampang untuk kibulin gue.” Akina semakin merangkul pundak Angga yang menegang karna sentuhannya. Dan tatapan matanya semakin dingin, bahkan ingin menerkamnya. Membuat Akina mau tak mau ketakutan.
            Apa dia kesurupan mesin pemotong rumput yang dia gunakan pagi tadi yah? Atau penunggu rumahnya marah karna pagi – pagi buta bukannya shalat malah telanjang dada di halaman?”
            “Gue gak kenal sama lo. jadi gue mohon, lo lepasin rangkulan tangan sok akrab di pundak gue. Sebelum gue melakukan hal – hal yang di luar batas kemanusiaan.” Bisiknya lalu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Akina yang diam membatu diikuti matanya yang membulat. Terlalu shock hingga tak ada sepatah katapun keluar. Namun dia mengikuti perintahnya.
            “Bagus. Gadis bandel.” Cowok itu mengangguk dan berjalan meninggalkannya yang terdiam bagai patung Hachiko.
           
            Sadar, dia mengerjapkan matanya dan berteriak sekeras – kerasnya. “SHIT! LO SIAPAAAAAAAA??!!!!” Teriaknya walau tau cowok itu takkan bisa mendengarnya. Karna jauhnya jarak mereka sekarang.
            Cowok itu menoleh ke belakang dan melihatnya sedang berkacak pinggang, pipi menggelembung warna merah merona, dan matanya melotot. Entah kenapa, diresponnya dengan sinis. “Dasar tetangga sinting. Pagi – pagi bikin bad mood orang aja.” Ucapnya dan berbalik melanjutkan perjalanannya.

            Akina meregangkan tangannya, menggerakkan ke kiri – kanan kepalanya, senyumnya licik. “Gue tabrak lo pake sepeda baru tau rasa!” Umpatnya sambil menjalankan sepedanya penuh dendam kesumat ke arah cowok itu yang sedang berjalan santai dengan telinga tersumpal headset.

            “Kinaaa...” Seseorang memanggilnya ketika dia sudah sangat siap menyentuh sepeda kesayangannya ke salah satu bagian tubuh cowok yang membuatnya emosi di pagi hari ini hingga jatuh tersungkur mencium aspal. Dengan sebal, dia meremas rem sepedanya dan menoleh garang.
            “Angga?” Suaranya terdengar shock. “Kalo dia Angga, cowok yang mau gue tabrak siapa? Setan?”
            Angga menghampirinya dengan senyum. Cowok itu menatapnya penuh sinis ke arah Kina yang menatap marah. Hawa emosi terpancar kuat di antara mereka, namun Angga tak merasakannya. “Kenalin, dia kembaran gue yang keluar lebih dulu satu menit, Aditya Rajesha. Kak, dia Kina, cewek yang gue cerita kemarin.” Angga sibuk memperkenalkan diri mereka yang sudah bersitegang. Mengabaikan hawa permusuhan. Penjelasan Angga membuatnya tercengang. Dan dia menatap Angga dan Adit bergantian. Mencari kemiripan dan mendadak kepalanya pening sendiri.
            “Kembar? Angga punya kakak kembar yang dinginnya mengalahkan manusia kutub?! Dunia sudah gila.”
           
            “Apa lo cebol lirik – lirik gue?!” Adit menatap sinis Kina yang menatap tercengang ke arahnya. Tatapan besarnya mengganggu.
            “Apa lo tiang listrik natap gue rendah gitu? Gue tau gue cebol, tapi jangan  kecebolan gue bikin lo bisa rendahin gue!”
            “Emang lo udah rendah dari dulu kok.” Adit menjawab enteng dan menatap Angga yang bingung melihat pertengkaran mereka seperti Anjing dan Kucing. “Gue cabut dulu yah. Males dekat cebol, ntar tubuh gue ikutan cebol. Lo jangan dekatin dia deh, kasian ntar keturunan kita pada kecil semua.” Dia menatap penuh ejek ke arah Kina yang wajahnya memerah saking marahnya dan menggembungkan pipi. Tanda emosi hendak meletus.

            Angga entah harus tertawa melihat ekspresi Kina yang seperti badut atau harus menjadi pahlawan kesiangan sebelum salah satu dari mereka menyerang. “Cih! Siapa juga yang mau dekat sama cowok tiang listrik muka batu macam lo itu?! Gak sudi!” Kina menaiki sepedanya dan dengan sengaja dia melindas sepatu Adit dengan ban sepedanya hingga cowok itu berteriak kesakitan.
            “Dasar Cebol mata sipit!” Ejeknya.
            “Dasar Tiang listrik kulit item hati batu wajah Hanoman!” Balasnya sambil melet ke arah Adit dan mendengus kesal.
            “Dasar tetangga sinting!”

Cintaku di Tiang Jemuran Part 1 - Kepincut pesona tetangga.




“Huah! Ini hari kok panasnya kayak Gurun Sahara yah? apa sekarang Indonesia yang katanya Negeri Tropis menjadi Negeri Gurun Sahara?” Gerutu  seorang gadis sambil memandang langit yang tanpa dosanya membiarkan Matahari bersinar garang, dan Angin entah sedang pergi kemana, tak mendorong awan-awan kecil yang nganggur di Langit untuk menutupi sebagian tubuh Matahari, agar penderitaannya, sebagai wakil penduduk Bumi merasa rada-rada berkurang.
           
            “Perut gue udah konser lagi! Rumah masih jauh! Alamak… Derita bener gue yah!” Gerutunya berlanjut dengan langkah terseok-seok, seperti balapan dengan Pocong Ngesot, dia mencoba melangkahkan kaki menuju rumahnya yang baru berumur seminggu itu. Dengan harapan ketika gadis itu pulang kerumah, makanan sudah tersedia di meja makan.


            Akhirnya dia sampai juga dirumah yang bernuansa ala Jepang Dan Indonesia Tempoe Doeloe, Negeri asal Papahnya yang saking cintanya dengan Jepang dan tak ingin kehilangan identitas sebagai warga cinta Jepang terlalu dalam, namun juga mencintai budaya Indonesia, Budaya Istrinya, jadilah rumah campuran antara Budaya Jepang dan Budaya Indonesia disatukan  di tengah himpitan Rumah-rumah minimalis ala Barat itu.

            “Mama… Akina Pulang,” Kata gadis itu ketika menggeser Pintu depan dan melepaskan sepatunya lalu meletakkan di rak yang sudah tersedia di sampingnya  dan berlari mencari mamanya tanpa melepas kaos kakinya.

            “Sudah pulang? Bagaimana di sekolah barumu?” Kata Mamanya keluar dari dapur sambil menggulung rambutnya dengan tusuk konde dan tersenyum.

            “Aneh ma! Masa sepanjang jalan Akina diliatin mulu?! Dianggap anak kecil lagi! huh! mentang-mentang!” Gerutunya sambil memanyunkan mulut tipisnya, salah satu asset paling berharga, sehingga Ibunya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polah gadis kesayangannya itu.

            “Bagaimana ceritanya sayang? Mama pengen dengar.” Kata Mama sambil mengelus rambut panjang Akina yang sekarang minum teh hijau buatan Ibunya asli Jepang.


            Dengan mulut semakin dimajukan, sehingga tak bisa membedakan yang mana moncong knalpot dan yang mana mulut, dia menceritakan dengan berat hati pengalaman pertama pindah sekolah itu.


Flashback…


          
Akina Anindya Hino.
 
“Kamu baik-baik saja Akina? Apa kamu sakit?” Tanya Kepala Sekolah ketika melihat wajahnya pucat. Tanda gugup masuk sekolah baru.

            “Saya tidak apa-apa Pak. Terima Kasih.” Jawabnya dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun terdengar kaku.
            “Ya sudah. Nanti Pak Rahman akan mengantarkan kamu kekelas yang baru. Saya harap kamu kerasaan disini. itu Pak Rahmannya datang.” Dan Akina menoleh ke belakang karna penasaran bagaimana rupa Pak Rahman yang akan jadi Wali Kelasnya itu.
            “Saya ke kelas dulu Pak, Terima Kasih.” Kata Akina sopan sambil membungkukkan tubuhnya, sebagai tanda hormatnya kepada yang lebih tua. Kebiasaannya yang menjadi harga mati baginya.


            Pak Kepala Sekolah yang bingung dengan kebiasaan yang sering dilihatnya di Drama Korea yang selalu ditonton istrinya setiap sore itu ikut membungkukkan badannya, untuk menghormati adat budaya gadis itu. Meskipun dia tak tau artinya apaan.


            Sepanjang perjalanan menuju kelas, Akina merasa dirinya seperti aneh sendiri karna menjadi pusat perhatian oleh mereka, apalagi anak-anak cowok yang tak biasa liat cewek putih sedikit, nyosor mulu.


            “Perkenalkan, Nama saya Akina Anindya Hino, dipanggil Akina.” Katanya sambil memperkenalkan diri dan tersenyum kepada seluruh penjuru kelas yang menatapnya bingung karna tingginya hanya 154 cm, terlihat mungil untuk ukuran cewek Jepang yang tinggi semampai bikin iri itu,  didukung wajahnya yang babyface  dan matanya yang sipit, semakin lengkaplah mereka mengira, anak SMP nyasar masuk sekolah.


            “Lo beneran anak SMA? Kok wajah lo gak mendukung yah?” Tanya salah seorang cowok yang cukup membuatnya shock berat.
            “Tentu saja! Biar badan kecil mungil begini, gue punya KTP tauk!” gerutunya karna hal yang ditakutkan jadi kenyataan, dikira anak kecil nyasar.
            “Wah… gak nyangka bisa bahasa “gue-elo”. Gue kira lo tadi jawab “aku-kamu” doang.” Godanya lagi yang membuat Akina hampir meletus kalo tak ingat posisi dia anak baru, rentan disiksa.
            “Gue mau nanya, lo punya pacar gak?” Tanya Dion tanpa tedeng aleng-aleng yang membuat mereka tertawa.



            Akina kaget mendengar pertanyaan Dion dan menggelengkan kepalanya dengan wajah memerah malu.
            “Oh… Lo mau gak jadi pacar gue?” Tanya Dion semakin ngawur,semakin meledak tawa teman-teman sekelasnya, semakin Akina ingin menghilang saat itu juga.


            Merasa keadaan tak terkendali, Pak Rahman berdehem cukup keras agar semua anak asuhnya diam sebelum dia mengamuk. “Baik Akina, kamu duduk disebelah Fira saja.” Sambil menunjuk kursi Fira dan Akina pun bagai robot berjalan kea rah Fira yang tersenyum padanya. 
            “Akina.” Katanya memperkenalkan diri kepada teman sebangkunya itu sambil mengulurkan tangannya.
            “Fira Assifa Anggraeni, panggil aja Fira.” Lanjutnya sambil membalas uluran tangan Akina dan tersenyum.


Flashback Off.
            “Hahaha… nanti kapan-kapan kamu ajak si Fira kerumah Kina, mama pengen liat.” Pinta mamanya sambil mengelus rambut anaknya dengan sayang.
            “Ok deh ma. Ma… Akina lapar nih.”
            “Ya sudah. Mama ada siapin  makan siang untuk kamu tuh. Entar setelah selesai makan, kamu cuci piring dan jemur pakaian di lantai atas yah. sudah mama keringin tuh, tinggal angkut aja.” Perintah mamanya yang membuat Akina hanya menelan ludah pasrah.
            “Serasa jadi babu gue,” Gerutu Akina dalam hati.
            Akina pun bergegas ke dapur dan makan secepat dia bisa dan mencuci bekas piringnya makan tadi lalu mengambil cucian di belakang dan mengangkatnya keatas.
            Akina melihat disekelilingnya dari lantai atas yang ternyata  bisa melihat dari atas lapangan basket punya tetangga. Sambil menjemur pakaian, Akina mengomel panjang pendek karna disuruh berjemur pakaian sedangkan dia baru saja datang sambil melirik kesebelah. Tanpa sadar, pakaian yang dia ingin jemur meluncur mulus dari tangannya yang mungil dan terjatuh di lantai ketika dia melihat pemandangan indah disebelahnya.
            seorang cowok sedang bermain basket sendiri hanya  mengenakan celana jins ketat dan membiarkan dadanya yang bidang terjemur bebas. dengan tinggi badan sekitar 175 cm, kulit kecoklatan dicampur peluh yang semakin membuatnya terlihat eksotis, Tatapan mata tajam saat membidik bola ke ring serta wajahnya yang tampan dan alisnya yang tebal sukses membuat gadis malang itu degap-degup tak keruan.
            “Buset! Tetangga gue ganteng banget! Jantung gue! jantung gue!” Teriak Akina pelan sambil menatap lekat cowok yang asyik saja memasukkan bola basketnya ke ring tanpa menyadari dirinya hampir saja membuatnya kena serangan jantung saking terpesona.
            “Semoga noleh … semoga noleh! Huaaa… Dia noleh!” Teriaknya histeris sambil menundukkan badannya di dinding agar tak kelihatan si dia yang rupanya merasa diperhatikan dan menoleh ke atas, tempat Akina berpijak.


            “Gue rela deh disuruh jemur pakaian tengah malam sekalipun, asal dia yang nemanin. biar berbatasan tembok rumah, bodo amat!”
            “Akina… kamu ngapain diatas?! Udah selesai belum jemur pakaiannya?” Teriak mamanya dari lantai bawah menyadarkan Akina akan tugasnya yang belum kelar.
            “Bentar lagi ma,” Balas Akina sambil berdiri dan ketika menoleh ke samping, cowok itu masih ada! Bahkan menatapnya kearahnya dengan tatapan yang bikin Akina memilih mati daripada ditatap oleh cowok itu.
            “Fokus Kina… Fokus sama jemuran Lo. jangan gugup… jangan gugup… anggap dia setan, setan ganteng.” Batin Akina dalam hati
            di saat Akina focus dengan menjemur pakaiannya sambil menyemangati dirinya sendiri, Dia, cowok yang sukses buat Akina hampir pingsan itu,  menatap gadis itu dengan pandangan terganggu karna tak suka permainannya diliat olah gadis yang tak dikenal.

            “Dasar tetangga aneh.” Katanya lalu melanjutkan main basketnya setelah dilihatnya Akina tak ada lagi meliriknya. 
           
                                                            ❃❃❃❃❃❃

            “Oh GOSH! Jantung gue masih dagdigdug serrr….” Kata Akina ketika sampai di lantai bawah dan langsung duduk sambil memegang dadanya yang berdegup kencang seolah baru saja dikasih alat pengejut jantung.
            “Kamu kenapa sayang?” Tanya mamanya cemas melihat Akina terduduk ditangga sambil memegang dadanya.
     “Gak apa-apa ma. Akina kekamar dulu yah.” Katanya dan langsung masuk kamar serta mengunci pintu.    
            “Oh… tuh tetangga siapa namanya yah? Aduh… kok ganteng banget yah? tatapannya… WAW! Sesuatu!” Gumamnya sambil mengingat detil demi detil kejadian yang membuatnya sport jantung sambil rebahan dikamarnya yang bernuansa krem.
            Terlalu lama mengurung dikamar membuatnya bosan. Akhirnya diapun bangkit dari tidurnya dan duduk tegak di ranjang. “Daripada gue semakin gila begini, mending gue keluar aja deh.” Putusnya dan berjalan keluar dari kamarnya lalu menghampiri ibunya yang sedang betelponan dengan ayahnya.
            “Ma, Akina keliling kompleks dulu yah dengan sepeda.” Ijinnya dan langsung dijawab anggukan oleh mamanya.
            Tak ingin membuang waktu, Akina pun bergegas keluar rumah.
           
            “Sore begini enaknya memang keliling kompleks yah, tak ada yang mengganggu, bebas…” Katanya lepas sambil mengayuh sepeda dan melirik kiri-kanannya tanpa memperhatikan jalan dan…
            BUK! Tabrakan antar sepeda dari arah depan pun tak terhindarkan dan membuat mereka jatuh bersama-sama. 
            Akina langsung bangkit dari jatuhnya seolah melupakan sakitnya dan menghampiri cowok itu “Sorry…sorry… sorr…” Mendadak kata-katanya terhenti ketika tau siapa yang ditabraknya.
            “Tetangga sebelah rumah gue! yang gue lirik tadi! Aduh!.”
            “Gak apa-apa kok. gue juga salah karna gak liat lo. maaf, tetangga baru yah?” Tanyanya ramah dan membuat Akina kelabakan gimana jawabnya.
            “Iya… gue tetangga baru. Salam kenal.” Jawabnya dengan wajah tersipu malu dan menyukuri dalam hati akhirnya bisa kenalan juga.

            “Iya… rumah lo dimana?”

    
Rajesha Anggara.
       
Akina menunjuk rumahnya dan membuat cowok itu kaget “Wah… ternyata rumah kita bersebelahan yah. kenalin, nama gue Rajesha Anggara, dipanggil Angga. Kalo lo?”

            “Gue Akina Anindya Hino, dipanggil Akina.” Jawabnya dengan senyuman termanis yang dia punya.
            “Wah… Nama lo Jepang banget yah, Orang Jepang asli atau gimana nih?”
            “Gue campuran. Bokap dari Jepang, Nyokap dari Bandung.”
            Angga hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. “By the way, Lo gak papa kan?” Tanyanya cemas.
            Akina hanya menggelengkan kepalanya. Tanda dia tak apa-apa. “Gue balik dulu yah. takut dicari nyokap. Bye Angga.”
            “Kebetulan rumah kita kan berdekatan, kenapa gak bareng aja? itung-itung kenalan lebih jauh lagi sebagai tetangga baru.” Tawar Angga yang membuat Akina melongo.
“Serius?” Tanya Akina dengan wajah bego.
            “Emang wajah gue sedang ngajak bercanda gitu? Gue serius, Gadis Kecil.” Jawabnya sambil tertawa melihat Akina manyun karna nama panggilannya.
            Akina pun mengiyakan ajakan Angga dengan senang hati dan mereka bersepeda bersama-sama.
            “Gue masuk dulu yah. Thanks Angga.” Kata Akina tulus ketika Angga mengantarkannya sampai depan rumah.
            “Yup. Gue masuk dulu yah, sampai jumpa Gadis Kecil.” Goda Angga yang buat pipi Akina bersemu merah dan gadis itu langsung masuk dalam rumah.

❈❈❈❈❈❈
           
            “Mama… Ada cucian yang belum dijemur gak?” Teriak Akina yang membuat mamanya heran.
            “Tumben kamu nawarin diri untuk menjemur pakaian. Biasanya punya sejuta alasan untuk nolak. Ada apaan sih?”
            Enggak apa - apa Ma. Yasudah kalau begitu Kina tidur dulu yah. Bye Ma.” Sambil tersenyum, Akina mencium pipi mamanya dan bergegas masuk kamar untuk tidur.
            “Gue mimpi apaan  yah kemarin jadi ngajak ngobrol sama Angga? Astaga! kenapa gue gak bilang kalo gue suka sama permainan basket dia? Kan siapa tau dia mau ngajarin gue main. Emang Cuma badan tinggi kayak tiang bendera aja yang bisa? Badan imut kayak gue juga bisa!” Ucapya dengan berapi-api lalu kemudian tertidur pulas sambil berharap semoga memimpikan Angga.

            “Gadis yang menarik.” Gumam Angga duduk di taman yang membuat kakaknya bingung.
            “Siapa yang lo sebut menarik Ngga?”
            “Ntar lo juga tau Kak. Gue masuk dulu yah.” Kata Angga sambil masuk dalam rumah membiarkan kakaknya sendiri diluar.


            “Dasar labil.” Kata kakaknya sambil tersenyum.