“Gue ngantuk, Ndo..” Sudah ribuan
kali dia menggumam kemudian menguap. Tidurnya yang indah di kamar dengan kasur
yang empuk berubah menjadi duduk di jok mobil sewaan dengan kepala pusing karna
dibangunkan paksa. Ando membangunkannya dengan brutal saat jam masih
menunjukkan 4 subuh! Membuatnya jengkel seketika ketika teringat itu.
FLASHBACK
“Lis,
bangun dong! ayolah... kita telat nih.” Ando berusaha membangunkannya di saat dia
masih berada di alam mimpi.
Cindy
yang merasa bersalah karna membukakan Ando pintu yang berujung menyelonong
masuk kamar tanpa ijin dan membangunkan sahabatnya, angkat suara, “Lo mau
ngajakin Lista kemana sih?! Ini masih jam 4 subuh, Ando! bukan jam 9 pagi!”
Dia
menghentikan kegiatannya dan menatap Cindy yang berdiri di belakangnya dengan
rambut acak – acakan, baju daster selutut dengan tali satu itu dengan datar,
tak berniat menggoda atau tergoda. Karna otaknya terlalu fokus dengan apa yang
dilakukannya sekarang.
Shabrina
yang terbangun karna suara ribut – ribut, meliriknya, “Ngapain lo disini, Ndo?”
“Bangunin
Lista,” Jawabnya sambil melirik Shabrina sekilas. Lalu berpaling lagi.
Putus
asa, dia menggelitiki telapak kaki Lista yang mulus itu dengan pelan, membuat
cewek itu terkikik geli dalam tidur dan menggeliat pelan kesana – kemari karna
kegelian. Membuatnya terpaku. terpesona.
Lista,
tidur hanya mengenakan tank top berwarna putih tulang, memperlihatkan secara
jelas lekuk tubuhnya yang langsing, dan celana super pendek hingga kaki
jenjangnya terpampang jelas, dan wajah tidurnya yang cantik serta polos itu
menambah keseksiannya. Dalam kategorinya sendiri.
Dia
membuka matanya dan menatap Ando yang duduk di depan sambil menggelitiki
kakinya, dan kedua sahabatnya yang berdiri di sampingnya dengan wajah
mengantuk. Dia tak sadar sampai akhirnya melirik ke bawah, memperhatikan
pakaiannya, dan...
“KYA!!!
APA YANG LO LAKUIN DISINI, ANDO?! KELUAR!”
♥
♥
“Melamun
aja.” Ucapan Ando membuyarkan kenangannya sejam yang lalu. Yang membuatnya
terduduk disini. Dia menggerutu dan menjitak kepalanya pelan. “Lo itu kenapa
sih?! Hobi banget bangunin gue pagi buta! Nyelonong masuk kamar lagi!”
“Gue
kan masuk karna dibukain Cindy. Lagipula, baru dua kali doang kok gue bangunin
lo jam segini. Bangun pagi – pagi sehat non sebelum jam 12 siang kita balik ke
Bandung. Apa salahnya?” Dia menjawab sambil mengelus kepalanya yang dijitak
Lista. Tak berniat membalas.
“Gue
baru aja tidur jam 12 malam karna ngepak,Ndo! Dan lo bangunin gue jam 4 subuh!
Gue Cuma tidur 4 jam!”
“Kan
lo bisa tidur disini, Lis. Ntar gue bangunin kok kalau tiba. Gue jamin, ketika
lo melihat tempatnya, lo akan suka dan menyayangkan kenapa pulang hari ini.” Dia
tersenyum ketika Lista menatapnya curiga.
“Lo
aneh deh.”
“Udah,
tidur aja sana. Biar lo bisa nikmatin pemandangan.” Dia menatap Lista yang
masih meliriknya dan mengacak rambutnya sambil tertawa.
“Iyaa...”
Lista menyandarkan kepalanya di jok mobil dan menutup matanya. Sedetik
kemudian, dia benar – benar tertidur.
Ando
melihat wajah tidur Lista, tersenyum dan melaju menuju desa Kalibukbuk,
Kabupaten Buleleng, Bali. Yang berada di pesisir Bali Utara.
♥
♥
Karen
keluar dari kamarnya dengan wajah sumringah. Di kepala cantiknya sudah banyak
ide untuk mengajak Ando jalan – jalan sebelum mereka ke Bandung. Dia akan
menggunakan janji Ando yang akan mengajaknya ke galeri dan beberapa tempat
bagus lainnya di sekitar Villa pada pagi hari sebelum mereka berantem sebagai senjata
agar Ando menemaninya. Mengingat rencana itu, senyumnya semakin lebar dan
melangkah ringan menuju kamarnya dan mengetoknya.
Pintu
kamar dibuka dan dia melihat Jayden menatapnya bingung. Mata abu – abunya
meliriknya dari atas sampai bawah. Menilai penampilannya yang mengenakan baju sport
namun tetap terlihat seksi. Membuatnya nyengir kuda.
![]() |
Jayden |
“Nyari
Ando? dia udah pergi tuh ama Lista.” Jelasnya sebelum Karen mengucapkannya.
Seolah tau apa yang membawa cewek satu ini berdiri di depan pintunya jam setengah
6 subuh ini kalau bukan sahabatnya itu.
Karen
membelalakkan matanya. Shock. “serius?!”
“Ngapain
gue bohong, Ren? Dia udah pergi jam 4 subuh tadi. Membangunkan Lista lalu pergi
berdua deh. gak tau kemana. Memangnya ada apa?”
Karen
jengkel luar biasa. Gagal rencananya jalan – jalan pagi dengan gebetannya. Dia
memasang wajah manis untuk menutupi perasaannya. Gak papa. Gue mau nagih janji
dia aja kok untuk jalan – jalan subuh. Rupanya telat kali yah.” Dia mendengus
pelan. Membuat Jayden yang memperhatikannya, tertawa geli.
“Terus,
lo mau kemana nih?”
“Jogging
aja deh sama Pamela. Kenapa? Mau ikutan?”
Jayden
menoleh ke belakang dan melihat Dion yang masih tertidur pulas dengan baju kaos
terangkat ke atas. Memamerkan sedikit perut buncitnya. Membuatnya tertawa geli.
Sebuah ide muncul di kepalanya, “Tunggu bentar yah diluar. Kita bareng deh. gue
bangunin Dion dulu. Oke?”
Karen
terlihat berpikir. Mungkin jalan dengan Jayden dan Dion tidak rugi juga
mengingat wajah mereka enak dibawa keluar. Apalagi Jayden. Rencana itu
membuatnya tersenyum. Sedikit mengurangi kekesalannya. “Boleh deh. gue tunggu
diluar.”
“Oke.”
Dia masuk ke dalam kamar dan Karen berbalik arah untuk masuk kamarnya untuk
mengajak Pamela jogging.
♥ ♥
Lista
berjalan dengan mata ditutup oleh sehelai kain oleh Ando yang menuntunnya. Dia
tak tau berada dimana sekarang. Ando sudah menutup matanya ketika mereka
berhenti di suatu tempat dan membuatnya tak bisa mengenalinya.
“Ini
dipantai yah?” Lista merasakan kakinya menginjak pasir yang lembut. Dan itu
membuatnya tersenyum. Dia paling menyukai pantai. itu sebabnya dia mencintai
Bali. Bahkan dulu sempat mengkhayal waktu masih kecil, ingin kalau sudah besar
nanti, akan menikah di kota ini. Dengan latar pantai dan matahari terbenam
serta pesta pernikahan yang berada di tengah pantai. bukan di dalam gedung. Dia
ingin kakinya nanti menginjak pasir pantai, bukan menginjak keramik gedung
mahal. Khayalan konyol itulah yang membuat kedua orang tuanya tertawa.
“Kenapa
senyum – senyum?” Ando rupanya menyadari wajah Lista yang tersenyum walau
matanya tertutup. Dia tau kecintaan Lista akan pantai. dan dia menemukan pantai
indah di Bali yang akan menjadi penutup hari mereka di Bali sebelum kembali.
“Gak
papa.” Lista menjawab tergeragap. Udara dingin pantai menerpa kulitnya. Udara
segar yang membawa aroma khas pantai seolah memanggilnya untuk berlari dan
membiarkan kakinya basah oleh air pantai, tangannya sudah gatal untuk menulis
di hamparan pasir atau membuat apa saja. Kenyataan itu membuatnya merengek.
“Ando!
lepasin dong. apa gunanya lo bawa gue kesini subuh – subuh kalau tak bisa
menikmati pemandangannya? Ayolah... gue gak sabar nih,”
Ando
tertawa mendengarnya. Dia berhenti ketika kaki mereka sudah merasakan air
pantai, “Tunggu disini. Gue gak jauh kok.” Ucapnya dan pergi untuk mendekati
salah satu kapal nelayan dan saling tawar harga. Setelah selesai, dia mendekati
Lista,
“Yuk.”
Dia menuntun Lista menuju kapal nelayan itu dan membantunya naik. Agak susah
karna matanya masih tertutup kain.
“Kok
naik kapal sih? Ini dimana, Ndo?! Ayolaah... jangan sok teka – teki deh kalau
gue tau kita sekarang berada di pantai!” Gerutunya sambil membuka penutup
matanya, namun Ando sigap menahan tangannya dan menggenggamnya kuat.
“Gue
aja yang bukain. Sekarang, lo diam aja dan nikmatin semuanya.”
Kapal
nelayan itu membawa mereka ke tengah pantai, ketika tiba, kapalnya berhenti.
Ando melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul 06.00. dia tersenyum.
Semuanya pas. Dia melihat sekelilingnya dan tersenyum ketika apa yang
ditunggunya, muncul bersamaan dengan matahari terbit.
“Dengar
suara itu?” Bisiknya dan Lista mengangguk dengan mata tertutup. “Tapi gue gak
tau itu suara apa. Aneh.”
Ando
tersenyum. Dia berpindah posisi dari disamping Lista menjadi duduk di
belakangnya, dia membuka penutup matanya, “Lo liat sekarang.”
Lista
membuka matanya dan terhenyak. Di depannya, Lumba – lumba liar berloncatan
kesana – kemari. Beberapa mendekati kapal nelayan mereka. Menyambutnya dengan
nyanyian mereka, dan menyambut matahari pagi yang muncul dengan indahnya.
Membuatnya tak bisa berkata apa – apa.
“Lumba
– lumba di tengah pantai?! Ando! ini ... astagaaaaa...” Dia tak bisa berkata
apa – apa dan spontan memeluk Ando yang duduk dibelakangnya. Terlalu bahagia.
Ando
membalas pelukannya dan mengelus punggungnya. “Suka? Kita di pantai Lovina.
Pantai yang menjadi tempat tinggal lumba – lumba liar. Mereka munculnya pagi
doang. Saat matahari terbit. Itupun untung - untungan, Lis. Dan kita salah satunya.”
“Gue
sukaaa... Aaaa... Ini impian gue!” Dia berteriak kesenangan di pelukan Ando dan
mendongkakkan wajahnya. Menatapnya yang hanya tersenyum.
Lumba
– lumba itu mengelilingi kapal kecil mereka. Membuatnya melepas pelukannya dan
duduk di pinggir kapal. Untuk berdekatan. “Mas, boleh disentuh gak lumba –
lumbanya?”
“Jangan,
Mbak. Mereka liar masalahnya. Takutnya nanti kenapa – napa.”
“Tapi,,,
kita bisa berenang kok bareng mereka.” Usul Ando membuatnya melotot. Dia tak
membawa baju ganti dan tak bisa berenang.
Seolah
tau, Ando melanjutkan. “Gue bawa baju ganti dan akan menuntun lo di tengah
pantai. gimana?”
“Gimana
yah...” Lista terlihat berpikir. Dia sebenarnya bisa berenang walau sedikit,
tapi, trauma menghalanginya.
“Tapi
gue mau...”
“Yaudah
deh.” Lista langsung meloncat ke tengah pantai. membiarkan dirinya dikelilingi
lumba – lumba liar yang seolah bertepuk tangan akan kenekatannya. Membuat Ando
tersenyum sambil mengobrol sebentar dengan pemilik kapal, kemudian melepas
pakaiannya hingga bertelanjang dada dan menceburkan diri.
Lista
langsung menatap ke arah lain ketika melihat dada bidang Ando terpampang jelas
di depannya sekarang. Dadanya seperti ada gelombang pasang. Membuat jantungnya
berdetak lebih cepat ketika cowok itu mendekatinya dan tanpa malu – malu
merangkul pinggangnya. Memeganginya. “Gimana? Suka?” Tanyanya sambil memegang
pinggangnya. Membuat jarak mereka sangat dekat. Seolah tanpa batas.
Lista
merasa wajahnya memerah sekarang. Lebih merah dari semburat matahari terbit
yang menyinarinya. “Iyaa... Ndo,”
“Hmmm...”
“Lepasin
tangan lo dari pinggang gue,” Ucapnya pelan. Namun cukup membuatnya sigap
melepasnya dan melirik ke arah lain. rupanya pantai cukup membuatnya melakukan
hal – hal diluar nalarnya.
“Sorry,
Gue Cuma ...” Dia terdiam. Tak tau harus bilang apa. Mendadak salting.
Dan Lista hanya menatapnya sambil mengangkat bahu dan bermain dengan lumba –
lumba liar yang mendekatinya.
“Mau
gue fotoin?” Tawarnya ketika melihat Lista mulai didekati lumba – lumba itu.
moncongnya mencium pipi mulus Lista. Membuatnya terkikik geli.
“Mauuuu...”
“Bentar
yah,” Ando tersenyum sambil berenang mendekatinya lalu mengacak rambutnya. Dan
dia kemudian menuju ke kapalnya, naik ke atas, dan mengambil kameranya yang
berada dalam tas ranselnya, lalu mulai memfotret Lista sebanyak dia mau.
Sebanyak dia ingin.
♥
♥
Karen
tertawa terbahak – bahak ketika Jayden melemparkan lelucon ke arahnya. Sahabat
Ando yang satu ini sukses membuat kekesalannya hilang. Lelucon yang
dilemparkannya sukses membuatnya dan Pamela tertawa. bahkan tanpa ragu dia
merangkul pundak Jayden yang santai saja dengan tingkahnya.
“Lapar?”
Tanya Dion ketika melihat Mc Donald’s berada di depan mereka. Perutnya
mendadak berbunyi keras. Padahal mereka tak jauh berjalan.
Jayden
tertawa dan meledeknya, “Dasar tukang makan! Gak malu apa sama Karen dan
Pamela? Jaga image, Bro!”
Pamela
yang daritadi diam saja, menimpali, “Gue juga lapar, Yuk, Dion,” Tanpa ragu dia
menggandeng Dion masuk restoran cepat saji itu. mengabaikan Karen yang masih
merangkul pundak Jayden dengan erat. Dan
mereka saling berpandangan.
“Mau
masuk?” Tawarnya dan Karen mengangguk. Membuat Jayden nyengir dan melepas
rangkulan pundaknya, dan membungkuk di depan Karen lalu mengambil tangan
kanannya dan mengecupnya. “Silahkan, Nona.” Ucapnya sambil melirik Karen yang
tertawa dan tersenyum. “Lucu amat sih lo.”
“Inilah
aslinya gue, Ren.” Dia tersenyum dan merangkul Karen masuk restoran itu sambil
sesekali bercanda dan menggoda Dion yang memesan terlalu banyak untuk sebagai
sarapan pagi.
♥
♥
Gadis
itu terdiam di seberang jalan. Dia melihat bagaimana akrabnya Jayden dengan
seorang cewek cantik, dan bagaimana romantisnya. Membuatnya merasa sedikit
sesak di hati. Entah apa. Dan itu tak wajar.
“Gue
terlalu berharap rupanya.” Gumamnya dan menyetop taksi yang baru lewat dan
memasukkan beberapa koper besarnya ke dalam bagasi dengan bantuan sopirnya.
Hari ini adalah terakhir dia berada di Bali. Dia akan kembali dan mungkin...
Takkan
ada pertemuan selanjutnya untuknya.
“Kemana, Non?”
“Bandara
Ngurah – Rai, mas.” Dia menjawab yakin sambil memegang tiket pesawat yang
dipegangnya erat. Dia akan meninggalkan Bali, kota yang memberinya kenangan
ini, satu jam lagi dan menuju tempat asalnya.
Flashback.
“Re...”
Panggilnya ketika dia asyik menulis namanya sendiri di hamparan pasir putih
saat matahari mulai terbenam. Pertemuan dua hari yang lalu itu membuat mereka
dekat. Mereka selalu janjian di depan Villa tempat Jayden menginap atau Hard
rock Cafee, apabila dia sedang “mengamen”
“Iya...”
“Besok
gue balik ke Bandung.”Ucapannya itu hanya ditanggapi biasa olehnya. Biasa,
karna wajahnya miskin ekspresi. Padahal hatinya, dia merasa sedikit sesak.
Entah kenapa, dua hari itu terasa sangat singkat untuknya. Bersama cowok yang
baru dikenalnya selama 48 jam itu, dia menginginkan lebih. tapi, gengsi menahan
keinginannya.
“Re...”
Panggilnya sekali lagi dan dia kaget karna cowok itu tau – tau berjongkok di
depannya dan menatapnya serius.
“Iya,
Jayden.” Dia berusaha tenang. Padahal dalam hatinya berteriak karna wajah
tampannya itu sangat dekat dengannya. Hingga setiap hembusan napasnya sangat
terasa olehnya. Dan itu membuatnya frustasi. Lebih frustasi dari dia menyanyi
pertama kali di atas panggung waktu kelas 1 SMP karna ditarik paksa temannya.
“Gue
boleh minta nomor ponsel lo, gak?” Permintaannya itu membuatnya terdiam.
Gerakan tangannya seketika terhenti.
Ingin
sekali dia mengeluarkan ponselnya, mencatat nomor cowok yang didepannya ini,
dan malamnya mereka akan saling berkirim pesan. Bertukar kabar, dan saling
mengirim rindu kalau memungkinkan. Tapi, sekali lagi, dia ingin menguji keberuntungannya. Menguji takdirnya
sendiri.
“Gue
akan kasih tau asal...” Dia terdiam sejenak. Menikmati wajah Jayden yang tampan
itu menatapnya dalam. Warna mata abu – abunya membuatnya terbius. “Kalau kita
bertemu sekali lagi, di tempat yang berbeda, di kota yang berbeda, gue
bersumpah ini akan menjadi syarat gue yang terakhir.”
“Kenapa?”
“Ya
... gak papa.” Dia tersenyum dan menikmati wajah Jayden yang terlihat kalah.
Namun sorot matanya mengatakan lain. penuh tekad.“Gue gak akan terima kalau lo
tau nomor ponsel gue dari anak – anak yang lain. Gimana? Take, Or...” Dia
terdiam. Membalas tatapan Jayden yang seolah menelanjanginya. “Leave it. That’s
your choice.”
“Take
it.” Dia mengulur tangannya dengan senyum meyakinkan. Menyetujui keputusan
gilanya.
Rere
tak menyangka keputusannya diterima segitu mudahnya. Seolah – olah mereka
saling mengetahui kemana akan pergi. Hatinya berteriak kenapa dia mengeluarkan
ide tolol itu. tapi, sekali lagi dia tak peduli. “Oke deh. gue setuju.”
--
“Mbak,
udah sampai tuh.” Ucapan supir itu memembuyarkan lamunannya.
Iya mas,” Dia tergeragap menjawabnya dan segera keluar dari taksinya, mengambil koper – koper yang sudah diturunkan supirnya, dan membayarnya. selesai, dia melangkah ringan masuk dalam bandara dengan tiket pesawat tujuan Jakarta yang dipegangnya akan landing setengah jam lagi.
♥
♥
“Makasih,
Ando..” Lista mengucapkannya tulus ketika mereka tiba di Villa. Jam menunjukkan
pukul 10.30 pagi. Sudah saatnya mereka pergi ke Bandara untuk pulang ke
Bandung. Mendadak, dia tak ingin pulang. Ingin tinggal disini lebih lama lagi.
Masih banyak pantai – pantai indah yang belum dikunjunginya, dan entah kenapa,
Ando mengetahui setiap pantai dan detailnya. Keindahannya. Termasuk Pantai
Lovina yang ternyata memang destinasi turis asing dan lokal untuk berlibur
dengan tenang.
“Sama
– sama Lis.” Dia melirik Lista yang memakai baju kaosnya. Masih terngiang
betapa susahnya membujuk Lista untuk memakai baju kaosnya sebagai ganti bajunya
yang basah. Kalau saja dia tak menggunakan ancaman terakhirnya, Lista takkan
mengenakan baju kaosnya itu.
Mengancamnya
untuk meninggalkannya disini dan sedikit menakut – nakutinya dengan cerita
seram.
“Kenapa
lo senyum – senyum?!” Lista meliriknya galak ketika Ando tak melepas
pandangannya dari baju kaos bergambar Barong yang agak kebesaran di tubuhnya.
ingatan tentang dia mengenakan baju kaos dengan penuh sumpah serapah dan gerutu
panjang lebar terngiang lagi. Membuat wajahnya entah kenapa memerah.
“Gak
papa.” Ando melepas pandangannya dan menatap Lista yang meliriknya curiga.
“Ayooo...” Dia tanpa ragu menarik Lista untuk masuk Villa dan mengantarnya
sampai ke kamar.
♥
♥
Ando
masuk ke kamarnya dengan bersiul senang. Tubuhnya memang lelah karna bangun jam
4 subuh dan menyetir selama 4 jam hanya untuk ke pantai Lovina yang memang
tempatnya agak terpencil itu. tapi melihat senyum Lista yang selalu muncul,
membuatnya entah kenapa, semua kelelahannya terbayar. Bahkan rol filmnya habis
untuk mereka foto berdua pun tak jadi masalah baginya.
Dia
melihat Jayden yang duduk di tepi ranjang sambil bersandar dan membaca buku.
Dia mendekatinya. “Gak siap – siap lo?”
“Udah
tuh,” Jayden menunjuk kopernya dan terus membaca. Membuat Ando tertawa. “Sejak
kapan lo baca buku terbalik? Juling tuh mata?”
Jayden,
seolah sadar, nyengir lebar dan memutar bukunya. “hehehhe.. sorry, bro,
gue lagi kelabu nih.”
Jawabannya
membuat Ando berkerut kening saat dia melepas pakaian kaosnya, dan
meletakkannya ke kantong plastik khusus baju kotor atas usul Lista, dan
bertelanjang dada berjalan ke arah koper dan mengambil baju kaosnya yang lain
dan di mix dengan kemeja kesukaannya. Dia menatap Jayden yang hanya
memperhatikannya. “Ngapain lo liatin gue daritadi? Nafsu?”
“Ngaco!”
Jayden melempar buku ke arah Ando yang tertawa. “Gue nafsu liat pacar lo tuh.
Si Lista. Semakin hari semakin seksi aja tuh anak.” Jawabnya jahil membuat Ando
menatapnya garang dan mengacungkan tinjunya. Membuat Jayden tertawa melihat
ekpresinya yang baru kali ini dilihatnya.
“Lo
kenapa kelabu, Jay? Sejak kapan cowok macam lo bisa galau?”
“Dan
sejak kapan cowok dingin kayak lo bisa marah kalau gue bilang pacar lo seksi?
Dulu, jangankan marah, lo malah nyodorin sukarela setiap gue bilang seksi dan
pengen gue pacarin.” Jawaban balik Jayden membuatnya tertawa. “Jangan alihin
pembicaraan deh. kenapa? Galau karna penyanyi cafee itu?”
Pertanyaan
Ando membuat Jayden mengangguk. “Gue kan tadi ke Hard rock untuk temuin
dia, eh, gak taunya tuh anak udah berangkat ke Jakarta setengah jam yang lalu.”
Jayden menjawab lesu ketika dia bersemangat untuk menemuinya, tak taunya cewek
itu sudah meninggalkan Bali setengah jam yang lalu. Tanpa memberitahunya pula.
“Kan
lo bisa smsin dia, Jay. Hari gini masih nemuin?”
“Itu
dia masalahnya,” Jayden menatap Ando. “Gue gak punya nomor ponselnya. Dia gak
mau ngasih kecuali kami ketemu lagi di tempat dan suasana yang lain.”
Penjelasan Jayden membuat Ando hampir saja tertawa. di saat semua cewek
sukarela memberikan nomor ponselnya untuk dihubungi pada sahabatnya, ternyata
ada cewek lain yang gak mau memberikan di saat sahabatnya minta? Ini baru luar
biasa. Pikirnya.
“Minta
sama temennya?”
“Temannya
gak mau kasih. Katanya, dia bukan tipe cewek yang mau balas sms atau telpon
dari orang yang tau nomor ponselnya dari orang lain. dan dia gak suka orang
lain tau nomor ponselnya dari temen – temannya. Dia mau, dia sendiri yang
ngasih. Begitu.”
“Parah
amat nasib lo, Jay.” Dia menepuk pundak sahabatnya yang lesu itu. baru kali ini
sahabatnya yang tak pernah diabaikan oleh cewek – cewek, kini di abaikan segitu
mudahnya oleh cewek yang baru ditemuinya 2 hari yang lalu. Yang tak jelas asal
– usulnya itu.
“Iya...
tapi, ntah kenapa ...” Jayden terlihat merenung. “Kok firasat gue bilang kami
akan ketemu lagi yah? Hmm..”
“Ketemu
dalam mimpi, mungkin.” Ucapannya membuat sebuah bantal besar melayang ke
arahnya. Untung meleset. “Gue hanya bilang mungkin lo yah. secara...
firasat lo itu lebih banyak ngawurnya daripada benarnya, Jay.”
Suara
ketukan di pintu menghentikan Jayden untuk melempar bantal besar lagi. Mereka saling
melirik pintu dan saling menyuruh dengan tatapan mata. Ando yang posisinya
strategis untuk membuka, menghela napas dan berjalan malas ke arah pintu,
membukanya, dan...
Seseorang
langsung menubruk tubuhnya dan memeluknya erat. Seolah mereka bertahun – tahun
tak bertemu. Tanpa tau malu, Dia mencium pipinya dan melepas pelukannya. Seolah
terbiasa, dia melenglang masuk kamar dan menarik Jayden berdiri dari
ranjangnya, Dion yang baru muncul dari toilet pun ditariknya juga.
“Hei...
hei...” Dion protes dengan gerakan Karen yang memaksanya. Namun ketika cewek
itu mengedipkan matanya, “Ayolaah...
Dion.” Ucapnya dengan suara yang memang agak serak – serak seksi itu.
membuatnya terdiam. Terpesona dengan keseksiannya.
“Ayooo...”
Karen, dengan pakaiannya yang seolah kekurangan bahan, kulitnya yang berubah tan
karna berjemur selama beberapa hari, tato yang di belakang lehernya, wajah
kebule – bulean, membuatnya terlihat sangat seksi, langsung menarik Ando keluar dari kamarnya.
Bahkan lengannya merangkul Ando dengan mesra walau cowok itu menolaknya halus.
Meninggalkan Dion dan Jayden yang hanya geleng – geleng kepala dan berkata,
“Ratu
Ular beraksi.”
♥
♥
Lista jengkel sepanjang perjalanan. saat dia asyik – asyiknya tertawa di bis menunggu yang lain
datang, Ando, datang duduk di sampingnya.
Dan di belakang cowoknya, Karen, mendekati mereka dan mengusir secara
halus untuk duduk ditengah karna tak menemukan kursi kosong di depan dan dia
mual bila duduk di belakang. membuat
Ando langsung menyuruhnya duduk disampingnya saja, tapi dia bersikeras ingin di
tengah. Tak ingin terjadi keributan hanya karna satu kursi, Ando menyingkir
dengan berat hati untuk duduk di samping dan Karen, seolah tanpa dosa, duduk di
ditengah dan tersenyum basa – basi ke arahnya yang hanya mendelik tajam. Seolah
ingin mencincangnya hidup – hidup.
Kekesalannya
bertambah ketika cewek itu, yang rasanya entah kenapa ingin dia dorong keluar
dengan cara menendangnya dari belakang dan jatuh terguling ke aspal, seolah tak
sengaja tertidur dengan menyandarkan kepalanya di pundak kiri Ando dan mendesah
pelan. Membuatnya naik darah seketika.
“Gue
boleh bunuh orang gak disini?” Dia mengirim pesan ke ponsel Ando. dan cowok
itu nyengir lebar. Sangat lebar hingga seperti tertawa. lalu melirik ke
belakang kursi, mencari siapa tau ada yang kosong dan tersenyum.
“Mau
pindah? Yuk, Sebelum ada yang bergentayangan di bis ini.”
Balasan
Ando yang berjarak 1 kursi darinya, membuatnya terkikik. Dia mengangguk. Siap
berdiri, dan ...
“Jangan
tinggalin gue, Ndo.” Seolah tau apa rencana dadakan mereka, Karen masih dengan
mata terpejam, tanpa tau malu merangkul
lengan Ando dan semakin mendekatkan badannya. Seolah tak ingin ditinggal. Seolah
menutup akses untuk kabur.
Lista
menatap Ando tajam. Ingin tau apa yang dilakukan cowok itu. Ando langsung
melepas rangkulan tangan Karen dengan sangat pelan karna tau cewek itu mudah
terbangun dengan sedikit sentuhan, mendorong kepala Karen ke arah kiri. Lista
melihat semuanya dan tersenyum ketika dia mengenggam tangannya, dan berjalan
pelan meninggalkan Karen yang masih tertidur pulas, namun malang baginya ...
Kakinya
tanpa sengaja tersandung oleh kaki Karen yang entah sejak kapan sudah
menghalangi langkahnya. Dan sandungan pelan itu, membuat Karen terbangun dan
menatap mereka bergantian.
“Mau
kemana?” Tanyanya dengan suara serak khas orang tidur ketika melihat Ando yang
menggenggam tangan Lista. Seperti kawin lari.
Ando
menjawabnya. “Mau pindah duduk ke belakang. soalnya disini panas banget.
lagipula, teman – teman gue ada di belakang semua tuh.” Dia melirik Shabrina,
Cindy, Jayden, Dion, sudah menyiapkan tempat untuknya di kursi paling belakang.
bahkan Jayden mengacungkan gitar ke arahnya.
“Gue
ikut.” Karen langsung berdiri, namun terdiam ketika Lista meliriknya sinis,
“Bukannya lo gak bisa duduk paling belakang? kami paling belakang, loh.” Lista
yang tak rela rencananya gagal, menunjuk kursi panjang paling belakang. membuat
Karen mendadak susah menelan ludah, “Takutnya ntar lo muntah. Sedangkan gue gak
bisa lihat orang muntah. Pasti juga ikutan.” Lanjutnya lagi. Senyum puas
terpampang diwajahnya.
Hahhahaa...
rasain sono!
“Yuk,
Lista.” Ando langsung menarik Lista untuk berjalan ke kursi paling belakang
yang langsung disambut sahabat – sahabatnya. Meninggalkan Karen yang duduk
sendiri sambil melipat kedua tangannya dengan kesal.
HOLY
SHIT!
♥ ♥
“Dimana, Lista?” Tanya mamanya ketika Bian
baru saja memutuskan telponnya saat mereka makan siang di rumah. Seminggu Lista
tak dirumah ternyata sepi juga. Tak ada yang bisa digodanya. Walau ada Lily
sebagai pengganti adiknya.
“On
the Way Bandara, ma.” Lapor Bian dengan senyum masih betah di wajahnya
ketika setelah menelpon adiknya itu, suster Lyesha , suster kecengannya selama
3 bulan itu, mengirimnya sms dengan kata – kata halus, mengingatkannya makan siang kalau tak ingin
maagnya kambuh. Membuat Putra, papahnya
yang melihat keanehannya, nyengir. “Merasa musim gugur gak disini? Papah kok
kayak nyium bau bunga bermekaran dimana
– mana, yah?” Godanya sambil melirik Bian yang sedang minum, mendadak tersedak
dan langsung batuk – batuk heboh.
“Pah,”
Erza menegurnya pelan sambil menendang pelan kaki suaminya di bawah meja yang
sekarang tersenyum jahil itu. seolah tak bersalah.
“Papah
nih, jelas – jelas disini musim kemarau, mana ada musim bunga?! Memangnya kita
di Jerman?” Bian menatap kesal ke arah papahnya yang masih tertawa. “Tapi...
kalau dekat kak Rika sih,” Dia melirik kakaknya yang sibuk mengelus pundaknya
dan Lily yang menatapnya polos. Membuat
Bian langsung mengelus kepalanya, “Bagi Bian, tiap hari serasa musim bunga dan
melihat hamparan bunga tulip beraneka warna di lapangan luas seperti hamparan
karpet indah dan mahal. Habisnya, Kak Rika itu seperti ...”
“Simpan
gombalan basi lo untuk suster kesayangan lo itu!” Erika langsung
menghentikannya dan menatap tajam adiknya yang cengengesan.
Tiba
– tiba, Bik Surti, pembantu mereka, mendatanginya, “Non Rika, ada yang nyari
tuh. Cowok. Ganteng deh! aduh... mau pingsan rasanya bibi liatnya. Namanya ...”
Mpok Surti terdiam. Saking terpesonanya,
dia sampai lupa namanya, “Mikail, Non.”
![]() |
Mikail Boulanger |
“Lo
beda sih!”
“Beda
apaan kak? Beda karna lo...” Erika langsung menutup mulut lancang Bian sebelum
semua rahasianya terbongkar di meja makan.
“Sudah...
sudah,” Lerai Erza, mamanya sambil tertawa ketika melihat kedua anak kembarnya,
dari dulu sampai segede ini, selalu rusuh dimeja makan. Membuat Lily menatap
mereka bergantian dan tertawa ketika kak Bian, kakak pujaannya menggoda kak
Rika, kakak paling cantik yang pernah dilihatnya, merona malu. pipinya yang
putih mulus seperti terbakar.
“Yuk,
Lily.” Erika berdiri dari duduknya dengan wajah merona malu dan menggandeng
tangannya. Membuat Bian, semakin semangat. “Kok ajak Lily, kak? Dimana – mana,
orang kencan gak ada yang bawa anak kecil. Ntar gak bebas, ntar gak bisa ...”
Bian memajukan bibirnya seperti ingin mencium, mengedipkan mata menggoda, dan
memasang ekspresi malu – malu kucing seperti cowok baru kencan pertama kali.
membuat wajahnya memerah malu. orang tuanya tertawa.
![]() |
Erika Assifa Pradipta |
“Oh
Bian, Astagaaa!” Erika langsung mencubitnya, “Gue sama Mikail jalan karna Lily
dari kemarin nagih pengen ke Ancol sekalian mau ke pet shop untuk temanin
Mikail beli peliharaan. Bukannya lakuin seperti lo pikir itu!”
“Beneran,
Li?” Tanya Bian kepada Lily yang mengangguk polos. “Kok sama kak Mikail? Kenapa
gak sama kak Bian aja? Ntar kan kakak temanin sama teman kakak, Lyesha jalan –
jalan. Sepuasnya deh.” mengucapkan nama suster itu, membuatnya nyengir tanpa
sadar.
“Karna
kak Mikail lebih ganteng dari kakak sih. Lily suka liatnya.” Jawaban polosnya
membuat Erika tertawa bangga. “Tabah yah dek kalau sahabat lo sendiri ternyata
lebih cetar daripada lo. hahaha...”
“Iya..
cetarnya membuat kakak gue kesengsem ternyata.” Jawaban Bian membuatnya merona.
“Yuk, kak. Gue pengen ketemu Mikail tersayang lo dulu, yah.” Bian berdiri dari
duduknya, dan melangkah riang keluar dari ruang makan dan bertemu dengan
Mikail. Diikuti dengan Erika dan Lily berjalan di belakangnya.
“Suster
Lyesha, yah? Aku gak nyangka Bian akhirnya naksir sama suster yang satu itu.”
Erza terlihat berpikir kemudian terkikik sendiri. membuat suaminya bingung.
“Memangnya
kenapa?”
“Suster
Lyesha itu suster kesayanganku, sayang. Aku gak tau kalau mereka dekat. Cuma
sering kulihat Bian berada di kantin RS dan duduk berdua dengan dia. Pantesan,
akhir – akhir ini suster Lyesha salah tingkah sendiri bila sama aku. Ternyata gara
– gara Bian rupanya. Hahahahaaa... Lyesha, Lyesha...” Erza tersenyum ketika
suster Lyesha masuk ke ruangannya yang saat itu ada Bian, mereka saling
bertatapan, sebelum akhirnya suster itu izin permisi keluar ruangan dengan
tingkah saltingnya yang hampir menabrak tembok. Membuat Bian saat itu, lirik –
lirik cemas ketika melihatnya mengelus kepala sendiri yang terbentur.
“Nanti
kapan – kapan, aku undang suster Lyesha kerumah, ah. Kamu akan liat gimana
salting dan manisnya anak cowokmu itu kalau dekat cewek. Lucu deh. hahahaaa...”
Putra
ikut tertawa. mengingat Bian 11 : 12 dengannya kalau urusan PDKT dengan
cewek, membuatnya penasaran. “Boleh, sayang. Tapi sebelum itu...” Dia menatap
istrinya yang masih tertawa itu, dan mencolek pinggangnya. “Kita pacaran dulu,
yuk dikamar? Aku merasa tersaingi nih dengan kemesraan pacar – pacar anak
kita.”
Erza
tertawa mendengarnya dan tersenyum sambil menghentikan tangan suaminya yang
mulai “nakal” di badannya . “Yuk, sayang. Jangan disini.” Mereka keluar dari
ruang makan dengan saling menggoda satu sama lain.
♥ ♥
Cowok
itu keluar dengan santainya dari pintu kedatangan Luar Negeri, Bandara Soekarno
– Hatta. Dia yang baru saja libur kuliah
dengan jurusan Seni dan Akting di Amerika, memutuskan pulang ke Indonesia
setelah 3 tahun lebih meninggalkannya.
Dia,
dengan tubuh tegap sekitar 175 cm, rambut agak panjang dengan warna coklat –
kehitaman, wajahnya yang tampan, alis yang tebal memayungi matanya yang
sekarang tertutup oleh kacamata hitam yang mahal, mengenakan kemeja bewarna abu
– abu yang digulung sampai siku, tiga kancing atas dibukanya, asyik lirik kiri
– kanan mencari seseorang yang menjemputnya.
“Astaga!
Astaga! Ganteng sekali!” Bisik beberapa cewek yang melihatnya berjalan santai
di depan mereka dengan terpesona. Seolah tau dia menjadi pusat perhatian
pengunjung Bandara, dia membuka kacamata hitamnya dan meletakkan dalam tas
selempang kecilnya. Membuat mata coklat tajamnya terpancar jelas karna sinar
matahari yang sangat terik dan dia tersenyum manis ke arah cewek itu.
![]() |
Dylan William Perdana. |
Dylan
William Perdana, Nama itu terpampang jelas di papan putih yang dipegang erat
seseorang yang sangat dikenalnya, dia mendekatinya dan memeluk orang itu.
“Hai,
Mas Dylan. Senang bisa pulang?” Sapa supir pribadi keluarganya yang
sudah bekerja di tempatnya saat dia kecil.
“Hai,
mas. Iya... senang bisa pulang.” Dia melepas pelukannya dan melirik ke
sekelilingnya. “Kitty mana?”
Mas
Ujang, supir pribadinya itu tertawa mendengar nama adik Dylan disamakan dengan
kucing. “Nanti mas akan ketemu dirumah. Yuk, mas. Biar saya bawa tasnya.”
Dylan
menyerahkan kopernya ke Mas Ujang yang langsung dibawanya dan dia berjalan di
belakangnya. Memperhatikan sekelilingnya. Hingga berhenti di satu titik karna
penasaran melihat kericuhan. Di tempat rombongan dari kedatangan dalam negeri.
Dia melihat seorang cewek mengenakan kemeja tipis bewarna tipis untuk melapisi
tanktop bewarna coklat, menampilkan lekuk tubuhnya, celana jins yang dilipatnya
sampai lutut, sepatu kets dan tali selempang serta rambut super pendeknya
hingga terlihat cepak di samping kanannya, postur tubuh yang sangat dihapalnya,
sempat menoleh ke arahnya, shock, lalu berbalik lagi. Membuatnya terdiam.
Seolah
kenal, tapi tak yakin.
Dia
...
♥ ♥
Dylan?
Batinnya
berteriak ketika dia menoleh saat teman – temannya sibuk mengurus koper masing
- masing, seseorang yang sangat dikenalnya, mata coklatnya yang tajam, badannya
yang jauh lebih tegap dari 3 tahun yang lalu, wajahnya tak berubah. Tetap
mempesona seperti dulu, hanya saja rambutnya lebih gondrong dari 3 tahun yang
lalu. Namun entah kenapa, kenyataan ini
membuatnya ketakutan setengah mati. Mendadak dia menggigil.
Tidak...
tidak! Dia bukan Dylan! Cuma orang yang mirip!
“Lis...”
Ando menyentuh pelan pundaknya. cukup membuat Lista terlonjak jauh dan
menatapnya waspada. Membuatnya bingung. “Ini anak kenapa?”
“Eh,
Ndo, sorry. Gue melamun, yah?” Tanyanya sambil menggaruk kepalanya yang
tak gatal dan nyengir tanpa arti. Membuat Ando mengangkat sebelah alisnya. Tak
biasanya.
“Ada
apa? Ada yang lo pikirin?”
Lista
menggeleng cepat. “Gak. gak nyangka aja pulang hari ini. Cepat banget harinya.
Hehee...”
Ando
tersenyum melihatnya biasa lagi. Kemudian tanpa ragu merangkul pundaknya, “Iya.
Gue juga. Yuk, kita pulang.”
“Kita?”
“Iya..
kita. Kan lo bareng gue kesini, pulang sama gue juga, dong. sekalian jemput
Lily. Tuh anak lama – lama lupa dia itu keponakan siapa karna keasyikan nginap
dirumah lo.” Gerutu Ando membuatnya tertawa. dia berjalan ke arah parkiran dengan
Ando yang masih merangkulnya dan dia menarik kopernya.
dia melupakan pertemuannya dengan Dylan itu.
Mungkin,
dia hanya seseorang yang mirip dengannya. Bukan dia yang benar – benar kembali
dan memporak – porandakan semuanya. Menghancur leburkan semua yang dia bangun susah
payah untuk melindunginya, dalam satu jentikan jari.
♥
♥
Bian terdiam di depan pianonya. Tak ada minat
untuk memainkannya. Mimpinya tentang Jasmine yang tersenyum riang akhir – akhir
ini mengganggunya. Dia mulai melupakannya ketika pusat dunianya tertuju pada
satu nama yang membuatnya kelimpungan beberapa bulan ini.
Lyesha
Anindya.
Dia
menghela napas. Awalnya dia mendekati gadis itu hanya karna memiliki sedikit
kemiripan dengan Jasmine dalam sorot mata dan cara bicaranya. Tapi, semakin
lama dia mengenal gadis itu, semakin dia sadar.
Lyesha
bukan Jasmine. Dan itu mengganggunya.
“Oh Tuhan...” Bian mulai mengacak rambutnya frustasi. “Apa yang harus gue lakuin? Gue gak bisa selamanya anggap dia Jasmine kalau gue lama – lama merasa nyaman dengan kehadirannya. Perhatiannya. Dan dia ... tak keberatan untuk gue dekatin.”
“Oh Tuhan...” Bian mulai mengacak rambutnya frustasi. “Apa yang harus gue lakuin? Gue gak bisa selamanya anggap dia Jasmine kalau gue lama – lama merasa nyaman dengan kehadirannya. Perhatiannya. Dan dia ... tak keberatan untuk gue dekatin.”
Apa
benar tak keberatan?
Bian
ingat pertemuan kedua mereka saat gadis itu menangis tersedu – sedu di
pemakaman. Dia tau arti tangis itu. bukan arti tangis kehilangan biasa. Tapi
kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Dia memang tak pernah
menanyakannya karna merasa tak perlu. Tapi, pembicaraan beberapa suster yang
sempat didengarnya beberapa hari yang lalu, akhirnya mengganggunya.
“Lyesha
itu enak banget yah, didekatin oleh mas Febrian, anak dokter Putra yang ganteng
itu. apa dia lupa setahun yang lalu ditinggal mati dokter Raya,tunangannya yang
ganteng dan luar biasa baik itu?” Bisik – bisik suster lain di lorong, membuat
Bian yang awalnya ingin bertemu dengan Lyesha ditempat biasa, mendadak terhenti
dan memutuskan menguping.
“Bagaimana kalau Lyesha dianggap sebagai
pengganti mantannya mas Febrian? Secara, dibandingkan dengan mantannya, Lyesha
itu bagai langit dan bumi deh. jauh banget.” Suara suster lain itu terdengar
sangat sinis. entah kenapa membuatnya benar – benar terdiam. dia tau kemana
arahnya ini.
“Maksudnya?”
“Aku punya teman yang jadi suster
senior di Poli Jantung. Dulu, sekitar 3 – 4 tahun yang lalu, Mas Febrian punya
pacar namanya Jasmine. Dia dulu pasiennya dokter Putra waktu masih kecil.
Sekarang jadi pasien dokter Restu karna menderita penyakit jantung. Mereka
bertemu dan akhirnya pacaran selama 3 bulan sebelum cewek itu meninggal dengan
damai dipelukan mas Febrian pada malam tahun baru. Waktu itu katanya poli heboh
karna saat cewek itu meninggal, Mas Febrian sendiri yang menggendongnya dan
membawanya ke kamar dengan tubuh tegak. Tapi, siapapun bisa melihat, di
belakangnya, hatinya berserakan. Hancur berkeping – keping.”
“Aku juga pernah dengar tentang itu.
dan kalian pernah liat tunangannya Lyesha?” Teman – temannya menggeleng.
Membuat Bian semakin mendekatkan telinganya ke dinding. Dia mendadak gugup
tanpa sebab.
“Gue wajar kalau Lyesha dekat dengan
mas Febrian, kenapa? Karna wajah tunangannya, mirip sama dia. Yang beda Cuma
iris mata doang dan dia ...”
Bian menutup matanya. Berusaha menyingkirkan
memori percakapan 3 hari yang lalu itu dari otaknya. Dia tak mau mendengarnya,
tak mau mengingatnya, dan ...
Tak
mau mempercayainya.
“Mungkin
... Gue butuh menghilang untuk sementara waktu.”
♥ ♥
Lyesha terdiam. Berkali – kali dia melempar
tatapan keruangan dokter Erza yang tertutup itu. Dia melihat Bian masuk ke
dalam ruangan mamanya dan melewatinya. Tanpa menyapanya, tanpa memberinya
sedikit saja senyuman. Entah kenapa, itu membuatnya ...
Kehilangan.
“Bian
kenapa? Gue salah apa?” Tanyanya bingung dalam hati. Empat bulan, tanpa aba
– aba, tanpa firasat, tau – tau Bian bersifat aneh. Seperti dia berbuat salah
yang tak kasat mata, namun menyentil cowok itu hingga jatuh ke dasar jurang.
Dia
melihat pintu terbuka dan cowok itu keluar. Dia langsung memasang aksi
memeriksa laporan dan duduk di kursi. Badannya menunduk, namun ekor matanya
mengikuti kearah cowok itu melangkah. Hatinya mencelos kecewa, sangat kecewa
hingga ingin menangis rasanya ketika Bian hanya melewatinya sekali lagi. Seolah
– olah dia pohon hiasan. Hanya dilirik sekilas kemudian diacuhkan.
“Bian...”
Entah dimana harga dirinya, tau – tau mulutnya lancang memanggil nama cowok
yang selama empat bulan ini menganggapnya hantu.
Cowok
itu menoleh, lalu tersenyum datar. “Iya. kenapa, sus?” Hatinya lagi – lagi
seperti dihantam seton besi berkarat. Di Rumah Sakit sekalipun, Bian tak pernah
memanggilnya dengan embel – embel “suster” katanya, itu menunjukkan bahwa dia spesial
dibandingkan suster lainnya. Tapi ... mendengarnya memanggil sebutan suster
untuknya, dia menjadi asing. Menjadi dilupakan. Menjadi...
Dibuang.
“Tidak
apa – apa, Mas Febrian. Saya permisi dulu.” Dia berjalan menjauh dan sempat
melihat sorot mata Bian yang kaget karna memanggilnya seperti itu. sama seperti
dirinya, dia sendiri tak pernah memanggil Bian dengan sebutan “mas” seperti
suster – suster lainnya. Tapi, dia kehilangan kabar selama 4 bulan, mendengar
cowok itu tak menyebut namanya seperti biasanya, melewatinya seperti pohon
hiasan. Membuatnya terluka tanpa sadar.
“Lyesha...”
Dia merasa dipanggil berkali - kali ketika sudah berjalan cukup jauh. Namun,
hatinya terlalu sakit untuk menoleh. Akhirnya, dia mengambil ponselnya dan pura
– pura akting sedang mendapat telpon. Agar cowok itu tak mengejarnya.
Agar
cowok itu tak melihat bahwa ada setetes air mata turun membasahi pipinya
sekarang.
♥ ♥
Lyesha duduk di samping pemakaman Raya,
tunangannya. Entah kenapa, perlakuan Bian siang tadi membuatnya melarikan diri
kesini dan menangis sepuasnya. Tak peduli seragam susternya kotor. Bian memang
mirip dengannya, pria yang dicintai dengan sepenuh hatinya. ketika cowok itu
memutuskan pergi meningalkannya tanpa pesan, memilih tidur damai disini,
separuh hati yang mencintainya serasa mati dan ikut terkubur disini. Selama itu
juga dia menangis, menghancurkan diri,
Sampai
dia bertemu dengan Bian.
“Ray
...” Lyesha terisak pelan. Dia tak peduli hatinya hancur. Tubuhnya lemas karna
harinya mulai rintik, dia tak peduli. “Kenapa kamu pergi ninggalin aku? Terus
kamu pertemukan aku dengan seseorang yang mirip kamu? Aku mati tersiksa, Ray.
Di saat aku, maaf,” Dia terdiam dan mulai mengulum bawah bibirnya, “Mulai
melupakanmu, mulai bisa tersenyum ketika teringat tentang kita, mulai melihat
dia sebagai dirinya, bukan melihat dia karna mirip kamu, dia malah menyakitiku
tanpa alasan. Aku gak tau, Ray. Oh Tuhan...” Lyesha memeluk nisan yang
bertulisan nama tunangannya dan mengelusnya pelan. Memang benar kata orang,
Ketika
seseorang yang menjadi pasangan hatimu pergi dari dunia ini, separuh hatimu
yang bertuliskan namanya, yang memuja namanya,dan mencintainya seperti kau
mencintainya, akan ikut mati dan
terkubur bersama pasangan hatimu. Tanpa mempedulikanmu yang separuh hatinya hancur
berkeping – keping.
Seseorang
menepuk pundaknya pelan dan memayunginya ketika hujan mulai deras. dia mendongkakkan
wajahnya dan kaget ketika tau siapa.
“Bian?”
“Lyesha...”
Dia menggumam lembut dan matanya fokus menatap nisan yang dielusnya. “Bisa
berteduh? Harinya hujan, loh.”
“Lo
ngapain disini?”
“Sama
seperti yang lo lakuin disini.” Jawabnya dan menunjuk sebuah nisan yang indah.
Indah karna dikelilingi bunga melati yang harumnya tercium sampai sini.
“Jasmine. Pacar gue.”
“Oh.”
Lyesha bangkit berdiri dan menghapus air matanya. Tatapannya dingin. “Gue bisa
pulang sendiri, Febrian.” Lanjutnya dan dia berjalan menjauhinya.
Bian
menarik lengannya lembut hingga dia berdiri di depannya, tangannya yang besar
dan hangat itu, menghapus lembut air mata yang membasahi pipinya. “Maaf. Ijinin
gue jelasin sesuatu.”
Lyesha
melirik cafee yang tak jauh dari pemakaman dan Bian seolah paham, tanpa kata –
kata dia menggenggam tangan Lyesha dan berjalan menuju Cafee.
♥ ♥
Hei, coba
dengarkanlah, harapan aku ini
sebelum kita lanjutkan mimpi kita bersama
Hei, coba pandanglah jiwa yang bertanya ini
sebelum kita lanjutkan kisah yang ‘kan berlangsung ....
sebelum kita lanjutkan mimpi kita bersama
Hei, coba pandanglah jiwa yang bertanya ini
sebelum kita lanjutkan kisah yang ‘kan berlangsung ....
Selamanya.”
Suara
penyanyi cafee itu terdengar lembut di telinga mereka. Lyesha menjelaskan siapa
Raya dan kenapa pria itu meninggalkannya. Bian menggenggam tangannya erat dan
mengelusnya.
“Gue
pernah merasakan kehilangan itu. sakitnya hingga gue merasa, matipun mungkin
tak apa. Tapi, ketika gue bertemu dengan lo, gue merasa diberi kesempatan
kedua. Gue minta maaf, Lyesha kalau selama beberapa bulan ini menghilang tanpa
alasan, tanpa masalah. Gue hanya tak mau bayang Jasmine melekat di diri lo.
sedangkan gue, ingin melihat lo sebagai diri lo sendiri. dan ketika gue
mendengar bahwa tunangan lo mirip dengan gue. Jujur, gue takut.”
“Takut
kenapa?” Lyesha tegang sekarang. Tegang karna tangan Bian semakin
menggenggamnya erat. Membuat keringatnya bercucuran.
“Takut,
kalau lo liat gue karna Raya. Bukan karna gue.”
“Awalnya
memang begitu.” Dia merasakan genggaman Bian mengendur. Tak ingin lepas,
Spontan Lyesha menggenggamnya balik. “Tapi, 4 bulan bersama, gue bisa
melupakannya, tersenyum ketika kenangan itu hadir. Karna, bagi gue, kenangan
dengan orang yang masih hidup dan berada di sekitar kita jauh lebih berharga.
Kenangan gue dengan Raya memang indah, tapi kenangan dengan lo, jauh lebih
hidup dan berarti.”
Jawabannya
membuat Bian tersenyum. Mungkin benar kata papahnya, dia merasa musim gugur
sekarang ketika Lyesha tersenyum hangat padanya.
“Lyesha...”
“Iya...”
“Maukah
kita memulai semuanya lagi dari awal? Memulai sebagai diri kita masing – masing
tanpa ada bayang – bayang masa lalu?”
Lyesha
tersenyum usil padanya ketika tatapan Bian dirasa lain. “Ini penembakan
terselubung ceritanya, Bian?”
Bian
tersenyum manis. Sangat manis hingga membuatnya terdiam. “Iya, Lyesha. Will
you?”
“Jaga hati yang
kuserahkan untukmu
jangan lupa rasa jatuh cinta pertama kita
dan tali asmara yang ‘kan diuji wkatu
berjanjilah sayangku
jangan lupa rasa jatuh cinta pertama kita
dan tali asmara yang ‘kan diuji wkatu
berjanjilah sayangku
Sebelum... selamanya...”
*Sherina –
Sebelum selamanya.
♥ ♥
Jayden
duduk di pernikahan salah satu saudaranya dengan mati kebosanan. Kalau saja
mamanya tak memaksa hingga mengeluarkan ancaman takkan mendapat warisan
sedikitpun, dia takkan duduk disini.
“
I’ll come back, when you call me
No need to say goodbye.”
No need to say goodbye.”
Suara penyanyi itu! Jayden langsung duduk tegak dan mendengarkan
dengan teliti. Walaupun 4 bulan meninggalkan Bali dan tak menemukan jejaknya
sedikitpun, dia dikaruniai dengan ingatan tajam untuk mengingat suara
seseorang. Termasuk suara penyanyi yang terkadang dimimpikannya itu.
Tanpa
sadar Jayden berjalan ke depan untuk melihat lebih jelas, dan tersenyum ketika
suara yang sangat dikenalnya itu, yang direkam dalam memori otaknya itu,
ternyata adalah dia. Dia dalam balutan gaun putih yang tertutup namun tetap
cantik, menyanyi di depan ratusan tamu undangan pernikahan dan menyanyi dengan
tenangnya dan membiarkan beberapa tamu undangan berdansa dengan pasangannya.
Seolah inilah dunia sebenarnya. Inilah kesenangan hidupnya.
Dia
sengaja mendekat hingga gadis itu melihatnya dan terkejut luar biasa karna
melihatnya. Dia tersenyum dan menatapnya lekat. Tak berniat beralih ke arah
lain. dan ketika gadis itu selesai menyanyi dan turun dari panggung, dia
mendekatinya dan tersenyum.
“Re...”
Dia tersenyum ketika cewek yang didepannya sekarang, ikut tersenyum dan
menatapnya dalam lalu mengeluarkan ponselnya yang ada di kantong gaunnya.
“Berapa
nomor ponsel lo?” Ucapnya dengan senyum masih terkembang.
Detik
ini juga, dia bersumpah dia takkan membiarkannya lepas lagi dalam genggaman.
“Now we're back to the beginning
It's just a feeling and no one knows yet
But just because they can't feel it too
Doesn't mean that you have to forget.”
It's just a feeling and no one knows yet
But just because they can't feel it too
Doesn't mean that you have to forget.”
*Regina Spector – The Call.
♥ ♥
Lista terdiam sambil menatap undangan pesta
topeng di sekolahnya. Acaranya dimulai jam 8 malam ini. Ando sudah menelponnya,
membujuknya untuk ikut. Tapi dia tetap menolak.
Dia
tak berani.
“Lis...”
Tanpa permisi, kakaknya, Erika, yang juga baru pacaran dengan Mikail,
gebetannya dari SMA, masuk ke kamarnya dan melihat undangan berwarna silver
itu. sebelum dia menyembunyikannya, undangan itu sudah berpindah tangan.
“Undangan
pesta topeng? Bagus ini.” Kakaknya bersorak gembira dan melirik jam dinding di
kamarnya lalu menjerit. “Ini udah jam 7 malam, Lista! Kenapa lo gak ganti
pakaian?! Ando gak jemput lo?!”
“Gue
aja gak ikut, kak!”
“Lo
harus ikut, Lista. Itung – itung segarin otak sebelum UAN dan lupain ucapan
nenek lo tentang salah satu dari kita harus ke Jerman untuk untuk terusin
tradisi. Astagaaa... gue, kalau ditanya, jangan mau.”
“Apalagi
gue, kak.” Jawab Lista dalam hati. Sejujurnya, 4 bulan setelah pulang dari
Bali, hubungannya dengan Ando semakin membaik. Bertengkar pun kadang – kadang.
Kalau salah satu mood dari mereka lagi kacau. Dan telpon neneknya
tentang tradisi setiap salah satu cucu dari keluarga papahnya, harus tinggal di
Jerman agar lebih dekat dengan keluarga besar disana, kak Bian sudah pernah
tinggal disana. Itupun Cuma sebulan karna tak tahan. Apalagi dia yang merasa berat meninggalkan Ando.
Entah
kapan kakaknya keluar dari kamarnya, tau – tau, tiga buah gaun dengan warna
indah dan dengan punggung terbuka lebar, terhampar di ranjangnya beserta
peralatan make – up, sepatu super tinggi, dan topeng indah yang sengaja
dikoleksi kakaknya untuk pesta – pesta tertentu. Semua ada di depannya. Tinggal
pilih.
“Ayooo..
Lista, pilih yang mana? Ada merah, biru malam, dan hijau toska! Cocok noh buat
warna mata lo.” Erika menyodorkan baju gaunnya yang indah itu dengan bagian
punggung terbuka.
Lista
mendorongnya jauh – jauh. Dia mundur perlahan. “Gue gak ikut, kak.”
“Kenapa?
Lo takut?”
Lista
mengangguk. “Terakhir gue ikut pesta, kejadiannya sangat mengerikan dan buat
gue gak mau mengulangnya lagi, kak.”
“Tapi,
Lis.” Erika mendekati adiknya yang terdiam mematung. “Itu masa lalu. Ando gak
akan melakukan hal setolol itu dengan lo, Lista. Gue udah yakin tentang itu.
Dia bukan Dylan. Sampai kapan lo ketakutan begini, Lista?”
“Gue
bukan pecinta pesta, kak.”
“Apa
salahnya ikut sesekali? Kalau lo gak tahan, bisa pulang, kok. ayolaahh.. sekali
aja, ijinin gue, kakak lo, dandanin lo dengan cantik.”
Lista
terdiam. Dia teringat bujukan Ando yang gencar seminggu yang lalu hanya untuk
mengiyakannya pergi pesta. Awalnya dia tak mau, tapi ...
Bujukan kakaknya yang manis, gaun – gaun yang cantik dan sayang untuk tak dia kenakan, hiasan kepalanya yang indah dan topeng yang akan mempercantik keseluruhannya nanti, membuatnya tergiur. Tanpa sadar dia mengangguk lemah.
Bujukan kakaknya yang manis, gaun – gaun yang cantik dan sayang untuk tak dia kenakan, hiasan kepalanya yang indah dan topeng yang akan mempercantik keseluruhannya nanti, membuatnya tergiur. Tanpa sadar dia mengangguk lemah.
“Iyadeh
kak, Lista mau.”
“Yes!”
Erika langsung menarik Lista untuk duduk di meja rias dan mulai
mendandaninya sambil bersiul senang.
♥ ♥
“Iya,
sayang. Kamu jam berapa pulang?” Tanyanya sambil asyik membuka buku kenangan
SMAnya yang baru ditemukannya saat membereskan lemari belajarnya yang
bergelimpangan dengan diktat kuliahnya.
“Aku
jemput?” Bian was – was ketika Lyesha, pacarnya bilang dia akan pulang jam 12
malam. Terlalu malam untuk seorang gadis, apalagi pacarnya, pulang jam segitu.
Tapi
penolakan Lyesha dan penjelasannya kenapa dia tak mau, membuatnya tenang. “Iya,
sayang. Kamu jangan lupa makan, yah. kalau gak....” Bian tersenyum menggoda
walau tau pacarnya tak melihat, “Aku suapin pakai bibir loh. Mau?”
Bisa
dibayangkan betapa meronanya wajah pacarnya itu sekarang. Dan itu membuatnya
rindu sambil membaca satu – persatu biodata temannya hingga terhenti pada satu
data temannya. Dia terdiam. Wajahnya dipandanginya lekat. Dia merasa hawa panas
memeluk dirinya.
Begitu
panasnya hingga ingin membunuhnya.
“Sayang,
sudah dulu yah, aku mau pergi dulu. Goodbye, I love you.” Tutupnya dan
membaca suatu data yang selama ini di anggapnya angin lalu. Dan itu, membuatnya
terbelalak.
“Jadi,
dia adiknya ... Well, sudah gue duga.”
♥ ♥
Ando
duduk tak tenang di ruang tamu Lista. Gadis itu menelponnya dan bilang akan
ikut pesta topeng itu. membuatnya tersenyum sangat bahagia dan langsung bersiap
– siap lalu meluncur kesini. Tak sabar menunggu pacarnya turun.
Suara
hak sepatu tinggi yang bersentuhan dengan tangga, menggugah kesadarannya. Dia
mendekati asal suara itu dan tercengang.
Lista,
terlihat sangat cantik. Luar biasa cantik. Rambut pendeknya ditata sedemikian
rupa dan diberi hiasan seperti tiara di atas kepalanya, gaun panjang berwarna
hijau toska, seperti warna matanya, sangat manis di badannya dan pas. Ketika
gadis itu menghampirinya, dia memegang pinggangnya yang polos karna gaun itu
berbelah di belakang. menampilkan punggung yang mulus dan putih dan seutas tali
yang menyilang. sangat seksi. Membuatnya mendadak tak bisa berkata apa – apa.
“Cantik.”
Pujinya ketika melihat keseluruhan dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Dan
lo ganteng.” Pujinya dalam hati ketika melihat Ando mengenakan tuksedo
hitam yang seolah ditakdirkan untuk dia kenakan, dasi bewarna abu – abu yang
sengaja dibikin longgar dan rambutnya yang dibentuk mohawk. rapi, namun
tak meninggalkan sisi bengalnya.
“WAW!”
Suara penuh pesona muncul dari belakang mereka. Bian, dengan kacamata yang
bertengger di wajahnya, terpesona melihat Lista. “Cantik sekali dikau, dek.
Ckckkck...”
Lista
hanya tersenyum malu. dia melirik Ando yang masih merangkul pinggangnya dengan
posesif. Seolah tak ingin dilepas. “Ayooo...”
“Yuk,
sayang.”
Bian
memandang mereka dengan geli. “Santai aja,Ndo. Udah, bawa sana adek gue ke
pesta. Sebelum dia berubah pikiran.”
“Sip,
Kak Rika, Kak Bian, duluan.” Ando langsung merangkul Lista keluar dari rumahnya
dengan saling merangkul pinggang. Sambil melempar lelucon.
Bian
menatap kepergian mereka dalam diam. Entah kenapa, dia menjadi khawatir dengan
adiknya ini. “Kak, Kalau Dylan muncul lagi, lo bagaimana?”
Pertanyaan
Bian membuat senyumnya hilang seketika. “Maksudnya?”
“Mikail,
pacar lo, satu jurusan kuliah dengan dia di Amerika. Dan dia bilang ...” Bian
terdiam. Emosi yang dia sembunyikan selama 3 tahun lebih, akhirnya bisa dia
keluarkan.
“Dylan
ada di Indonesia. His back now. And let me say,” Bian tersenyum
sinis, “Say hello with your death from now, Boy.”
♥ ♥
“Silahkan,”
Ando turun dari mobil dan membantu Lista menjejakkan kakinya di tanah.
Perhatiannya membuat gadis itu tertawa. “Lucu deh,”
“Sering
– sering aja lo dandan kayak gini, Lis. Kan enak juga diliat.”
“Hahhahaaa..
gue pikir – pikir, deh. yuk.” Dia tersenyum dan membalas rangkulan Ando di
pinggangnya yang terpampang jelas kemulusan kulitnya.
Semua
mata tertuju pada mereka berdua. Ando melangkah ringan memasuki aula sekolah
yang luas dan disulap menjadi ruangan pesta yang mewah itu dengan Lista yang
tak henti – hentinya ditatap penuh puja oleh teman – temannya walau wajahnya
ditutupi topeng yang bewarna senada. Menyisakan mata hijau toskanya yang
berpendar tajam. Membuatnya semakin memperketat rangkulannya. Seolah
menandakan, She is mine, boys.
Lista
tak enak dengan rangkulan Ando yang posesif di pinggangnya yang tak tertutup
itu. tapi, ketika melihat Karen, dengan gaun merah marunnya yang menyala dan
menyilaukan mata, mengenakan topeng warna emasnya, dia dirangkul seseorang yang
tak kalah posesifnya. Mendekati mereka yang asyik berbicara dengan Jayden dan
pasangannya, Rere, dia tak fokus.
Merasa
kenal. Tapi tak yakin.
“Hai,”
Karen menyapa ramah mereka dan tersenyum ke arahnya yang dirangkul Ando.
membuatnya jengkel dalam hati. Namun ditahannya.
“Lo
dengan siapa, Ren?” Tanya Ando ketika pasangan Karen pergi sebentar untuk
mengambil minum dan kembali pada Karen yang tersenyum padanya.
“Dia?
Oh, ini kakak gue baru pulang dari Amerika, Dylan William Perdana.” Karen
dengan santainya memperkenalkan kakaknya ke arah mereka. Membuat Lista yang
sedang minum saat itu dengan posisi membelakangi Ando karna asyik berbicara
heboh dengan Rere, pasangan Jayden, mendadak tersedak dan matanya melotot.
Wajahnya mendadak pucat pias. Dia spontan menggenggam tangan Ando yang bingung
dengan ulahnya.
Karen,
seolah tak sadar keadaan, memperkenalkan mereka, “Kak,” Dia merangkul Dylan
yang mengenakan tuksedo bewarna abu – abu, dan mengenakan topeng bewarna
senada. Menatap ke arahnya. “Ini Ando, teman sebangku Karen, dan Elista
Pradipta, pacarnya. Dan ini Jayden sama Rere, pasangannya, kak.”
Dylan
melepas topengnya dan menatap Lista yang kini berbalik dan menatapnya tajam.
Dia bisa melihat sorot ketakutan itu di matanya yang indah dan bening. Membuatnya
hampir tertawa. namun karna tak ingin dicurigai, dia mengulurkan tangan kearah
Lista, “Dylan, lo?”
“Elista.”
“Dipanggil?
Tata?” Dylan sengaja menyebutkan nama panggilan ceweknya itu. sekedar ingin
mengecek bagaimana reaksinya.
Reaksinya
tepat. Lista mematung. Sorot matanya semakin terlihat ketakutan ketika dia
sengaja tersenyum. Senyuman yang dulu membuatnya terpesona.
“Just
call me, Lista, Please.” Lista langsung melepas rangkulan tangannya ketika
dirasa mengetat. Tatapan mata coklatnya Dylan yang tajam membuat lututnya
serasa berubah menjadi batu.
Oh Tuhan... kenapa dia ada disini?!
“Okay. If you want, you can call me,
Dylan.”
“As your pleasure,” Lista tersenyum manis. Berusaha menghilangkan
ketakutan dihatinya dan menunjukkannya ke cowok itu, dia bukan Lista 3 tahun
yang lalu. Yang seenak hati diinjak kemudian ditinggalkan begitu saja.
“Sayang...”
Dia sengaja merangkul lengan Ando yang sekarang asyik berbicara dengan Karen
yang setiap inci langkahnya mendekat kearahnya. Meminta pujian, mungkin. Dan
Dylan yang sesekali meliriknya. Membuatnya tak nyaman. “Gue ke toilet dulu yah
sebentar.”
“Mau
ditemenin? Sepi, loh.” Ando khawatir. wajar saja, disaat seperti ini, tempat
umum biasanya sangat sepi dan pacarnya ini terlalu cantik untuk berjalan
sendiri.
Lista
menggeleng. “Gausah. Gue sendiri aja. Bisa kok.” Dia tersenyum dan berjalan
anggun meninggalkan Ando yang masih menatapnya cemas. Ingin hatinya mengikuti,
tapi Karen mengajaknya berbicara tentang kursus Potografi yang diikutinya.
♥ ♥
“Ando...” Karen mendekati Ando yang asyik
berbicara dengan Jayden. Tanpa ragu dia merangkul pundaknya dan mengelusnya
lembut.
“Lepas,
Karen.” Ando langsung melepas rangkulan Karen dan membuat gadis itu merajuk.
Namun ditahannya.
“Kok
dilepas sih? Lo suka, kan?” Dia bergelayut manja di pundak Ando sekali lagi dan
membuat Ando lama – lama jengkel.
“Lo
kenapa sih, Ren?! Heran gue!” Dia menepis kasar tangan Karen yang menyentuhnya.
Membuatnya marah.
“Lo
mau tau kenapa? Mau tau KENAPA?!” Karen berteriak dan mendekatkan diri ke Ando.
“Liat gue! Liat apa yang gue punya! Kenapa lo gak bisa melihat itu dan tetap
melihat Lista?! Gue suka sama lo, Ndo! “
Sebelum
Ando hendak menjawab, dia melihat kakaknya Lista, Bian, celingak – celinguk di
dalam ruangan. Kemejanya yang agak berantakan, dan wajahnya panik membuatnya
bingung. Ketika kak Bian melihatnya, cowok itu langsung menghampirinya.
“Lista
mana, Ndo?”
“Di
toilet kak.”
“Sendiri?”
Tatapan Bian beralih ke arah Karen. Dia tau siapa Karenina ini sekarang. Dan menyesal kenapa baru saja tahu dari Mikail dan buku kenangan SMAnya itu.
Tatapan Bian beralih ke arah Karen. Dia tau siapa Karenina ini sekarang. Dan menyesal kenapa baru saja tahu dari Mikail dan buku kenangan SMAnya itu.
Karenina
Azura Savanna, Adik perempuan kesayangan Dylan.
“Kakak
lo mana? Dylan?”
“Dia ke toilet juga, kak. Sekalian mau jalan – jalan. Kakak kenal kak Dylan darimana?”
“Dia ke toilet juga, kak. Sekalian mau jalan – jalan. Kakak kenal kak Dylan darimana?”
“Gak
perlu lo tau, Ren. Yang jelas,” Dia tersenyum sinis. “Kakak lo hutang besar
sama gue.”
♥ ♥
Lista terdiam di toilet sambil menatap
wajahnya di cermin. Dia kalut. Dia tak menyangka Dylan, cowok dengan segala
pesonanya, yang dulu membuatnya tergila – gila hingga berani melawan kedua
kakaknya sendiri, hadir lagi, menerornya. Dan dia tak pernah menyangka,
Dylan
itu adalah kakaknya Karen.
“Oh
Tuhan...” Pusing dia sekarang. Dia merasa tak tenang. Kehadirannya
mengintimidasinya. Seolah setiap tingkahnya diawasi.
“Gue
minta pulang aja deh,” Lista langsung mengambil tasnya, dan berjalan keluar,
namun langkahnya terhenti ketika melihat Dylan, berdiri di depan pintu toilet,
dasinya sudah dilonggarkan, tiga kancing atas kemejanya sudah terbuka, dan
rambutnya acak – acakan. Tatapan mata tajamnya membuat Lista terdiam.
“Hai
Tata. Kaget liat gue?” Dia beranjak dari tempatnya dan menutup pintu lalu
menguncinya. Membuat Lista terdiam. Hanya mereka berdua didalam toilet.
Sedangkan jarak antara tempat mereka sekarang dengan aula jauh. Keadaan ini
membuatnya frustasi.
“Mau
ngapain lo, Dylan?! Keluar!” Dia langsung berjalan mundur, dan Dylan berjalan
maju, dia semakin melepas dasinya dan tersenyum ketika gadis itu berhenti karna
terhalang tembok. Wajahnya semakin ketakutan.
“Potong
rambut, berubah tomboy, karna gue, hm,” Dia menahan kedua tangannya di sisi
kiri dan kanannya Lista dan mendekatkan wajahnya hingga mereka bersentuhan
ujung hidung. “Sayangnya, itu gak berhasil Lista. Lo tetap bikin gue turn
on.”
Ucapan
itu sukses membuat semua memori tentangnya menyeruak keluar tanpa ampun. Memori
yang sudah dilupakannya sejak Ando masuk dalam kehidupannya dan mencoba
menerimanya. Dia menatap Dylan yang kini memeluk pinggangnya dengan tangan
kirinya. Membuatnya tersengat.
“Lepasin,
Dylan! Lepasssss!!” Lista memberontak dan mendorongnya mundur, namun Dylan
langsung menangkap kedua tangannya, lalu meletakkannya dia atas kepala, dan dia
menindihi Lista yang sudah pucat pasi itu dengan badannya. Membuatnya semakin
ditekan.
“Lepas, Heh?” Dia tersenyum miring, “Jangan pernah mimpi, sayang. Setelah aku mendapatkan semuanya, SEMUANYA. Tanpa sisa.” Ucapan itu seolah membuka kotak pandora mimpi buruknya tentang Dylan. Membuatnya melotot ketakutan.
“Lepas, Heh?” Dia tersenyum miring, “Jangan pernah mimpi, sayang. Setelah aku mendapatkan semuanya, SEMUANYA. Tanpa sisa.” Ucapan itu seolah membuka kotak pandora mimpi buruknya tentang Dylan. Membuatnya melotot ketakutan.
Tanpa
peringatan, Dylan langsung mencium bibirnya dengan kasar. Membuat Lista
menendang kakinya ke arah Dylan. Namun cowok itu langsung membelit kakinya,
meremas pergelangan tangannya yang dicekal, dan semakin menekannya ke tembok
dengan tubuhnya. membuatnya lemas.
“Masih sama seperti 3 tahun yang lalu. Tapi, yang ini...” Dia melepas pagutan bibirnya dan mengelus bibir Lista yang bergetar ketakutan, “Lebih manis.” Sambil berkata begitu, dia kemudian mengarahkan ciumannya ke leher Lista yang jenjang, ketika gadis itu hendak berteriak kesakitan karna digigit, Dylan langsung membungkamnya dengan menempelkan tangan kananya ke mulut Lista.
“Masih sama seperti 3 tahun yang lalu. Tapi, yang ini...” Dia melepas pagutan bibirnya dan mengelus bibir Lista yang bergetar ketakutan, “Lebih manis.” Sambil berkata begitu, dia kemudian mengarahkan ciumannya ke leher Lista yang jenjang, ketika gadis itu hendak berteriak kesakitan karna digigit, Dylan langsung membungkamnya dengan menempelkan tangan kananya ke mulut Lista.
“Oh
Tuhan, Dimana Ando, dimana Kak Bian, dimana Kak Rika? Somebody, help me!”
Lista berulang kali mengucap harapan dalam hati. Tubuhnya ditekan segala sisi.
Dylan menggigit lehernya berkali – kali hingga memerah, tangannya mati rasa
karna ditekan di atas kepalanya dengan tangan kiri Dylan, mulutnya dibekap, dan
tubuhnya ditekan ke tembok oleh tubuhnya yang tegap itu.
Entah
apa yang terjadi, tau – tau dia mendengar suara pintu di dobrak, dan Dylan
ditarik paksa darinya ketika cowok itu mengecup pundaknya yang polos. Dia
mendengar suara yang sangat dikenalnya, sangat hingga dia ketakutan, dan
seseorang langsung memeluknya.
Ando
memeluknya erat. Sangat erat hingga dia merasa tubuhnya lemas seketika.
Dia
melirik di balik pelukan Ando, melihat suara cowok yang menggelegar, suara
penuh kemarahan yang dikenalinya, dan tatapan mata yang biasanya ramah itu,
berubah menjadi bengis.
Kak
Bian menghajar Dylan dengan membabi buta tepat di hadapannya.
“Ando!”
Bian berteriak ketika Dylan membalas tamparannya di wajah dan tendangan di
perut, membuat Lista yang dilihatnya sangat ketakutan hingga sekujur tubuhnya
bergetar di pelukan Ando. kalau saja dia tak berinisiatif menemui Lista disini
dan membiarkan cowok berengsek ini menghancurkan adiknya, entah apa jadinya
nanti.“ Bawa adik gue pulang kerumah, biar gue,” Dia tersenyum sinis dan menyeka
darah yang menetes di sisi kiri bibirnya. Hanya luka kecil. Pikirnya. “Urus
dia. Kami masih punya bisnis kecil yang perlu diselesaikan.”
Ando
langsung menuruti keinginan kak Bian dengan menuntun Lista yang sudah lemas itu
ke mobilnya. Meninggalkan Bian yang sekarang tersenyum sinis. Senyum yang tak
pernah ditampakkannya pada siapapun. Namun sanggup membuat orang yang
melihatnya, melarikan diri.
“Kalau
lo ingin menghancurkan Tata sekali lagi,” Dia menghajar Dylan yang jatuh
tersungkur, dan membuat cowok itu membalasnya dengan menendang tulang rusuknya
hingga dia muntah darah. “Lo harus berurusan dengan gue dulu, Dylan.”
♥ ♥
Everybody got a
dark side.
Ando
mengantarkan Lista sampai ke kamarnya dan mendudukkannya di ranjang. Kedua
orang tua gadis itu sedang lembur, sedangkan kak Rika langsung pergi ketika tau
darinya kalau adiknya sedang menghajar orang di sekolah. Meninggalkan mereka
berdua disini.
Lista
hanya diam sepanjang perjalanan hingga sampai disini. Tak ada sepatah katapun
keluar. Tatapan matanya kosong dan penuh ketakutan.
“Lis...”
Dia menggenggam tangan Lista yang dingin itu dan mengelus pipinya. Kalau saja
kak Bian tak datang saat itu dan menariknya ke toilet, dia takkan pernah tau.
Dan takkan pernah membayangkannya.
Lista
menatapnya dalam. Tangan kirinya langsung digenggam erat. Seolah mencari
kekuatan. Mencari penopangnya. Dan Ando, entah karna melihat sorot mata
ketakutan Lista yang terpancar kuat, bibirnya yang bergetar menahan tangis,
membuatnya tanpa sadar, tanpa rencana, langsung mencium gadis itu. memberinya
kekuatan.
Ciuman
yang hangat. lidah bertemu lidah kemudian memainkannya lembut, membuat Lista
mengerang dan menarik dasi Ando agar dekat dengannya. Agar ciumannya semakin
dalam. Membuatnya jatuh terlentang di kasur dengan Ando diatasnya.
Tangan
Ando langsung menyentuh lembut lehernya, menggoda telinganya, sedangkan ciuman
mereka semakin intens. Semakin panas. Membuatnya gerah dan melepas tuksedonya
lalu melemparnya ke lantai.
Satu
kesadaran menghentakkannya ketika melihat tuksedo jatuh ke lantai. Lista
langsung mendorong Ando menjauh dan ketika cowok itu mendekatinya, dia
beringsut menjauhinya. Seolah tak kenal.
“Lo
kenal Thomas, Jeremy, dan Ari? Jangan mendekat!” Lista semakin menjauhi Ando
yang menatapnya bingung dan dia berhenti di sudut kamar dan duduk dilantai. dia
memeluk dirinya sendiri ketika Ando mendekatinya.
“Jangan
sentuh gue!”
“Lis
... ini gue, Ando. dan gue gak kenal siapapun yang lo sebutkan itu. mereka
siapa? Apa hubungannya dengan lo?” Ando memegang kepalan tangan Lista yang
memutih saking kuatnya.
“Lo
bukan salah satu dari mereka, Ndo?”
“Bukan,
Lista. Mereka siapa lo?”
Lista
menangis tak terkendali sambil memeluk dirinya. membuat Ando langsung
memeluknya erat dan dia membalasnya. “Ndo, gue mau cerita sesuatu, tapi please,
jangan tinggalin gue setelah lo tau ini.” Lista berkata dengan sesegukan.
“Gue
janji, Lista.” Dia mengecup puncak kepala Lista dan mengelusnya.
“Sebenarnya
gue...” Dia terdiam. Hatinya semakin sakit.
Tapi
Ando harus tau. Rahasianya. Sisi gelapnya.
“Gue
sudah gak perawan lagi, Ndo. Gue pernah diperkosa mereka. Termasuk...” Dia
terdiam. Menarik napas. Melihat reaksi Ando yang menegang di pelukannya.
“Dylan.”
“Mereka
memperkosa gue, Ndo.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar