“Lis...” Ando benar – benar melepas
pelukannya. Dia menatap Lista yang tertunduk sambil sesegukan.
Dia tak percaya.
Bagaimana bisa?
“Ndo...” Lista menggenggam tangannya. Dan dia
membalasnya dengan lebih erat. “Apapun yang gue katakan ...,” Dia terdiam. Tak
berani mengucapkan apa yang diinginkan hatinya.
Just staying in here. With me. Whatever happens.
“Lo jangan memotongnya. Gue mohon.” Dia menatap mata
Ando berkilat shock. Yah, siapa yang percaya dengan kenyataan ini? Dia
sendiripun, sampai saat ini tak bisa menerima kenyataannya.
“Gue janji, Lista.”
Haruskah gue juga meminta lo
berjanji untuk tetap duduk disini? Memeluk erat setelah gue selesai
menceritakannya? Dan tersenyum menenangkan sambil berkata “Semua sudah lewat
dan gue disini, Lista.”
Lista menggeleng kepalanya kuat – kuat. Harapan
terlalu muluk untuknya. Baginya, Ando disini, duduk didepannya dan meremas
kedua tangannya sudah cukup. Dia tak butuh yang lain.
Walau hatinya membantah setiap
perkataannya. Walau hatinya berteriak agar dia mengatakan apa yang
dipikirannya.
Ando duduk didepan Lista dan
menggenggam kedua tangannya yang dingin itu dengan erat. Hatinya serasa
tertusuk oleh ribuan pisau ketika melihat Lista menatapnya penuh kesakitan dan
tak memandangnya. Dia memegang dagu Lista dan mengangkatnya pelan hingga gadis
itu mendongkak.
“Just tell me, Elista.”
Lista menghela napas dan menatapnya langsung. “Oke.
Gue akan cerita, Ndo. Semuanya. Tanpa rahasia. Tapi... gue boleh meminta
sesuatu?”
“Apa?” Ando meremas tangan Lista
yang digenggamnya erat. Tangan yang berkeringat dingin.
“Jangan tinggalin gue.”
Flashback.
“Tataaa...”Dia yang asyik berbicara
dengan temannya sambil tertawa, menoleh ketika ada yang memanggil dan melihat
Cindy, sahabatnya melambaikan tangan dengan senyum lebar di wajahnya.
“Kenapa, Cin?” Dia bingung Cindy
semakin tersenyum ke arahnya. Rambutnya yang panjang ikal tiba – tiba menutupi wajahnya, dan Tata
langsung menyelipkannya di belakang telinganya.
“Dylan tuh, pacar lo lagi main
basket sama kakak lo. gak lirik?” Mendengar namanya, jantungnya langsung
berdegup 10000 kali lebih cepat dari
seharusnya. Dia naksir sejak kelas 1 SMP dan mereka berpacaran tepat dia kelas
3 SMP, dan Dylan kelas 3 SMA. Mereka berpacaran selama 6 bulan. Tapi tetap saja
dia deg – degan. Dia sudah menyukainya dari
menginjakkan kaki disini dan bertemu pertama kali saat berpapasan di taman
sekolah. Dia sudah terpesona dengan kegantengannya, caranya berbicara dengan
cewek, dan semua yang dilakukan cowok itu, dia menyukainya. Sampai saat ini.
“Dimana?” Dia berusaha mengatur
volume suaranya agar tenang. Agar sahabatnya tak tau bahwa jantungnya sudah
hampir loncat dari tempatnya saking gugupnya. Darah remajanya serasa gelombang
pasang dalam tubuhnya.
“Ayooooo...” Cindy langsung
menariknya menuju lapangan basket.
í í
“Tuh...” Cindy menunjuk Dylan sedang
asyik bermain basket dengan kakaknya, Bian dan sahabatnya, Mikail serta
beberapa teman Dylan lainnya. Tata asyik menatapnya tanpa kedip. Dia melihat
beberapa cewek yang sebagian besar dari SMA kakaknya yang tergabung dengan
SMPnya, asyik memberi semangat kepada Dylan yang hanya mengenakan baju kaos
putih, menampilkan dada bidangnya, rambutnya yang pendek, matanya yang coklat
dan bersorot tajam serta alisnya yang tebal, wajahnya yang tampan karna
blasteran Perancis – Jerman, asyik membaca taktik permainan kakaknya, Febrian
Risnadi Pradipta, yang lebih memilih
dipanggil Bian karna keren di dengar. kini bertelanjang dada. menampilkan
dadanya yang putih dan bidang, hasil olahraga dan keturunan Jerman – Belanda -
indonesia dari papahnya dan Turki seperti mamanya, wajahnya yang tampan,
senyumnya yang manis hingga orang yang melihat pun ikut tersenyum, tatapan mata
hijau toskanya yang membius dan menggoda itu serta lesung di kedua
pipinya,membuat kakaknya menjadi idola bagi teman –teman SMPnya dan di SMA dia
sendiri, diikuti dengan Mikail, sahabatnya yang berdarah Perancis, tatapan mata
lembut dan wajah Eropanya yang mempesona, serta bibir tipisnya yang selalu
tersenyum setiap menatap dirinya dan Erika, kakaknya hingga mendadak salting
sendiri dan selalu punya seribu alasan untuk melarikan diri.
“Melamun aja.” Tepukan ringan di
pundak membuatnya tersadar dan menatap Cindy. “Kenapa lo?”
“Gak papa. Gue kepikiran apa kata
kak Rika dan Kak Bian soal Dylan.”
“Memangnya kedua kakak lo kenapa? Gak
suka lo pacaran ma dia?”
“Bukannya gak suka lagi,” Tata
menghela napas. Dia ingat pertengkarannya dengan Bian, kakaknya soalnya
berhubungan dengan Dylan dan mengatakan cowoknya itu hanya memanfaatkannya
saja. Dia tak percaya. Tentu saja. “Kak Bian malah nyuruh gue putus lagi! Enak
aja! Enam bulan gue jalanin hubungan baik – baik aja ma dia, masa disuruh
putus?! Emangnya enak pertahanin hubungan selama itu? Gue tentu saja nolak,
walau membuatnya hampir saja menempeleng gue dan untungnya, sebelum itu
terjadi, kak Rika datang dan melerai.” Dia teringat bagaimana hebatnya
pertengkaran mereka. Saking emosinya, kakaknya hampir saja menempelengnya kalau
saja kak Rika tak masuk kamar dan melerai mereka yang melotot dengan tangan
berkacak pinggang.
Cindy tersenyum menenangkan. Wajah
Tata yang terpesona ketika melihat Dylan berhasil menerobos pertahanan kakaknya
membuatnya bertepuk tangan keras – keras sambil mengacungkan jempol ke arah
Dylan dan kakaknya yang tersenyum. Elista Maharani Pradipta, sahabat yang
cantiknya luar biasa di matanya. Warna matanya yang hijau toska seperti
kakaknya, namun kalau diperhatikan lebih dalam, warna hijau toska sebelah
kirinya lebih pudar daripada sebelah kanannya yang lebih kuat, dan itu
membuatnya unik, rambutnya yang panjang ikal tergerai yang kadang dikepangnya
lucu, atau malah diikat biasa, kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang cantik
membuatnya menjadi idola saat menginjakkan kaki disini. Dan sekarang, masih
tetap menjadi incaran walau satu sekolah tau dia berpacaran dengan Dylan.
Dylan dan Elista. Entah kenapa dia
merasa ganjal hingga saat ini. Ada sesuatu dalam diri Dylan yang dia curiga
sejak dulu, namun, melihat sahabatnya selalu berbunga – bunga setiap
menceritakan hubungannya, selalu tersenyum malu hingga pipi mulusnya merona,
dan tatapan mata cantiknya bersinar, membuatnya tak tega mengatakannya.
Tapi tidak dengan kedua kakaknya.
Apalagi Bian.
Cindy melihat Bian menatap Dylan
yang tersenyum kearah sahabatnya dan memberikan ciuman jarak jauh itu dengan
tatapan tak terbaca. Kalau ada yang bertanya padanya siapa yang lebih protektif
dengan Tata, maka Bian lah dia sebut lebih dulu.
“Wooaaa... Tau aja si Jane gue suka
lagu ini! Asyik buat ngedance, yeay!” Suara Tata yang kegirangan membuyarkan
lamunan dan tatapannya ke arah Bian yang kini melanjutkan permainannya.
Hentakan musik Spanyol membuat Tata yang memang ketua Cheerlader yang baru
pensiun karna sudah kelas 3 SMP itu menari kegirangan.
“Ayooo...” Tanpa aba – aba, Tata
mendekati Jane yang asyik memutar musik di tape sambil menari. Musik Shakira –
Loca adalah kesukaannya dan dia bisa gerakannya. Walau sedikit.
Cindy terperangah ketika Tata,
sahabatnya mendekati Dylan sambil menari penuh goda. Dia mengedipkan matanya
sambil menggerakkan tubuhnya. bukan dia saja yang menari di tengah lapangan
sekarang, tapi semua anggota cheers juga mengikutinya, beberapa penonton
mengikuti alunan musiknya dan...
Erika Assifa Pradipta, Ketua Cheers
SMA, dengan wajah lembutnya, tatapan mata coklat beningnya, alis tebal dan
senyumnya yang cantik, mewarisi seluruh kecantikan mama mereka itu, tersenyum
geli melihat adiknya yang tanpa tau malu menari dan menggagalkan permainan
kembarannya yang ingin mengalahkan Dylan dari dulu. Dia merangkul Tata lembut.
“Dek, ingat sikon.” Bisiknya dan
Tata berbalik lalu terkikik geli. “Mau menari, kak?”
“Kita bakal masuk kantor BP dek
karna bikin kerusuhan. Hahahaaa...”
“Kata papah, bukan masa remaja
namanya kalau tidak pernah duduk manis di kursi panas kantor BP, kak.” Tata
masih terkikik geli dan kakaknya tertawa mendengarnya. Dia dari dulu menyukai
tawa kakaknya. Sangat enak didengar. Beda dengannya, terbahak – bahak hingga mamanya
menegur untuk mengurangi volume suaranya.
“Hai, Rika.” Suara berat Dylan
membuat rangkulannya melemah dan akhirnya terlepas sama sekali. Dia dan Bian
sekelas dengan Dylan. Cowok yang menjadi pacar adik kesayangan mereka. Dan
mereka tau bagaimana sifatnya dan bagaimana cara cowok itu berusaha
mendekatinya lalu entah kenapa, berpaling dan mendekati Tata yang masih polos
ini.
“Prom night malam ini lo sama siapa,
Rika?” Tanya Dylan basa – basi sambil merangkul Tata, “Gue samaa...”
“Dia sama gue.” Entah sejak kapan, Mikail berdiri dan sekarang dengan enteng merangkul pundaknya. itu membuatnya panas dingin. Dirangkul dengan cowok yang kebetulan sahabat adiknya dan dia menyukainya, itu tak mudah. Membuat jantungnya serasa ingin lepas dan berlari keliling lapangan saking gugupnya.
“Dia sama gue.” Entah sejak kapan, Mikail berdiri dan sekarang dengan enteng merangkul pundaknya. itu membuatnya panas dingin. Dirangkul dengan cowok yang kebetulan sahabat adiknya dan dia menyukainya, itu tak mudah. Membuat jantungnya serasa ingin lepas dan berlari keliling lapangan saking gugupnya.
“Oh...” Dylan melirik Elista dan
Erika bergantian. Senyum manis terukir di wajahnya. “Gue boleh gak malam ini
ajak adik lo yang kebetulan pacar kesayangan gue ini jadi pasangan prom night
gue?”
“Tanya sama Bian deh, Dylan. Gue sih
ijinin aja. Hahahaa..”
“Berarti, kalau gue ngajak lo, ijin
dengan Bian juga, dong?” Wajah Mikail terlihat berpikir dan membuatnya serasa
ingin tenggelam di samudra Atlantik saking malunya. Wajah berpikirnya itu
membuatnya semakin terpesona. Membuatnya bersyukur dalam hati bisa dekat
dengannya walau sebagai teman.
“Apaan yang pakai ijin gue, Mike?”
Bian tau – tau datang dan melirik Dylan sekilas yang merangkul adiknya mesra,
lalu melirik Mikail yang merangkul kakaknya. Membuatnya terkikik.
“Nih, Si Dylan pengen ajak Tata prom
night. Tapi kata Riri lewat lo aja. Berarti, kalau gue ajak dia, ijin dengan lo
juga dong? Dih, sejak kapan lo jadi papah kedua, Bi?”
Bian tertawa mendengarnya. Wajah
Mikail penuh memohon dibuat – buat itu membuatnya geli. Dan wajah kakaknya
semakin memerah malu. dia mengangguk. “Sejak gue sadar punya saudari secantik
mereka. Iya, iya. Lo gue ijinin deh. lo juga, Dylan.” Dia menatap Dylan yang
asyik bercanda dengan adiknya itu. dan cowok itu tersenyum.
“Asyikkk... makasih kakak....” Dia
langsung memeluk Bian erat tanpa tau malu. Tata memang ekspresif. Selalu
mengeluarkan pemikirannya tanpa direm, setiap perasaannya bisa dibaca dengan
tingkahnya yang polos. Itulah membuat mereka sebagai kakak, menjaganya.
“Tapi...” Ucapan Bian yang
menggantung itu membuatnya terdiam. mereka fokus menatapnya. Tata mulai gugup.
“Kalau Mikail dengan kak Rika, lo
dengan Dylan, gue dengan siapa?” Tanya Bian dengan ekspresi minta dikasihani.
Membuatnya tertawa. dan dia entah kenapa menghela napas lega.
“Tata, masuk yuk.” Cindy, sahabatnya
memanggilnya dari kejauhan dan dia langsung balas berteriak. Membuat Bian
menoleh dan tersenyum.
“Kayaknya gue tau deh ngajak siapa
malam ini.”
♥
♥
Dia asyik mengepang rambutnya dan
melingkarinya di atas kepala hingga seperti bando. Lalu memoles bibirnya yang
tipis kemerahan dengan lipgloss, dia berdiri dan memutar di depan cermin
besarnya. Puas dengan hasil dandanannya selama satu jam lebih. puas dengan
hasil gaun rancangannya yang diambil sore tadi pada tukang jahit langganannya.
“Sayang mama dan papah gak ada.
Huh.” Keluhnya karna disaat perayaan kelulusannya, kedua orang tuanya malah
dinas ke Singapura selama beberapa minggu. Dan itu membuatnya manyun.
“Gue foto aja ah terus kirim ke mama
deh. hihi..” Dia mengikik sendiri dan membayangkan gaun hasil rancangannya,
dibantu dengan ide mama cantiknya itu sudah selesai dan dia kenakan. Bisa
dibayangkan betapa histerisnya nanti. Membayangkan itu, dia berfoto narsis di
kamar kemudian mengirim fotonya via email. Setelah selesai, dia keluar kamar.
Mencari kedua kakaknya.
“Gimana, kak? Cantik kan?” Dia
berputar di depan kakaknya, Erika yang duduk di ruang tamu dan memakai gaun
tanpa lengan berwarna pink, rambut panjang indahnya ditata hingga terlihat sangat
cantik malam ini.
“Banget,dek. Gue suka rancangan gaun
lo.” kakaknya memuji gaun rancangannya serta hiasan rambut yang diconteknya
dari majalah fashion. Dan pujian kakaknya membuatnya puas.
“Waw...” Mereka spontan menoleh dan
melihat Bian turun dari tangga dengan tangan dimasukkan ke kantong celana. Dia
mengenakan kemeja putih dengan dasi berwarna hitam dipasang agak longgar, jas
berwarna senada ,sepatu hitam dan
rambutnya dibiarkan agak panjang mengenai kerah.
“Kenapa kak?”
“Gue pangling.” Bian memandang kakak
dan adiknya bergantian. Mendadak menelan ludah. “Gue bersaudara dengan
keturunan bidadari ternyata. Lo cantik banget, dek. Serius, gue pangling.
Astagaaa...” Dia menoleh ke arah kakaknya, “Dan lo, always beautiful in my
eyes, sister.”
“Apaan sih lo.”
“Yuk. Kalian bareng gue ke sekolah.”
Bian memutar kunci mobilnya dan membuka kedua lengannya, siap dirangkul. Tapi,
mereka hanya saling berpandangan.
“Tapi gue di jemput Dylan, kak.”
“Gue nunggu Mikail, Bian. lo mending
jemput yang lain deh.”
“Eeebuseet...” Bian menoleh dan
menatap kakaknya seolah terluka. “Mentang – mentang si Mike jemput, lo ngusir
kembaran lo yang ganteng ini. Ckckkck.. yaudah deh, gue jemput Cindy aja.
Sahabat lo.” Dia mengedipkan mata ketika adiknya melotot.
“Lo ajak Cindy, kak? Kapan?”
“Baru siang tadi. Hahaha.. udah ah,
gue cabut dulu. Bye. Selamat nunggu pangeran kalian masing – masing.” Bian
mencium pipinya dan kakaknya lalu keluar rumah sambil bersiul senang.
Mereka saling berpandangan dan
angkat bahu lalu terkikik geli.
“Foto bareng yuk, kak buat kirim ke
mama?”
“Boleh,” Dan dia mengambil ponselnya dan berfoto narsis dengan kakaknya untuk membuat orang tuanya gigit jari di seberang pulau sana.
“Boleh,” Dan dia mengambil ponselnya dan berfoto narsis dengan kakaknya untuk membuat orang tuanya gigit jari di seberang pulau sana.
♥
♥
“Kamu cantik, sayang.” Sudah berapa kali dia
mendengar Dylan memuji penampilannya. Dia ingat, sangat ingat ketika cowok itu
melongo di depan rumah ketika melihatnya. Matanya sampai membelalak tak
percaya. Dan dia merasa puas. Puas membuat pacarnya terpesona.
“Kamu sudah berapa kali bilang itu,
sayang? Udah ah, yuk kita turun. Pestanya sudah dimulai.” Dia bergegas turun
dari mobil, namun Dylan menarik pelan lengannya dan dia menoleh.
“Kenapa?”
Dylan tak menjawab. Dia asyik
memandang pacarnya keseluruhan dan tersenyum tipis. Senyum yang membuat Tata
terpesona. Dan membuatnya tak sadar ketiga Dylan memegang dagunya dan menarik
pelan ke arahnya. Lalu dia memajukan tubuhnya sendiri, membuat ujung hidung
mereka bersentuhan, tangan kirinya digenggam erat, dan...
“Gak.” Dia mendorong tubuh Dylan
pelan dan menggeleng. “Aku gak siap, kak. Please.” Dia menggeleng dan menatap
pacarnya yang hanya memandangnya tanpa ekspresi.
Dia menghela napas dan tersenyum. “Sorry,
Tata. Yuk kita keluar.” Dylan mematikan mesin mobilnya, kemudian mencabut dan
keluar. Disusul olehnya yang dirangkul sedemikian posesif ketika beberapa
pasang mata cowok meliriknya.
♥
♥
“Cind, liat Dylan gak?” Dia menghampiri Cindy
yang asyik berbicara dengan temannya. Sejak kejadian di mobil tadi, Dylan
seolah menghindar darinya. Tadi dia memang bilang ingin pergi bersama keempat
temannya. Entah kemana, itu dia tak tau karna saat itu dia fokus melihat
kakaknya, Bian memetik gitar elektrik dan Mikail bermain keyboard untuk
mendampingi kakaknya, Rika menyanyi di
atas panggung.
Cindy menoleh dan menatap sahabatnya
iba. Tak sampai hati mengatakan bahwa dia melihat Dylan bergandengan mesra
dengan Maharani, teman sekelasnya yang ganjen melebihi tante – tante itu keluar
aula. Entah kemana.
“Gue gak liat, Ta. Mungkin dia sama
teman – temannya. Emangnya dia gak bilang pergi kemana?”
Dia menggeleng kuat – kuat. Wajahnya
murung. Merasa menyesal. “Tadi sih bilang pergi dengan Ari, Thomas ama Jeremy.
Tapi gue gak tau kemana soalnya saat itu gue asyik sorakin kedua kakak gue
diatas panggung. Ditelpon juga gak bisa. ponselnya gak aktif. Gimana dong? gak lucu ah kehilangan pacar
disini.”
“Mungkin keluar sebentar. Tunggu aja
disini sama gue dan Nayla, Ta.”
Dia menggeleng. “Gue bakal nyari dia
deh. kalau kedua kakak gue nyari, bilang aja gue sama Dyla dan pulang sama dia.
Oke? Dah, Cind, Nay.” Dia bergegas keluar ruangan untuk mencari pacarnya.
♥
♥
“Gimana, Bro lo dengan Tata, si junior cantik
itu? lo dapat apa aja selama 6 bulan dengannya? Kissing ampe semaput? Mengingat
gelar lo prince of kissing, pasti udah kan?” Tanya Thomas sambil menegak
minuman beralkohol yang dibelinya lalu dibagikan ketiga temannya. Ari, Jeremy,
dan si pemenang, Dylan yang asyik menghitung uang taruhan mereka.
“Gue dapat wajah tersipu – sipu yang
menurut gue tolol itu! jujur, dia sangat cantik malam tadi, tapi masa saat gue
mau cium, dia langsung nolak?! Cih! Konservatif amat tuh anak!” Dia kesal dan
menelan sebotol minumannya tanpa sisa. “Tapi, gak papa deh. pacaran sama dia
gak rugi – rugi banget. gue bisa dekat dengan kakaknya yang cantik itu, si
Riri. Secara, gue kan naksir sama dia, bukan sama adik polosnya.”
“Terus uang hasil taruhan karna lo
sukses pacaran dengan Tata selama 6 bulan tanpa terdeteksi oleh kedua kakak
posesifnya itu, mau lo kemanain?”
Dylan tersenyum sinis. Dia berpacaran
dengna Elista hanya untuk membuktikan tantangan pada ketiga sahabatnya kalau
dia bisa berpacaran dengan gadis itu skaligus membalas sakit hatinya kepada
Erika, yang menolak cintanya. Dia tidak mencintai Elista. Malah merasa muak dan
kadang gatal untuk mengakhirinya, tapi mengingat hadiahnya 3 juta dari hasil
taruhan itu, dia berusaha menahan diri dan menjadi pacar sempurna untuk gadis
yang seumuran dengan adiknya,Karen.
“Gue habisin disini sebelum cabut ke
Amerika. Kan gue lulus disana.”
“Terus, lo gimana putusin Tata? Tuh
cewek cinta mati baget sama lo, Dylan.”
Dylan tertawa mengejek. Cinta tak
ada dalam kamus hidupnya. Dia lebih memilih bebas tanpa ikatan dengan beberapa
cewek daripada dengan bersama satu cewek namun membuatnya muak. “Denger yah, guys.
Gue pacaran 6 bulan dengan Tata itu karna taruhan 3 juta kalian sekalian
mendekati kakak perempuannya walau sekedarnya, dan jugamembalas sakit hati gue.
Apalagi dengan Bian. Gue dilahirkan untuk tidak disaingi, dan dia datang untuk
menyaingi apa yang gue punya. Gue gak terima dong!” Jawabnya enteng sambil
menegak minumannya dan merokok. Yah, dia memang perokok berat. Tapi tak pernah
merokok di depan Elista mengingat gadis itu bukan pecinta cowok perokok dan
penderita asma.
“Dan kalau kalian tanya bagaimana
gue putusin dia, tenang aja,” Dia menghembuskan asap rokok ke udara. “Bukan
Dylan namanya kalau tak bisa nyelesaikan masalah, guys.”
♥
♥
Elista terdiam di depan pintu. dia
mendengar semua percakapan mereka di dalam dan menertawakan kepolosannya. Bahkan
Dylan, cowok yang disayanginya, yang dibela di depan kedua kakaknya hingga
mereka bertengkar hebat, mengumbar kejelekannya dan mengatakan berkali – kali
bahwa dia tak mencintainya. Dia berpacaran dengannya hanya karna uang 3 juta.
Ketulusannya dibayar murah.
Ketulusannya selama 6 bulan dihitung dengan uang 3 juta rupiah. Membuatnya
hatinya serasa hancur. Membuatnya merasa bodoh karna percaya dengannya.
Dadanya serasa hendak pecah saking
sakitnya. Dia memegang dadanya, menarik napas untuk menarik mundur air mata
yang siap tumpah ruah membasahi pipinya. Dia harus kuat.
Dengan gemetar, dia membuka pintu
ruangan itu dan melihat Dylan dan ketiga temannya terpaku melihatnya. Tak
menyangka.
“Gue gak menyangka, ketulusan gue,
perasaan suka gue, dibayar murah dengan harga 3 juta?! Gue gak nyangka, cowok
seganteng lo, sesempurna lo, ternyata murahan banget! sangat murahan sampai NOL
dimata gue! Cih!” Dia berteriak dan tangan yang memegang gagang pintu
diremasnya erat hingga jari – jarinya memutih. Dadanya semakin sesak ketika
Dylan, cowok yang menjadi pusat dunianya, malah tersenyum mengejek dan berdiri
dari duduknya. Tubuhnya yang tegap dan tatapan mata yang tajam serta senyum
sinisnya seketika mengintimidasi.
“Bagi gue pantas kok. Taruhan
menyangkut lo itu harus mahal. Mengingat lo cewek susah untuk gue dekatin.
Susah, karna kedua kakak lo menjadi tameng. Apalagi si Bian!” Dengan cepat, dia
mendekatinya dan mendorong pintu hingga tertutup. Lalu tubuhnya ditarik dan
dibenturkan ke belakang pintu. tangan kirinya digenggam kuat ketika gadis itu
hendak melawan. Tatapan mereka beradu. “Mau nantang gue, sayang?”
“Lo mau ngapain? Mundur dari gue!”
Dia berteriak dan menendang Dylan. Membuatnya mundur dan tersenyum licik.
“Main – main dengan gue berbahaya
loh, sayang. Dylan di depan lo bukan Dylan yang lo suka setengah mati
sekarang.” Ucapnya dan mendekati Elista. Tanpa aba – aba, dia mengurung gadis
itu dengan kedua tangannya dan langsung
menciumnya dengan kasar kemudian menariknya dalam pelukan.
Tata kaget dan berusaha mendorong
tubuhnya agar menjauh. Namun pelukann itu semakin kuat dan tubuhnya tidak
bersandar di pintu lagi. Seutuhnya dalam pelukan Dylan yang melumat habis
bibirnya tanpa ampun.
Ciuman pertamanya, ciuman yang
dijaganya selama 17 tahun, yang akan dia serahkan bersama hatinya untuk
seseorang yang dia yakini adalah pasangan hatinya dan dicintainya sepenuh hati,
hilang sudah. Kenyataan ini membuat hatinya marah karna tak terima.
Dylan merasakan pemberontakan dari
Tata yang semakin kuat. Dia menggigit
bibir bawahnya kemudian melumatnya seperti mengemut lolipop, memainkan lidahnya
ke dalam dan tangan kirinya mengelus
punggungnya yang terbuka, hingga sampai ke tengkuk. Dengan kasar dia meremasnya
hingga gadis itu kesakitan dan semakin ingin melepas diri. Namun tangan kanan
yang melingkar sangat kuat di pinggangnya, menahan semua gerakannya.
Remasannya berganti dengan pukulan
keras. Yah, Dylan memukul tengkuknya keras berulang kali hingga penglihatan
sekitarnya kabur. Perutnya mual. Dia merasakan tubuhnya mulai melemah,
pemberontakannya mulai terasa tak berarti, dan...
“Kak Bian, kak Rika, Help me.”
Bisiknya lemah sebelum akhirnya jatuh pingsan di pelukan Dylan yang tersenyum
sinis. Diikuti ketiga temannya yang melihatnya dari tadi.
“Guys,” Elista kini terkulai di
gendongannya. Pukulannya mampu membuatnya kehilangan kesadaran. Dia menatap
ketiga sahabatnya yang tersenyum sama liciknya. Dia tau pikiran mereka. Elista
terlihat menggoda di pelukannya sekarang. “Kita pesta pora malam ini.”
♥ ♥
“Tata mana, Cindy?”Entah kenapa,
hatinya merasa tak tenang sejak tadi. Dia merasa akan ada sesuatu. Tapi ntah
apa, dia tak tau. Ketika sadar adik perempuan kesayangannya hilang, dia panik
dan langsung mencari Cindy yang mengobrol dengan temannya.
“Dia sama Dylan kak. Katanya sih
pulang sama dia juga.”
“Dan lo liat Dylan?” Bian panik
sekarang. Hatinya berteriak ada sesuatu terjadi dengannya. Ketika dia menyebut
nama Dylan, hatinya seolah berteriak mengiyakan.
Cindy menggeleng lemah. Dia bisa
melihat kecemasan nyata di wajah Bian. kakak sahabatnya. “Gue gak liat, kak.”
“Oh Tuhan... adik gue ngilang
dimana?!!” Bian mendesah frustasi dan mengacak rambutnya. Dia mengambil ponsel
dan menelpon adiknya, tapi selalu ditolak. Membuatnya ingin marah pada semua
orang sekarang
Cindy ngeri melihat perubahan wajah
Bian. wajah ramahnya yang selalu ditunjukkannya sekarang berubah total menjadi
penuh emosi. Membuatnya merinding dan ingin rasanya mundur perlahan untuk
menjauh. Ketika sentuhan lembut mengenai punggungnya, dia hampir terlonjak dan
menghela napas lega ketika melihat kak Rika, tersenyum dengannya walau sorot
matanya juga panik.
“Bian...” Dia menyentuh pundak
adiknya yang matanya melotot marah itu dengan lembut. “Mending kita cari yuk.
Hati gue juga gak tenang nih.”
Tanpa kata, Bian langsung menarik
kakaknya keluar ruangan. Mencari adiknya sambil berdoa dalam hati semoga tidak
apa – apa.
♥
♥
Elista terbangun dan kaget luar biasa dengan
keadaannya sekarang. Kedua tangannya diikat terpisah di kepala ranjang dan
kedua kakinya pun bernasib sama. Dia berusaha menggerakkan, namun bukannya
terlepas, malah nyeri karna tali yang mengikat tangannya termasuk tali kasar
dan membuat pergelangannya memerah.
Dia panik ketika melihat Dylan duduk
di sudut ruangan gelap dengan ketiga temannya yang entah sejak kapan, sudah
berada di sekitarnya, mengelus tubuhnya pelan hingga membuatnya merinding.
“Kalian mau ngapain gue?! Lepassss!!
Lepasss!!” Tata berusaha berontak dengan menggerakkan tubuhnya, menarik kakinya
ketika disentuh Thomas yang menatapnya penuh nafsu, berusaha menjauhkan
wajahnya ketika dielus Ari dan menggigit bibirnya ketika cowok itu, dengan
kurang ajarnya mendekatkan kepalanya dan mengecup lehernya yang jenjang
kemudian menggigitnya hingga menimbulkan bekas.dan Jeremy, menjilat daun
telinganya dan air matanya yang menetes ke pipi. Membuatnya semakin ketakutan.
Dia semakin panik, semakin ingin
lari ketika Dylan mendekatinya dengan bertelanjang dada. dengan pelan namun
pasti, akhirnya merangkak dan menindihi tubuhnya. otaknya blank seketika. “Lo
mau ngapain gue, Dylan?! Menjauh dari tubuh gue! Menjauuuhhhh!!!!!” Elista
berteriak tepat di depan wajahnya ketika cowok itu menunduk. Dan seketika
teriakannya berubah menjadi jerit kesakitan karna rambut panjangnya yang
tergerai di sampingnya, ditarik paksa hingga dia merasa akan lepas.
“Menjauh? Di saat kami mau pesta
pora lo pengen menjauh?” Dia berbisik di telinganya sambil memainkan jari –
jarinya di rambut Elista kemudian menariknya lagi hingga gadis itu berteriak
kesakitan. Kakinya yang terikat terpisah bergerak – gerak ingin menendangnya.
“Jangan mimpi, sayang.”
Hatinya merasa hancur sekali. Dia
merasa ingin mati malam ini juga ketika cowok itu, cowok yang disukainya, yang
dibelanya, mengambil apa yang dijaganya selama ini. Mengambil yang menjadi
kehormatannya selama 15 tahun ini. Cowok itu menciumnya kasar, kemudian
menyentuh seluruh titik tubuhnya dengan penuh nafsu dan tanpa kelembutan sama
sekali. Jerit kesakitannya ketika cowok itu mengambilnya paksa, dan air mata
yang semakin membasahi pipinya bukan membuatnya iba, malah semakin beringas
membuatnya kesakitan. Seluruh tubuhnya serasa remuk seketika ketika cowok itu
dengan jahatnya menyatukan diri dengannya.
“Sakit, Dylan... Sakit...” Dia
mengerang kesakitan dan Dylan tersenyum puas. Sangat puas ketika melihat
Elista, lemas dan menangis terisak di depannya. Dia mengambil apa yang menjadi
kebanggaan gadis itu. dan dia puas sekarang.
Dendamnya terbalaskan.
“Guys,” Dia menoleh ke arah temannya
yang memperhatikannya dari bagaimana mempermainkan gadis itu sampai akhirnya
merebut apa yang dimilikinya. Tanpa sisa. “Karna gue baik hati, silahkan kalian
perlakukan dia sepuasnya. Gue akan menontonnya. Akan melihat dari sini
bagaimana kesakitannya.”
Ando
langsung menutup mulut Lista dengan menempelkan telunjuknya yang kini sudah bercampur
isak. Dia tak tahan mendengarnya. Tak tahan mendengar setiap kalimat yang
serasa merajamnya. Dan dia paham sekarang kenapa kedua kakak Lista dulu
menilainya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi Bian.
Karena
mereka gagal menjaganya.
“Elista...”
Dia mendongkakkan kepalanya. Matanya menatap langsung. Mencari reaksi atas
semua ceritanya yang dia simpan selama 3 tahun ini. Cerita yang membuatnya
selalu ketakutan setengah mati apabila mengingatnya. Cerita yang kadang
membuatnya jijik dengan dirinya sendiri karna merasa tangan – tangan mereka
yang dulu menyentuhnya, menyakitinya, berada di sekujur tubuhnya.
Ando
memeluknya erat. Sangat erat hingga dia tak bisa bernapas. Tapi pelukannya
membuat hatinya menghangat.
Ketakutannya
tak terbukti. Ando tak meninggalkannnya. Dia disini. Memeluknya. Bukan pergi
menjauh seperti kata hatinya selama ini setiap dia ingin menceritakannya.
Dia
takut Ando pergi meninggalkannya karna dia mencintainya. entah sejak kapan.
Entah sejak cowok itu mengatakan masa lalunya, entah sejak cowok itu menciumnya
saat mereka di Bali, atau jauh sebelum itu.
Yang
jelas, Dia tak ingin Ando pergi. Sesederhana itu keinginannya. Dan ketika cowok
itu mengatakan perasaannya, hendak hatinya ingin bertanya lagi tentang perasaan
Ando padanya setelah mengetahui ini,
Do
you love me?
Even with my dark side?
“Sorry.”
Bisikan itu membuatnya berkerut kening. Dia membuka mulut untuk bertanya,
tapi sebuah gerakan menyentakkan kesadarannya.
Menghempaskan
harapannya tanpa ampun ke dasar hingga hancur berkeping – keping.
Ando
melepas pelukannya, menatapnya datar, dan ketakutannya terbukti.
Don’t
run away, just promise you will stay, promise you will stay.
Dia
berdiri dan akhirnya berjalan pelan menuju pintu, kemudian menutupnya pelan
tanpa menolehnya sama sekali.
“Ando...”
Dia menangis hingga suaranya serak. Tak menyangka ditinggalkan. Dia meringkuk
di sudut kamarnya yang temaram. Menangisi nasibnya ditinggalkan.
“Kenapa
lo ninggalin gue? Bukannya lo janji tetap berada disini?”
“Everybody got’s
a dark side
Do you love me, can you love mine?
Nobody’s has picture perfect. But,
We worth it, you know we worth it
Do you love me, even with my darkside?
Do you love me, can you love mine?
Nobody’s has picture perfect. But,
We worth it, you know we worth it
Do you love me, even with my darkside?
Kelly Clarkson –
Dark Side.
♥
♥
“Oh Tuhan... gue gak bisa menerimanya.” Ando
berkata pelan sambil menyandarkan kepalanya di jok mobil. Cerita Lista
membuatnya merasa ikut hancur. saking hancurnya hingga tega meninggalkan gadis
itu tanpa memandangnya sama sekali. Tau – tau dia keluar dari kamarnya,
setengah berlari keluar rumah Lista dan menjalankan mobil dengan kecepatan gila
– gilaan.
Dia
tak bisa menerimanya. Sama sekali tak bisa.
Dia
menatap rumah yang didatanginya sekarang. Kalau ada orang yang ingin dihajarnya
saat mendengar Lista bercerita dan menangis terisak di depannya, yang kadang
ketakutan setiap melihatnya dan selalu memasang jarak, dan menjadi tatapan
penuh penilaian oleh kedua kakaknya,
Maka
dia datang pada orang yang tepat.
Ando
turun dari mobilnya dan menggulung kedua lengan bajunya sampai siku, dia
menekan bel rumah itu, dan keluarlah Karen yang bingung dengan kehadirannya.
“Ada
apa, Ndo? Tumben kesini?”
Ando
menatapnya datar dan melirik Karen. Mencari sisi kemiripannya lalu tanpa sadar
tersenyum sinis. “Kakak lo mana? Gue ada perlu.”
Karen
menatapnya curiga. Baru saja dia mengobati kakaknya yang babak belur sekujur
tubuh, tulang hidung bengkok, bibir bengkak dan memar. Dan melihat Ando yang
menatapnya dingin, entah kenapa dia merasa ada yang tak beres.
“Memangnya
ada apa dulu?”
“Gue
ada urusan, Karenina. Gue akan sangat, sangat menghargai lo minggir dan
menunjukkan dimana kamar kakak lo. ngerti?”
Entah
karna tatapan dingin Ando yang ingin mengulitinya hidup – hidup, atau suaranya
yang berubah menjadi menakutkan bagi siapapun yang mendengarnya, tanpa sadar
Karen minggir dan membiarkan Ando masuk melewatinya lalu menutup pintu.
“Dimana
kamar kakak lo? Tanyanya dan Karen menunjuk kamar sebelah kiri di lantai dua.
Dengan santai Ando menaiki lantai sambil menekukkan sepuluh jarinya.
Kalau
Bian bisa menghajarnya sampai babak belur, dia bisa membuatnya mampus dan masuk
neraka saat ini juga.
♥
♥
Lista mencoba menghubungi Ando berkali – kali.
namun ponselnya tak jua aktif. Kenyataan ini membuat hatinya hancur.
Ando
benar – benar meninggalkannya dan tak mau dirinya hadir di kehidupannya.
Lista
merebahkan tubuhnya yang lemas karna terus – terusan menangis di ranjang dan
mencoba tidur dengan air mata yang terus menetes membasahinya.
♥
♥
Ando berada di Villanya. Dia memutuskan tak
pulang kerumah untuk sementara agar bisa menenangkan diri. Ingatan bagaimana
Dylan merendahkan Lista segitu kejinya hingga membuatnya emosi dan kalap
menghajarnya kalau Karen tak datang dan melerainya.
Dia
mengambil ponselnya yang sengaja di nonaktifkan dan melirik ponsel satunya yang
hanya orang rumah saja yang tau. Dia sengaja melakukannya agar selama dia
disini, dia bisa menelaah perasaannya sendiri.
“Sorry,
Elista. Gue benar – benar harus pergi dari kehidupan lo sebelum gue
bisa menerima semuanya dan memulainya dari awal lagi.” Ucapnya pelan sambil
menutup mata. Membiarkan angin pantai menerpa wajahnya.
“Just give me a reason
Just a little bit's enough
Just a second we're not broken just bent
And we can learn to love again.”
Pink ft Nate Ruess – Just give me a reason.
♥ ♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar