Minggu, 10 November 2013

Love You Like a Love Song - I'm Yours. (When it Was)






            “Really?” Erza menatap Jihan yang sekarang tersenyum puas. Menikmati ekspresi terkejutnya. “Bukankah kalian bersepupu? Kok...”
            Sebelum Jihan menjawab, pintu kamar terbuka dan dia menoleh. Putra masuk dengan santainya dan kaget dengan apa yang dilihatnya.

            Dua wanita, masa lalu dan masa kininya, kini berada dalam satu kamar dan sama – sama melihat dirinya. yang satu terpaku, satunya lagi, sedang menatapnya penuh menyelidik.

            “Disini kalian rupanya,” Putra berusaha santai walau dalam hati bingung harus berbuat apa dan mendekati Erza lalu merangkul pundaknya. “Sudah kenalan dengan dia, sayang? Jihan, sepupu jauhku.”
           
            “Dan mantan pacarmu yang pertama, Putra.” Jihan menambahkannya dalam hati.

            “Kami sudah kenalan, kok.” Erza menjawab sekenanya dan menatap Putra yang kini menatap Jihan. “Lo utang penjelasan sama gue, sayang.” Ucapnya dalam hati.

            Putra mangut – mangut mendengarnya. Dia menatap Jihan yang masih berdiri di depannya. “Ada angin apa, Jihan jadi nongol disini? Bukannya kamu lagi sibuk – sibuknya merintis karier di sana?”
            “Loo... emang kamu tau darimana? Ayooo... ngikutin kabar aku yah?” Jihan menepuk pundak Putra dan tertawa. berusaha menganggap Erza tak ada di sekitarnya yang sekarang menatapnya seolah ingin mengusirnya jauh – jauh dari sini.
            Putra tertawa mendengarnya. “Bukannya kamu dulu ada cerita gak akan balik ke Jerman sebelum kamu jadi model Prada dan Gucci? Dasar pelupa.” Tanpa sadar, Putra melepas rangkulannya dari pundak Erza dan mengacak rambut Jihan yang tergerai. Membuat mata biru indahnya, mata yang dulu sangat disukainya itu, membelalak kaget. Kenangan indah yang disimpannya dalam kotak kaca itu menyeruak keluar dan memeluk hatinya.


Jihan Vexia
            Flashback

            “Dasar pelupa. Malu – maluin aja kamu. Masa ntuk keseribu kalinya, aku harus mengingatkan untuk selalu membawa ponsel kalau kemana - mana?” Putra mengacak rambut coklat – kepirangan  itu dengan gemas. Jihan si pelupa, hanya tersenyum malu dan merapikan rambut coklatnya ini lalu menatap Putra yang sekarang fokus menatapnya.
            “I really like your eyes. Like an ocean. Jihan. That’s not a joke, darl.” Putra menambahkannya ketika dia tersenyum penuh selidik.
            “Aku gak pernah meragukan pujianmu, Putra. Cuma aku meragukan apa yang kamu katakan itu, hanya untuk aku saja atau pernah kamu ucapkan untuk cewek lain. mengingat, mantan pacarmu seabrek.”
            “You my first girl, Jihan. Every words i saying for you, that’s pure from my heart. And no one  can make me saying like that.”
            “Termasuk mantan – mantan kamu?”
            “Anggap aja aku masih ababil sebelum jadi pacar kamu.” Putra nyengir mendengar ucapannya sendiri. Membuat Jihan tertawa dan suaranya terdengar lembut di taman yang sepi yang  penuh bunga tulip di sekeliling mereka dan daun – daun berguguran tanda musim gugur berada di tengah mereka.
            “Aku pernah gak bilang kalau ketawa kamu itu bikin wajahmu semakin cantik?” Putra berdiri dari ayunannya dan mendekati Jihan yang masih duduk sambil memegang tali dengan kuat. Wajahnya mendongkak ke atas.
            “Kayaknya belum pernah bilang deh. atau... aku yang lupa yah?” Jihan memutar matanya dan tersenyum.
            Putra tersenyum miring. Dia menundukkan badannnya hingga wajah mereka saling berdekatan. Ujung hidung saling bersentuhan. “Kayaknya, aku harus mengingatkanmu lagi deh kalau ketawa kamu itu bikin wajah kamu tambah cantik.  And, your laugh sound like a birds sing a love song for us, darl.” Sebelum dia sempat menjawa dengan bantahan, Putra membungkamnya dengan ciuman yang manis di senja yang yang indah, Dan dia, tak segan – segan melingkarkan tangannya ke leher cowok yang sangat dicintainya itu.

            “I Love You, Jihan.” Bisiknya pelan dan dia hanya tersenyum mendengarnya. Senyum bahagia.


            “Jihan...” Suara Putra seolah memutus salah satu kenangan indahnya dan mengantarkannya ke dunia nyata. Dunia dimana dia tak bisa mengulang semuanya lagi. Dan itu... membuatnya sakit.
            “Iya, kenapa, darl? Eh..., Putra maksudnya.” Jihan keceplosan dan menutup mulutnya sendiri ketika Putra membelakakkan matanya. Dan Erza yang berdiri di belakang mantan pacarnya itu, ikut melotot kaget.

            “Gak papa.” Putra terlihat salah tingkah. Biar bagaimanapun juga, Jihan adalah mantan pacarnya yang pertama, mantan yang membuatnya tau arti menyukai dan menjaga seorang cewek yang disayanginya. Dan pacaran selama 2 tahun setengah itu sebelum dia pindah ke Indonesia, bukanlah hal yang mudah untuk dihapus begitu saja.
            “Aku baru sadar kalau rambut kamu disemir hitam. Bukannya dulu coklat, kan?” Putra mengalihkan pembicaraan ketika sadar warna rambut Jihan berubah.
            “Kan kamu yang bilang suka dengan rambut hitam, Putra. Aku lihat pasar model lebih menyukai cewek berambut hitam, khususnya wajah Asia, yasudah, aku semir aja sekalian. Gimana? Cocok, kan?”
            “Cocok kok.” Putra tersenyum dan mengakui dalam hati kalau warna rambut Jihan membuat cewek itu terlihat lebih dewasa dan anggun di matanya. Cocok untuk warna matanya yang semakin tajam dan membius itu.

            “Ehm...” Deheman Erza membuat Putra sadar bahwa mereka tidak berdua saja disini. Ada pacarnya, Erza yang ada di belakangnya sejak tadi. Kenapa dia tak sadar dengan hal itu?
            “Aku mau keluar dulu yah. kayaknya kalian butuh privasi deh untuk ngobrol. Aku mau temanin Oma kamu dulu. Bye, sayang.” Erza memeluk Putra erat dan berbisik “Kamu hutang satu penjelasan besar buat aku, sayang.” Dan melepas pelukannya lalu pergi meninggalkan Putra yang terdiam ketika pintu kamarnya sengaja di tutup Erza. Seolah memberinya privasi seluas – luasnya.

            Putra melirik Jihan yang hanya menatap lantai kamarnya yang terbuat dari kayu. Mereka mati gaya. Habis kata – kata. Tak ada yang saling berinisiatif untuk melanjutkan pembicaraan.

            “Put,” Panggilnya ketika sadar diam hanya memperburuk suasana. “Bagaimana kalau kita keluar saja? Aku tak enak dengan pacarmu.” Jihan memberikan alasan dan hatinya sedikit perih ketika mengucapkan kalimat “pacarmu” itu.
            Putra menyetujui ajakan Jihan. “Boleh. Yuk.” Putra berjalan melewatinya. Tanpa sadar, tangannya menarik Jihan yang hanya terdiam menatapnya. Kaget dengan tingkahnya.
            “Ayooo... Vexia, Jangan buat aku menunggu loading di kepala cantikmu itu.”
            Jihan hanya tersenyum manis ketika Putra menoleh ke arahnya. Senyum yang dulu dia munculkan setiap cowok itu mengajaknya pergi. Dan senyum itulah dia sembunyikan rapat – rapat, dia simpan di peti dan menguncinya jauh di dalam dasar hati ketika cowok itu pergi meninggalkannya. Dan, senyum itu kini hadir kembali ketika peti itu terbuka. Kuncinya telah ditemukan.

            Putra lah kunci hatinya. Dialah kunci dari semua kenangan indah yang ditutupnya rapat – rapat. Dan dia jugalah, obat hatinya. 
           
            “Sesekali kamu memang harus merasakan menunggu, Putra.” Ucapnya pelan ketika dia pasrah ditarik keluar.


♥ ♥

        
Erza Noor Assifa
   
“Assifa,” Suara bariton yang serak namun terdengar seksi itu mengagetkannya ketika dia asyik menatap danau yang membeku di belakang rumah Oma Putra. Dia teringat tatapan mata Jihan saat mengatakan bahwa Putra, adalah mantannya, sangat mengganggunya. Dan dia juga melihat dengan jelas, tatapan mata rindu yang teramat besar pada pacarnya itu ketika dia masuk kamar.
            “Apa yang kamu pikirkan?” Pertanyaan Yuri, sepupu Putra itu mengagetkannya sekali lagi. Cowok itu berdiri di sampingnya dan menatapnya lekat. Membuat Erza melihat betapa Jepangnya sepupu pacarnya yang satu ini.
            “Kamu.” Jawaban spontannya membuat Yuri berkerut kening. “Me? Why? There something wrong in my handsome face? Or... do you in love with my face? WAW!” Jawaban ngawurnya membuat Erza tertawa.
            “Pede! Aku bingung, kenapa kamu bisa bersepupu dengan Putra, sedangkan dia sendiri setauku, bukan orang Jepang.”
            Yuri tertawa mendengar pertanyaannya. “You’re not only one asking me like that. Assifa. Begini...” Yuri menarik napas dan melirik pacar sepupunya yang menatapnya penuh ingin tau. Sungguh beruntung sepupunya yang satu ini. Lepas dari Jihan yang luar biasa cantiknya, bahkan lebih cantik dari Anastasia, sepupunya yang lain dan juga kakaknya Kathy, bisa mendapatkan wanita cantik dengan wajah Turki yang khas. Yang berdiri di sampingnya sekarang. Bahkan pacarnya sendiri, Raisa mungkin tak ada apa – apanya. “Oma punya 3 orang anak. Jeremy, Annalise, dan Jennifer. Mamaku, Annalise, orang Jerman tulen dengan nama Palleazzo di belakangnya, menikah dengan papahku yang orang Jepang dan membuat nama keluarga kami berubah seketika menjadi Hino. Dan Jeremy, dia papah James, Anastasia, dan Kathy. Sayang beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Seandainya kamu ketemu dia lebih awal, kamu akan tau betapa ramahnya beliau.” Suara Yuri yang berubah sendu membuat Erza menjadi tak enak. “Sorry.”
            “For what?” Yuri menatapnya bingung. “Kamu tidak membunuh om kesayangan kami, kan? jadi untuk apa minta maaf? Lagipula, James sudah cukup berhasil sebagai anak om Jeremy untuk menuruti semua sifatnya. Begitu juga dengan Anastasia dan Kathy, Karna  kalau tidak, aku dan Putra akan meragukannya sebagai keluarga Palleazzo.” Dia tersenyum jahil dan membuat wajahnya lucu. “ Dan tante Jenny menikah dengan orang belanda yang kebetulan menuruni darah Indonesia, Om Mario. Dan lahirlah pacarmu itu. sebenarnya, kata Oma, Putra itu punya adik perempuan namanya Janetta Pradipta. Tapi ... sudah meninggal  karna tante Jenni yang waktu itu sedang mengajak Janetta yang baru berumur 5 bulan itu jalan - jalan, kecelakaan hebat bersama om Mario karna ban mobilnya tergelincir salju dan terperosok di jurang. Membuat Janeta meninggal saat kejadian. Putra pasti cerita, kan soal itu padamu?” Tanyanya dan Erza menggeleng. Dia tak tau soal ini. Tak tau kalau Putra dulu mempunyai adik perempuan. Dan kenyataan ini menohoknya.
            Yuri mendadak menyesal karna menceritakannya. “Well, Putra pasti lupa cerita sama kamu soal Janet. Lagipula, tak ada kenangan yang bisa diingat dari seorang Putra yang kehilangan adiknya saat bayi. Lagipula kecelakaan itu sudah sangat lama. Saat Putra berumur 2 tahun. Namun, naluri kakaknya rupanya tak hilang. Dia melampiaskannya pada Kathy. Bahkan protektif melebihi James dan Anastasia.”
            “Pantas saja dia sangat menyayangi Kathy. Dulu aku malah cemburu karna kedekatannya itu.” Erza trtawa saat teringat betapa cemburunya dia dengan perhatian Putra yang berlebih ke Kathy saat mereka SMA. Namun, saat Putra mengatakannya bahwa mereka bersepupu, membuat wajahnya malu dan merutuk diri habis – habisan kenapa bisa sebodoh ini.
            Yuri tertawa mendengar pengakuannya. Tentu saja dia tau hal itu karna walaupun mereka saling berpencar, tapi hubungan tetap jalan terus. Kecuali Jihan. Cewek itu seperti menghilang dari silsilah.
            “Terus... Jihan itu, anaknya siapa?”
            “Kamu penasaran sekali, yah dengannya?” Pertanyaan Yuri membuatnya terdiam. Dan dia hanya mengangkat bahu. Membuat Yuri tertawa dan bisa merasakan aura perebutan di sekitarnya.
            “Dia itu keluarga dari pihak Opa yang mempunyai saudari jauh seumuran dengan tante Jenni, menikah dengan pria berkebangsaan Perancis yang juga blasteran Italia. Dan Oma sangat menyayanginya. Saking sayangnya, nama panjangnya sendiri pun, Jihan Palleazzo Vexia. Dengan konyolnya, Oma pernah bilang sama kami bahwa dia ingin salah satu dari cucunya, aku, James, dan Putra, menikah dengan Jihan. Aku dan Putra waktu itu masih SMP, sedangkan James waktu itu baru kuliah semester awal, hanya nyengir kuda mendengar harapan konyol oma kami itu. siapa yang dulu tak terpincut dengan pesona Jihan walau dia masih bau kencur?”
            Erza membenarkan dalam hati. Siapa yang tak terpesona dengan pesona Jihan, sepupu jauh Putra yang sangat cantik itu? dia sebagai wanita pun mengakui kesempurnaannya.
            Yuri tau apa yang di pikiran Erza yang tertunduk lesu di sampingnya itu. dia mengelus pundaknya pelan dan tersenyum ketika dia mendongkakkan wajahnya. “Aku tau apa di pikiranmu, Assifa. Tapi, Jihan itu masa lalu Putra. Mereka memang pernah berpacaran selama 2.5 tahun sebelum Putra pindah ke Indonesia. Dan Jihan memang cewek pertama yang sanggup membuat Putra bertekuk lutut dan berhenti plyaboy untuk sementara waktu. tapi, kamu juga sanggup membuatnya tak bisa berbuat apa – apa, kan? aku tau sepupuku seperti apa, Erza. Jika dia cinta sama seorang cewek, dia akan menjaganya seperti menjaga dirinya sendiri. dan menurutku, Putra sudah memilih kamu, berarti dia sudah bisa melupakan Jihan. Iya, kan?”

            Tapi, bagaimana kalau salah satu dari mereka tak bisa melupakan? Bagaimana kalau kedatangannya hanya ingin merebut apa yang sudah hilang dari genggaman dan mengambilnya kembali? dimana aku meletakkan hatiku setelah itu?

            “Hei.” Dia melihat wajah Erza terkulai lesu. Seperti tanaman tak disiram. “Bagaimana kalau kita jalan – jalan? Kau ingin ketemu dengan Adelicia? Anaknya James?”  Tawaran Yuri membuatnya tersenyum samar. Kenangan akan Putra yang mungkin berduaan dengan Jihan, lalu mereka mengulang masa lalu yang indah dan mempunyai niat merajut ulang benang yang putus mengganggunya. Kalau sampai terjadi, dimana dia membawa serpihan hatinya yang hancur tanpa sisa? Tanpa bisa dilekatkan lagi? Berapa waktu yang terbuang hanya untuk menyambung hatinya lagi?  Hal ini membuatnya ingin berteriak saking kesal dan sakitnya.

            “Ayooo...” Dia memutuskan untuk mengikuti ajakan Yuri kerumah James yang tak jauh dari sini. Dia butuh tempat untuk menenangkan diri.

           
♥ ♥

          Jihan tertawa lepas ketika Putra melempar bola salju ke wajahnya. dia merasa seperti dilempar ke masa lalu yang indah. Masa lalu dimana dia dan Putra selalu melempar bola salju bersama, kemudian berpelukan di tengah danau yang membeku sambil menikmati butiran salju lembut yang mengenai wajahnya. kenangan itu membuatnya tersenyum manis tanpa sadar. Dan Putra menyadari senyumnya itu. senyum yang membuat hatinya bergetar. Senyum yang membuatnya ikut tersenyum kemudian menggodanya hingga pipi bewarna pucat itu memerah malu.
            Tapi itu dulu. Sebelum dia bertemu Erza. Pusat dunianya sekarang dan membuatnya tak bisa menoleh ke arah lain lagi. Termasuk ke arah Jihan yang asyik jongkok sambil menggulung salju menjadi bola – bola kecil. Rambut hitamnya dan tatapan biru sangat indah itu membuat ia serasa melihat jelmaan putri salju zaman modern. Semua begitu pas dan cantik.

            Sebuah bola salju kecil sukses menepuk pipinya. Ia mengerjapkan mata dan melihat Jihan tersenyum manis. Sangat manis hingga tanpa sadar ia ikut tersenyum. “Kamu usil banget yah, Jihan.”
            “Biarin.” Jihan mendekati Putra yang masih saja tersenyum. Tatapan mata hijau toska itu melembut dan terlihat sangat teduh. Membuat ia tanpa sadar semakin mendekat ke arah cowok itu kemudian memeluknya erat. Menghirup segala aroma yang menempel di tubuh bidang cowok yang ia cintai ini. memuaskan rasa rindunya yang terkadang menyiksa hati.

            I missing you soo badly, Putra.” Dia merasakan pelukan itu menegang dan lengannya didorong lembut untuk menjauh. Membuat ia terdiam. berbagai penolakan muncul dari dalam dirinya.

            Tidak.. tidak..
           
            “Jangan dilepas! Biarin aku peluk kamu, Putra.” Dia memeluk cowok itu sekali lagi dengan lebih erat. Seperti koala memeluk erat pohon dan tak ingin terlepas.

            “ Sekali saja, Putra. let me hugging you as long as i want.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar