Minggu, 10 November 2013

Love You Like a Love Song Part 2 - Trouble, Trouble.



          Dia mengerang dalam tidurnya ketika seseorang sedang menggelitiki telapak kakinya. Kakinya menendang kemana – mana menyuruh berhenti, tapi tak jua berhenti. Malah semakin menyiksa, dengan malas, Erza membuka mata dan melihat Putra, pelaku utama, sedang duduk di sampingnya sambil menggelitiki kakinya.
          “Gelii..” Ucapnya serak sambil menggerakkan kakinya. Putra menoleh dan tersenyum.
          “Pagii... ayo bangun.”
          Erza duduk dengan mata setengah terbuka dan menatapnya dengan pikiran kosong. “Ngapain kamu disini?”
          “Bangunin kamu dong. memangnya mau ngapain lagi? Ayooo bangun...” Dia bangkit dari duduknya dan menarik tangan Erza, namun cewek itu malah menepiskan tangannya.
          Putra bingung bagaimana membuat Erza yang terlihat seperti mayat dihidupkan kembali itu kembali ke dunia nyata seutuhnya. Dia duduk dan menatapnya. Tatapan mata sayu khas orang bangun tidur bertemu dengan tatapan tajam dan kilatan jahil terpancar di matanya. Tanpa perlawanan, Putra mendekat ke arah Erza yang hanya menatapnya kosong dan menciumnya.
          Usahanya berhasil. Erza yang kaget dengan serangan mendadak  langsung mendorong Putra yang semakin bernafsu menciumnya. Namun cowok itu memegang kedua tangannya yang berada di dadanya dan mendorong Erza pelan ke belakang hingga dia terlentang di tempat tidur dengan dirinya yang berada di atas.
          Morning kiss, beib.” Ucap Putra dengan nada menggoda sambil mengecup ujung hidungnya dan tersenyum.
         
          “Kenapa gue baru sadar kalau pacar gue ganteng banget?”

          Ketukan pelan di pintu menyadarkan mereka berdua akan posisi masing – masing. Erza mendorongnya agar menjauh dan dia bisa duduk. Putra menurut dan menjauh darinya sambil mengulurkan tangan. Menyuruh Erza yang sekarang memegang bibirnya sendiri dan mengusapnya seolah ingin menghapus ciuman pagi tadi. Membuatnya terkekeh. “Kenapa ketawa?!” Tanyanya ketus melihat pacarnya hanya tertawa melihat kekonyolannya. Siapa yang tak kaget ketika bangun tidur dengan tubuh setengah sadar, dicium segitu nafsunya oleh pacar sendiri. Entah kenapa, dia merasa salah memilih karna berpacaran dengan cowok mesum seperti dia yang tersenyum di depannya sekarang.
          “Lucu aja.” Putra mengacak rambutnya dan menundukkan badannya ke arah Erza, bermaksud hendak menciumnya, namun gagal karna mendengar pintu terbuka. “Ehm ..” Reno, sepupu Erza berdehem di depan pintu sambil menatap Putra yang menoleh dan tersenyum tanpa dosa.
          “Masbro, mending lo keluar dari kamar sepupu gue aja deh sekarang. Bukannya apa – apa, ntar kalau dibiarin, gue takutnya dia keluar dari kamar perutnya udah buncit.” Candaan menjurus itu membuat Putra semakin terbahak – bahak dan melirik Erza yang sudah merona dari atas sampai bawah saking malunya.
          “Lo ngomong apaan sih kak!” Erza mengomel dan mendorong Putra dan Reno keluar kamar, “Kalau kalian ada di sini, gue gak bisa ngapa – ngapain selain wajah merona karna digoda habis – habisan! Jadi... please, respect me. Okay?”
          “Okay,” Jawab Putra dan Reno bersamaan lalu tertawa bersamaan. Kejadian setahun yang lalu ketika Reno menghajar Putra tak membuat mereka bermusuhan. Malah semakin dekat.
          “Yaudah keluar! Ngapain masih disini?” Erza berteriak geram karna kedua cowok ganteng ini tak jua balik badan dan melangkahkan kaki keluar. Yang ada si Putra berjalan mendekatinya dengan senyum miring andalannya.
          “Duh... galak banget sih sayang.” Putra menggodanya dan mengacak rambut panjangnya dan tersenyum. Lalu menjauh ketika Erza menatapnya garang. Berusaha tak tersentuh dengan perlakuan manisnya. “Yuk, kita keluar kak. Erza udah keluar “tanduk” tuh.” Reno tertawa mendengarnya dan keluar kamar dengan Putra dan menutup pintu.

          Sepeninggal mereka berdua, Erza hanya mendengus jengkel. “Siapa juga yang keluar tanduk?! Dasar sinting!” Gerutunya sambil membereskan tempat tidur dan sesekali tersenyum ketika teringat Putra menciumnya.
          “Sudah.. sudah!” Erza menepuk pipinya sendiri sambil menggelengkan kepalanya. Berusaha mengusir pemikirannya. Setelah selesai, dia pergi mandi.


Putra Eduardo Pradipta
          Putra pulang kerumahnya setelah diusir Erza. Dia tersenyum karna dialah yang dilihat gadis itu saat membuka matanya. Dan dia ingin selalu begitu.
          “Kenapa lo, kak?” Tanya Kathy ketika melihat Putra yang baru selesai mandi dan berpakaian, tersenyum sambil memandang pekarangan belakang dengan tangan kanan memegang roti.
          “Gak papa. Gue ngayal aja beberapa tahun ke depan akan bersama dia di negara lain. Hmmm...”
          Kathy mendelik curiga, “Lo gak akan melakukan hal – hal gila kan, kak?”
          Putra tertawa. tau pertanyaan menjurus itu. “Tentu saja gak! tapi kalau Erza tak menolak sih, gue ayo aja. Hahahaaa..”
          Kathy tertawa mendengarnya. Bisa dibayangkan bukan persetujuan yang didapatnya, tapi dampratan yang diterima kakakknya ini. “Oh iya,nenek kemaren nelpon gue loh nanya lo kapan kesana. Gue jawab aja gak tau. Katanya sudah gak sabar. Hahahaaa..”
          “Gue juga gak sabar kenalinnya.” Putra tersenyum. Membayangkan ceweknya akan heboh ketika melihat tradisi keluarganya yang aneh. “Mungkin dalam minggu – minggu ini. Soalnya kami belum sibuk kuliah tuh. Jadi bisa santai...”
          “Menginap?”
          “Yap. Udah diwanti – wanti malah untuk nginap.”

          Percakapan mereka terhenti ketika ponsel Putra berbunyi. Dia mengeluarkannya dari kantong dan tersenyum ketika melihat nama yang tertera di layarnya. “Iya sayang...” Kathy memperhatikan bagaimana Putra merespon jawaban Erza di telpon dan tatapan matanya. Penuh cinta dan sayang yang meluap – luap. Erza memang cewek paling beruntung di dunia karna dicintai setengah mati oleh sepupunya. Dan menerima semua kekurangan dan kegilaannya, begitu pikirnya.
          Lamunan Kathy berhenti ketika Putra menutup telponnya dengan ucapan sayang dan memasukkannya kembali ke saku celanannya. Lalu melirik jam di tangan dan tersenyum. “Udah jam 10 pagi. Saatnya kita cabut nih.”
          “Jemput Erza kan?” Tanyanya ketika Putra mengambil 3 buah koper besar yang sudah disiapkannya, berisi pakaian – pakaiannya, dan memasukkannya ke mobilnya.
          “Gak. dia sama mama papahnya dan kak Reno. Hmmm..”
          “Ciieee.. ketemu calon menantu.” Goda Kathy membuat Putra tertawa.
          “Biasa aja tuh. Yuk...” Putra menarik Kathy untuk keluar rumah setelah pamitan dengan pembantunya. Dan menjalankan mobilnya menuju bandara.


          Seorang cewek keluar dengan anggun dari pintu kedatangan, wajahnya seperti mencari – cari sesuatu, ketika melihat papan nama bertulisan namanya, dia tersenyum dan menghampirinya, memberinya kecupan ringan di pipi kiri dan kanannya. “Hai, James.”
          “Hai juga.” Balasnya sambil tersenyum. “Putra akan datang loh hari ini, dengan pacarnya.” Lanjutnya. Membuat  wanita itu melepas kacamatanya, membuat matanya yang biru laut itu berpendar indah. Siap mempesona siapa saja yang melihatnya. Wajahnya yang khas Jerman – Perancis - Italia, dengan rambut hitam ikal terurai, kontras dengan kulitnya yang putih, lesung di kedua pipinya dan bibir tipis semakin membuatnya seperti barbie. Membelalak kaget. Lalu wajahnya seperti merenung.
          That’s a long time no see him. I really missing it until now. Like a big hole in my heart when i remembering him.”
          James yang membantu Jihan mengangkat kopernya, terdiam mendengar ucapannya. “Dia bawa pacarnya loh dan sangat sayang dengannya, namanya Erza.”
          “Erza, yah?” Jihan mangut mendengarnya. Dia pernah mendengar nama itu ketika berkunjung ke rumah Omanya dan menceritakan bagaimana cantiknya pacar Putra sekarang. Membuatnya harus menekan perasaan cemburu dalam – dalam.
          “Dan dia datang untuk mengenalkannya?”
          “Yap. Seperti kamu mendadak kemari ketika mendengar Putra balik kesini. Ada apa?”
          Jihan menggeleng. Wajah lembutnya semakin cantik ketika tersenyum. “Gak papa, aku Cuma mau ambil sesuatu kok disini. Ada yang ketinggalan.”
          “Penting?”
          “Sangat.” Ucapnya yakin. Matanya menerawang penuh tekad.


          “Dan aku akan mengambilnya kembali meskipun, harus merebutnya sekuat tenaga.”


          Putra kini berada di salah satu lounge mewah di Bandara Soekarno – Hatta bersama Erza dan keluarganya. Mereka duduk berhadapan. Membuatnya teringat ketika dia berada dalam situasi dijodohkan dan dibawa kerumah Erza. Dia tersenyum ketika mengingat kejadian konyol itu dimana mereka diputuskan sepihak oleh mamanya untuk tinggal serumah. Dan sampai saat ini dia tak menyesali keputusan itu.
          Mendadak ponselnya bergetar tanda email masuk. Dia membuka dan membacanya.
          By : James_Palleazzo@yahoo.co.id
         
          To : Putra_Pradipta@yahoo.co.id
         
          Subject : At airport.

          Jihan balik dari Amerika. Kangen sama lo kayaknya. Waw...  entah kenapa, feeling gue berkata akan ada badai Katrina versi Jerman menerjang rumah nanti. Gue saranin lo bikin rumah anti badai deh. karna menurut perkiraan cuaca, akan deras banget dan berpotensi bikin roboh.“
Email tersebut entah kenapa membuat Putra terdiam. Jihan kembali. well, apa yang perlu dikhawatirkan dari sepupu jauhnya itu balik? Bukankah bagus karna keluarga mereka lengkap?
          Putra memutuskan membalas email James dengan penuh canda.
         
          For : Putra_Pradipta@yahoo.co.id.
          To : James_Palleazzo@yahoo.co.id

          Subject : soo what?
         
          Gue udah buat rumah anti badai Katrina sampai Tsunami, James. Jadi tenang saja. Gak akan roboh kok. palingan retak doang. Thanks sudah kasih peringatan dini. Mending lo amanin si Luhde aja deh. Bagaiman kabar Adelicia? Anak lo?” Putra membaca lagi dan menekan tombol send. Adelicia Lenn Paleazzo, anak James dan Luhde, wanita asli Bali, yang pertama dan berusia 10 tahun. Mungkin, kalau dia menikah dengan Erza, Adel, gadis cantik itu akan menjadi tante yang baik bagi anak –anaknya kelak.
          “Kenapa?” Kathy memperhatikan Putra dan cowok itu nyengir. “Gak papa. James ngirim gue email kalau sepupu kita ada yang datang setelah 6 tahun berada di Amerika.”
          “Siapa?”
          “Jihan.” Ucapan Putra membuat Kathy terdiam dan melirik Erza yang masih berbicara dengan orang tuanya.
          well,” Kathy mengangkat bahu. “Bagus deh. gue lama gak ketemu dia. Ntar sampaikan salam gue sama dia yah.”
          “Beres.” Putra mengambil ponselnya lagi ketika ada email masuk. Dia mengira James membalasnya. Jadi semangat untuk membukanya. Namun, perkiraannya salah.

          By : Jihan_PalleazzoVexia@rocketmail.co.id
          To : Putra_Pradipta@yahoo.co.id

          Subject : Hy..

          Are you really going back home now? If your answer is yes, welcome to Palleazzo Family, Putra. I’ll be waiting you in home sweet home. Especially, With your beauty girlfriend.
J

          PS : Gak sabar lihat pacar kamu yang kata Oma, sangat cantik. Bahkan James dan Yuri, membahasnya sekarang. Mengabaikan pacar dan istri mereka. Memang konyol yah? :D
         
          Putra terdiam membacanya dan tersenyum geli. Dia memutuskan untuk membalas untuk sekedar basa – basi, namun suara announcer tanda pesawat penerbangan mereka yang pertama, Malaysia, terdengar nyaring. membuatnya memasukkan ponsel kembali ke kantong dan melirik Erza yang rupanya daritadi memperhatikannya dengan tatapan ingin tahu.
          “Sudah siap?” Tanya Putra dan Erza mengangguk

          “Well,” Mario, Papah Erza, berdiri dan menyalaminya. “Jaga anak om baik – baik yah.”
          Meizsa, mama Erza, wanita Turki yang cantik ini sedang berdiri di depannya, sahabat mamanya, yang membuatnya bersyukur setiap hari karna melahirkan Erza dan membuat perjanjian konyol saat SMA dengan mamanya yang berujung dia bisa bersatu dengannya, “Jaga anak tante dan om yah. sekalian salam dengan tante Jennifer.” Dan mencium kedua pipi Putra. Membuatnya dengan senang hati menyambutnya.
          “Dengan senang hati, Om, Tante.” Putra tersenyum dan melirik Reno, sepupu Erza, “Well, jaga sepupu gue baik – baik yah. awas kalau lo buat dia nangis lagi. Gue samperin lo ke Belanda sana.” Ancam Reno sambil memeluk dan menepuk punggungnya. Putra nyengir dibuatnya.
          “Gak. Gue gak akan bikin dia nangis kok.” Putra menjawab sambil melirik Erza yang menatapnya daritadi. Saking dekatnya, mereka bisa merasakan emosi satu sama lain.
          Kathy memeluk keduanya dengan erat. “Gue bulan depan akan nyusul lo, kak Erza, kak Putra. Tunggu aja. Sama Tasya juga pastinya. Dia kan udah wisuda dari UGM, jadi mau lanjutin disana aja.” Jelasnya. Dan Erza terdiam. Entah kenapa, nama kampus itu mengingatkannya pada Nanda. Setelah dia memutuskan dengan Putra, cowok itu perlahan namun pasti, menghilang. dan dia ingin mencari sekedar untuk berteman, tapi hatinya mengatakan tak usah. Takut kalau perbuatannya dianggap memberi harapan.
          Putra sadar akan keterdiaman Erza. Dia sebenarnya ingin mengatakan soal Nanda mengirim e-mail malam tadi. Namun, entah kenapa dia memilih lebih baik nanti saja dia menceritakannya. “Yuk...” Putra merangkul Erza, menyadarkannya dari lamunan. Membuatnya tersenyum dan menggenggam tangan yang mengantung di pundaknya dan berjalan menuju pintu keberangkatan dengan tas ransel masing – masing menempel di pundak seperti cangkang kura – kura. Sedangkan koper mereka sudah masuk bagasi pesawat.
          “Dadah...” Mereka saling melambaikan tangan sebelum masuk dan keluarga Erza dan Kathy membalasnya. Tersenyum melihat kemesraan mereka yang sangat menyejukkan. Apalagi bagi mereka yang tau bagaimana susahnya pasangan ini bersatu.


          Nanda terduduk di sudut taman kampusnya. Balasan e-mail Erza masih terbayang di wajahnya. Dia merasa tolol kenapa mengirim pesan seperti itu padanya sedangkan hubungan mereka sendiri renggang karna dia menjauh darinya perlahan – lahan hingga hilang sama sekali.
          “Bodoh... bodoh!” Nanda merutuk dirinya sendiri sambil memukul pelan kepalanya dan mendongkakkanya ke atas. Melihat langit biru cerah dengan gumpalan awan putih yang menutup matahari agar tak bersinar garang.
          “Erza...” Dia mengucapkannya pelan sambil menutup mata. Merasakan bagaimana perasaannya berdesir halus saat mengucap nama itu. Indah sesaat, namun menyakitkannya.
         
          “Sampai kapan gue bisa nerima kalau lo gak milih gue?”



          Putra mengelus kepala Erza yang tertidur di sampingnya. Erza memang punya kebiasaan meminum obat tidur setiap pergi dengan naik pesawat karna ketakutannya. Dia pernah berkata lebih baik tidur dengan mimpi indah daripada memicingkan mata namun membiarkan kepala cantiknya memutar adegan demi adegan kecelakaan tragis tentang pesawat jatuh. Dia hanya tertawa mendengar alasan pacarnya itu. Sukses membuat Erza manyun dan dia buru – buru merayunya agar senyum lagi.
          Helaan napasnya yang tenang, membuyarkan lamunannya. Dia melirik jam tangan yang sekarang menunjukkan pukul 12.00 tepat. Sebentar lagi mereka akan sampai di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia, setelah itu menunggu sekitar lima jam untuk transit ke Belanda, dan pukul 17.00 mereka akan melakukan perjalanan jauh selama 13 jam. Kalau semuanya tepat pada waktunya, mereka akan tiba esok hari pukul 05.00 WIB, dan jam 09.00 malam di waktu Belanda. Mengingat selisih waktu antara Indonesia – Belanda selama 5 jam lebih lambat. Sukses membuat pacarnya memasang ekspresi bingung seketika karna pola tidurnya yang terjadwal selama bertahun – tahun, akan berubah dalam hitungan jam dari sekarang.
         
          Putra melirik Erza sekali lagi. Dia tersenyum membayangkan pacarnya mau, tak mau akan kerepotan dan membutuhkannya. Mengingat itu, senyumnya mengembang.
          “Gak sabar liat kamu kerepotan besok.” Bisiknya lembut sambil mengecup kening Erza yang pulas tertidur dan memegang tangan kanannya sambil mengambil koran dari dalam tasnya beserta kacamata dan membacanya.


          “Sayang... bangun,” Putra mengguncang tubuh Erza pelan ketika pesawat mendarat di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia. Erza yang rupanya tidur – tidur ayam, membuka matanya dan melirik sekelilingnya. Dia melihat semua penumpang mulai turun satu – persatu. Lalu melirik beberapa Pramugari berdiri di depan pintu pesawat sambil mengucapkan terima kasih dan seorang Pramugara yang daritadi meliriknya saat dia masuk ke dalam pesawat, tersenyum manis padanya. Membuat Erza spontan membalasnya dengan tak kalah manis jua. Wajahnya yang enak dipandang, aroma parfumnya yang lembut saat dia lewat di depannya tadi dan langkahnya yang tegap membuatnya betah memandang lama – lama.
          “Ehm...” Deheman Putra cukup keras di telinga kanannya membuat Erza tersadar dari lamunan. Dia baru ingat kalau sekarang Putra disampingnya, dan akan selalu disampingnya entah sampai kapan. Ketika dia menoleh, tatapan pacarnya terlihat menajam ke arah Pramugara yang diliriknya itu. Membuatnya nyengir.
          “Ayooo..” Erza berdiri dan memanggul ranselnya tanpa wajah dosa. Kadang, membuat Putra cemburu adalah hobi yang asyik untuknya melihat cowok itu posesif. Namun untungnya tak mengekang.
          Putra ikut berdiri dan tau – tau merangkul pinggangnya dengan erat dan posesif ketika melewati Pramugara yang meliriknya tadi. Wajah cowok itu terlihat kecewa dengan ulah Putra yang terang – terangan mengatakan “Dia pacar gue, Boy.” Begitu juga dengan salah satu Pramugari yang menatapnya tanpa ekspresi dan tersenyum sangat manis ketika Putra lewat di depannya dan membalas senyumnya. Erza sangat yakin, pramugari itu akan menatap mereka sampai menginjak tanah dan masuk dalam ruangan Bandar Udara.
          “Kasian loh mereka yang mendadak lesu liat kamu udah punya pacar.” Erza menggodanya ketika mereka tiba di eskalator super panjang. Kiri kanan banyak boutiqe baju – baju ternama.
          Putra memindahkan tangannya dari di pinggang menjadi merangkul pundaknya, dia menoleh dan kaget tau – tau wajah Putra dekat dengannya dan mengecup pipinya. “Hmmm... aku lebih kasian lagi lihat Pramugara itu memandang lesu kalau cewek cantik yang dia lirik selama dua jam di pesawat, ternyata sudah punya pacar yang duduk disampingnya. Kayaknya aku memang harus bikin “tanda” deh biar cowok – cowok tau kalau kamu itu pacar aku,”
          “Tanda?” Erza melirik ganas ke arah Putra yang mulai senyum – senyum tak wajar di depannya. “Maksudnya?”
          “Adaa deh..” Putra mengedipkan matanya dan tertawa melihatnya manyun. “Jalan yuk? Kita disini selama 5 jam sebelum berangkat ke Belanda.”
          “Serius?!” Erza melongo dibuatnya. 5 jam di Bandara? rekor terlama yang pernah dibuatnya.
          “Kan aku dah bilang sama kamu kalau kita akan terlantar di Malaysia selama 5 jam sebelum terbang ke Belanda yang memakan waktu 13 jam.”
          “Terus kalau kita jalan, koper – koper gimana nasibnya?” Erza berkata begitu sambil berdiri di mesin tempat masing – masing koper berjejer menunggu diambil, namun tak ada tanda – tanda kopernya ada. Membuat Erza panik.
          “Koper kita mana, Put?”
          “Udah terbang ke Belanda, Za.”
                  
          “HAH?!” Erza berteriak kaget dan tak peduli beberapa pasang mata melirik ke arah mereka. Terutama beberapa wanita yang mencuri pandang terpesona ke arah Putra yang kayaknya menikmati ekspresi keterkejutannya sekarang. “Serius kamu?!”
          “Iyaa, Erza. Aku sudah mengurusnya lama dan koper itu akan langsung diantar ke apartemen kita masing – masing. Jadi kita Cuma bawa yang ada di belakang punggung ini.” Putra menunjuk ransel Erza yang dia tau berisi baju – baju hangat yang akan dikenakannya saat tiba di Belanda nanti, Paspor, Visa, dan beberapa hal yang penting lainnya.
          “Kenapa kamu gak bilang sama aku?!!!” Erza berbisik dengan suara tajam. Terkadang, Putra menjadi sangat bossy dan menyebalkan di matanya. Namun entah kenapa juga, dia tak bisa berpaling.
          “Kejutan aja, sayang. Ayolah... jangan ngambek. Memangnya di koper kamu ada apa aja?”
          “Gak ada apa – apa sih. Cumaaa.. kamu memutuskan seenaknya itu yang aku gak suka. Jadi merasa terima beres doang sedangkan kamu sibuk dengan semuanya.”
          “Aku Cuma gak mau ganggu kesibukan kamu tentang mengurus mundurnya keberangkatan kamu karna aku. Jadi aku ikut mengurus semuanya biar kamu gak stres sendiri.”
          Erza menghela napas. Ucapan Putra memang ada benarnya juga dengan cara yang mengejutkan. “Iya... aku mengerti kok. tapi lain kali, kamu bilang sama aku yah apa yang kamu rencanain, jadi aku gak panik lagi kayak gini.”
          “Iyaaa.. sayang.” Putra mendekatkan diri padanya, menarik Erza ke samping dan mencium keningnya. “Jalan yuk?”
          “Kemana? Aku gak pernah kesini sebelumnya.”
          Putra memikirkan kemana mereka akan menghabiskan waktu selama 5 jam disini sambil berjalan mengelilingi Bandara yang lebih mirip Mall. Ketika kakinya terhenti di lounge. Dia menoleh Erza yang rupanya sepikiran dengannya. “Bagaimana kalau kita nunggu disini aja?”
          “Boleh. Tapi sebelum itu,” Erza menunjuk toko buku yang daritadi menarik hatinya. Dia lebih suka menghabiskan waktu berjam – jam untuk membaca buku daripada memainkan smartphone. Bikin baterai ponsel cepat habis. Begitu alasannya. “Kita beli buku yuk? Takutnya buku yang di dalam tas ku ini gak cukup untuk 13 jam nanti di dalam pesawat. Aku gak mungkin menghabiskan waktu selama itu untuk tidur kan?”
          Putra tersenyum mendengarnya. Mengingat bacaan dia juga hampir habis. “Ayo sayang.” Dia merangkul Erza untuk masuk ke toko buku. Mengabaikan beberapa pasang mata wanita meliriknya daritadi.


Erza Noor Assifa
          Sudah hampir 3  jam dia berada di bandara. setelah asyik memasuki toko buku dan membeli buku sebanyak yang diinginkan, mereka berpisah karna Erza ingin berkeliling bandara. sedangkan Putra, lebih memilih diam di toko buku, membaca buku – buku yang disukanya dan membelinya. Kalau urusan buku, Putra lebih gila darinya. Hampir semua bacaan pasti dilahapnya. Tanpa kecuali hingga kadang dia bertanya, dimakan apa pacarnya waktu kecil ini hingga segitu cinta dengan buku setebal kamus. Mengingat cowok – cowok sekarang lebih suka main game online daripada berlama – lama di toko buku.

          Lelah keliling Bandara yang lebih mirip Mall, Erza masuk di cafe berbentuk minimalis namun nyaman itu dan duduk di ujung setelah memesan minumannya. Dia mengambil ponsel dan mengirim sms untuk Putra yang sekarang entah berada dimana kalau dia ada di salah satu cafee dan menyebutkan lokasi duduknya. Selesai, dia memasukkan ponsel dalam tas, mengambil buku yang dibelinya dan merobek plastik yang membungkusnya, dan terhanyut dalam ceritanya
          “Hai sayang.” Putra duduk di depannya dan memanggil waiters yang sigap menghampiri dan memberi senyuman termanis yang dia punya. Putra asyik membaca buku menu yang diberikan padanya. “Gak pesan makan, Za?”
          Erza menutup buku setebal kamus, melepas kacamata hitamnya karna tempat dia duduk sekarang sangat menyilaukan mata, dan menatap Putra, “Sekarang jam berapa?” Erza melirik jam di tangannya dan menghitung. “Kalau disini jam 15.30 sore, berarti di Belanda jam...” Dia mulai menghitung.
          “Jam 11.30 siang.” Jawab Putra dengan cepat. Dan Erza mengangguk. “Udah jam makan siang, yaudah aku pesan deh.” Erza mengambil buku menu dari tangan Putra dan memesan makanannya.
          “Kamu?” Tanyanya dan Putra menggeleng. “Nanti aja.”
          “Yaudah.” Erza mengembalikan buku menu kepada waiters yang kecolongan melirik pacarnya. Namun Erza tak peduli. Udah biasa.
         
          “Sejak kapan kamu cocokin jam Belanda dengan jam di Indonesia?” Tanya Putra ketika mereka selesai memesan menu.
          “Sekitar dua minggu yang lalu aku mengubah semuanya. Dari jam tidur, sampai jam makan dan sekarang, aku mengatur porsi makan untuk tidak mengkonsumsi yang berat – berat agar tiba disana tidak kena jetlag.   Sengaja sih kayak gitu supaya nanti tiba disana, tubuhku gak kaget lagi menerima perubahan drastis itu. Palingan, aku belum bisa terima perubahan musim aja.” Erza menjelaskan panjang lebar dan dia tersenyum mendengarnya.
          “Iya sih.” Putra menyahut dan mereka mulai membahas apa yang akan dilakukannya disana nanti dan Putra menjelaskan semuanya. Sampai makan yang mereka pesan tiba dan mereka berhenti untuk memakannya. Walau sesekali diselingi obrolan.


Jihan Vexia.
          Jihan tiba dirumah sekarang. Rumah neneknya yang asri, mempunyai lahan yang sangat luas dan takkan pernah dia temukan di Manhattan, tempat dia tinggal sekarang sebelum memutuskan kembali ke Jerman. Kembali ke rumah neneknya dan bernostalgia tentang masa kecilnya. Seperti yang dilakukannya sekarang
          Jihan memandang foto – foto mereka semasa kecil dan menyusuri mereka satu - persatu sambil tersenyum. Neneknya mempunyai hobi mengkoleksi semua foto cucunya, James, sebagai cucu tertua yang sudah menikah dengan Luhde, wanita asli Bali dan memberikannya buyut dan keponakan pertama baginya, Adelicia Lenn Palleazzo,  Yuri Hino, Cucu kedua neneknya yang blasteran Jepang – Jerman karna kakak ibunya, Annalise menikah dengan orang Jepang tulen. Dan Jihan bisa melihat bahwa sepupunya itu memang seperti orang Jepang tulen namun tak melupakan khas Jerman yang cenderung mempunyai rahang tegas dan tatapan mata yang tajam.
          Gerakan kakinya terhenti ketika melihat seorang bocah cilik, dengan mata hijaunya yang terang, senyum jahil, sedang diapit tiga cewek yang tak kalah cantik. Dia mengambil pigura itu dan tersenyum. Cewek sebelah kiri yang dirangkul cowok itu adalah dirinya, dan yang merangkulnya sekarang itu adalah Putra, cowok yang membuatnya rela meninggalkan semuanya di Manhattan dan memutuskan kembali kesini, untuk mengambil apa yang dimilikinya dulu, dan sebelah kanannya adalah Anastasia yang selisih umur dengannya hanya dua tahun dan yang terakhir adalah Katherine. Cucu neneknya yang paling bungsu.
          Lama Jihan memandangi foto Putra yang masih kecil dan gigi ompong di depan itu. Wajahnya terlihat merenung dan tersenyum. Semua memori indah yang dulu pernah dia lakukan bersamanya, seolah keluar dan menyerangnya tanpa ampun. Membuat hatinya sakit karna tak tahan menanggung semuanya.
          Saking asyiknya, tak sadar kalau neneknya yang masih sehat dan kuat berjalan tanpa bantuan tongkat walau umurnya 78 tahun, menepuk pundaknya pelan hingga dia terkesiap kaget dan tersenyum.
          Hello, Grandma.” Sapanya dan neneknya tersenyum melihat foto yang dipegangnya sekarang.
          “Hai juga, sayang. Oma sudah mencari kamu daritadi. Bagaimana kalau kamu bantu Oma untuk menyalakan api unggun di perapian?” Omanya bertanya dalam bahasa Jerman dan melirik foto Putra yang lain dan nyengir. “He is very handsome now, isn’t it? I can’t wait to see a his girlfriend. She’s beautiful with a half turkish – Indonesian in her face. I always dreamed, someday he will marry with you, Jihan. Karna kamu masih berhubungan dengan kami walau jaraknya sangat jauh. Aku pikir jika kalian menikah, akhirnya jarak keluarga kamu dengan Oma itu bisa hilang.”
          Jihan tersenyum tanpa menjawab dan meletakkan foto itu dengan sangat hati – hati. Seolah takut retak dan berjalan bersama Omanya sambil merangkul pundaknya. seperti yang sering dia lakukan waktu masih kecil.


          Perjalanan memakan waktu 13 jam membuat Erza memilih untuk tidur pulas dalam pesawat setelah menegak obat tidur dosis kecil. Meninggalkan Putra yang sedari tadi asyik membaca buku.
          Putra menutup bukunya dan membuka laptopnya sudah dipasang wifi dan  membuka pesan emailnya. Entahlah, email Jihan, sepupu yang sangat jauh jaraknya itu entah kenapa menghubunginya kembali. padahal mereka sudah lost contact beberapa tahun yang lalu. Sebelum dia memutuskan pergi ke Indonesia dan menemukan Erza.
         
          Jihan_Vexia : “ Hy, Pradipta’s boy. What are you doing now?” Sebuah pesan chat membuatnya kaget. Dan memutuskan untuk membalasnya.
          Putra_Pradipta : “Hy too, Vexia’s girl. How about thinking of you? :D” Putra memberi icon tertawa terbahak – bahak dan mengirim tombol send. Entah kenapa, memanggil Jihan dengan nama belakang keluarganya itu seperti mengingatkannya pada masa lalu waktu masih kecil. Mengingat keluarga Putra adalah keluarga multibangsa.
          Dan balasan Jihan membuatnya tertawa lagi dan akhirnya mereka saling balas – membalas. Saling bertanya kabar dan cerita tentang kesibukan mereka. Tanpa mengungkit masa lalu yang pernah terjalin hampir separuh umurnya sebelum dia bersama Erza. Dan chatting dengan Jihan membuatnya tak suntuk lagi berada di dalam pesawat selama beberapa jam lagi sebelum mendarat ke Bandar Udara Shippol, Belanda. Dan Putra sempat melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul 06.00 pagi di Jakarta.



          Di seberang sana, Jihan tersenyum manis di depan laptopnya. Dia membalas pesan Putra dengan icon wajah tersipu. Seolah malu. padahal dalam hati dia merasa sangat bahagia dan  hangat melingkupinya.
          Balasan chat Putra membuyarkan lamunannnya. Dengan wajah sumringah dia membalasnya.
          Putra_Pradipta : How our Grandma, Jihan?”
          Jihan _Vexia : Yap. She’s alright and still walking and bicyling. Waw. Our grandma is superwoman. Hahaha.. Where’s your girl?” Kalimat terakhir itu membuat Jihan terdiam. Ragu antara ingin menghapusnya dan mengganti “How are you now? Happy with her?” namun, merasa mustahil untuk diucapkan, dengan berat hati dia membuang harapan itu jauh – jauh.
          Putra_Pradipta : She’s still sleeping beauty in my left – side. You know? I Really happy and thanks for God everyday cause i meet her and fallin in love. Be the one for her is the best gifted for me. Jihan. Hi, How about you? Do you have a boyfriend?”  Balasan itu muncul. Dan jawabannya membuatnya seperti tertusuk duri tak terlihat. Namun berdarah.
          “No, I haven’t. I just have a sweet memories when i was your first girlfriend before you went in Indonesian and meet her. Unfortune, i still imagine that. Be your girl when i was lonely in the night.” Ingin rasanya dia membalas seperti itu. Namun tak ingin menghancurkan suasana yang sudah nyaman untuknya. Dengan sangat terpaksa dia membuang jauh – jauh pemikiran itu.
          Jihan_Vexia : No. Be a single is the best things for me. Why you asking me like that? Do you want to join be my boy again?”
          Icon balasan Putra yang tersipu – sipu membuatnya merasa seperti diberi harapan tinggi. Namun harapan itu yang sempat melambung itu seolah jatuh keras ke Bumi dan hancur berkeping – keping.
          Putra_ Pradipta : sorry to say, Beauty, but i happy for what i have now. I love Erza as i love myself. She’s like my half – heart which i find it. She’s my soulmate.” Balasan Putra penuh pemujaan membuat Jihan menutup matanya. Dia merasakan sakit luar biasa di dalam hatinya. Mencintai Putra sampai saat ini, dan terpaksa putus karna jarak antara Jerman – Indonesia sangat jauh, namun tetap saja dia selalu merasa, Putra adalah pasangan hatinya sampai saat ini. Walau mereka tak pernah berhubungan lagi setelah perpisahan itu. Hatinya tak pernah berpaling. Tapi, kabar Putra bahwa dia akan pulang ke Jerman dengan membawa pacarnya, membuatnya mengambil keputusan paling nekat seumur hidup untuk menyusul ke Jerman, meninggalkan kuliahnya nya di Harvard dan kariernya sebagai model Internasional yang tengah menanjak untuk bertemu pasangan hatinya lagi, dan merebutnya.
          Putra_Pradipta: Hy, Jihan, Where are you?” Balasan chat Putra membuyarkan lamunannya. Tak terasa air matanya menetes ketika teringat masa – masa dia masih berpacaran dengannya. Walau hanya sebentar saja. Tapi... he is my first love.
          Dia memutuskan untuk membalasnya. Pesan terakhir sebelum melarikan diri ke tempat tidur. Mengobati hatinya yang terluka.
          Jihan_Vexia : “sorry. But, i’d got a jetlag and must to sleep earlier before our dearest grandma will scream me. :D see you, Putra.”  Dia langsung menekan tombol send dan log-out dari akunnya.

          Jihan berjalan lesu ke tempat tidurnya yang luas. Dia duduk di tepi dan membiarkan air matanya membasahi pipinya. Hatinya terluka tanpa sadar.

Flashback

          “Kamu ingin bagaimana, Putra?” Tanyanya dengan suara berusaha tegar, tatapan mata datar agar cowok di depannya, yang dicintainya sejak kecil, tak tau bahwa hatinya hancur berkeping – keping. Dan serpihannya melukai dirinya.
          Putra, terdiam di depan rumah. Dia pamit pada Jihan, pacar pertama, cinta pertamanya, sepupu jauhnya sendiri yang dipacarinya sejak kelas 2 SMP. Hari ini, dia ingin memutuskan hubungan istimewa itu karna dia akan pergi mengikuti tugas papahnya di Bandung, Indonesia dan bersekolah SMA di sana.

          “Long distance relationship?” Usulan cewek cantik di depannya ini entah kenapa membuat Putra menggeleng. “Aku, gak yakin.”

          “Jadi kita ... Putus?” Jihan berani mendongkakkan wajahnya dan menatap dalam Putra. Mencari setitik pembenaran bahwa cowok di depannya ini, tak menyukai keputusan untuk berpisah dengannya.
          “Iya, Jihan. Aku gak sanggup kita berjauhan. Aku tak tau kamu bagaimana, dan begitu pula aku. Maaf.” Putra menghela napas dan memasukkan tangan kirinya di saku celana, seolah mengambil sesuatu, kemudian menarik lembut tangan Jihan dan melingkarkan benda itu di pergelangan tangannya.

          “Faith, destiny.” Itulah tulisan di gelang yang melingkar pergelangan tangan Jihan sekarang. Cewek itu menatapnya nanar. Dan memeluk Putra erat dengan air mata yang membasahi pipinya deras.
          “I’ll promise, Putra. Waiting you come back and.. we’ll be together again. I swear for the God, for the blue skies, i’ll never let you go.” Bisiknya dan cowok itu tak menjawab. Namun dia yakin, walau tak terucap, namun dia sangat percaya kalau Putra mengucapkan janjinya itu di dalam hatinya yang paling dalam.”

          *Flashback Off*

“Tell me her name i want to hear
who broke my faith in all these years
who’s there with you all night
when i’m here all alone

Remembering when i was your own.”

*Lara Fabian  : Broken Vow.



          “Dingin...” Erza mengerang dalam tidurnya dan membuka mata. Entah kenapa, suhu terasa sangat dingin sekali. Menusuk tulang. Erza pun menoleh ke samping dan melihat Putra tertidur sambil menggenggam tangannya erat. Entah kenapa membuatnya tersenyum.
          Erza melepas genggaman tangannya dan berdiri lalu berjalan pelan untuk mengambil tas ransel yang berisi pakaian musim dinginnya. Dia merasa cuaca dingin yang dirasakannya sekarang karna mereka hampir tiba di Belanda.

          Asyik – asyiknya Erza memasang perlengkapannya, dia mendengar bunyi announcer bahwa jam sekang adalah 10 malam dan sebentar lagi akan mendarat di Bandar Udara Schipol, Belanda, yang berarti di Bandung sekitar jam 5 pagi. Dia mendadak sulit menelan ludah. Jauh dari semuanya membuatnya ingin minta dipulangkan saja.
          Erza bergegas kembali ke kursinya, memasang seat – belt, dan mengguncang Putra pelan. “Sayang, bangun. Udah mau tiba tuh.” Ucapnya lembut sambil berusaha membangunkannya. Usahanya sukses, Putra terbangun dan mengucek – ucek matanya.
          “Sudah tiba?” Tanya Putra dalam kondisi sadar sepenuhnya. Dan Erza mengangguk.
          Finally.” Putra tersenyum dan menatap Erza lalu mengecup bibirnya. “Let me say, Welcome to Netherlands and Pradipta’s also Palleazzo family, my dear.” Ucapnya pelan ketika dirasakan pesawat mulai menginjak tanah di landasan Pacu Bandar Udara Internasional, Schipol, Belanda.


          Putra dan Erza akhirnya keluar dari Bandara sambil membawa ransel karna koper – koper mereka sudah berada di Apartemen masing – masing. Entah dengan cara apa Putra mengurusnya hingga jadi seperti ini.
          “Bagaimana?” Tanya Putra ketika melihat Erza bejalan di belakangnya sambil melipat kedua tangan di dadanya.
          “Dingin...” Dia tak bohong. Suhu minus 10 derajat di musim dingin membuatnya seperti dimasukkan secara paksa dalam freezer berukuran jumbo. Seumur hidup berurusan dengan dua musim, membuat tubuhnya kaget ketika disuruh berhadapan dengan musim dingin yang menggigit tulang. Bahkan sweater 3 lapis super tebal masih bisa menembus kulitnya.
          Putra langsung menarik Erza ke pelukannya sambil menuntunnya berjalan ke arah depan tempat beberapa taksi sering ada untuk mengantar pendatang ke tempat tujuan. Dan ketika melihat taksi menganggur, Putra langsung memanggilnya dan berbicara dengan bahasa Belanda yang sangat fasih, membuat supir taksi itu segan untuk menipu dan mempersilahkannya masuk.
          “Are you oke, Mam?” Tanya supir itu dengan bahasa inggris terbata. Dia berbicara begitu karna mendengar Erza berdiskusi dengan cowok disampingnya, menggunakan bahasa Inggris.
          Erza menoleh ke arah supir itu dan tersenyum. “I’m Okay, sir. Thanks.”

          Supir taksi itu mengangguk dan membukakan Erza pintu untuk masuk, disusul Putra masuk ke dalam lalu  menutup pintu taksi dan memeluk Erza seerat mungkin agar dia tak kedinginan sepanjang perjalanan menuju apartemen yang jaraknya lumayan jauh. Sambil berbicara pada supir taksi tentang perkembangan kota kelahiran papahnya ini.


         
          Erza terbangun di sebuah kamar yang sangat asing baginya. Dia membuka mata dan melihat di sekelilingnya. Kamar nuansa putih dengan bunga indah di meja belajarnya yang diletakkan dalam vas kaca, koper bersusun di depan lemarinya, ransel yang tergeletak di atas kursi. Merasa masih asing, dia duduk tegak di atas tempat tidur. Berusaha menyusun memori malam tadi.

          Seingatnya, setelah mereka naik taksi menuju apartemen dimana mereka tinggal, dia tertidur di pelukan Putra yang hangat dan dia merasa juga, cowok itu menggendongnya seperti dulu ke kamarnya dan menidurkannya lembur di atas kasur, mencium keningnya lama, lalu pergi entah kemana.

          Suara bel di depan pintu membuyarkan lamunan. Dengan malas dan kedinginan, dia bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu.
          “Hai sayang. Gimana tidurnya?” Putra masuk kedalam sambil melihat Erza yang baru bangun dan berjalan sempoyongan ke dapur.  Dia tersenyum geli mengingat sepanjang jalan menggendong cewek itu masuk kamar, dia mendengar Erza mengigau dan memanggil namanya berkali – kali. hatinya hangat seketika.
          “Aku seperti beruang yang kerjanya tidur mulu sepanjang musim dingin.” Keluh Erza yang sekarang membawa dua gelas cangkir berisi coklat panas dan menyodorkan ke Putra untuk diminumnya.
          “wajar kali sayang. Hari pertama akan begitu. Nanti akan terbiasa kok. bagaimana, kalau kita jalan sekarang?”
          Erza yang asyik menyesap coklat panasnya, menatap Putra yang asyik memperhatikannya dan dia meletakkan gelas di depannya. “Kemana?”
          “Ke tempat nenek aku di jerman. Tenang... dekat aja kok. sekitar 45 menit kalau kita naik kereta api atau mobil. Bagaimana?”
          Erza mendadak susah menelan ludah. “Tapi aku belum mandi, sayang.”
          “Gak papa kok.” Jawab Putra enteng. Membuat Erza kaget. “Musim dingin memang wajar kalau mandi 2 hari sekali mengingat udara dinginnya  menggigit. Tapi, kalau kamu merasa gak enak, mandi aja. Aku tunggu di lobby.”

          “Apa aja yang aku bawa saat kita berangkat nanti? Gak nginap kan?”
          Putra tersenyum jahil dan menatap Erza dengan tatapan goda. “Apa aja yang menurut kamu penting, sayang. Nenek ingin kita menginap disana. Gak tau juga kenapa.”
          “Nginap?!” Erza melotot sekarang. Berita pertama di hari pertama dia berada di Belanda membuatnya shock berat.
          “Iya. Beliau ingin kita menginap. Itu aja kok.”
          “Ampun deh...” Erza menepuk keningnya sendiri dan menatap Putra. “Iyaa... iya... aku akan menyiapkan semuanya untuk kita di Jerman nanti, dan kamu, aku mohon silahkan keluar. Karna aku ingin siap – siap.” Dia berdiri dan Putra mengikuti langkahnya yang menuju pintu. Senyum tak hilang dari wajahnya.
          “Kenapa senyum – senyum?! Ada yang kamu sembunyiin dari aku yah dibalik kita menginap di Jerman?” Tuntut Erza ketika senyum pacarnya semakin lebar.
          “Gak ada kok. udah... kamu dandan yang cantik yah, sayang. Aku akan siap – siap dan menunggumu di lobby.” Putra mengecup keningnya sayang dan berjalan keluar kamar Erza.

          Setelah mengusir pacarnya keluar. Erza langsung berlari masuk kamar, menyiapkan semuanya sedetail – detailnya dan bergegas mandi dengan air hangat.


          “Jihan...” Panggil James sambil membawa ponselnya ketika melihat Jihan, asyik melukis di danau belakang rumah neneknya. Tempat favorit sepupu jauhnya yang satu itu.
          Jihan menoleh ke arah James, sepupunya yang selisih 8 tahun darinya dan Putra, sudah menikah dan punya anak. Dia menghentikan kegiatan menulisnya. “Kenapa?”
          “Gak papa. Nenek manggil kamu aja untuk membantu dia masak. Kan Putra sudah datang malam tadi dan sekarang menuju kesini.”
          Jihan hanya mengangguk dan tersenyum padanya, “I’ll be coming. James.
          James tersenyum dan tau – tau memeluk sepupunya erat, “Aku tunggu, Vexia’s girl.” James memanggil nama kecilnya dan Jihan tersenyum mendengarnya.
          just waiting me, Palleazo’s oldest boy.”
          James tersenyum dan melepas pelukannya. “Aku masuk dulu yah. jangan lama – lama disini. Nanti kamu mati beku.”
          “Iyaa...” Balasnya dan tersenyum ketika James mengacak rambutnya sebelum pergi meninggalkannya sendiri.

          Lamunannya buyar ketika ponsel tanda email masuk. Dia membuka dan tersenyum ketika tau siapa yang mengirimya.

          By : Putra_Pradipta@yahoo.co.id
          To : Jihan_PalleazzoVexia@rocketmail.com

          Subject : ...
         
          “ I’m coming.”


         
          Erza terdiam di depan rumah nenek Putra yang berada di daerah pedesaan yang sangat luas. Dengan lahan yang sangat luas mengelilingi rumahnya yang kecil berbentuk rumah tempo dulu, kandang hewan yang letaknya cukup jauh, lapangan pacuan kuda yang tertutup salju, membuatnya terpesona dan bersyukur tak sia – sia menghabiskan wkatu 45 menit ke Jerman dengan naik mobil yang dibeli orang tuanya.
          “Yuk, masuk. Nanti kamu lama – lama kedinginan.” Putra merangkulnya dan membawanya ke rumah neneknya, mengetuk pintu dan membiarkan pintu dibukakan oleh seorang wanita tua yang langsung memeluk pacarnya erat.
          “Astaga! Putra! Oma kira kamu gak akan datang.” bisiknya di pelukan Putra lalu melepasnya dan tatapan mata tajamnya beralih ke Erza tanpa kedip. Seolah menginterogasi.
          “Dia pacar kamu? Cantik...” Puji omanya dan memeluk Erza sekedar basa – basi. “Ayoo masuk ke dalam.”

          Putra langsung merangkul Erza untuk masuk ke dalam rumah. Dan kedatangan mereka langsung disambut meriah.
          She is your girl?” Yuri bertanya pada Putra dan cowok itu tersenyum lebar. Membuatnya tertawa geli dan mengulurkan tangan ke Erza. Mengajak kenalan. “Hy, my name is Yuri Hino. Half japanese – germany if you wanna know. You know what? My girl is from indonesian too.”
          Erza tersenyum dan membalas uluran Yuri, sepupu Putra yang lain dan mereka mengobrol panjang lebar. Menghilangkan kekakuan.
         
          Asyik mengobrol, Erza tak sadar dengan kedatangan seorang gadis luar biasa cantiknya. Perpaduan wajah Perancis – Italia – Jerman membuatnya terlihat menarik untuk dipandang lama. Tatapan tajam matanya yang berwarna biru laut, terlihat seperti berlian bernilai mahal, rambutnya yang hitam lurus, tubuh tinggi semampai, bahkan lebih tinggi darinya dan senyumnya yang cantik dan suaranya yang lembut ketika menyapanya. Sanggup membuat Erza terdiam dan iri dalam hati akan kesempurnaan di tubuh gadis itu.
          Yuri yang sadar akan kedatangannya. tersenyum. “Erza. Dia sepupu jauh kami, Jihan Vexia. Dia kuliah di Harvard jurusan Hubungan Internasional dan entah kenapa mendadak muncul tanpa diundang.” Candanya membuat Jihan tertawa. bahkan tawanya pun terlihat anggun di matanya.
          Jihan menatap Erza. Lalu tersenyum. “Jihan Vexia. Nice to meet you.”
          “Erza Assifa. Nice to meet you too, Jihan.”
          Merasa tak pantas untuk berada disini, Yuri merasa tau diri untuk meninggalkan kedua gadis itu. “Aku pergi dulu yah. mau menyusul Putra dan James yang berada di perapian. Sedang main catur. Erza, Jihan, susul saja kalau ingin.”

          Erza tersenyum dan Jihan hanya menatap kepergian Yuri. Tatapan matanya lalu beralih ke Erza. Entah kenapa, hatinya diselimuti cemburu.

          “Oma tadi menyuruh aku untuk mengantar kamu ke kamar. Bisakah kita pergi sekarang sebelum dia meneriaki kita berdua?” Jihan tertawa geli mendengar candaannya sendiri dan ekspresi Erza yang agak kaget.
          “Tentu saja. Ayooo...”


          Erza berada di kamarnya sekarang bersama Jihan di lantai dua. Banyak yang ingin dia tanyakan pada gadis cantik seperti barbie itu yang sekarang asyik berdiri di tepi jendela sambil menatap salju yang turun berguguran.
          “Sejak kapan kamu berada di Amerika? Tadi Yuri sempat cerita sebelum kamu datang.”
          “6 tahun aku berada di Amerika, SMA dan kuliah di sana. Dan kamu, sejak kapan berpacaran dengan Putra? Kalian kenal dimana?”
          “Aku?” Erza terdiam mengingatnya. Senyum terukir di wajahnya. Membuat Jihan entah kenapa merasa sakit. “Dia kakak kelas aku waktu SMA. Saling jatuh cinta ketika kami dijodohkan mama kami masing – masing karna perjanjian konyol. Dan baru setahun pacaran.”

          “Dia kakak kelas kamu waktu SMA? Berarti.. waktu kamu masuk, dia sudah naksir?”
          Erza mengangkat bahunya. “Mungkin. Kata dia begitu. Kenapa?”

          Jihan merasa sakit semakin menderanya. “Apakah Putra pernah menceritakan tentangku padamu?”
          Erza bingung. Kenapa suasana mendadak serius begini? “Gak pernah. Kenapa?”
          “Bagaimana rasanya berpacaran dengannya?”
          “Maksudnya?”

          “Aku ...” Dia menikmati ketegangan yang sangat tampak di wajah Erza. “Mantan pacar pertamanya. Dan kami putus karna dia pindah ke Indonesia. Gelang ini...” Dia menujukkan gelang putih yang melingkar di tangannya. “Pemberiannya sebelum dia pergi dan bertemu denganmu. Erza.”

          Erza shock dibuatnya. Entah kenapa, dia merasa gelang itu berhubungan dengan kedatangan Jihan kesini. Ke Jerman mengingat kata Yuri bahwa dia tau – tau datang ketika mendengar Putra pulang.

          “Bagaimana kalau barang yang tertinggal itu adalah hati yang sedang dimilikinya sekarang? Sanggupkah dia memberikannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar