Sabtu, 16 November 2013

Be Yours?! DAMN! Part 17 - Dark Side




            “Lis...” Ando benar – benar melepas pelukannya. Dia menatap Lista yang tertunduk sambil sesegukan.

            Dia tak percaya.

            Bagaimana bisa?

            “Ndo...” Lista menggenggam tangannya. Dan dia membalasnya dengan lebih erat. “Apapun yang gue katakan ...,” Dia terdiam. Tak berani mengucapkan apa yang diinginkan hatinya.

            Just staying in here. With me.  Whatever happens.
           
            “Lo jangan memotongnya. Gue mohon.” Dia menatap mata Ando berkilat shock. Yah, siapa yang percaya dengan kenyataan ini? Dia sendiripun, sampai saat ini tak bisa menerima kenyataannya.
            “Gue janji, Lista.”

            Haruskah gue juga meminta lo berjanji untuk tetap duduk disini? Memeluk erat setelah gue selesai menceritakannya? Dan tersenyum menenangkan sambil berkata “Semua sudah lewat dan gue disini, Lista.”

            Lista menggeleng kepalanya kuat – kuat. Harapan terlalu muluk untuknya. Baginya, Ando disini, duduk didepannya dan meremas kedua tangannya sudah cukup. Dia tak butuh yang lain.

            Walau hatinya membantah setiap perkataannya. Walau hatinya berteriak agar dia mengatakan apa yang dipikirannya.

            Ando duduk didepan Lista dan menggenggam kedua tangannya yang dingin itu dengan erat. Hatinya serasa tertusuk oleh ribuan pisau ketika melihat Lista menatapnya penuh kesakitan dan tak memandangnya. Dia memegang dagu Lista dan mengangkatnya pelan hingga gadis itu mendongkak.

            Just tell me, Elista.”

            Lista menghela napas dan menatapnya langsung. “Oke. Gue akan cerita, Ndo. Semuanya. Tanpa rahasia. Tapi... gue boleh meminta sesuatu?”
            “Apa?” Ando meremas tangan Lista yang digenggamnya erat. Tangan yang berkeringat dingin.

            “Jangan tinggalin gue.”


            Flashback.

            “Tataaa...”Dia yang asyik berbicara dengan temannya sambil tertawa, menoleh ketika ada yang memanggil dan melihat Cindy, sahabatnya melambaikan tangan dengan senyum lebar di wajahnya.
            “Kenapa, Cin?” Dia bingung Cindy semakin tersenyum ke arahnya. Rambutnya yang panjang ikal  tiba – tiba menutupi wajahnya, dan Tata langsung menyelipkannya di belakang telinganya.
            “Dylan tuh, pacar lo lagi main basket sama kakak lo. gak lirik?” Mendengar namanya, jantungnya langsung berdegup 10000  kali lebih cepat dari seharusnya. Dia naksir sejak kelas 1 SMP dan mereka berpacaran tepat dia kelas 3 SMP, dan Dylan kelas 3 SMA. Mereka berpacaran selama 6 bulan. Tapi tetap saja dia deg – degan. Dia sudah menyukainya  dari menginjakkan kaki disini dan bertemu pertama kali saat berpapasan di taman sekolah. Dia sudah terpesona dengan kegantengannya, caranya berbicara dengan cewek, dan semua yang dilakukan cowok itu, dia menyukainya. Sampai saat ini.
            “Dimana?” Dia berusaha mengatur volume suaranya agar tenang. Agar sahabatnya tak tau bahwa jantungnya sudah hampir loncat dari tempatnya saking gugupnya. Darah remajanya serasa gelombang pasang dalam tubuhnya.

            “Ayooooo...” Cindy langsung menariknya menuju lapangan basket.

í í

            “Tuh...” Cindy menunjuk Dylan sedang asyik bermain basket dengan kakaknya, Bian dan sahabatnya, Mikail serta beberapa teman Dylan lainnya. Tata asyik menatapnya tanpa kedip. Dia melihat beberapa cewek yang sebagian besar dari SMA kakaknya yang tergabung dengan SMPnya, asyik memberi semangat kepada Dylan yang hanya mengenakan baju kaos putih, menampilkan dada bidangnya, rambutnya yang pendek, matanya yang coklat dan bersorot tajam serta alisnya yang tebal, wajahnya yang tampan karna blasteran Perancis – Jerman, asyik membaca taktik permainan kakaknya, Febrian Risnadi Pradipta,  yang lebih memilih dipanggil Bian karna keren di dengar. kini bertelanjang dada. menampilkan dadanya yang putih dan bidang, hasil olahraga dan keturunan Jerman – Belanda - indonesia dari papahnya dan Turki seperti mamanya, wajahnya yang tampan, senyumnya yang manis hingga orang yang melihat pun ikut tersenyum, tatapan mata hijau toskanya yang membius dan menggoda itu serta lesung di kedua pipinya,membuat kakaknya menjadi idola bagi teman –teman SMPnya dan di SMA dia sendiri, diikuti dengan Mikail, sahabatnya yang berdarah Perancis, tatapan mata lembut dan wajah Eropanya yang mempesona, serta bibir tipisnya yang selalu tersenyum setiap menatap dirinya dan Erika, kakaknya hingga mendadak salting sendiri dan selalu punya seribu alasan untuk melarikan diri.
            “Melamun aja.” Tepukan ringan di pundak membuatnya tersadar dan menatap Cindy. “Kenapa lo?”
            “Gak papa. Gue kepikiran apa kata kak Rika dan Kak Bian soal Dylan.”
            “Memangnya kedua kakak lo kenapa? Gak suka lo pacaran ma dia?”
            “Bukannya gak suka lagi,” Tata menghela napas. Dia ingat pertengkarannya dengan Bian, kakaknya soalnya berhubungan dengan Dylan dan mengatakan cowoknya itu hanya memanfaatkannya saja. Dia tak percaya. Tentu saja. “Kak Bian malah nyuruh gue putus lagi! Enak aja! Enam bulan gue jalanin hubungan baik – baik aja ma dia, masa disuruh putus?! Emangnya enak pertahanin hubungan selama itu? Gue tentu saja nolak, walau membuatnya hampir saja menempeleng gue dan untungnya, sebelum itu terjadi, kak Rika datang dan melerai.” Dia teringat bagaimana hebatnya pertengkaran mereka. Saking emosinya, kakaknya hampir saja menempelengnya kalau saja kak Rika tak masuk kamar dan melerai mereka yang melotot dengan tangan berkacak pinggang.

            Cindy tersenyum menenangkan. Wajah Tata yang terpesona ketika melihat Dylan berhasil menerobos pertahanan kakaknya membuatnya bertepuk tangan keras – keras sambil mengacungkan jempol ke arah Dylan dan kakaknya yang tersenyum. Elista Maharani Pradipta, sahabat yang cantiknya luar biasa di matanya. Warna matanya yang hijau toska seperti kakaknya, namun kalau diperhatikan lebih dalam, warna hijau toska sebelah kirinya lebih pudar daripada sebelah kanannya yang lebih kuat, dan itu membuatnya unik, rambutnya yang panjang ikal tergerai yang kadang dikepangnya lucu, atau malah diikat biasa, kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang cantik membuatnya menjadi idola saat menginjakkan kaki disini. Dan sekarang, masih tetap menjadi incaran walau satu sekolah tau dia berpacaran dengan Dylan.

            Dylan dan Elista. Entah kenapa dia merasa ganjal hingga saat ini. Ada sesuatu dalam diri Dylan yang dia curiga sejak dulu, namun, melihat sahabatnya selalu berbunga – bunga setiap menceritakan hubungannya, selalu tersenyum malu hingga pipi mulusnya merona, dan tatapan mata cantiknya bersinar, membuatnya tak tega mengatakannya.

            Tapi tidak dengan kedua kakaknya. Apalagi Bian.

            Cindy melihat Bian menatap Dylan yang tersenyum kearah sahabatnya dan memberikan ciuman jarak jauh itu dengan tatapan tak terbaca. Kalau ada yang bertanya padanya siapa yang lebih protektif dengan Tata, maka Bian lah dia sebut lebih dulu.
            “Wooaaa... Tau aja si Jane gue suka lagu ini! Asyik buat ngedance, yeay!” Suara Tata yang kegirangan membuyarkan lamunan dan tatapannya ke arah Bian yang kini melanjutkan permainannya. Hentakan musik Spanyol membuat Tata yang memang ketua Cheerlader yang baru pensiun karna sudah kelas 3 SMP itu menari kegirangan.
            “Ayooo...” Tanpa aba – aba, Tata mendekati Jane yang asyik memutar musik di tape sambil menari. Musik Shakira – Loca adalah kesukaannya dan dia bisa gerakannya. Walau sedikit.

            Cindy terperangah ketika Tata, sahabatnya mendekati Dylan sambil menari penuh goda. Dia mengedipkan matanya sambil menggerakkan tubuhnya. bukan dia saja yang menari di tengah lapangan sekarang, tapi semua anggota cheers juga mengikutinya, beberapa penonton mengikuti alunan musiknya dan...

            Erika Assifa Pradipta, Ketua Cheers SMA, dengan wajah lembutnya, tatapan mata coklat beningnya, alis tebal dan senyumnya yang cantik, mewarisi seluruh kecantikan mama mereka itu, tersenyum geli melihat adiknya yang tanpa tau malu menari dan menggagalkan permainan kembarannya yang ingin mengalahkan Dylan dari dulu. Dia merangkul Tata lembut.
            “Dek, ingat sikon.” Bisiknya dan Tata berbalik lalu terkikik geli. “Mau menari, kak?”
            “Kita bakal masuk kantor BP dek karna bikin kerusuhan. Hahahaaa...”
            “Kata papah, bukan masa remaja namanya kalau tidak pernah duduk manis di kursi panas kantor BP, kak.” Tata masih terkikik geli dan kakaknya tertawa mendengarnya. Dia dari dulu menyukai tawa kakaknya. Sangat enak didengar. Beda dengannya, terbahak – bahak hingga mamanya menegur untuk mengurangi volume suaranya.
           
            “Hai, Rika.” Suara berat Dylan membuat rangkulannya melemah dan akhirnya terlepas sama sekali. Dia dan Bian sekelas dengan Dylan. Cowok yang menjadi pacar adik kesayangan mereka. Dan mereka tau bagaimana sifatnya dan bagaimana cara cowok itu berusaha mendekatinya lalu entah kenapa, berpaling dan mendekati Tata yang masih polos ini.
            “Prom night malam ini lo sama siapa, Rika?” Tanya Dylan basa – basi sambil merangkul Tata, “Gue samaa...”
            “Dia sama gue.” Entah sejak kapan, Mikail berdiri dan sekarang dengan enteng merangkul pundaknya. itu membuatnya panas dingin. Dirangkul dengan cowok yang kebetulan sahabat adiknya dan dia menyukainya, itu tak mudah. Membuat jantungnya serasa ingin lepas dan berlari keliling lapangan saking gugupnya.
            “Oh...” Dylan melirik Elista dan Erika bergantian. Senyum manis terukir di wajahnya. “Gue boleh gak malam ini ajak adik lo yang kebetulan pacar kesayangan gue ini jadi pasangan prom night gue?”

            “Tanya sama Bian deh, Dylan. Gue sih ijinin aja. Hahahaa..”
            “Berarti, kalau gue ngajak lo, ijin dengan Bian juga, dong?” Wajah Mikail terlihat berpikir dan membuatnya serasa ingin tenggelam di samudra Atlantik saking malunya. Wajah berpikirnya itu membuatnya semakin terpesona. Membuatnya bersyukur dalam hati bisa dekat dengannya walau sebagai teman.
            “Apaan yang pakai ijin gue, Mike?” Bian tau – tau datang dan melirik Dylan sekilas yang merangkul adiknya mesra, lalu melirik Mikail yang merangkul kakaknya. Membuatnya terkikik.
            “Nih, Si Dylan pengen ajak Tata prom night. Tapi kata Riri lewat lo aja. Berarti, kalau gue ajak dia, ijin dengan lo juga dong? Dih, sejak kapan lo jadi papah kedua, Bi?”
            Bian tertawa mendengarnya. Wajah Mikail penuh memohon dibuat – buat itu membuatnya geli. Dan wajah kakaknya semakin memerah malu. dia mengangguk. “Sejak gue sadar punya saudari secantik mereka. Iya, iya. Lo gue ijinin deh. lo juga, Dylan.” Dia menatap Dylan yang asyik bercanda dengan adiknya itu. dan cowok itu tersenyum.

            “Asyikkk... makasih kakak....” Dia langsung memeluk Bian erat tanpa tau malu. Tata memang ekspresif. Selalu mengeluarkan pemikirannya tanpa direm, setiap perasaannya bisa dibaca dengan tingkahnya yang polos. Itulah membuat mereka sebagai kakak, menjaganya.

            “Tapi...” Ucapan Bian yang menggantung itu membuatnya terdiam. mereka fokus menatapnya. Tata mulai gugup.
            “Kalau Mikail dengan kak Rika, lo dengan Dylan, gue dengan siapa?” Tanya Bian dengan ekspresi minta dikasihani. Membuatnya tertawa. dan dia entah kenapa menghela napas lega.

            “Tata, masuk yuk.” Cindy, sahabatnya memanggilnya dari kejauhan dan dia langsung balas berteriak. Membuat Bian menoleh dan tersenyum.

            “Kayaknya gue tau deh ngajak siapa malam ini.”

♥ ♥

            Dia asyik mengepang rambutnya dan melingkarinya di atas kepala hingga seperti bando. Lalu memoles bibirnya yang tipis kemerahan dengan lipgloss, dia berdiri dan memutar di depan cermin besarnya. Puas dengan hasil dandanannya selama satu jam lebih. puas dengan hasil gaun rancangannya yang diambil sore tadi pada tukang jahit langganannya.
            “Sayang mama dan papah gak ada. Huh.” Keluhnya karna disaat perayaan kelulusannya, kedua orang tuanya malah dinas ke Singapura selama beberapa minggu. Dan itu membuatnya manyun.
            “Gue foto aja ah terus kirim ke mama deh. hihi..” Dia mengikik sendiri dan membayangkan gaun hasil rancangannya, dibantu dengan ide mama cantiknya itu sudah selesai dan dia kenakan. Bisa dibayangkan betapa histerisnya nanti. Membayangkan itu, dia berfoto narsis di kamar kemudian mengirim fotonya via email. Setelah selesai, dia keluar kamar. Mencari kedua kakaknya.

            “Gimana, kak? Cantik kan?” Dia berputar di depan kakaknya, Erika yang duduk di ruang tamu dan memakai gaun tanpa lengan berwarna pink, rambut panjang indahnya ditata hingga terlihat sangat cantik malam ini.  
            “Banget,dek. Gue suka rancangan gaun lo.” kakaknya memuji gaun rancangannya serta hiasan rambut yang diconteknya dari majalah fashion. Dan pujian kakaknya membuatnya puas.

            “Waw...” Mereka spontan menoleh dan melihat Bian turun dari tangga dengan tangan dimasukkan ke kantong celana. Dia mengenakan kemeja putih dengan dasi berwarna hitam dipasang agak longgar, jas berwarna senada ,sepatu hitam dan  rambutnya dibiarkan agak panjang mengenai kerah.
            “Kenapa kak?”
            “Gue pangling.” Bian memandang kakak dan adiknya bergantian. Mendadak menelan ludah. “Gue bersaudara dengan keturunan bidadari ternyata. Lo cantik banget, dek. Serius, gue pangling. Astagaaa...” Dia menoleh ke arah kakaknya, “Dan lo, always beautiful in my eyes, sister.”
            “Apaan sih lo.”
            “Yuk. Kalian bareng gue ke sekolah.” Bian memutar kunci mobilnya dan membuka kedua lengannya, siap dirangkul. Tapi, mereka hanya saling berpandangan.
            “Tapi gue di jemput Dylan, kak.”
            “Gue nunggu Mikail, Bian. lo mending jemput yang lain deh.”

            “Eeebuseet...” Bian menoleh dan menatap kakaknya seolah terluka. “Mentang – mentang si Mike jemput, lo ngusir kembaran lo yang ganteng ini. Ckckkck.. yaudah deh, gue jemput Cindy aja. Sahabat lo.” Dia mengedipkan mata ketika adiknya melotot.
            “Lo ajak Cindy, kak? Kapan?”
            “Baru siang tadi. Hahaha.. udah ah, gue cabut dulu. Bye. Selamat nunggu pangeran kalian masing – masing.” Bian mencium pipinya dan kakaknya lalu keluar rumah sambil bersiul senang.
            Mereka saling berpandangan dan angkat bahu lalu terkikik geli.
            “Foto bareng yuk, kak buat kirim ke mama?”
            “Boleh,” Dan dia mengambil ponselnya dan berfoto narsis dengan kakaknya untuk membuat orang tuanya gigit jari di seberang pulau sana.

♥ ♥

            “Kamu cantik, sayang.” Sudah berapa kali dia mendengar Dylan memuji penampilannya. Dia ingat, sangat ingat ketika cowok itu melongo di depan rumah ketika melihatnya. Matanya sampai membelalak tak percaya. Dan dia merasa puas. Puas membuat pacarnya terpesona.
            “Kamu sudah berapa kali bilang itu, sayang? Udah ah, yuk kita turun. Pestanya sudah dimulai.” Dia bergegas turun dari mobil, namun Dylan menarik pelan lengannya dan dia menoleh.
            “Kenapa?”
            Dylan tak menjawab. Dia asyik memandang pacarnya keseluruhan dan tersenyum tipis. Senyum yang membuat Tata terpesona. Dan membuatnya tak sadar ketiga Dylan memegang dagunya dan menarik pelan ke arahnya. Lalu dia memajukan tubuhnya sendiri, membuat ujung hidung mereka bersentuhan, tangan kirinya digenggam erat, dan...

            “Gak.” Dia mendorong tubuh Dylan pelan dan menggeleng. “Aku gak siap, kak. Please.” Dia menggeleng dan menatap pacarnya yang hanya memandangnya tanpa ekspresi.
            Dia menghela napas dan tersenyum. “Sorry, Tata. Yuk kita keluar.” Dylan mematikan mesin mobilnya, kemudian mencabut dan keluar. Disusul olehnya yang dirangkul sedemikian posesif ketika beberapa pasang mata cowok meliriknya.

♥ ♥

            “Cind, liat Dylan gak?” Dia menghampiri Cindy yang asyik berbicara dengan temannya. Sejak kejadian di mobil tadi, Dylan seolah menghindar darinya. Tadi dia memang bilang ingin pergi bersama keempat temannya. Entah kemana, itu dia tak tau karna saat itu dia fokus melihat kakaknya, Bian memetik gitar elektrik dan Mikail bermain keyboard untuk mendampingi kakaknya,  Rika menyanyi di atas panggung.
            Cindy menoleh dan menatap sahabatnya iba. Tak sampai hati mengatakan bahwa dia melihat Dylan bergandengan mesra dengan Maharani, teman sekelasnya yang ganjen melebihi tante – tante itu keluar aula. Entah kemana.
            “Gue gak liat, Ta. Mungkin dia sama teman – temannya. Emangnya dia gak bilang pergi kemana?”
            Dia menggeleng kuat – kuat. Wajahnya murung. Merasa menyesal. “Tadi sih bilang pergi dengan Ari, Thomas ama Jeremy. Tapi gue gak tau kemana soalnya saat itu gue asyik sorakin kedua kakak gue diatas panggung. Ditelpon juga gak bisa. ponselnya gak aktif.  Gimana dong? gak lucu ah kehilangan pacar disini.”
            “Mungkin keluar sebentar. Tunggu aja disini sama gue dan Nayla, Ta.”

            Dia menggeleng. “Gue bakal nyari dia deh. kalau kedua kakak gue nyari, bilang aja gue sama Dyla dan pulang sama dia. Oke? Dah, Cind, Nay.” Dia bergegas keluar ruangan untuk mencari pacarnya.

♥ ♥

            “Gimana, Bro lo dengan Tata, si junior cantik itu? lo dapat apa aja selama 6 bulan dengannya? Kissing ampe semaput? Mengingat gelar lo prince of kissing, pasti udah kan?” Tanya Thomas sambil menegak minuman beralkohol yang dibelinya lalu dibagikan ketiga temannya. Ari, Jeremy, dan si pemenang, Dylan yang asyik menghitung uang taruhan mereka.
            “Gue dapat wajah tersipu – sipu yang menurut gue tolol itu! jujur, dia sangat cantik malam tadi, tapi masa saat gue mau cium, dia langsung nolak?! Cih! Konservatif amat tuh anak!” Dia kesal dan menelan sebotol minumannya tanpa sisa. “Tapi, gak papa deh. pacaran sama dia gak rugi – rugi banget. gue bisa dekat dengan kakaknya yang cantik itu, si Riri. Secara, gue kan naksir sama dia, bukan sama adik polosnya.”
            “Terus uang hasil taruhan karna lo sukses pacaran dengan Tata selama 6 bulan tanpa terdeteksi oleh kedua kakak posesifnya itu, mau lo kemanain?”
            Dylan tersenyum sinis. Dia berpacaran dengna Elista hanya untuk membuktikan tantangan pada ketiga sahabatnya kalau dia bisa berpacaran dengan gadis itu skaligus membalas sakit hatinya kepada Erika, yang menolak cintanya. Dia tidak mencintai Elista. Malah merasa muak dan kadang gatal untuk mengakhirinya, tapi mengingat hadiahnya 3 juta dari hasil taruhan itu, dia berusaha menahan diri dan menjadi pacar sempurna untuk gadis yang seumuran dengan adiknya,Karen.
            “Gue habisin disini sebelum cabut ke Amerika. Kan gue lulus disana.”
            “Terus, lo gimana putusin Tata? Tuh cewek cinta mati baget sama lo, Dylan.”
            Dylan tertawa mengejek. Cinta tak ada dalam kamus hidupnya. Dia lebih memilih bebas tanpa ikatan dengan beberapa cewek daripada dengan bersama satu cewek namun membuatnya muak. “Denger yah, guys. Gue pacaran 6 bulan dengan Tata itu karna taruhan 3 juta kalian sekalian mendekati kakak perempuannya walau sekedarnya, dan jugamembalas sakit hati gue. Apalagi dengan Bian. Gue dilahirkan untuk tidak disaingi, dan dia datang untuk menyaingi apa yang gue punya. Gue gak terima dong!” Jawabnya enteng sambil menegak minumannya dan merokok. Yah, dia memang perokok berat. Tapi tak pernah merokok di depan Elista mengingat gadis itu bukan pecinta cowok perokok dan penderita asma.
            “Dan kalau kalian tanya bagaimana gue putusin dia, tenang aja,” Dia menghembuskan asap rokok ke udara. “Bukan Dylan namanya kalau tak bisa nyelesaikan masalah, guys.”


♥ ♥
            Elista terdiam di depan pintu. dia mendengar semua percakapan mereka di dalam dan menertawakan kepolosannya. Bahkan Dylan, cowok yang disayanginya, yang dibela di depan kedua kakaknya hingga mereka bertengkar hebat, mengumbar kejelekannya dan mengatakan berkali – kali bahwa dia tak mencintainya. Dia berpacaran dengannya hanya karna uang 3 juta.

            Ketulusannya dibayar murah. Ketulusannya selama 6 bulan dihitung dengan uang 3 juta rupiah. Membuatnya hatinya serasa hancur. Membuatnya merasa bodoh karna percaya dengannya.

            Dadanya serasa hendak pecah saking sakitnya. Dia memegang dadanya, menarik napas untuk menarik mundur air mata yang siap tumpah ruah membasahi pipinya. Dia harus kuat.
            Dengan gemetar, dia membuka pintu ruangan itu dan melihat Dylan dan ketiga temannya terpaku melihatnya. Tak menyangka.
            “Gue gak menyangka, ketulusan gue, perasaan suka gue, dibayar murah dengan harga 3 juta?! Gue gak nyangka, cowok seganteng lo, sesempurna lo, ternyata murahan banget! sangat murahan sampai NOL dimata gue! Cih!” Dia berteriak dan tangan yang memegang gagang pintu diremasnya erat hingga jari – jarinya memutih. Dadanya semakin sesak ketika Dylan, cowok yang menjadi pusat dunianya, malah tersenyum mengejek dan berdiri dari duduknya. Tubuhnya yang tegap dan tatapan mata yang tajam serta senyum sinisnya seketika mengintimidasi.

            “Bagi gue pantas kok. Taruhan menyangkut lo itu harus mahal. Mengingat lo cewek susah untuk gue dekatin. Susah, karna kedua kakak lo menjadi tameng. Apalagi si Bian!” Dengan cepat, dia mendekatinya dan mendorong pintu hingga tertutup. Lalu tubuhnya ditarik dan dibenturkan ke belakang pintu. tangan kirinya digenggam kuat ketika gadis itu hendak melawan. Tatapan mereka beradu. “Mau nantang gue, sayang?”
            “Lo mau ngapain? Mundur dari gue!” Dia berteriak dan menendang Dylan. Membuatnya mundur dan tersenyum licik.
            “Main – main dengan gue berbahaya loh, sayang. Dylan di depan lo bukan Dylan yang lo suka setengah mati sekarang.” Ucapnya dan mendekati Elista. Tanpa aba – aba, dia mengurung gadis itu dengan kedua tangannya dan  langsung menciumnya dengan kasar kemudian menariknya dalam pelukan.

            Tata kaget dan berusaha mendorong tubuhnya agar menjauh. Namun pelukann itu semakin kuat dan tubuhnya tidak bersandar di pintu lagi. Seutuhnya dalam pelukan Dylan yang melumat habis bibirnya tanpa ampun.

            Ciuman pertamanya, ciuman yang dijaganya selama 17 tahun, yang akan dia serahkan bersama hatinya untuk seseorang yang dia yakini adalah pasangan hatinya dan dicintainya sepenuh hati, hilang sudah. Kenyataan ini membuat hatinya marah karna tak terima.
           
            Dylan merasakan pemberontakan dari Tata yang semakin kuat.  Dia menggigit bibir bawahnya kemudian melumatnya seperti mengemut lolipop, memainkan lidahnya ke dalam dan  tangan kirinya mengelus punggungnya yang terbuka, hingga sampai ke tengkuk. Dengan kasar dia meremasnya hingga gadis itu kesakitan dan semakin ingin melepas diri. Namun tangan kanan yang melingkar sangat kuat di pinggangnya, menahan semua gerakannya.

            Remasannya berganti dengan pukulan keras. Yah, Dylan memukul tengkuknya keras berulang kali hingga penglihatan sekitarnya kabur. Perutnya mual. Dia merasakan tubuhnya mulai melemah, pemberontakannya mulai terasa tak berarti, dan...

            “Kak Bian, kak Rika, Help me.” Bisiknya lemah sebelum akhirnya jatuh pingsan di pelukan Dylan yang tersenyum sinis. Diikuti ketiga temannya yang melihatnya dari tadi.

            “Guys,” Elista kini terkulai di gendongannya. Pukulannya mampu membuatnya kehilangan kesadaran. Dia menatap ketiga sahabatnya yang tersenyum sama liciknya. Dia tau pikiran mereka. Elista terlihat menggoda di pelukannya sekarang. “Kita pesta pora malam ini.”

♥ ♥
           
            “Tata mana, Cindy?”Entah kenapa, hatinya merasa tak tenang sejak tadi. Dia merasa akan ada sesuatu. Tapi ntah apa, dia tak tau. Ketika sadar adik perempuan kesayangannya hilang, dia panik dan langsung mencari Cindy yang mengobrol dengan temannya.
            “Dia sama Dylan kak. Katanya sih pulang sama dia juga.”
            “Dan lo liat Dylan?” Bian panik sekarang. Hatinya berteriak ada sesuatu terjadi dengannya. Ketika dia menyebut nama Dylan, hatinya seolah berteriak mengiyakan.
            Cindy menggeleng lemah. Dia bisa melihat kecemasan nyata di wajah Bian. kakak sahabatnya. “Gue gak liat, kak.”
            “Oh Tuhan... adik gue ngilang dimana?!!” Bian mendesah frustasi dan mengacak rambutnya. Dia mengambil ponsel dan menelpon adiknya, tapi selalu ditolak. Membuatnya ingin marah pada semua orang sekarang

            Cindy ngeri melihat perubahan wajah Bian. wajah ramahnya yang selalu ditunjukkannya sekarang berubah total menjadi penuh emosi. Membuatnya merinding dan ingin rasanya mundur perlahan untuk menjauh. Ketika sentuhan lembut mengenai punggungnya, dia hampir terlonjak dan menghela napas lega ketika melihat kak Rika, tersenyum dengannya walau sorot matanya juga panik.
            “Bian...” Dia menyentuh pundak adiknya yang matanya melotot marah itu dengan lembut. “Mending kita cari yuk. Hati gue juga gak tenang nih.”

            Tanpa kata, Bian langsung menarik kakaknya keluar ruangan. Mencari adiknya sambil berdoa dalam hati semoga tidak apa – apa.

♥ ♥

            Elista terbangun dan kaget luar biasa dengan keadaannya sekarang. Kedua tangannya diikat terpisah di kepala ranjang dan kedua kakinya pun bernasib sama. Dia berusaha menggerakkan, namun bukannya terlepas, malah nyeri karna tali yang mengikat tangannya termasuk tali kasar dan membuat pergelangannya memerah.
            Dia panik ketika melihat Dylan duduk di sudut ruangan gelap dengan ketiga temannya yang entah sejak kapan, sudah berada di sekitarnya, mengelus tubuhnya pelan hingga membuatnya merinding.
            “Kalian mau ngapain gue?! Lepassss!! Lepasss!!” Tata berusaha berontak dengan menggerakkan tubuhnya, menarik kakinya ketika disentuh Thomas yang menatapnya penuh nafsu, berusaha menjauhkan wajahnya ketika dielus Ari dan menggigit bibirnya ketika cowok itu, dengan kurang ajarnya mendekatkan kepalanya dan mengecup lehernya yang jenjang kemudian menggigitnya hingga menimbulkan bekas.dan Jeremy, menjilat daun telinganya dan air matanya yang menetes ke pipi. Membuatnya semakin ketakutan.
            Dia semakin panik, semakin ingin lari ketika Dylan mendekatinya dengan bertelanjang dada. dengan pelan namun pasti, akhirnya merangkak dan menindihi tubuhnya. otaknya blank seketika. “Lo mau ngapain gue, Dylan?! Menjauh dari tubuh gue! Menjauuuhhhh!!!!!” Elista berteriak tepat di depan wajahnya ketika cowok itu menunduk. Dan seketika teriakannya berubah menjadi jerit kesakitan karna rambut panjangnya yang tergerai di sampingnya, ditarik paksa hingga dia merasa akan lepas.
            “Menjauh? Di saat kami mau pesta pora lo pengen menjauh?” Dia berbisik di telinganya sambil memainkan jari – jarinya di rambut Elista kemudian menariknya lagi hingga gadis itu berteriak kesakitan. Kakinya yang terikat terpisah bergerak – gerak ingin menendangnya. “Jangan mimpi, sayang.”

            Hatinya merasa hancur sekali. Dia merasa ingin mati malam ini juga ketika cowok itu, cowok yang disukainya, yang dibelanya, mengambil apa yang dijaganya selama ini. Mengambil yang menjadi kehormatannya selama 15 tahun ini. Cowok itu menciumnya kasar, kemudian menyentuh seluruh titik tubuhnya dengan penuh nafsu dan tanpa kelembutan sama sekali. Jerit kesakitannya ketika cowok itu mengambilnya paksa, dan air mata yang semakin membasahi pipinya bukan membuatnya iba, malah semakin beringas membuatnya kesakitan. Seluruh tubuhnya serasa remuk seketika ketika cowok itu dengan jahatnya menyatukan diri dengannya.

            “Sakit, Dylan... Sakit...” Dia mengerang kesakitan dan Dylan tersenyum puas. Sangat puas ketika melihat Elista, lemas dan menangis terisak di depannya. Dia mengambil apa yang menjadi kebanggaan gadis itu. dan dia puas sekarang.


            Dendamnya terbalaskan.
           
            “Guys,” Dia menoleh ke arah temannya yang memperhatikannya dari bagaimana mempermainkan gadis itu sampai akhirnya merebut apa yang dimilikinya. Tanpa sisa. “Karna gue baik hati, silahkan kalian perlakukan dia sepuasnya. Gue akan menontonnya. Akan melihat dari sini bagaimana kesakitannya.”

            Ando langsung menutup mulut Lista dengan menempelkan telunjuknya yang kini sudah bercampur isak. Dia tak tahan mendengarnya. Tak tahan mendengar setiap kalimat yang serasa merajamnya. Dan dia paham sekarang kenapa kedua kakak Lista dulu menilainya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi Bian.

            Karena mereka gagal menjaganya.

            “Elista...” Dia mendongkakkan kepalanya. Matanya menatap langsung. Mencari reaksi atas semua ceritanya yang dia simpan selama 3 tahun ini. Cerita yang membuatnya selalu ketakutan setengah mati apabila mengingatnya. Cerita yang kadang membuatnya jijik dengan dirinya sendiri karna merasa tangan – tangan mereka yang dulu menyentuhnya, menyakitinya, berada di sekujur tubuhnya.

            Ando memeluknya erat. Sangat erat hingga dia tak bisa bernapas. Tapi pelukannya membuat hatinya menghangat.

            Ketakutannya tak terbukti. Ando tak meninggalkannnya. Dia disini. Memeluknya. Bukan pergi menjauh seperti kata hatinya selama ini setiap dia ingin menceritakannya.

            Dia takut Ando pergi meninggalkannya karna dia mencintainya. entah sejak kapan. Entah sejak cowok itu mengatakan masa lalunya, entah sejak cowok itu menciumnya saat mereka di Bali, atau jauh sebelum itu.
            Yang jelas, Dia tak ingin Ando pergi. Sesederhana itu keinginannya. Dan ketika cowok itu mengatakan perasaannya, hendak hatinya ingin bertanya lagi tentang perasaan Ando padanya setelah mengetahui ini,

            Do you love me?
            Even with my dark side?

            “Sorry.” Bisikan itu membuatnya berkerut kening. Dia membuka mulut untuk bertanya, tapi sebuah gerakan menyentakkan kesadarannya.

            Menghempaskan harapannya tanpa ampun ke dasar hingga hancur berkeping – keping.

            Ando melepas pelukannya, menatapnya datar, dan ketakutannya terbukti.

            Don’t run away, just promise you will stay, promise you will stay.

            Dia berdiri dan akhirnya berjalan pelan menuju pintu, kemudian menutupnya pelan tanpa menolehnya sama sekali.

            “Ando...” Dia menangis hingga suaranya serak. Tak menyangka ditinggalkan. Dia meringkuk di sudut kamarnya yang temaram. Menangisi nasibnya ditinggalkan.

            “Kenapa lo ninggalin gue? Bukannya lo janji tetap berada disini?”


“Everybody got’s a dark side
Do you love me, can you love mine?
Nobody’s has picture perfect. But,
We worth it, you know we worth it

Do you love me, even with my darkside?

Kelly Clarkson – Dark Side.

♥ ♥

            “Oh Tuhan... gue gak bisa menerimanya.” Ando berkata pelan sambil menyandarkan kepalanya di jok mobil. Cerita Lista membuatnya merasa ikut hancur. saking hancurnya hingga tega meninggalkan gadis itu tanpa memandangnya sama sekali. Tau – tau dia keluar dari kamarnya, setengah berlari keluar rumah Lista dan menjalankan mobil dengan kecepatan gila – gilaan.

            Dia tak bisa menerimanya. Sama sekali tak bisa.
           
            Dia menatap rumah yang didatanginya sekarang. Kalau ada orang yang ingin dihajarnya saat mendengar Lista bercerita dan menangis terisak di depannya, yang kadang ketakutan setiap melihatnya dan selalu memasang jarak, dan menjadi tatapan penuh penilaian oleh kedua kakaknya,

            Maka dia datang pada orang yang tepat.

            Ando turun dari mobilnya dan menggulung kedua lengan bajunya sampai siku, dia menekan bel rumah itu, dan keluarlah Karen yang bingung dengan kehadirannya.

            “Ada apa, Ndo? Tumben kesini?”
            Ando menatapnya datar dan melirik Karen. Mencari sisi kemiripannya lalu tanpa sadar tersenyum sinis. “Kakak lo mana? Gue ada perlu.”

            Karen menatapnya curiga. Baru saja dia mengobati kakaknya yang babak belur sekujur tubuh, tulang hidung bengkok, bibir bengkak dan memar. Dan melihat Ando yang menatapnya dingin, entah kenapa dia merasa ada yang tak beres.
            “Memangnya ada apa dulu?”
            “Gue ada urusan, Karenina. Gue akan sangat, sangat menghargai lo minggir dan menunjukkan dimana kamar kakak lo. ngerti?”

            Entah karna tatapan dingin Ando yang ingin mengulitinya hidup – hidup, atau suaranya yang berubah menjadi menakutkan bagi siapapun yang mendengarnya, tanpa sadar Karen minggir dan membiarkan Ando masuk melewatinya lalu menutup pintu.

            “Dimana kamar kakak lo? Tanyanya dan Karen menunjuk kamar sebelah kiri di lantai dua. Dengan santai Ando menaiki lantai sambil menekukkan sepuluh jarinya.

            Kalau Bian bisa menghajarnya sampai babak belur, dia bisa membuatnya mampus dan masuk neraka saat ini juga.


♥ ♥

            Lista mencoba menghubungi Ando berkali – kali. namun ponselnya tak jua aktif. Kenyataan ini membuat hatinya hancur.

            Ando benar – benar meninggalkannya dan tak mau dirinya hadir di kehidupannya.

            Lista merebahkan tubuhnya yang lemas karna terus – terusan menangis di ranjang dan mencoba tidur dengan air mata yang terus menetes membasahinya.


♥ ♥

            Ando berada di Villanya. Dia memutuskan tak pulang kerumah untuk sementara agar bisa menenangkan diri. Ingatan bagaimana Dylan merendahkan Lista segitu kejinya hingga membuatnya emosi dan kalap menghajarnya kalau Karen tak datang dan melerainya.

            Dia mengambil ponselnya yang sengaja di nonaktifkan dan melirik ponsel satunya yang hanya orang rumah saja yang tau. Dia sengaja melakukannya agar selama dia disini, dia bisa menelaah perasaannya sendiri.

            “Sorry, Elista. Gue benar – benar harus pergi dari kehidupan lo sebelum gue bisa menerima semuanya dan memulainya dari awal lagi.” Ucapnya pelan sambil menutup mata. Membiarkan angin pantai menerpa wajahnya.


“Just give me a reason
Just a little bit's enough
Just a second we're not broken just bent
And we can learn to love again.”

Pink ft Nate Ruess – Just give me a reason.

♥ ♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar