Jumat, 15 November 2013

Be Yours?! DAMN! Part 16 - Sebelum, Selamanya.



“Gue ngantuk, Ndo..” Sudah ribuan kali dia menggumam kemudian menguap. Tidurnya yang indah di kamar dengan kasur yang empuk berubah menjadi duduk di jok mobil sewaan dengan kepala pusing karna dibangunkan paksa. Ando membangunkannya dengan brutal saat jam masih menunjukkan 4 subuh! Membuatnya jengkel seketika ketika teringat itu.

FLASHBACK

            “Lis, bangun dong! ayolah... kita telat nih.” Ando berusaha membangunkannya di saat dia masih berada di alam mimpi.
            Cindy yang merasa bersalah karna membukakan Ando pintu yang berujung menyelonong masuk kamar tanpa ijin dan membangunkan sahabatnya, angkat suara, “Lo mau ngajakin Lista kemana sih?! Ini masih jam 4 subuh, Ando! bukan jam 9 pagi!”
            Dia menghentikan kegiatannya dan menatap Cindy yang berdiri di belakangnya dengan rambut acak – acakan, baju daster selutut dengan tali satu itu dengan datar, tak berniat menggoda atau tergoda. Karna otaknya terlalu fokus dengan apa yang dilakukannya sekarang.
            Shabrina yang terbangun karna suara ribut – ribut, meliriknya, “Ngapain lo disini, Ndo?”
            “Bangunin Lista,” Jawabnya sambil melirik Shabrina sekilas. Lalu berpaling lagi.
            Putus asa, dia menggelitiki telapak kaki Lista yang mulus itu dengan pelan, membuat cewek itu terkikik geli dalam tidur dan menggeliat pelan kesana – kemari karna kegelian. Membuatnya terpaku. terpesona.
            Lista, tidur hanya mengenakan tank top berwarna putih tulang, memperlihatkan secara jelas lekuk tubuhnya yang langsing, dan celana super pendek hingga kaki jenjangnya terpampang jelas, dan wajah tidurnya yang cantik serta polos itu menambah keseksiannya. Dalam kategorinya sendiri.
            Dia membuka matanya dan menatap Ando yang duduk di depan sambil menggelitiki kakinya, dan kedua sahabatnya yang berdiri di sampingnya dengan wajah mengantuk. Dia tak sadar sampai akhirnya melirik ke bawah, memperhatikan pakaiannya, dan...


            “KYA!!! APA YANG LO LAKUIN DISINI, ANDO?! KELUAR!”


♥ ♥
           
            “Melamun aja.” Ucapan Ando membuyarkan kenangannya sejam yang lalu. Yang membuatnya terduduk disini. Dia menggerutu dan menjitak kepalanya pelan. “Lo itu kenapa sih?! Hobi banget bangunin gue pagi buta! Nyelonong masuk kamar lagi!”
            “Gue kan masuk karna dibukain Cindy. Lagipula, baru dua kali doang kok gue bangunin lo jam segini. Bangun pagi – pagi sehat non sebelum jam 12 siang kita balik ke Bandung. Apa salahnya?” Dia menjawab sambil mengelus kepalanya yang dijitak Lista. Tak berniat membalas.
            “Gue baru aja tidur jam 12 malam karna ngepak,Ndo! Dan lo bangunin gue jam 4 subuh! Gue Cuma tidur 4 jam!”
            “Kan lo bisa tidur disini, Lis. Ntar gue bangunin kok kalau tiba. Gue jamin, ketika lo melihat tempatnya, lo akan suka dan menyayangkan kenapa pulang hari ini.” Dia tersenyum ketika Lista menatapnya curiga.
            “Lo aneh deh.”
            “Udah, tidur aja sana. Biar lo bisa nikmatin pemandangan.” Dia menatap Lista yang masih meliriknya dan mengacak rambutnya sambil tertawa.
            “Iyaa...” Lista menyandarkan kepalanya di jok mobil dan menutup matanya. Sedetik kemudian, dia benar – benar tertidur.
            Ando melihat wajah tidur Lista, tersenyum dan melaju menuju desa Kalibukbuk, Kabupaten Buleleng, Bali. Yang berada di pesisir Bali Utara.

♥ ♥

            Karen keluar dari kamarnya dengan wajah sumringah. Di kepala cantiknya sudah banyak ide untuk mengajak Ando jalan – jalan sebelum mereka ke Bandung. Dia akan menggunakan janji Ando yang akan mengajaknya ke galeri dan beberapa tempat bagus lainnya di sekitar Villa pada pagi hari sebelum mereka berantem sebagai senjata agar Ando menemaninya. Mengingat rencana itu, senyumnya semakin lebar dan melangkah ringan menuju kamarnya dan mengetoknya.

            Pintu kamar dibuka dan dia melihat Jayden menatapnya bingung. Mata abu – abunya meliriknya dari atas sampai bawah. Menilai penampilannya yang mengenakan baju sport namun tetap terlihat seksi. Membuatnya nyengir kuda.

Jayden
            “Nyari Ando? dia udah pergi tuh ama Lista.” Jelasnya sebelum Karen mengucapkannya. Seolah tau apa yang membawa cewek satu ini berdiri di depan pintunya jam setengah 6 subuh ini kalau bukan sahabatnya itu.

            Karen membelalakkan matanya. Shock. “serius?!”
            “Ngapain gue bohong, Ren? Dia udah pergi jam 4 subuh tadi. Membangunkan Lista lalu pergi berdua deh. gak tau kemana. Memangnya ada apa?”
            Karen jengkel luar biasa. Gagal rencananya jalan – jalan pagi dengan gebetannya. Dia memasang wajah manis untuk menutupi perasaannya. Gak papa. Gue mau nagih janji dia aja kok untuk jalan – jalan subuh. Rupanya telat kali yah.” Dia mendengus pelan. Membuat Jayden yang memperhatikannya, tertawa geli.
            “Terus, lo mau kemana nih?”
            Jogging aja deh sama Pamela. Kenapa? Mau ikutan?”
            Jayden menoleh ke belakang dan melihat Dion yang masih tertidur pulas dengan baju kaos terangkat ke atas. Memamerkan sedikit perut buncitnya. Membuatnya tertawa geli. Sebuah ide muncul di kepalanya, “Tunggu bentar yah diluar. Kita bareng deh. gue bangunin Dion dulu. Oke?”

            Karen terlihat berpikir. Mungkin jalan dengan Jayden dan Dion tidak rugi juga mengingat wajah mereka enak dibawa keluar. Apalagi Jayden. Rencana itu membuatnya tersenyum. Sedikit mengurangi kekesalannya. “Boleh deh. gue tunggu diluar.”

            “Oke.” Dia masuk ke dalam kamar dan Karen berbalik arah untuk masuk kamarnya untuk mengajak Pamela jogging.


            Lista berjalan dengan mata ditutup oleh sehelai kain oleh Ando yang menuntunnya. Dia tak tau berada dimana sekarang. Ando sudah menutup matanya ketika mereka berhenti di suatu tempat dan membuatnya tak bisa mengenalinya.
            “Ini dipantai yah?” Lista merasakan kakinya menginjak pasir yang lembut. Dan itu membuatnya tersenyum. Dia paling menyukai pantai. itu sebabnya dia mencintai Bali. Bahkan dulu sempat mengkhayal waktu masih kecil, ingin kalau sudah besar nanti, akan menikah di kota ini. Dengan latar pantai dan matahari terbenam serta pesta pernikahan yang berada di tengah pantai. bukan di dalam gedung. Dia ingin kakinya nanti menginjak pasir pantai, bukan menginjak keramik gedung mahal. Khayalan konyol itulah yang membuat kedua orang tuanya tertawa.
           
            “Kenapa senyum – senyum?” Ando rupanya menyadari wajah Lista yang tersenyum walau matanya tertutup. Dia tau kecintaan Lista akan pantai. dan dia menemukan pantai indah di Bali yang akan menjadi penutup hari mereka di Bali sebelum kembali.
            “Gak papa.” Lista menjawab tergeragap. Udara dingin pantai menerpa kulitnya. Udara segar yang membawa aroma khas pantai seolah memanggilnya untuk berlari dan membiarkan kakinya basah oleh air pantai, tangannya sudah gatal untuk menulis di hamparan pasir atau membuat apa saja. Kenyataan itu membuatnya merengek.
            “Ando! lepasin dong. apa gunanya lo bawa gue kesini subuh – subuh kalau tak bisa menikmati pemandangannya? Ayolah... gue gak sabar nih,”

            Ando tertawa mendengarnya. Dia berhenti ketika kaki mereka sudah merasakan air pantai, “Tunggu disini. Gue gak jauh kok.” Ucapnya dan pergi untuk mendekati salah satu kapal nelayan dan saling tawar harga. Setelah selesai, dia mendekati Lista,
            “Yuk.” Dia menuntun Lista menuju kapal nelayan itu dan membantunya naik. Agak susah karna matanya masih tertutup kain.
            “Kok naik kapal sih? Ini dimana, Ndo?! Ayolaah... jangan sok teka – teki deh kalau gue tau kita sekarang berada di pantai!” Gerutunya sambil membuka penutup matanya, namun Ando sigap menahan tangannya dan menggenggamnya kuat.
            “Gue aja yang bukain. Sekarang, lo diam aja dan nikmatin semuanya.”

            Kapal nelayan itu membawa mereka ke tengah pantai, ketika tiba, kapalnya berhenti. Ando melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul 06.00. dia tersenyum. Semuanya pas. Dia melihat sekelilingnya dan tersenyum ketika apa yang ditunggunya, muncul bersamaan dengan matahari terbit.

            “Dengar suara itu?” Bisiknya dan Lista mengangguk dengan mata tertutup. “Tapi gue gak tau itu suara apa. Aneh.”
            Ando tersenyum. Dia berpindah posisi dari disamping Lista menjadi duduk di belakangnya, dia membuka penutup matanya, “Lo liat sekarang.”

            Lista membuka matanya dan terhenyak. Di depannya, Lumba – lumba liar berloncatan kesana – kemari. Beberapa mendekati kapal nelayan mereka. Menyambutnya dengan nyanyian mereka, dan menyambut matahari pagi yang muncul dengan indahnya. Membuatnya tak bisa berkata apa – apa.
            “Lumba – lumba di tengah pantai?! Ando! ini ... astagaaaaa...” Dia tak bisa berkata apa – apa dan spontan memeluk Ando yang duduk dibelakangnya. Terlalu bahagia.

            Ando membalas pelukannya dan mengelus punggungnya. “Suka? Kita di pantai Lovina. Pantai yang menjadi tempat tinggal lumba – lumba liar. Mereka munculnya pagi doang. Saat matahari terbit. Itupun untung  - untungan, Lis. Dan kita salah satunya.”
            “Gue sukaaa... Aaaa... Ini impian gue!” Dia berteriak kesenangan di pelukan Ando dan mendongkakkan wajahnya. Menatapnya yang hanya tersenyum.
            Lumba – lumba itu mengelilingi kapal kecil mereka. Membuatnya melepas pelukannya dan duduk di pinggir kapal. Untuk berdekatan. “Mas, boleh disentuh gak lumba – lumbanya?”
            “Jangan, Mbak. Mereka liar masalahnya. Takutnya nanti kenapa – napa.”
            “Tapi,,, kita bisa berenang kok bareng mereka.” Usul Ando membuatnya melotot. Dia tak membawa baju ganti dan tak bisa berenang.
            Seolah tau, Ando melanjutkan. “Gue bawa baju ganti dan akan menuntun lo di tengah pantai. gimana?”
            “Gimana yah...” Lista terlihat berpikir. Dia sebenarnya bisa berenang walau sedikit, tapi, trauma menghalanginya.

            “Tapi gue mau...”  

            “Yaudah deh.” Lista langsung meloncat ke tengah pantai. membiarkan dirinya dikelilingi lumba – lumba liar yang seolah bertepuk tangan akan kenekatannya. Membuat Ando tersenyum sambil mengobrol sebentar dengan pemilik kapal, kemudian melepas pakaiannya hingga bertelanjang dada dan menceburkan diri.

            Lista langsung menatap ke arah lain ketika melihat dada bidang Ando terpampang jelas di depannya sekarang. Dadanya seperti ada gelombang pasang. Membuat jantungnya berdetak lebih cepat ketika cowok itu mendekatinya dan tanpa malu – malu merangkul pinggangnya. Memeganginya. “Gimana? Suka?” Tanyanya sambil memegang pinggangnya. Membuat jarak mereka sangat dekat. Seolah tanpa batas.
            Lista merasa wajahnya memerah sekarang. Lebih merah dari semburat matahari terbit yang menyinarinya. “Iyaa... Ndo,”
            “Hmmm...”
            “Lepasin tangan lo dari pinggang gue,” Ucapnya pelan. Namun cukup membuatnya sigap melepasnya dan melirik ke arah lain. rupanya pantai cukup membuatnya melakukan hal – hal diluar nalarnya.
            Sorry, Gue Cuma ...” Dia terdiam. Tak tau harus bilang apa. Mendadak salting. Dan Lista hanya menatapnya sambil mengangkat bahu dan bermain dengan lumba – lumba liar yang mendekatinya.
            “Mau gue fotoin?” Tawarnya ketika melihat Lista mulai didekati lumba – lumba itu. moncongnya mencium pipi mulus Lista. Membuatnya terkikik geli.
            “Mauuuu...”

            “Bentar yah,” Ando tersenyum sambil berenang mendekatinya lalu mengacak rambutnya. Dan dia kemudian menuju ke kapalnya, naik ke atas, dan mengambil kameranya yang berada dalam tas ranselnya, lalu mulai memfotret Lista sebanyak dia mau. Sebanyak dia ingin.

♥ ♥

            Karen tertawa terbahak – bahak ketika Jayden melemparkan lelucon ke arahnya. Sahabat Ando yang satu ini sukses membuat kekesalannya hilang. Lelucon yang dilemparkannya sukses membuatnya dan Pamela tertawa. bahkan tanpa ragu dia merangkul pundak Jayden yang santai saja dengan tingkahnya.
            “Lapar?” Tanya Dion ketika melihat Mc Donald’s berada di depan mereka. Perutnya mendadak berbunyi keras. Padahal mereka tak jauh berjalan.
            Jayden tertawa dan meledeknya, “Dasar tukang makan! Gak malu apa sama Karen dan Pamela? Jaga image, Bro!”
            Pamela yang daritadi diam saja, menimpali, “Gue juga lapar, Yuk, Dion,” Tanpa ragu dia menggandeng Dion masuk restoran cepat saji itu. mengabaikan Karen yang masih merangkul pundak Jayden dengan erat.  Dan mereka saling berpandangan.
            “Mau masuk?” Tawarnya dan Karen mengangguk. Membuat Jayden nyengir dan melepas rangkulan pundaknya, dan membungkuk di depan Karen lalu mengambil tangan kanannya dan mengecupnya. “Silahkan, Nona.” Ucapnya sambil melirik Karen yang tertawa dan tersenyum. “Lucu amat sih lo.”
            “Inilah aslinya gue, Ren.” Dia tersenyum dan merangkul Karen masuk restoran itu sambil sesekali bercanda dan menggoda Dion yang memesan terlalu banyak untuk sebagai sarapan pagi.

♥ ♥

            Gadis itu terdiam di seberang jalan. Dia melihat bagaimana akrabnya Jayden dengan seorang cewek cantik, dan bagaimana romantisnya. Membuatnya merasa sedikit sesak di hati. Entah apa. Dan itu tak wajar.
            Gue terlalu berharap rupanya.” Gumamnya dan menyetop taksi yang baru lewat dan memasukkan beberapa koper besarnya ke dalam bagasi dengan bantuan sopirnya. Hari ini adalah terakhir dia berada di Bali. Dia akan kembali dan mungkin...


            Takkan ada pertemuan selanjutnya untuknya.

            “Kemana, Non?”
            “Bandara Ngurah – Rai, mas.” Dia menjawab yakin sambil memegang tiket pesawat yang dipegangnya erat. Dia akan meninggalkan Bali, kota yang memberinya kenangan ini, satu jam lagi dan menuju tempat asalnya.

Flashback.
            “Re...” Panggilnya ketika dia asyik menulis namanya sendiri di hamparan pasir putih saat matahari mulai terbenam. Pertemuan dua hari yang lalu itu membuat mereka dekat. Mereka selalu janjian di depan Villa tempat Jayden menginap atau Hard rock Cafee, apabila dia sedang “mengamen”
            “Iya...”
            “Besok gue balik ke Bandung.”Ucapannya itu hanya ditanggapi biasa olehnya. Biasa, karna wajahnya miskin ekspresi. Padahal hatinya, dia merasa sedikit sesak. Entah kenapa, dua hari itu terasa sangat singkat untuknya. Bersama cowok yang baru dikenalnya selama 48 jam itu, dia menginginkan lebih. tapi, gengsi menahan keinginannya.
            “Re...” Panggilnya sekali lagi dan dia kaget karna cowok itu tau – tau berjongkok di depannya dan menatapnya serius.
            “Iya, Jayden.” Dia berusaha tenang. Padahal dalam hatinya berteriak karna wajah tampannya itu sangat dekat dengannya. Hingga setiap hembusan napasnya sangat terasa olehnya. Dan itu membuatnya frustasi. Lebih frustasi dari dia menyanyi pertama kali di atas panggung waktu kelas 1 SMP karna ditarik paksa temannya.
            “Gue boleh minta nomor ponsel lo, gak?” Permintaannya itu membuatnya terdiam. Gerakan tangannya seketika terhenti.
            Ingin sekali dia mengeluarkan ponselnya, mencatat nomor cowok yang didepannya ini, dan malamnya mereka akan saling berkirim pesan. Bertukar kabar, dan saling mengirim rindu kalau memungkinkan. Tapi, sekali lagi, dia ingin  menguji keberuntungannya. Menguji takdirnya sendiri.
           
            “Gue akan kasih tau asal...” Dia terdiam sejenak. Menikmati wajah Jayden yang tampan itu menatapnya dalam. Warna mata abu – abunya membuatnya terbius. “Kalau kita bertemu sekali lagi, di tempat yang berbeda, di kota yang berbeda, gue bersumpah ini akan menjadi syarat gue yang terakhir.”
            “Kenapa?”
            “Ya ... gak papa.” Dia tersenyum dan menikmati wajah Jayden yang terlihat kalah. Namun sorot matanya mengatakan lain. penuh tekad.“Gue gak akan terima kalau lo tau nomor ponsel gue dari anak – anak yang lain. Gimana? Take, Or...” Dia terdiam. Membalas tatapan Jayden yang seolah menelanjanginya. “Leave it. That’s your choice.”
            “Take it.” Dia mengulur tangannya dengan senyum meyakinkan. Menyetujui keputusan gilanya.
            Rere tak menyangka keputusannya diterima segitu mudahnya. Seolah – olah mereka saling mengetahui kemana akan pergi. Hatinya berteriak kenapa dia mengeluarkan ide tolol itu. tapi, sekali lagi dia tak peduli. “Oke deh. gue setuju.”

--

            “Mbak, udah sampai tuh.” Ucapan supir itu memembuyarkan lamunannya.

            Iya mas,” Dia tergeragap menjawabnya dan segera keluar dari taksinya, mengambil koper – koper yang sudah diturunkan supirnya, dan membayarnya. selesai, dia melangkah ringan masuk dalam bandara dengan tiket pesawat tujuan Jakarta yang dipegangnya  akan landing setengah jam lagi.


♥ ♥

            “Makasih, Ando..” Lista mengucapkannya tulus ketika mereka tiba di Villa. Jam menunjukkan pukul 10.30 pagi. Sudah saatnya mereka pergi ke Bandara untuk pulang ke Bandung. Mendadak, dia tak ingin pulang. Ingin tinggal disini lebih lama lagi. Masih banyak pantai – pantai indah yang belum dikunjunginya, dan entah kenapa, Ando mengetahui setiap pantai dan detailnya. Keindahannya. Termasuk Pantai Lovina yang ternyata memang destinasi turis asing dan lokal untuk berlibur dengan tenang.

            “Sama – sama Lis.” Dia melirik Lista yang memakai baju kaosnya. Masih terngiang betapa susahnya membujuk Lista untuk memakai baju kaosnya sebagai ganti bajunya yang basah. Kalau saja dia tak menggunakan ancaman terakhirnya, Lista takkan mengenakan baju kaosnya itu.
            Mengancamnya untuk meninggalkannya disini dan sedikit menakut – nakutinya dengan cerita seram.
           
            “Kenapa lo senyum – senyum?!” Lista meliriknya galak ketika Ando tak melepas pandangannya dari baju kaos bergambar Barong yang agak kebesaran di tubuhnya. ingatan tentang dia mengenakan baju kaos dengan penuh sumpah serapah dan gerutu panjang lebar terngiang lagi. Membuat wajahnya entah kenapa memerah.
           
            “Gak papa.” Ando melepas pandangannya dan menatap Lista yang meliriknya curiga. “Ayooo...” Dia tanpa ragu menarik Lista untuk masuk Villa dan mengantarnya sampai ke kamar.

♥ ♥

            Ando masuk ke kamarnya dengan bersiul senang. Tubuhnya memang lelah karna bangun jam 4 subuh dan menyetir selama 4 jam hanya untuk ke pantai Lovina yang memang tempatnya agak terpencil itu. tapi melihat senyum Lista yang selalu muncul, membuatnya entah kenapa, semua kelelahannya terbayar. Bahkan rol filmnya habis untuk mereka foto berdua pun tak jadi masalah baginya.
            Dia melihat Jayden yang duduk di tepi ranjang sambil bersandar dan membaca buku. Dia mendekatinya. “Gak siap – siap lo?”
            “Udah tuh,” Jayden menunjuk kopernya dan terus membaca. Membuat Ando tertawa. “Sejak kapan lo baca buku terbalik? Juling tuh mata?”
            Jayden, seolah sadar, nyengir lebar dan memutar bukunya. “hehehhe.. sorry, bro, gue lagi kelabu nih.”
            Jawabannya membuat Ando berkerut kening saat dia melepas pakaian kaosnya, dan meletakkannya ke kantong plastik khusus baju kotor atas usul Lista, dan bertelanjang dada berjalan ke arah koper dan mengambil baju kaosnya yang lain dan di mix dengan kemeja kesukaannya. Dia menatap Jayden yang hanya memperhatikannya. “Ngapain lo liatin gue daritadi? Nafsu?”
            “Ngaco!” Jayden melempar buku ke arah Ando yang tertawa. “Gue nafsu liat pacar lo tuh. Si Lista. Semakin hari semakin seksi aja tuh anak.” Jawabnya jahil membuat Ando menatapnya garang dan mengacungkan tinjunya. Membuat Jayden tertawa melihat ekpresinya yang baru kali ini dilihatnya.
            “Lo kenapa kelabu, Jay? Sejak kapan cowok macam lo bisa galau?”
            “Dan sejak kapan cowok dingin kayak lo bisa marah kalau gue bilang pacar lo seksi? Dulu, jangankan marah, lo malah nyodorin sukarela setiap gue bilang seksi dan pengen gue pacarin.” Jawaban balik Jayden membuatnya tertawa. “Jangan alihin pembicaraan deh. kenapa? Galau karna penyanyi cafee itu?”

            Pertanyaan Ando membuat Jayden mengangguk. “Gue kan tadi ke Hard rock untuk temuin dia, eh, gak taunya tuh anak udah berangkat ke Jakarta setengah jam yang lalu.” Jayden menjawab lesu ketika dia bersemangat untuk menemuinya, tak taunya cewek itu sudah meninggalkan Bali setengah jam yang lalu. Tanpa memberitahunya pula.
            “Kan lo bisa smsin dia, Jay. Hari gini masih nemuin?”
            “Itu dia masalahnya,” Jayden menatap Ando. “Gue gak punya nomor ponselnya. Dia gak mau ngasih kecuali kami ketemu lagi di tempat dan suasana yang lain.” Penjelasan Jayden membuat Ando hampir saja tertawa. di saat semua cewek sukarela memberikan nomor ponselnya untuk dihubungi pada sahabatnya, ternyata ada cewek lain yang gak mau memberikan di saat sahabatnya minta? Ini baru luar biasa. Pikirnya.
            “Minta sama temennya?”
            “Temannya gak mau kasih. Katanya, dia bukan tipe cewek yang mau balas sms atau telpon dari orang yang tau nomor ponselnya dari orang lain. dan dia gak suka orang lain tau nomor ponselnya dari temen – temannya. Dia mau, dia sendiri yang ngasih. Begitu.”
            “Parah amat nasib lo, Jay.” Dia menepuk pundak sahabatnya yang lesu itu. baru kali ini sahabatnya yang tak pernah diabaikan oleh cewek – cewek, kini di abaikan segitu mudahnya oleh cewek yang baru ditemuinya 2 hari yang lalu. Yang tak jelas asal – usulnya itu.
            “Iya... tapi, ntah kenapa ...” Jayden terlihat merenung. “Kok firasat gue bilang kami akan ketemu lagi yah? Hmm..”
           
            “Ketemu dalam mimpi, mungkin.” Ucapannya membuat sebuah bantal besar melayang ke arahnya. Untung meleset. “Gue hanya bilang mungkin lo yah. secara... firasat lo itu lebih banyak ngawurnya daripada benarnya, Jay.”

            Suara ketukan di pintu menghentikan Jayden untuk melempar bantal besar lagi. Mereka saling melirik pintu dan saling menyuruh dengan tatapan mata. Ando yang posisinya strategis untuk membuka, menghela napas dan berjalan malas ke arah pintu, membukanya, dan...

            Seseorang langsung menubruk tubuhnya dan memeluknya erat. Seolah mereka bertahun – tahun tak bertemu. Tanpa tau malu, Dia mencium pipinya dan melepas pelukannya. Seolah terbiasa, dia melenglang masuk kamar dan menarik Jayden berdiri dari ranjangnya, Dion yang baru muncul dari toilet pun ditariknya juga.

            “Hei... hei...” Dion protes dengan gerakan Karen yang memaksanya. Namun ketika cewek itu mengedipkan matanya,  “Ayolaah... Dion.” Ucapnya dengan suara yang memang agak serak – serak seksi itu. membuatnya terdiam. Terpesona dengan keseksiannya.

            “Ayooo...” Karen, dengan pakaiannya yang seolah kekurangan bahan, kulitnya yang berubah tan karna berjemur selama beberapa hari, tato yang di belakang lehernya, wajah kebule – bulean, membuatnya terlihat sangat seksi,  langsung menarik Ando keluar dari kamarnya. Bahkan lengannya merangkul Ando dengan mesra walau cowok itu menolaknya halus. Meninggalkan Dion dan Jayden yang hanya geleng – geleng kepala dan berkata,

            “Ratu Ular beraksi.”


♥ ♥

            Lista jengkel sepanjang perjalanan. saat dia asyik – asyiknya tertawa di bis menunggu yang lain datang, Ando, datang duduk di sampingnya.  Dan di belakang cowoknya, Karen, mendekati mereka dan mengusir secara halus untuk duduk ditengah karna tak menemukan kursi kosong di depan dan dia mual bila  duduk di belakang. membuat Ando langsung menyuruhnya duduk disampingnya saja, tapi dia bersikeras ingin di tengah. Tak ingin terjadi keributan hanya karna satu kursi, Ando menyingkir dengan berat hati untuk duduk di samping dan Karen, seolah tanpa dosa, duduk di ditengah dan tersenyum basa – basi ke arahnya yang hanya mendelik tajam. Seolah ingin mencincangnya hidup – hidup.

            Kekesalannya bertambah ketika cewek itu, yang rasanya entah kenapa ingin dia dorong keluar dengan cara menendangnya dari belakang dan jatuh terguling ke aspal, seolah tak sengaja tertidur dengan menyandarkan kepalanya di pundak kiri Ando dan mendesah pelan. Membuatnya naik darah seketika.
           
            “Gue boleh bunuh orang gak disini?” Dia mengirim pesan ke ponsel Ando. dan cowok itu nyengir lebar. Sangat lebar hingga seperti tertawa. lalu melirik ke belakang kursi, mencari siapa tau ada yang kosong dan tersenyum.
           
            “Mau pindah? Yuk, Sebelum ada yang bergentayangan di bis ini.”

            Balasan Ando yang berjarak 1 kursi darinya, membuatnya terkikik. Dia mengangguk. Siap berdiri, dan ...

            “Jangan tinggalin gue, Ndo.” Seolah tau apa rencana dadakan mereka, Karen masih dengan mata terpejam,  tanpa tau malu merangkul lengan Ando dan semakin mendekatkan badannya. Seolah tak ingin ditinggal. Seolah menutup akses untuk kabur.

            Lista menatap Ando tajam. Ingin tau apa yang dilakukan cowok itu. Ando langsung melepas rangkulan tangan Karen dengan sangat pelan karna tau cewek itu mudah terbangun dengan sedikit sentuhan, mendorong kepala Karen ke arah kiri. Lista melihat semuanya dan tersenyum ketika dia mengenggam tangannya, dan berjalan pelan meninggalkan Karen yang masih tertidur pulas, namun malang baginya ...

            Kakinya tanpa sengaja tersandung oleh kaki Karen yang entah sejak kapan sudah menghalangi langkahnya. Dan sandungan pelan itu, membuat Karen terbangun dan menatap mereka bergantian.

            “Mau kemana?” Tanyanya dengan suara serak khas orang tidur ketika melihat Ando yang menggenggam tangan Lista. Seperti kawin lari.
            Ando menjawabnya. “Mau pindah duduk ke belakang. soalnya disini panas banget. lagipula, teman – teman gue ada di belakang semua tuh.” Dia melirik Shabrina, Cindy, Jayden, Dion, sudah menyiapkan tempat untuknya di kursi paling belakang. bahkan Jayden mengacungkan gitar ke arahnya.
            “Gue ikut.” Karen langsung berdiri, namun terdiam ketika Lista meliriknya sinis, “Bukannya lo gak bisa duduk paling belakang? kami paling belakang, loh.” Lista yang tak rela rencananya gagal, menunjuk kursi panjang paling belakang. membuat Karen mendadak susah menelan ludah, “Takutnya ntar lo muntah. Sedangkan gue gak bisa lihat orang muntah. Pasti juga ikutan.” Lanjutnya lagi. Senyum puas terpampang diwajahnya.

            Hahhahaa... rasain sono!

            “Yuk, Lista.” Ando langsung menarik Lista untuk berjalan ke kursi paling belakang yang langsung disambut sahabat – sahabatnya. Meninggalkan Karen yang duduk sendiri sambil melipat kedua tangannya dengan kesal.

            HOLY SHIT!

♥ ♥

            “Dimana, Lista?” Tanya mamanya ketika Bian baru saja memutuskan telponnya saat mereka makan siang di rumah. Seminggu Lista tak dirumah ternyata sepi juga. Tak ada yang bisa digodanya. Walau ada Lily sebagai pengganti adiknya.
            On the Way Bandara, ma.” Lapor Bian dengan senyum masih betah di wajahnya ketika setelah menelpon adiknya itu, suster Lyesha , suster kecengannya selama 3 bulan itu, mengirimnya sms dengan kata – kata halus,  mengingatkannya makan siang kalau tak ingin maagnya kambuh. Membuat  Putra, papahnya yang melihat keanehannya, nyengir. “Merasa musim gugur gak disini? Papah kok kayak nyium bau bunga  bermekaran dimana – mana, yah?” Godanya sambil melirik Bian yang sedang minum, mendadak tersedak dan langsung batuk – batuk heboh.
            “Pah,” Erza menegurnya pelan sambil menendang pelan kaki suaminya di bawah meja yang sekarang tersenyum jahil itu. seolah tak bersalah.
            “Papah nih, jelas – jelas disini musim kemarau, mana ada musim bunga?! Memangnya kita di Jerman?” Bian menatap kesal ke arah papahnya yang masih tertawa. “Tapi... kalau dekat kak Rika sih,” Dia melirik kakaknya yang sibuk mengelus pundaknya dan Lily yang menatapnya polos.  Membuat Bian langsung mengelus kepalanya, “Bagi Bian, tiap hari serasa musim bunga dan melihat hamparan bunga tulip beraneka warna di lapangan luas seperti hamparan karpet indah dan mahal. Habisnya, Kak Rika itu seperti ...”
            “Simpan gombalan basi lo untuk suster kesayangan lo itu!” Erika langsung menghentikannya dan menatap tajam adiknya yang cengengesan.

            Tiba – tiba, Bik Surti, pembantu mereka, mendatanginya, “Non Rika, ada yang nyari tuh. Cowok. Ganteng deh! aduh... mau pingsan rasanya bibi liatnya. Namanya ...”  Mpok Surti terdiam. Saking terpesonanya, dia sampai lupa namanya, “Mikail, Non.”
           
          
Mikail Boulanger
 
Nama Mikail, diucapkan biasa saja. Namun, entah kenapa, sanggup membuat Erika memerah. Bian yang tau sahabatnya baru balik dari Amerika itu karna libur kuliah, menggodanya, “Mikail Boulanger, yah? Hmmm.. cemburu gue deh. masa sahabat gue dari SMA, sanggup buat kakak tercantik gue, memerah malu sih hanya dengar namanya? sedangkan gue, dari orok, kok gak bisa yah?”
            “Lo beda sih!”
            “Beda apaan kak? Beda karna lo...” Erika langsung menutup mulut lancang Bian sebelum semua rahasianya terbongkar di meja makan.
            “Sudah... sudah,” Lerai Erza, mamanya sambil tertawa ketika melihat kedua anak kembarnya, dari dulu sampai segede ini, selalu rusuh dimeja makan. Membuat Lily menatap mereka bergantian dan tertawa ketika kak Bian, kakak pujaannya menggoda kak Rika, kakak paling cantik yang pernah dilihatnya, merona malu. pipinya yang putih mulus seperti terbakar.
            “Yuk, Lily.” Erika berdiri dari duduknya dengan wajah merona malu dan menggandeng tangannya. Membuat Bian, semakin semangat. “Kok ajak Lily, kak? Dimana – mana, orang kencan gak ada yang bawa anak kecil. Ntar gak bebas, ntar gak bisa ...” Bian memajukan bibirnya seperti ingin mencium, mengedipkan mata menggoda, dan memasang ekspresi malu – malu kucing seperti cowok baru kencan pertama kali. membuat wajahnya memerah malu. orang tuanya tertawa.

Erika Assifa Pradipta
            “Oh Bian, Astagaaa!” Erika langsung mencubitnya, “Gue sama Mikail jalan karna Lily dari kemarin nagih pengen ke Ancol sekalian mau ke pet shop untuk temanin Mikail beli peliharaan. Bukannya lakuin seperti lo pikir itu!”

            “Beneran, Li?” Tanya Bian kepada Lily yang mengangguk polos. “Kok sama kak Mikail? Kenapa gak sama kak Bian aja? Ntar kan kakak temanin sama teman kakak, Lyesha jalan – jalan. Sepuasnya deh.” mengucapkan nama suster itu, membuatnya nyengir tanpa sadar.
            “Karna kak Mikail lebih ganteng dari kakak sih. Lily suka liatnya.” Jawaban polosnya membuat Erika tertawa bangga. “Tabah yah dek kalau sahabat lo sendiri ternyata lebih cetar daripada lo. hahaha...”
           
            “Iya.. cetarnya membuat kakak gue kesengsem ternyata.” Jawaban Bian membuatnya merona. “Yuk, kak. Gue pengen ketemu Mikail tersayang lo dulu, yah.” Bian berdiri dari duduknya, dan melangkah riang keluar dari ruang makan dan bertemu dengan Mikail. Diikuti dengan Erika dan Lily berjalan di belakangnya.

            “Suster Lyesha, yah? Aku gak nyangka Bian akhirnya naksir sama suster yang satu itu.” Erza terlihat berpikir kemudian terkikik sendiri. membuat suaminya bingung.
            “Memangnya kenapa?”
            “Suster Lyesha itu suster kesayanganku, sayang. Aku gak tau kalau mereka dekat. Cuma sering kulihat Bian berada di kantin RS dan duduk berdua dengan dia. Pantesan, akhir – akhir ini suster Lyesha salah tingkah sendiri bila sama aku. Ternyata gara – gara Bian rupanya. Hahahahaaa... Lyesha, Lyesha...” Erza tersenyum ketika suster Lyesha masuk ke ruangannya yang saat itu ada Bian, mereka saling bertatapan, sebelum akhirnya suster itu izin permisi keluar ruangan dengan tingkah saltingnya yang hampir menabrak tembok. Membuat Bian saat itu, lirik – lirik cemas ketika melihatnya mengelus kepala sendiri yang terbentur.

            “Nanti kapan – kapan, aku undang suster Lyesha kerumah, ah. Kamu akan liat gimana salting dan manisnya anak cowokmu itu kalau dekat cewek. Lucu deh. hahahaaa...”
            Putra ikut tertawa. mengingat Bian 11 : 12 dengannya kalau urusan PDKT dengan cewek, membuatnya penasaran. “Boleh, sayang. Tapi sebelum itu...” Dia menatap istrinya yang masih tertawa itu, dan mencolek pinggangnya. “Kita pacaran dulu, yuk dikamar? Aku merasa tersaingi nih dengan kemesraan pacar – pacar anak kita.”

            Erza tertawa mendengarnya dan tersenyum sambil menghentikan tangan suaminya yang mulai “nakal” di badannya . “Yuk, sayang. Jangan disini.” Mereka keluar dari ruang makan dengan saling menggoda satu sama lain.

♥ ♥
           
            Cowok itu keluar dengan santainya dari pintu kedatangan Luar Negeri, Bandara Soekarno – Hatta.  Dia yang baru saja libur kuliah dengan jurusan Seni dan Akting di Amerika, memutuskan pulang ke Indonesia setelah 3 tahun lebih meninggalkannya.
            Dia, dengan tubuh tegap sekitar 175 cm, rambut agak panjang dengan warna coklat – kehitaman, wajahnya yang tampan, alis yang tebal memayungi matanya yang sekarang tertutup oleh kacamata hitam yang mahal, mengenakan kemeja bewarna abu – abu yang digulung sampai siku, tiga kancing atas dibukanya, asyik lirik kiri – kanan mencari seseorang yang menjemputnya.

            “Astaga! Astaga! Ganteng sekali!” Bisik beberapa cewek yang melihatnya berjalan santai di depan mereka dengan terpesona. Seolah tau dia menjadi pusat perhatian pengunjung Bandara, dia membuka kacamata hitamnya dan meletakkan dalam tas selempang kecilnya. Membuat mata coklat tajamnya terpancar jelas karna sinar matahari yang sangat terik dan dia tersenyum manis ke arah cewek itu.

Dylan William Perdana.
            Dylan William Perdana, Nama itu terpampang jelas di papan putih yang dipegang erat seseorang yang sangat dikenalnya, dia mendekatinya dan memeluk orang itu.
            “Hai, Mas Dylan. Senang bisa pulang? Sapa supir pribadi keluarganya yang sudah bekerja di tempatnya saat dia kecil.
            “Hai, mas. Iya... senang bisa pulang.” Dia melepas pelukannya dan melirik ke sekelilingnya. “Kitty mana?”
            Mas Ujang, supir pribadinya itu tertawa mendengar nama adik Dylan disamakan dengan kucing. “Nanti mas akan ketemu dirumah. Yuk, mas. Biar saya bawa tasnya.”

            Dylan menyerahkan kopernya ke Mas Ujang yang langsung dibawanya dan dia berjalan di belakangnya. Memperhatikan sekelilingnya. Hingga berhenti di satu titik karna penasaran melihat kericuhan. Di tempat rombongan dari kedatangan dalam negeri. Dia melihat seorang cewek mengenakan kemeja tipis bewarna tipis untuk melapisi tanktop bewarna coklat, menampilkan lekuk tubuhnya, celana jins yang dilipatnya sampai lutut, sepatu kets dan tali selempang serta rambut super pendeknya hingga terlihat cepak di samping kanannya, postur tubuh yang sangat dihapalnya, sempat menoleh ke arahnya, shock,  lalu berbalik lagi. Membuatnya terdiam.

            Seolah kenal, tapi tak yakin.

            Dia ...


♥ ♥

            Dylan?
           
            Batinnya berteriak ketika dia menoleh saat teman – temannya sibuk mengurus koper masing - masing, seseorang yang sangat dikenalnya, mata coklatnya yang tajam, badannya yang jauh lebih tegap dari 3 tahun yang lalu, wajahnya tak berubah. Tetap mempesona seperti dulu, hanya saja rambutnya lebih gondrong dari 3 tahun yang lalu.  Namun entah kenapa, kenyataan ini membuatnya ketakutan setengah mati. Mendadak dia menggigil.

            Tidak... tidak! Dia bukan Dylan! Cuma orang yang mirip!
           
            “Lis...” Ando menyentuh pelan pundaknya. cukup membuat Lista terlonjak jauh dan menatapnya waspada. Membuatnya bingung. “Ini anak kenapa?”
            “Eh, Ndo, sorry. Gue melamun, yah?” Tanyanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal dan nyengir tanpa arti. Membuat Ando mengangkat sebelah alisnya. Tak biasanya.
            “Ada apa? Ada yang lo pikirin?”
            Lista menggeleng cepat. “Gak. gak nyangka aja pulang hari ini. Cepat banget harinya. Hehee...”
            Ando tersenyum melihatnya biasa lagi. Kemudian tanpa ragu merangkul pundaknya, “Iya. Gue juga. Yuk, kita pulang.”
            “Kita?”
            “Iya.. kita. Kan lo bareng gue kesini, pulang sama gue juga, dong. sekalian jemput Lily. Tuh anak lama – lama lupa dia itu keponakan siapa karna keasyikan nginap dirumah lo.” Gerutu Ando membuatnya tertawa. dia berjalan ke arah parkiran dengan Ando yang masih merangkulnya dan dia menarik kopernya.

             dia melupakan pertemuannya dengan Dylan itu.

            Mungkin, dia hanya seseorang yang mirip dengannya. Bukan dia yang benar – benar kembali dan memporak – porandakan semuanya. Menghancur leburkan semua yang dia bangun susah payah untuk melindunginya, dalam satu jentikan jari.

♥ ♥

            Bian terdiam di depan pianonya. Tak ada minat untuk memainkannya. Mimpinya tentang Jasmine yang tersenyum riang akhir – akhir ini mengganggunya. Dia mulai melupakannya ketika pusat dunianya tertuju pada satu nama yang membuatnya kelimpungan beberapa bulan ini.

            Lyesha Anindya.
            Dia menghela napas. Awalnya dia mendekati gadis itu hanya karna memiliki sedikit kemiripan dengan Jasmine dalam sorot mata dan cara bicaranya. Tapi, semakin lama dia mengenal gadis itu, semakin dia sadar.

            Lyesha bukan Jasmine. Dan itu mengganggunya.

            “Oh Tuhan...” Bian mulai mengacak rambutnya frustasi. “Apa yang harus gue lakuin? Gue gak bisa selamanya anggap dia Jasmine kalau gue lama – lama merasa nyaman dengan kehadirannya. Perhatiannya. Dan dia ... tak keberatan untuk gue dekatin.”

            Apa benar tak keberatan?
           
            Bian ingat pertemuan kedua mereka saat gadis itu menangis tersedu – sedu di pemakaman. Dia tau arti tangis itu. bukan arti tangis kehilangan biasa. Tapi kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Dia memang tak pernah menanyakannya karna merasa tak perlu. Tapi, pembicaraan beberapa suster yang sempat didengarnya beberapa hari yang lalu, akhirnya mengganggunya.

            “Lyesha itu enak banget yah, didekatin oleh mas Febrian, anak dokter Putra yang ganteng itu. apa dia lupa setahun yang lalu ditinggal mati dokter Raya,tunangannya yang ganteng dan luar biasa baik itu?” Bisik – bisik suster lain di lorong, membuat Bian yang awalnya ingin bertemu dengan Lyesha ditempat biasa, mendadak terhenti dan memutuskan menguping.
            “Bagaimana kalau Lyesha dianggap sebagai pengganti mantannya mas Febrian? Secara, dibandingkan dengan mantannya, Lyesha itu bagai langit dan bumi deh. jauh banget.” Suara suster lain itu terdengar sangat sinis. entah kenapa membuatnya benar – benar terdiam. dia tau kemana arahnya ini.

            “Maksudnya?”
            “Aku punya teman yang jadi suster senior di Poli Jantung. Dulu, sekitar 3 – 4 tahun yang lalu, Mas Febrian punya pacar namanya Jasmine. Dia dulu pasiennya dokter Putra waktu masih kecil. Sekarang jadi pasien dokter Restu karna menderita penyakit jantung. Mereka bertemu dan akhirnya pacaran selama 3 bulan sebelum cewek itu meninggal dengan damai dipelukan mas Febrian pada malam tahun baru. Waktu itu katanya poli heboh karna saat cewek itu meninggal, Mas Febrian sendiri yang menggendongnya dan membawanya ke kamar dengan tubuh tegak. Tapi, siapapun bisa melihat, di belakangnya, hatinya berserakan. Hancur berkeping – keping.”

            “Aku juga pernah dengar tentang itu. dan kalian pernah liat tunangannya Lyesha?” Teman – temannya menggeleng. Membuat Bian semakin mendekatkan telinganya ke dinding. Dia mendadak gugup tanpa sebab.
            “Gue wajar kalau Lyesha dekat dengan mas Febrian, kenapa? Karna wajah tunangannya, mirip sama dia. Yang beda Cuma iris mata doang dan dia ...”

            Bian menutup matanya. Berusaha menyingkirkan memori percakapan 3 hari yang lalu itu dari otaknya. Dia tak mau mendengarnya, tak mau mengingatnya, dan ...
           
            Tak mau mempercayainya.

            “Mungkin ... Gue butuh menghilang untuk sementara waktu.”

♥ ♥

            Lyesha terdiam. Berkali – kali dia melempar tatapan keruangan dokter Erza yang tertutup itu. Dia melihat Bian masuk ke dalam ruangan mamanya dan melewatinya. Tanpa menyapanya, tanpa memberinya sedikit saja senyuman. Entah kenapa, itu membuatnya ...

            Kehilangan.

            “Bian kenapa? Gue salah apa?” Tanyanya bingung dalam hati. Empat bulan, tanpa aba – aba, tanpa firasat, tau – tau Bian bersifat aneh. Seperti dia berbuat salah yang tak kasat mata, namun menyentil cowok itu hingga jatuh ke dasar jurang.
           
            Dia melihat pintu terbuka dan cowok itu keluar. Dia langsung memasang aksi memeriksa laporan dan duduk di kursi. Badannya menunduk, namun ekor matanya mengikuti kearah cowok itu melangkah. Hatinya mencelos kecewa, sangat kecewa hingga ingin menangis rasanya ketika Bian hanya melewatinya sekali lagi. Seolah – olah dia pohon hiasan. Hanya dilirik sekilas kemudian diacuhkan.
            “Bian...” Entah dimana harga dirinya, tau – tau mulutnya lancang memanggil nama cowok yang selama empat bulan ini menganggapnya hantu.
           
            Cowok itu menoleh, lalu tersenyum datar. “Iya. kenapa, sus?” Hatinya lagi – lagi seperti dihantam seton besi berkarat. Di Rumah Sakit sekalipun, Bian tak pernah memanggilnya dengan embel – embel “suster” katanya, itu menunjukkan bahwa dia spesial dibandingkan suster lainnya. Tapi ... mendengarnya memanggil sebutan suster untuknya, dia menjadi asing. Menjadi dilupakan. Menjadi...

            Dibuang.

            “Tidak apa – apa, Mas Febrian. Saya permisi dulu.” Dia berjalan menjauh dan sempat melihat sorot mata Bian yang kaget karna memanggilnya seperti itu. sama seperti dirinya, dia sendiri tak pernah memanggil Bian dengan sebutan “mas” seperti suster – suster lainnya. Tapi, dia kehilangan kabar selama 4 bulan, mendengar cowok itu tak menyebut namanya seperti biasanya, melewatinya seperti pohon hiasan. Membuatnya terluka tanpa sadar.

            “Lyesha...” Dia merasa dipanggil berkali - kali ketika sudah berjalan cukup jauh. Namun, hatinya terlalu sakit untuk menoleh. Akhirnya, dia mengambil ponselnya dan pura – pura akting sedang mendapat telpon. Agar cowok itu tak mengejarnya.

            Agar cowok itu tak melihat bahwa ada setetes air mata turun membasahi pipinya sekarang.

♥ ♥

            Lyesha duduk di samping pemakaman Raya, tunangannya. Entah kenapa, perlakuan Bian siang tadi membuatnya melarikan diri kesini dan menangis sepuasnya. Tak peduli seragam susternya kotor. Bian memang mirip dengannya, pria yang dicintai dengan sepenuh hatinya. ketika cowok itu memutuskan pergi meningalkannya tanpa pesan, memilih tidur damai disini, separuh hati yang mencintainya serasa mati dan ikut terkubur disini. Selama itu juga dia menangis, menghancurkan diri,
            Sampai dia bertemu dengan Bian.

            “Ray ...” Lyesha terisak pelan. Dia tak peduli hatinya hancur. Tubuhnya lemas karna harinya mulai rintik, dia tak peduli. “Kenapa kamu pergi ninggalin aku? Terus kamu pertemukan aku dengan seseorang yang mirip kamu? Aku mati tersiksa, Ray. Di saat aku, maaf,” Dia terdiam dan mulai mengulum bawah bibirnya, “Mulai melupakanmu, mulai bisa tersenyum ketika teringat tentang kita, mulai melihat dia sebagai dirinya, bukan melihat dia karna mirip kamu, dia malah menyakitiku tanpa alasan. Aku gak tau, Ray. Oh Tuhan...” Lyesha memeluk nisan yang bertulisan nama tunangannya dan mengelusnya pelan. Memang benar kata orang,

            Ketika seseorang yang menjadi pasangan hatimu pergi dari dunia ini, separuh hatimu yang bertuliskan namanya, yang memuja namanya,dan mencintainya seperti kau mencintainya,  akan ikut mati dan terkubur bersama pasangan hatimu. Tanpa mempedulikanmu yang separuh hatinya hancur berkeping – keping.

            Seseorang menepuk pundaknya pelan dan memayunginya ketika hujan mulai deras. dia mendongkakkan wajahnya dan kaget ketika tau siapa.
            “Bian?”

            “Lyesha...” Dia menggumam lembut dan matanya fokus menatap nisan yang dielusnya. “Bisa berteduh? Harinya hujan, loh.”
            “Lo ngapain disini?”
            “Sama seperti yang lo lakuin disini.” Jawabnya dan menunjuk sebuah nisan yang indah. Indah karna dikelilingi bunga melati yang harumnya tercium sampai sini. “Jasmine. Pacar gue.”
            “Oh.” Lyesha bangkit berdiri dan menghapus air matanya. Tatapannya dingin. “Gue bisa pulang sendiri, Febrian.” Lanjutnya dan dia berjalan menjauhinya.

            Bian menarik lengannya lembut hingga dia berdiri di depannya, tangannya yang besar dan hangat itu, menghapus lembut air mata yang membasahi pipinya. “Maaf. Ijinin gue jelasin sesuatu.”
            Lyesha melirik cafee yang tak jauh dari pemakaman dan Bian seolah paham, tanpa kata – kata dia menggenggam tangan Lyesha dan berjalan menuju Cafee.

♥ ♥

Hei, coba dengarkanlah, harapan aku ini
sebelum kita lanjutkan mimpi kita bersama

Hei, coba pandanglah jiwa yang bertanya ini
sebelum kita lanjutkan kisah yang ‘kan berlangsung ....

Selamanya.”

            Suara penyanyi cafee itu terdengar lembut di telinga mereka. Lyesha menjelaskan siapa Raya dan kenapa pria itu meninggalkannya. Bian menggenggam tangannya erat dan mengelusnya.
            “Gue pernah merasakan kehilangan itu. sakitnya hingga gue merasa, matipun mungkin tak apa. Tapi, ketika gue bertemu dengan lo, gue merasa diberi kesempatan kedua. Gue minta maaf, Lyesha kalau selama beberapa bulan ini menghilang tanpa alasan, tanpa masalah. Gue hanya tak mau bayang Jasmine melekat di diri lo. sedangkan gue, ingin melihat lo sebagai diri lo sendiri. dan ketika gue mendengar bahwa tunangan lo mirip dengan gue. Jujur, gue takut.”

            “Takut kenapa?” Lyesha tegang sekarang. Tegang karna tangan Bian semakin menggenggamnya erat. Membuat keringatnya bercucuran.
            “Takut, kalau lo liat gue karna Raya. Bukan karna gue.”
            “Awalnya memang begitu.” Dia merasakan genggaman Bian mengendur. Tak ingin lepas, Spontan Lyesha menggenggamnya balik. “Tapi, 4 bulan bersama, gue bisa melupakannya, tersenyum ketika kenangan itu hadir. Karna, bagi gue, kenangan dengan orang yang masih hidup dan berada di sekitar kita jauh lebih berharga. Kenangan gue dengan Raya memang indah, tapi kenangan dengan lo, jauh lebih hidup dan berarti.”

            Jawabannya membuat Bian tersenyum. Mungkin benar kata papahnya, dia merasa musim gugur sekarang ketika Lyesha tersenyum hangat padanya.
            “Lyesha...”
            “Iya...”

            “Maukah kita memulai semuanya lagi dari awal? Memulai sebagai diri kita masing – masing tanpa ada bayang – bayang masa lalu?”

            Lyesha tersenyum usil padanya ketika tatapan Bian dirasa lain. “Ini penembakan terselubung ceritanya, Bian?”

            Bian tersenyum manis. Sangat manis hingga membuatnya terdiam. “Iya, Lyesha. Will you?”


“Jaga hati yang kuserahkan untukmu
jangan lupa rasa jatuh cinta pertama kita
dan tali asmara yang ‘kan diuji wkatu
berjanjilah sayangku

Sebelum... selamanya...”

*Sherina – Sebelum selamanya.

♥ ♥

            Jayden duduk di pernikahan salah satu saudaranya dengan mati kebosanan. Kalau saja mamanya tak memaksa hingga mengeluarkan ancaman takkan mendapat warisan sedikitpun, dia takkan duduk disini.
            “ I’ll come back, when you call me
            No need to say goodbye.”
           
            Suara penyanyi itu! Jayden langsung duduk tegak dan mendengarkan dengan teliti. Walaupun 4 bulan meninggalkan Bali dan tak menemukan jejaknya sedikitpun, dia dikaruniai dengan ingatan tajam untuk mengingat suara seseorang. Termasuk suara penyanyi yang terkadang dimimpikannya itu.

            Tanpa sadar Jayden berjalan ke depan untuk melihat lebih jelas, dan tersenyum ketika suara yang sangat dikenalnya itu, yang direkam dalam memori otaknya itu, ternyata adalah dia. Dia dalam balutan gaun putih yang tertutup namun tetap cantik, menyanyi di depan ratusan tamu undangan pernikahan dan menyanyi dengan tenangnya dan membiarkan beberapa tamu undangan berdansa dengan pasangannya. Seolah inilah dunia sebenarnya. Inilah kesenangan hidupnya.

            Dia sengaja mendekat hingga gadis itu melihatnya dan terkejut luar biasa karna melihatnya. Dia tersenyum dan menatapnya lekat. Tak berniat beralih ke arah lain. dan ketika gadis itu selesai menyanyi dan turun dari panggung, dia mendekatinya dan tersenyum.
           
            “Re...” Dia tersenyum ketika cewek yang didepannya sekarang, ikut tersenyum dan menatapnya dalam lalu mengeluarkan ponselnya yang ada di kantong gaunnya.
           
            “Berapa nomor ponsel lo?” Ucapnya dengan senyum masih terkembang.

            Detik ini juga, dia bersumpah dia takkan membiarkannya lepas lagi dalam genggaman.

Now we're back to the beginning
It's just a feeling and no one knows yet
But just because they can't feel it too
Doesn't mean that you have to forget.

*Regina Spector – The Call.

♥ ♥
            Lista terdiam sambil menatap undangan pesta topeng di sekolahnya. Acaranya dimulai jam 8 malam ini. Ando sudah menelponnya, membujuknya untuk ikut. Tapi dia tetap menolak.

            Dia tak berani.

            “Lis...” Tanpa permisi, kakaknya, Erika, yang juga baru pacaran dengan Mikail, gebetannya dari SMA, masuk ke kamarnya dan melihat undangan berwarna silver itu. sebelum dia menyembunyikannya, undangan itu sudah berpindah tangan.
            “Undangan pesta topeng? Bagus ini.” Kakaknya bersorak gembira dan melirik jam dinding di kamarnya lalu menjerit. “Ini udah jam 7 malam, Lista! Kenapa lo gak ganti pakaian?! Ando gak jemput lo?!”
            “Gue aja gak ikut, kak!”
            “Lo harus ikut, Lista. Itung – itung segarin otak sebelum UAN dan lupain ucapan nenek lo tentang salah satu dari kita harus ke Jerman untuk untuk terusin tradisi. Astagaaa... gue, kalau ditanya, jangan mau.”
            Apalagi gue, kak.” Jawab Lista dalam hati. Sejujurnya, 4 bulan setelah pulang dari Bali, hubungannya dengan Ando semakin membaik. Bertengkar pun kadang – kadang. Kalau salah satu mood dari mereka lagi kacau. Dan telpon neneknya tentang tradisi setiap salah satu cucu dari keluarga papahnya, harus tinggal di Jerman agar lebih dekat dengan keluarga besar disana, kak Bian sudah pernah tinggal disana. Itupun Cuma sebulan karna tak tahan. Apalagi dia yang  merasa berat meninggalkan Ando.
            Entah kapan kakaknya keluar dari kamarnya, tau – tau, tiga buah gaun dengan warna indah dan dengan punggung terbuka lebar, terhampar di ranjangnya beserta peralatan make – up, sepatu super tinggi, dan topeng indah yang sengaja dikoleksi kakaknya untuk pesta – pesta tertentu. Semua ada di depannya. Tinggal pilih.
            “Ayooo.. Lista, pilih yang mana? Ada merah, biru malam, dan hijau toska! Cocok noh buat warna mata lo.” Erika menyodorkan baju gaunnya yang indah itu dengan bagian punggung terbuka.
            Lista mendorongnya jauh – jauh. Dia mundur perlahan. “Gue gak ikut, kak.”
            “Kenapa? Lo takut?”
            Lista mengangguk. “Terakhir gue ikut pesta, kejadiannya sangat mengerikan dan buat gue gak mau mengulangnya lagi, kak.”
            “Tapi, Lis.” Erika mendekati adiknya yang terdiam mematung. “Itu masa lalu. Ando gak akan melakukan hal setolol itu dengan lo, Lista. Gue udah yakin tentang itu. Dia bukan Dylan. Sampai kapan lo ketakutan begini, Lista?”
            “Gue bukan pecinta pesta, kak.”
            “Apa salahnya ikut sesekali? Kalau lo gak tahan, bisa pulang, kok. ayolaahh.. sekali aja, ijinin gue, kakak lo, dandanin lo dengan cantik.”

            Lista terdiam. Dia teringat bujukan Ando yang gencar seminggu yang lalu hanya untuk mengiyakannya pergi pesta. Awalnya dia tak mau, tapi ...

            Bujukan kakaknya yang manis, gaun – gaun yang cantik dan sayang untuk tak dia kenakan, hiasan kepalanya yang indah dan topeng yang akan mempercantik keseluruhannya nanti, membuatnya tergiur. Tanpa sadar dia mengangguk lemah.
            “Iyadeh kak, Lista mau.”

            “Yes!” Erika langsung menarik Lista untuk duduk di meja rias dan mulai mendandaninya sambil bersiul senang.

♥ ♥

            “Iya, sayang. Kamu jam berapa pulang?” Tanyanya sambil asyik membuka buku kenangan SMAnya yang baru ditemukannya saat membereskan lemari belajarnya yang bergelimpangan dengan diktat kuliahnya.
            “Aku jemput?” Bian was – was ketika Lyesha, pacarnya bilang dia akan pulang jam 12 malam. Terlalu malam untuk seorang gadis, apalagi pacarnya, pulang jam segitu.
            Tapi penolakan Lyesha dan penjelasannya kenapa dia tak mau, membuatnya tenang. “Iya, sayang. Kamu jangan lupa makan, yah. kalau gak....” Bian tersenyum menggoda walau tau pacarnya tak melihat, “Aku suapin pakai bibir loh. Mau?”
            Bisa dibayangkan betapa meronanya wajah pacarnya itu sekarang. Dan itu membuatnya rindu sambil membaca satu – persatu biodata temannya hingga terhenti pada satu data temannya. Dia terdiam. Wajahnya dipandanginya lekat. Dia merasa hawa panas memeluk dirinya.

            Begitu panasnya hingga ingin membunuhnya.
            “Sayang, sudah dulu yah, aku mau pergi dulu. Goodbye, I love you.” Tutupnya dan membaca suatu data yang selama ini di anggapnya angin lalu. Dan itu, membuatnya terbelalak.

            “Jadi, dia adiknya ... Well, sudah gue duga.”

♥ ♥     

            Ando duduk tak tenang di ruang tamu Lista. Gadis itu menelponnya dan bilang akan ikut pesta topeng itu. membuatnya tersenyum sangat bahagia dan langsung bersiap – siap lalu meluncur kesini. Tak sabar menunggu pacarnya turun.

            Suara hak sepatu tinggi yang bersentuhan dengan tangga, menggugah kesadarannya. Dia mendekati asal suara itu dan tercengang.
            Lista, terlihat sangat cantik. Luar biasa cantik. Rambut pendeknya ditata sedemikian rupa dan diberi hiasan seperti tiara di atas kepalanya, gaun panjang berwarna hijau toska, seperti warna matanya, sangat manis di badannya dan pas. Ketika gadis itu menghampirinya, dia memegang pinggangnya yang polos karna gaun itu berbelah di belakang. menampilkan punggung yang mulus dan putih dan seutas tali yang menyilang. sangat seksi. Membuatnya mendadak tak bisa berkata apa – apa.
            “Cantik.” Pujinya ketika melihat keseluruhan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

            “Dan lo ganteng.” Pujinya dalam hati ketika melihat Ando mengenakan tuksedo hitam yang seolah ditakdirkan untuk dia kenakan, dasi bewarna abu – abu yang sengaja dibikin longgar dan rambutnya yang dibentuk mohawk. rapi, namun tak meninggalkan sisi bengalnya.
            “WAW!” Suara penuh pesona muncul dari belakang mereka. Bian, dengan kacamata yang bertengger di wajahnya, terpesona melihat Lista. “Cantik sekali dikau, dek. Ckckkck...”

            Lista hanya tersenyum malu. dia melirik Ando yang masih merangkul pinggangnya dengan posesif. Seolah tak ingin dilepas. “Ayooo...”
            “Yuk, sayang.”
            Bian memandang mereka dengan geli. “Santai aja,Ndo. Udah, bawa sana adek gue ke pesta. Sebelum dia berubah pikiran.”

            “Sip, Kak Rika, Kak Bian, duluan.” Ando langsung merangkul Lista keluar dari rumahnya dengan saling merangkul pinggang. Sambil melempar lelucon.

            Bian menatap kepergian mereka dalam diam. Entah kenapa, dia menjadi khawatir dengan adiknya ini. “Kak, Kalau Dylan muncul lagi, lo bagaimana?”
            Pertanyaan Bian membuat senyumnya hilang seketika. “Maksudnya?”
            “Mikail, pacar lo, satu jurusan kuliah dengan dia di Amerika. Dan dia bilang ...” Bian terdiam. Emosi yang dia sembunyikan selama 3 tahun lebih, akhirnya bisa dia keluarkan.
            “Dylan ada di Indonesia. His back now. And let me say,” Bian tersenyum sinis, “Say hello with your death from now, Boy.”

♥ ♥     

            “Silahkan,” Ando turun dari mobil dan membantu Lista menjejakkan kakinya di tanah. Perhatiannya membuat gadis itu tertawa. “Lucu deh,”
            “Sering – sering aja lo dandan kayak gini, Lis. Kan enak juga diliat.”
            “Hahhahaaa.. gue pikir – pikir, deh. yuk.” Dia tersenyum dan membalas rangkulan Ando di pinggangnya yang terpampang jelas kemulusan kulitnya.
           
            Semua mata tertuju pada mereka berdua. Ando melangkah ringan memasuki aula sekolah yang luas dan disulap menjadi ruangan pesta yang mewah itu dengan Lista yang tak henti – hentinya ditatap penuh puja oleh teman – temannya walau wajahnya ditutupi topeng yang bewarna senada. Menyisakan mata hijau toskanya yang berpendar tajam. Membuatnya semakin memperketat rangkulannya. Seolah menandakan, She is mine, boys.
            Lista tak enak dengan rangkulan Ando yang posesif di pinggangnya yang tak tertutup itu. tapi, ketika melihat Karen, dengan gaun merah marunnya yang menyala dan menyilaukan mata, mengenakan topeng warna emasnya, dia dirangkul seseorang yang tak kalah posesifnya. Mendekati mereka yang asyik berbicara dengan Jayden dan pasangannya, Rere, dia tak fokus.

            Merasa kenal. Tapi tak yakin.
           
            “Hai,” Karen menyapa ramah mereka dan tersenyum ke arahnya yang dirangkul Ando. membuatnya jengkel dalam hati. Namun ditahannya.
            “Lo dengan siapa, Ren?” Tanya Ando ketika pasangan Karen pergi sebentar untuk mengambil minum dan kembali pada Karen yang tersenyum padanya.
            “Dia? Oh, ini kakak gue baru pulang dari Amerika, Dylan William Perdana.” Karen dengan santainya memperkenalkan kakaknya ke arah mereka. Membuat Lista yang sedang minum saat itu dengan posisi membelakangi Ando karna asyik berbicara heboh dengan Rere, pasangan Jayden, mendadak tersedak dan matanya melotot. Wajahnya mendadak pucat pias. Dia spontan menggenggam tangan Ando yang bingung dengan ulahnya.

            Karen, seolah tak sadar keadaan, memperkenalkan mereka, “Kak,” Dia merangkul Dylan yang mengenakan tuksedo bewarna abu – abu, dan mengenakan topeng bewarna senada. Menatap ke arahnya. “Ini Ando, teman sebangku Karen, dan Elista Pradipta, pacarnya. Dan ini Jayden sama Rere, pasangannya, kak.”

            Dylan melepas topengnya dan menatap Lista yang kini berbalik dan menatapnya tajam. Dia bisa melihat sorot ketakutan itu di matanya yang indah dan bening. Membuatnya hampir tertawa. namun karna tak ingin dicurigai, dia mengulurkan tangan kearah Lista, “Dylan, lo?”
            “Elista.”
            “Dipanggil? Tata?” Dylan sengaja menyebutkan nama panggilan ceweknya itu. sekedar ingin mengecek bagaimana reaksinya.
            Reaksinya tepat. Lista mematung. Sorot matanya semakin terlihat ketakutan ketika dia sengaja tersenyum. Senyuman yang dulu membuatnya terpesona.
            “Just call me, Lista, Please.” Lista langsung melepas rangkulan tangannya ketika dirasa mengetat. Tatapan mata coklatnya Dylan yang tajam membuat lututnya serasa berubah menjadi batu.
           
            Oh Tuhan... kenapa dia ada disini?!

            “Okay. If you want, you can call me, Dylan.”
           
            “As your pleasure,” Lista tersenyum manis. Berusaha menghilangkan ketakutan dihatinya dan menunjukkannya ke cowok itu, dia bukan Lista 3 tahun yang lalu. Yang seenak hati diinjak kemudian ditinggalkan begitu saja.
           
            “Sayang...” Dia sengaja merangkul lengan Ando yang sekarang asyik berbicara dengan Karen yang setiap inci langkahnya mendekat kearahnya. Meminta pujian, mungkin. Dan Dylan yang sesekali meliriknya. Membuatnya tak nyaman. “Gue ke toilet dulu yah sebentar.”
            “Mau ditemenin? Sepi, loh.” Ando khawatir. wajar saja, disaat seperti ini, tempat umum biasanya sangat sepi dan pacarnya ini terlalu cantik untuk berjalan sendiri.

            Lista menggeleng. “Gausah. Gue sendiri aja. Bisa kok.” Dia tersenyum dan berjalan anggun meninggalkan Ando yang masih menatapnya cemas. Ingin hatinya mengikuti, tapi Karen mengajaknya berbicara tentang kursus Potografi yang diikutinya.

♥ ♥

            “Ando...” Karen mendekati Ando yang asyik berbicara dengan Jayden. Tanpa ragu dia merangkul pundaknya dan mengelusnya lembut.
            “Lepas, Karen.” Ando langsung melepas rangkulan Karen dan membuat gadis itu merajuk. Namun ditahannya.
            “Kok dilepas sih? Lo suka, kan?” Dia bergelayut manja di pundak Ando sekali lagi dan membuat Ando lama – lama jengkel.
            “Lo kenapa sih, Ren?! Heran gue!” Dia menepis kasar tangan Karen yang menyentuhnya. Membuatnya marah.
            “Lo mau tau kenapa? Mau tau KENAPA?!” Karen berteriak dan mendekatkan diri ke Ando. “Liat gue! Liat apa yang gue punya! Kenapa lo gak bisa melihat itu dan tetap melihat Lista?! Gue suka sama lo, Ndo! “

            Sebelum Ando hendak menjawab, dia melihat kakaknya Lista, Bian, celingak – celinguk di dalam ruangan. Kemejanya yang agak berantakan, dan wajahnya panik membuatnya bingung. Ketika kak Bian melihatnya, cowok itu langsung menghampirinya.
            “Lista mana, Ndo?”
            “Di toilet kak.”
            “Sendiri?”

            Tatapan Bian beralih ke arah Karen. Dia tau siapa Karenina ini sekarang. Dan menyesal kenapa baru saja tahu dari Mikail dan buku kenangan SMAnya itu.

            Karenina Azura Savanna, Adik perempuan kesayangan Dylan.
           
            “Kakak lo mana? Dylan?”
           
            “Dia ke toilet juga, kak. Sekalian mau jalan – jalan. Kakak kenal kak Dylan darimana?”

            “Gak perlu lo tau, Ren. Yang jelas,” Dia tersenyum sinis. “Kakak lo hutang besar sama gue.”


♥ ♥


            Lista terdiam di toilet sambil menatap wajahnya di cermin. Dia kalut. Dia tak menyangka Dylan, cowok dengan segala pesonanya, yang dulu membuatnya tergila – gila hingga berani melawan kedua kakaknya sendiri, hadir lagi, menerornya. Dan dia tak pernah menyangka,
            Dylan itu adalah kakaknya Karen.

            Oh Tuhan...” Pusing dia sekarang. Dia merasa tak tenang. Kehadirannya mengintimidasinya. Seolah setiap tingkahnya diawasi.

            “Gue minta pulang aja deh,” Lista langsung mengambil tasnya, dan berjalan keluar, namun langkahnya terhenti ketika melihat Dylan, berdiri di depan pintu toilet, dasinya sudah dilonggarkan, tiga kancing atas kemejanya sudah terbuka, dan rambutnya acak – acakan. Tatapan mata tajamnya membuat Lista terdiam.
            “Hai Tata. Kaget liat gue?” Dia beranjak dari tempatnya dan menutup pintu lalu menguncinya. Membuat Lista terdiam. Hanya mereka berdua didalam toilet. Sedangkan jarak antara tempat mereka sekarang dengan aula jauh. Keadaan ini membuatnya frustasi.
            “Mau ngapain lo, Dylan?! Keluar!” Dia langsung berjalan mundur, dan Dylan berjalan maju, dia semakin melepas dasinya dan tersenyum ketika gadis itu berhenti karna terhalang tembok. Wajahnya semakin ketakutan.
            “Potong rambut, berubah tomboy, karna gue, hm,” Dia menahan kedua tangannya di sisi kiri dan kanannya Lista dan mendekatkan wajahnya hingga mereka bersentuhan ujung hidung. “Sayangnya, itu gak berhasil Lista. Lo tetap bikin gue turn on.”

            Ucapan itu sukses membuat semua memori tentangnya menyeruak keluar tanpa ampun. Memori yang sudah dilupakannya sejak Ando masuk dalam kehidupannya dan mencoba menerimanya. Dia menatap Dylan yang kini memeluk pinggangnya dengan tangan kirinya. Membuatnya tersengat.
            “Lepasin, Dylan! Lepasssss!!” Lista memberontak dan mendorongnya mundur, namun Dylan langsung menangkap kedua tangannya, lalu meletakkannya dia atas kepala, dan dia menindihi Lista yang sudah pucat pasi itu dengan badannya. Membuatnya semakin ditekan.
            “Lepas, Heh?” Dia tersenyum miring, “Jangan pernah mimpi, sayang. Setelah aku mendapatkan semuanya, SEMUANYA. Tanpa sisa.” Ucapan itu seolah membuka kotak pandora mimpi buruknya tentang Dylan. Membuatnya melotot ketakutan.
            Tanpa peringatan, Dylan langsung mencium bibirnya dengan kasar. Membuat Lista menendang kakinya ke arah Dylan. Namun cowok itu langsung membelit kakinya, meremas pergelangan tangannya yang dicekal, dan semakin menekannya ke tembok dengan tubuhnya. membuatnya lemas.
            “Masih sama seperti 3 tahun yang lalu. Tapi, yang ini...” Dia melepas pagutan bibirnya dan mengelus bibir Lista yang bergetar ketakutan, “Lebih manis.” Sambil berkata begitu, dia kemudian mengarahkan ciumannya ke leher Lista yang jenjang, ketika gadis itu hendak berteriak kesakitan karna digigit, Dylan langsung membungkamnya dengan menempelkan tangan kananya ke mulut Lista.

            “Oh Tuhan, Dimana Ando, dimana Kak Bian, dimana Kak Rika? Somebody, help me!” Lista berulang kali mengucap harapan dalam hati. Tubuhnya ditekan segala sisi. Dylan menggigit lehernya berkali – kali hingga memerah, tangannya mati rasa karna ditekan di atas kepalanya dengan tangan kiri Dylan, mulutnya dibekap, dan tubuhnya ditekan ke tembok oleh tubuhnya yang tegap itu.

            Entah apa yang terjadi, tau – tau dia mendengar suara pintu di dobrak, dan Dylan ditarik paksa darinya ketika cowok itu mengecup pundaknya yang polos. Dia mendengar suara yang sangat dikenalnya, sangat hingga dia ketakutan, dan seseorang langsung memeluknya.
           
            Ando memeluknya erat. Sangat erat hingga dia merasa tubuhnya lemas seketika.
            Dia melirik di balik pelukan Ando, melihat suara cowok yang menggelegar, suara penuh kemarahan yang dikenalinya, dan tatapan mata yang biasanya ramah itu, berubah menjadi bengis.

            Kak Bian menghajar Dylan dengan membabi buta tepat di hadapannya.

            “Ando!” Bian berteriak ketika Dylan membalas tamparannya di wajah dan tendangan di perut, membuat Lista yang dilihatnya sangat ketakutan hingga sekujur tubuhnya bergetar di pelukan Ando. kalau saja dia tak berinisiatif menemui Lista disini dan membiarkan cowok berengsek ini menghancurkan adiknya, entah apa jadinya nanti.“ Bawa adik gue pulang kerumah, biar gue,” Dia tersenyum sinis dan menyeka darah yang menetes di sisi kiri bibirnya. Hanya luka kecil. Pikirnya. “Urus dia. Kami masih punya bisnis kecil yang perlu diselesaikan.”

            Ando langsung menuruti keinginan kak Bian dengan menuntun Lista yang sudah lemas itu ke mobilnya. Meninggalkan Bian yang sekarang tersenyum sinis. Senyum yang tak pernah ditampakkannya pada siapapun. Namun sanggup membuat orang yang melihatnya, melarikan diri.

            “Kalau lo ingin menghancurkan Tata sekali lagi,” Dia menghajar Dylan yang jatuh tersungkur, dan membuat cowok itu membalasnya dengan menendang tulang rusuknya hingga dia muntah darah. “Lo harus berurusan dengan gue dulu, Dylan.”

♥ ♥

Everybody got a dark side.

            Ando mengantarkan Lista sampai ke kamarnya dan mendudukkannya di ranjang. Kedua orang tua gadis itu sedang lembur, sedangkan kak Rika langsung pergi ketika tau darinya kalau adiknya sedang menghajar orang di sekolah. Meninggalkan mereka berdua disini.

            Lista hanya diam sepanjang perjalanan hingga sampai disini. Tak ada sepatah katapun keluar. Tatapan matanya kosong dan penuh ketakutan.
            “Lis...” Dia menggenggam tangan Lista yang dingin itu dan mengelus pipinya. Kalau saja kak Bian tak datang saat itu dan menariknya ke toilet, dia takkan pernah tau. Dan takkan pernah membayangkannya.
           
            Lista menatapnya dalam. Tangan kirinya langsung digenggam erat. Seolah mencari kekuatan. Mencari penopangnya. Dan Ando, entah karna melihat sorot mata ketakutan Lista yang terpancar kuat, bibirnya yang bergetar menahan tangis, membuatnya tanpa sadar, tanpa rencana, langsung mencium gadis itu. memberinya kekuatan.
            Ciuman yang hangat. lidah bertemu lidah kemudian memainkannya lembut, membuat Lista mengerang dan menarik dasi Ando agar dekat dengannya. Agar ciumannya semakin dalam. Membuatnya jatuh terlentang di kasur dengan Ando diatasnya.
           
            Tangan Ando langsung menyentuh lembut lehernya, menggoda telinganya, sedangkan ciuman mereka semakin intens. Semakin panas. Membuatnya gerah dan melepas tuksedonya lalu melemparnya ke lantai.

            Satu kesadaran menghentakkannya ketika melihat tuksedo jatuh ke lantai. Lista langsung mendorong Ando menjauh dan ketika cowok itu mendekatinya, dia beringsut menjauhinya. Seolah tak kenal.
            “Lo kenal Thomas, Jeremy, dan Ari? Jangan mendekat!” Lista semakin menjauhi Ando yang menatapnya bingung dan dia berhenti di sudut kamar dan duduk dilantai. dia memeluk dirinya sendiri ketika Ando mendekatinya.
            “Jangan sentuh gue!”
            “Lis ... ini gue, Ando. dan gue gak kenal siapapun yang lo sebutkan itu. mereka siapa? Apa hubungannya dengan lo?” Ando memegang kepalan tangan Lista yang memutih saking kuatnya.
            “Lo bukan salah satu dari mereka, Ndo?”
            “Bukan, Lista. Mereka siapa lo?”

            Lista menangis tak terkendali sambil memeluk dirinya. membuat Ando langsung memeluknya erat dan dia membalasnya. “Ndo, gue mau cerita sesuatu, tapi please, jangan tinggalin gue setelah lo tau ini.” Lista berkata dengan sesegukan.
            “Gue janji, Lista.” Dia mengecup puncak kepala Lista dan mengelusnya.

            “Sebenarnya gue...” Dia terdiam. Hatinya semakin sakit.

            Tapi Ando harus tau. Rahasianya. Sisi gelapnya.
           
            “Gue sudah gak perawan lagi, Ndo. Gue pernah diperkosa mereka. Termasuk...” Dia terdiam. Menarik napas. Melihat reaksi Ando yang menegang di pelukannya. “Dylan.”

            “Mereka memperkosa gue, Ndo.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar