Senin, 25 November 2013

BestFriend? Hmmm.. Part 5 - Masa Lalu.




            Author :        Andini Ekaputri Nur’aulia.
                          :         Rere Nurlie.



            Gwen terhenyak dan menelan ludah susah payah. Ditatapnya Arny yang tengah tersenyum manis ke arah teman sebangkunya itu. Gwen ikut – ikutan memperhatikannya. Tatapan mereka berdua terlihat lain, yang satu penuh kerinduan, satunya lagi penuh keterkejutan dan ada sepercik perasaan rindu. Membuat Gwen mendadak tak pantas ada di antara mereka.
            “Ndrew...” Panggilnya pelan dan cowok itu memutus eye contact dengan Arny dan beralih padanya.
            “Gue duduk sama Tiara yah. ada yang mau diobrolin bentar. Lagipula, kasian dia duduk sendiri kayak gak ada temannya itu.” Dia memberikan alasannya ketika Andrew menatapnya serius. Dan tanpa diduga, dia mengangguk. “Yaudah, lo duduk sana sama Tiara. Kasian gue kalau dia nangis ntar ga ada yang temanin.”
            Kalau biasanya dia akan tertawa terbahak – bahak mendengarnya, namun kini entah kenapa dia hanya tersenyum simpul dan membereskan mejanya secepat dia bisa dan langsung pindah ke depan dan mendaratkan pantatnya di samping Tiara yang puyeng melihat soal.
           
            “YAK! Ngapain lo disini?” Tiara kaget dengan kehadiran Gwen yang seperti Jin baginya. Tak biasanya Andrew mengijinkan Gwen duduk dengannya. Biasanya boro – boro mengijinkan, dia meminta agar Gwen sebangku dengannya sebentar... saja, wajah Andrew langsung berubah menjadi mengerikan. Seolah – olah dia meminta hatinya untuk dibikin jeroan.
            “Memangnya gak boleh? Gue pengen sebangku sama lo.” Gwen menjawab tanpa melihat Tiara yang masih menatapnya takjub. Dia fokus dengan apa yang dihadapinya sekarang.
            Tiara geleng – geleng dibuatnya. Dia melihat Andrew yang sekarang duduk sendiri. Entah kenapa, ada sesuatu antara mereka. Dan dia seperti orang bodoh karna tak mengetahuinya.
            “Lo gak berantem dengan Andrew, kan?”
            Gerakan mulutnya yang asyik komat – kamit menghitung hasil hitungannya  yang lebih mirip baca jampi – jampi itu kontan melongo. Semua hitungannya buyar seketika seperti debu yang ditiup.
            “Gak. gue Cuma pengen duduk bareng lo aja. Memangnya gak boleh yah? yaudah, gue balik.” Gwen pura – pura memasang wajah terluka dan berdiri dari duduknya, namun ditahan Tiara.
            “Ya amplop! Gue Cuma bercanda, Gwen. Heran aja sih liat lo sebangku sama gue.”
            Gwen tersenyum mendengarnya. Entah kenapa dia tak ingin memnjawabnya. “Hhahaha... udah ah, gue mau ngerjain lagi nih. Masih banyak.”
            Gwen melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Membiarkan pikiran Tiara menari – nari.

            “Mereka kenapa?”



♥ ♥


            “Kenapa, lo?”

            Suara Tiara membawa Gwen kembali ke realita. Gadis itu sontak meringis dan menggeleng cepat. Diubahnya air mukanya agar menjadi tenang, sehingga Tiara tidak mengetahui bahwa sebenarnya di dalam dadanya sudah menggenang lahar yang siap dimuntahkan keluar dalam bentuk makian.

            “Nothing,” jawab Gwen pelan. Gadis itu memaksakan seulas senyum kepada Tiara. Tiara sendiri hanya mengangkat bahu tak acuh, kemudian kembali memusatkan perhatiannya ke arah guru yang sedang menjelaskan pelajaran selanjutnya, Bahasa Inggris.

            Gwen menghembuskan napas lega karena untuk kali ini,  Tiara tidak memberikan pertanyaan apapun yang berpotensi membuatnya mati dalam posisi duduk saking bingung harus jawab apa. Mengingat saat ini dia tak ingin menjawab pertanyaan apapun baik diucapkan atau menggunakan telepati seperti yang dia lakukan dengan Andrew atau Tiara. Mengingat Andrew, entah kenapa dia menoleh pelan ke belakang dan membelalakkan matanya.

            “ Sejak kapan Arny bertukar tempat duduk dengan Roy?!”


            Gwen bisa melihat Arny dan Andrew saling bercanda dalam intonasi suara yang pelan. Sesekali, mereka tertawa dan terlihat sangat akrab. Gwen mendengus dan membuang muka. Katanya mantan, tapi kenapa hubungan keduanya begitu dekat? Seolah-olah masih tersisa perasaan cinta diantara keduanya!

            Apa… apa jangan-jangan, Andrew masih menyukai Arny? Dan Arny juga masih menyukai Andrew? Lalu, mereka berdua nantinya akan memutuskan untuk kembali berpacaran?

            Gwen menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir pikiran menyakitkan itu. Nggak, mereka berdua nggak mungkin balikan. Andrew sendiri yang bilang kalau dia menyukai Tiara. Jadi, Andrew tidak mungkin akan mengajak Arny untuk kembali menjalin hubungan seperti di masa lalu!

Tapi….


            Sekali lagi, Gwen melirik Andrew dan Arny. Gwen terkesiap dan langsung mengalihkan pandangannya ketika mengetahui bahwa Andrew juga tengah menatapnya sambil menaikkan satu alisnya. Gwen merutuki dirinya sendiri karena tertangkap basah sedang memperhatikan Andrew.

“Bego! Bego! Bego! Lo kenapa bisa bego banget gitu, sih, Gwen?!” Rutuknya dalam hati

            Gwen langsung bangkit dari duduknya dan meminta izin untuk ke kamar mandi kepada wali kelasnya. Begitu dia akan membuka pintu kelas dan keluar, sekali lagi, Gwen melirik ke arah Andrew. Laki-laki itu sedang asyik berebut pulpen dengan Arny. Gwen terpana. Belum pernah dia melihat senyum Andrew seperti itu sebelumnya. Hati Gwen serasa diiris dan diberi air jeruk nipis. Rasanya begitu perih. Dengan kesal, Gwen membanting pintu kelasnya dan langsung keluar. Sama sekali tidak sadar bahwa tindakannya barusan telah membuat sang wali kelas juga teman-temannya menoleh kaget ke arah pintu, termasuk Andrew. Laki-laki itu mengerutkan kening dan memikirkan alasan Gwen membanting pintu.

            Jo memperhatikan kejadian itu dengan senyum terukir di bibirnya. Laki-laki itu hanya terkekeh pelan dan melanjutkan kembali aktivitas mencatatnya.

            “Well, udah sangat jelas kalau ada yang salah dengan persahabatan kalian, Gwen!” desis Jo.


♥ ♥


            Andrew menoleh ke kanan dan ke kiri. Sudah dua puluh menit dia berdiri seperti patung penjaga di depan toilet cewek semenjak Gwen izin ke kamar mandi, namun gadis itu belum juga kembali ke kelas. Andrew jadi sedikit cemas dan takut kalau sesuatu terjadi pada Gwen. Bagaimana kalau gadis itu sedang tidak enak badan dan pingsan di kamar mandi?

            Dia menggeram kesal karena tidak ada satu orang murid perempuan yang ingin masuk ke dalam kamar mandi. Dia ingin meminta tolong untuk memastikan bahwa Gwen baik-baik saja di dalam sana. Menunggu selama itu membuatnya frustasi berat hingga hampir pecah batok kepalanya.

            “Apa gue dobrak aja pintunya yah?”
            Andrew langsung melempar jauh – jauh pikiran paling gila yang pernah muncul di otaknya itu. Kalau ada yang melihat, apa yang harus dia katakan? Dia tak mungkin bilang gak liat tanda toilet cewek segede baliho itu, kan?

            Namun Gwen tak keluar dari tadi membuatnya gila. Saking gilanya, dia menggaruk kepalanya dengan kasar dna menghentakkan kaki frustasi ke lantai.
            “Lama-lama gue dobrak juga deh, nih, pintu!”

            “Lo ngapain, Ndrew?”
            Andrew menoleh dan mendapati sosok Arny sedang berdiri di hadapannya. Gadis itu terlihat bingung dan mengerutkan keningnya karena Andrew berdiri layaknya satpam kurang kerjaan di depan pintu kamar mandi perempuan karna mondar – mandir seperti setrika rusak.

            Andrew menghela napas luar biasa lega ketika melihat pahlawannya muncul disaat di butuhkan. “Kebetulan lo datang, Ar.” Tanpa peduli dia sedang kebingungan, dia langsung menarik lengan Arny ke pinggir dan berbisik sangat pelan.
             “Gue bisa minta tolong?”

            Arny mengangguk ragu dan melirik ke arah lengannya yang masih dipegang oleh mantan pacarnya itu. Ada desiran halus dalam dadanya ketika Andrew memegang lengannya. Rasanya suhu tubuhnya mulai meningkat dan darah dalam tubuhnya terserap keluar. Jantungnya berdegup liar dan Arny harus berusaha sekuat tenaga agar tidak terlena dengan aroma tubuh Andrew yang memabukkan dengan memasang wajah sedatar mungkin.
            “Apaan?”
           
            “Begini...” Andrew mendadak salah tingkah harus mengatakan itu pada mantan pacarnya sendiri. “Si Gwen, dari dua puluh menit yang lalu dia minta izin mau ke toilet, sampai sekarang belum keluar juga. Gue takut dia kenapa-napa di dalam sana.”

            “Gwen?” Ulangnya. Berusaha meyakini diri sendiri kalau dia tak salah dengar.

            Andrew mengangguk. “Bisa tolongin, gue, kan?”

            Arny merasa ada perasaan tidak senang ketika mendengar nada cemas dalam suara Andrew. Raut wajah cowok itu juga menunjukkan kekhawatiran yang sarat akan keadaan Gwen. Arny berusaha untuk tersenyum dan meredam rasa cemburu yang mulai terbit dalam dirinya.

            “Gue bisa kok. bisa dilepasin gak?” Andrew membalas senyuman Arny dan melepaskan pegangannya pada lengan gadis itu. Arny melangkah perlahan ke dalam kamar mandi, meninggalkan Andrew yang menunggu di luar dengan perasaan yang semakin tidak enak.

            Beberapa detik seakan seperti setahun tanpa kabar yang pasti buat Andrew, ketika melihat Arny keluar. Andrew langsung mendekatinya dan menatap gadis itu tepat di manik mata.
           
            “Gwen nggak ada di dalam, Ndrew…,” lapor Arny. Andrew langsung mengerutkan keningnya.
            “Lo yakin?”
            Arny mengangguk. “Gue udah coba liat ke semua bilik, tapi Gwen nggak ada. Mungkin dia udah keluar dari kamar mandi.”

            “Tapi, dia nggak balik ke kelas.” Andrew mulai panik dan kebingungan sekarang. Dalam hati, dia sudah berjanji akan mengomeli Gwen habis-habisan karena sudah membuatnya khawatir seperti ini. Gwen itu memang pintar kalau dalam urusan membuat dirinya kelabakan.

            “Ndrew… Gwen itu udah gede, udah dewasa. Kenapa lo sampai cemas dan panik kayak gitu, sih? Ini kan masih di lingkungan sekolah. Gwen pasti baik-baik, aja.” Arny menyadari tingkah ganjil Andrew dan mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa ralat sama sekali.

            Andrew menghembuskan napas keras dan mendesah berat. “Gwen itu sahabat gue, Ar. Gue nggak bisa nggak cemas dan nggak peduli sama dia. Dia itu penting banget buat gue.”

            Arny mengalihkan pandangannya dari wajah Andrew menjadi mempelototi bak sampah dan mendengus. Rasa cemburu itu hadir kembali dengan kuat. Mematikan seluruh akal sehatnya. Membakarnya dari dalam. Sejujurnya, dia masih mencintai cowok yang berdiri di depannya ini. Yang sedang mencemaskan keadaan sahabatnya ini daripada bertanya bagaimana hatinya sekarang. Jujur,  Dia ingin Andrew kembali padanya dan balik ke Indonesia serta mencari keberadaan cowok itu karna dia tak sanggup meninggalkannya. namun, entah kenapa, kehadiran Gwen  yang bertitle sahabat dekat itu menghalanginya.

            “Apa benar lo cuma nganggap dia sebagai sahabat lo aja?”
            Andrew mengerutkan kening. Tak mengerti arah pembicaraan Arny yang sekarang menatapnya tajam. “Maksud lo apa ngomong kayak gitu?”

            “Cuma bingung aja. Tingkah lo itu bukan seperti seorang sahabat, tapi lebih seperti orang yang lagi takut kalau pacarnya kenapa-napa!”

            Andrew berniat untuk membalas ucapan Arny, namun niat itu diurungkannya. Saat ini yang paling penting adalah menemukan Gwen. Andrew langsung meninggalkan Arny yang masih berdiri sambil memandang laki-laki yang mulai menjauh darinya itu dengan tatapan tajam dan mendecak kesal.

            “Awas lo, Gwen!”


♥ ♥


            Gwen sengaja menghindari Andrew seharian ini. Setiap kali Andrew mendekatinya dan berusaha untuk mengajaknya bicara, Gwen akan langsung mencari seribu satu alasan dan gaya untuk menjauh dari Andrew. Entah kenapa kalau berada dekat dengan Andrew, dia jadi teringat lagi akan Arny yang selalu ada di dekat cowok itu seperti perangko dan amplop. Membuatnya entah kenapa dibakar oleh perasaan aneh dan paling ganjil.

            Seperti pulang sekolah tadi, Gwen yang asyik cekikan dengan Tiara, mendadak termangu melihat Andrew dan Arny duduk berdua di taman sekolah. Entah apa yang mereka bicarakan, Gwen sendiri tidak tahu. Awalnya, dia memang melihat Andrew dan Arny berbicara dengan serius. Lama-kelamaan, keseriusan itu berubah menjadi canda tawa. Gwen bahkan belum pernah melihat tawa Andrew yang seperti itu sebelumnya. Dan membuatnya langsung tancap gas berlari ke parkiran dan berteriak nyaring agar Tiara cepat ikut dengannya karna dia mendadak tak tahan lagi disini
            Gwen memang merasa Andrew berusaha mendekatinya untuk mengajaknya bicara, tapi, Gwen jauh lebih merasa Andrew melupakannya. Gwen merasa Andrew sekarang jadi semakin dekat dengan Arny. Dan entah kenapa hal itu membuatnya sakit. Seperti ditusuk tombak yang tak terlihat wujudnya, namun terasa sakitnya.

            “Gue merasa dilupakan!” Gwen langsung melemparkan bom molotov tanpa kearah Tiara yang saat itu asyik menyusun beberapa cerita untuk mading mereka. Gwen memutuskan mengungsi kerumah Tiara karna tak tahan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Seperti tadi, dia disuguhkan pemandangan Arny asyik mengobrol dengan Andrew di taman sekolah. Sangat mesra hingga hatinya entah kenapa merasa terbakar. Tatapan yang tak pernah ditunjukkan Andrew padanya itu sangat jelas terpancar saat dia berduaan dengan Arny. Seperti orang pacaran dan yang lainnya ngontrak. Termasuk dirinya.

            Tiara memutuskan menghentikan pekerjaannya dan melirik Gwen yang duduk di ranjangnya dengan melipat tangan ke dada. Dia tersenyum geli. “Lo cemburu liat Andrew dengan Arny? Wajar kalii.. kan mereka mantan pacar yang sengaja putus karna keadaan.”

            “Gue gak cemburu!” Gwen berteriak dan meremas – remas boneka Panda Tiara yang dipegangnya dengan gemas. Saking gemasnya, hampir saja dia ingin mengguntingnya dan menghamburkan isi boneka itu ke lantai. Mendadak, hatinya semakin sakit saja.
           
            “Apa wajar....” Dia terdiam. Matanya menatap Tiara yang fokus ke arahnya sekarang. Sorot mata sahabatnya sangat pengertian. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang kata kakaknya akhir – akhir terlihat lelah. “Kalau pada akhirnya, gue suka dengan dia sedangkan dia merasa nyaman dengan persahabatan ini?”

            Tiara menghembuskan napas berat dan memandang lembut Gwen. “Gwen, gue nggak tau, ya, apa ucapan gue ini emang benar atau nggak. Cuma, beberapa orang pernah bilang kalau persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu nggak akan bisa berjalan dengan baik, karena salah satu dari mereka pasti akan merasakan perasaan yang lebih daripada sekedar sahabat. Seperti yang lagi lo alamin sekarang ini. Dari awal yang gue liat, lo sama Andrew emang bukan terlihat seperti seorang sahabat, melainkan seperti sepasang kekasih. Lo terlalu nyaman sama Andrew, sampai-sampai lo nggak sadar kalau perasaan nyaman itu sekarang berubah menjadi cinta.”

            Entah kenapa, ucapan Tiara yang panjang lebar itu memancing air mata yang sudah beberapa hari ini tertahan di pelupuk matanya. Ucapan sahabatnya itu seperti api yang membuat air mata yang membeku lalu mencair dan akhirnya  menetes tanpa ampun membasahi pipinya. “ Kalau itu benar, kalau persahabatan gue memang ada cinta yang selama ini gak pernah kami rasain, apa yang harus gue lakuin, Tiara?” tanya gadis itu dengan suara serak. Air mata semakin membasahi pipinya “ Jujur, Gue nggak kuat liat dia sama Arny berduaan terus. Ada yang sangat sakit dan berdarah disini, Tiara. Hati gue.” Gwen menunjuk dadanya sendiri dan menangis terisak/. Dia tak sanggup menahan sakit di hatinya yang semakin hari membuatnya tersiksa. Duduk sebangku dengan Andrew, dekat, namun dia seperti melihat sekat tak tersentuh di antara mereka. Setiap dia melihat Andrew berbicara dengan Arny atau cewek itu yang mendekatinya dan memberikan tatapan tajam yang seolah diartikan “ngapain lo disini? Bisa pergi gak?”, hatinya seperti tersayat – sayat tanpa ampun. Dia ingin berteriak kesakitan, tapi yang dia lakukan hanyalah diam dan melihat semuanya lalu menghilang sambil mengobati lukanya, dengan caranya sendiri. Menghilang perlahan.

            Tiara lagi-lagi menghembuskan napasnya. Gadis itu kemudian meraih tubuh Gwen dan memeluknya. dia mengelus punggung Gwen, hingga membuatnya  semakin menangis. Tubuhnya gemetar hebat tanda tak sanggup dia menahan kesakitan semua ini. Ternyata, mencintai seseorang bisa membuatnya sedih dan menderita seperti ini.

            “Nggak akan ada yang bisa ngelawan cinta atau menghindarinya, Gwen. Saran gue, lo nggak usah ngejauh dari Andrew. Bersikap biasa aja. Seperti dulu sebelum lo gak punya perasaan ini. Jangan pernah memaksa kalau lo harus melupakan perasaan cinta lo ke Andrew, itu justru malah bikin lo tambah cinta sama dia dan lo akan semakin sakit. Gwen.”

            Gwen mendengarkan semua nasihat Tiara dengan tangisan yang masih terdengar. dia mengangguk di bahu Tiara. Dia akan mencobanya.  mencoba melupakan dan membunuh perasaan cinta yang mulai tumbuh untuk sahabatnya itu. Dia tidak ingin merusak persahabatannya dengan Andrew. Laki-laki itu terlalu memahami dirinya, hingga Gwen tidak bisa kalau tidak bersama Andrew.

            “Tapi.. bagaimana bila gue tak sanggup melakukannya? Bagaimana kalau gue semakin jatuh dalam jeratnya  dan tak bisa berdiri tegak lagi?”


♥ ♥


            Sudah beberapa hari terakhir ini, Andrew merasa Gwen menjauhinya. Gadis itu memang masih berbicara dengannya, namun gadis itu seperti menjaga jarak dengannya. Seperti membuat sekat tak terlihat di depannya. Andrew sendiri tidak tahu apa sebenarnya. Tiap malam dia selalu memikirkan apa yang diperbuatnya hingga sahabatnya itu menjauh, namun dia tak menemukan jawaban. yang ada pertanyaan menggantung.
            “Apa salah gue?”

            “Gwen!”

            Gwen tersentak ketika asyik berjalan sendiri sambil melamun, dia merasa lengannya ditarik dan tubuhnya diputar paksa. Gwen terkesiap ketika mendapati sosok Andrew tengah berdiri di depannya dengan kening yang berkerut dan wajah yang kebingungan.

“Lo kenapa, sih, akhir-akhir ini kayak yang ngejauh dari gue?” Tanpa ampun cowok itu menyerangnya dengan pertanyaan yang sanggup membuatnya mati tanpa perlawanan.
           
Dia tergagap. Tak siap kalau harus ditanya seperti itu oleh Andrew. Gwen menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapapun yang bisa membantunya melarikan diri dari Andrew saat ini. Yang bisa dia jadikan kambing hitam untuk membuatnya kabur dalam situasi ini. Sayangnya, dia tidak bisa meminta tolong pada sembarang orang dan tak ingin mengorbankan, karena bisa-bisa akan terjadi pertumpahan darah. Dia cukup lama bersahabat dengan Andrew untuk tahu bahwa laki-laki itu paling tidak senang kalau ada orang yang tidak dikenal ikut campur urusannya.

            “Ndrew… gue mau pulang, capek,” Lirihnya.  Dia memang lelah. Lelah hati dan pikiran. Dia mencoba menghindar dengan berusaha melepaskan cekalan tangan Andrew pada tangannya, namun gagal. Andrew tidak berniat untuk melepaskan tangannya. Malah semakin erat hingga sedikit menyakitinya.
           
            Andrew sadar gerakannya itu menyakiti sahabatnya. Tapi dia harus tahu kenapa gadis itu berusaha menjaga jarak darinya. Dia tak ingin setiap menutup mata, pikiran menggantung itu menjadi penghias mimpinya.


            “Kita mesti ngomong, Gwen. Gue mesti ngomong sama lo,” balas Andrew tegas.  Tanpa persetujuan, cowok itu langsung menarik Gwen menuju taman belakang sekolah. Gwen berusaha memberontak, menjejakkan kedua kakinya kuat-kuat di aspal, namun ternyata tenaga Andrew terlalu kuat untuk dilawan.

            “Andrew, gue bilang lepas!” seru Gwen. Dengan mengerahkan seluruh cadangan kekuatan yang ada, Gwen menyentakkan tangan Andrew dari tangannya begitu keduanya sudah sampai di taman belakang sekolah. Andrew yang tidak biasa medapat perlakuan seperti itu dari sahabatnya, hanya bisa mengerutkan kening dan menatapnya tajam. Sementara yang ditatap hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Taman belakang sekolah ini sepi karena jam sekolah sudah selesai.

            “Kasih tau gue, apa salah gue!” Andrew mengucapkannya dengan penuh penekanan yang sanggup membuat lawannya terintimidasi. Gwen menghembuskan napas berat dan lelah untuk kesekian kalinya dan memejamkan kedua matanya. Dadanya bergemuruh hebat. Gadis itu mulai merasa matanya memanas. Air mata mulai siap membasahi pipinya lagi.
            “Demi Tuhan, jangan menangis sekarang, Gwen… jangan …”

            “Lo selalu menghindar dari gue beberapa hari belakangan ini. Setiap gue ajak lo untuk ngobrol, lo selalu nyoba untuk nyari kesibukan, lo selalu ngalihin pembicaraan supaya lo bisa pergi dari gue. Kenapa, Gwen? Gue nggak ngerti kenapa lo perlakukan gue kayak begini. Salah gue, dimana?” Andrew mencecarnya dengan pertanyaan bertubi – tubi, tanpa ampun. Tanpa sadar bahwa setiap pertanyaannya itu, menyakiti hati sahabatnya yang sudah sangat rapuh. Saking rapuhnya hingga hembusan angin kecil bisa merubuhkannya tanpa tersisa. Tanpa bisa dia berdiri tegak lagi.


            Gwen mencoba menahan isakan tangis yang sebentar lagi mengancam untuk keluar sambil mendengarkan pertanyaan sahabatnya tanpa dia bisa menjawabnya. Dia masih memejamkan kedua matanya tanpa berani membuka  ketika dirasakannya dagunya disentuh lembut.  Sentuhan itu membuat matanya terbuka  dan mendapati Andrew tengah mengarahkan wajahnya untuk menatap laki-laki itu. Gwen bisa melihat tatapan putus asa dan frustasi dari kedua mata Andrew.

            “Gwen… gue tersiksa kalau lo perlakukan gue kayak gini tanpa gue tau apa salah gue….”
           
            “Dan gue juga tersiksa menyimpan perasaan cinta ini, sakit ini, tanpa bisa gue bagi sama lo! tanpa bisa lo tau apa isi hati gue! Peka sedikit, Ndrew! Liat hati gue udah hancur! Liat serpihan hati gue yang berserakan kemana – mana hingga menjadi serpihan terkecil setiap gue liat lo sama Arny.”

            Gwen menepis tangan Andrew dari dagunya. Dia menatap Andrew tepat di manik mata cowok itu yang sekarang menatapnya bingung.

            “Lo nggak salah apa-apa, Ndrew, lo sama sekali nggak salah apa-apa. Gue cuma lagi banyak masalah dan pikiran. Gue cuma nggak mau libatin lo sama masalah gue yang satu ini. Gue mohon lo bisa ngerti. Untuk sementara waktu, biarin gue sendiri dulu….”
            “Dan kalau ada yang perlu disalahin disini, gue yang salah. Salah karna dekat sama lo, salah karna membiarkan perasaan asing ini masuk dan akhirnya menyakiti gue tanpa ampun. Parahnya lagi, lo gak sadar, Ndrew. Lo seenaknya dekat dengan dia tanpa sadar, tanpa menoleh sedikitpun, gue terluka.”

            Andrew terperangah. Dia tidak menyangka Gwen benar-benar ingin menjauh darinya. Ada masalah apa sebenarnya? Apa yang sedang mengganggu pikiran gadis itu? Apa?

            Gwen membalikkan tubuh dan berniat untuk pergi, namun lagi-lagi Andrew menahan lengannya. Andrew membiarkan Gwen membelakanginya. Andrew merasa tangan yang dicekalnya begitu dingin. Seorah aliran darah mendadak tak mengalir di titik yang dia pegang sekarang.

            “Gwen… kita sahabat, kan?” Tanyanya dengan nada sakit. Tak terima disuruh pergi tanpa tau apa – apa.

            Gwen terdiam. Sama sekali tidak bisa menemukan suaranya. Sama sekali tidak sanggup untuk mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir Andrew dan menjawabnya.

            “Lo tau apa gunanya seorang sahabat? Sahabat akan selalu membantu sahabatnya yang lain apabila sahabatnya itu sedang mengalami masalah. Apapun itu. Kapanpun itu. Dan gue… gue mau lo berbagi semua masalah lo sama gue, Gwen. Gue mau lo limpahin semua masalah lo sama gue, limpahin semua emosi lo, semua yang mengganggu pikiran lo, semuanya. Lo boleh marah-marah sama gue, lo boleh maki-maki gue, lo boleh pukul gue, asal itu bisa bikin lo senang, bisa bikin lo tenang, bisa bikin lo bebas, gue bersedia, Gwen. Tapi, please… jangan jauhin gue, jangan menghindar lagi dari gue. Gue nggak bisa, Gwen… gue tersiksa….”
           
            “lo tersiksa karna tak tau masalah gue, tapi lo tau apa yang buat gue tersiksa? Gak. Dan, apakah gue sanggup melakukannya, Ndrew? Sanggup mengeluarkan isi hati gue yang semuanya berasal dari lo? gak ada yang bisa buat gue tenang, buat gue bebas seperti burung terbang ke angkasa selain bisa menghilangkan perasaan ini tanpa perlu persahabatan kita hancur lebur, Ndrew. Gue sakit, gue terluka tanpa sadar. Dan itu... membunuh gue. ”


            Pertahanan Gwen mulai runtuh. Benteng itu mulai pecah. Ucapan Andrew sangat membuatnya goyah. Bagaimana bisa cowok itu melakukannya? Bagaimana bisa cowok itu membuatnya semakin menyukainya? Curang! Andrew benar-benar curang! Dia tidak bisa melakukan hal ini seenaknya pada Gwen. Andrew tidak boleh membuat dirinya menjadi seperti ini.

            Perlahan, seolah tau,  Andrew menarik lengan Gwen, memutar tubuh gadis itu ke arahnya, dan mendekapnya erat. Angin berhembus pelan, memainkan rambut keduanya. Gwen tidak membalas pelukan Andrew. Meskipun saat ini, Andrew memeluknya dengan sangat erat. Dengan seluruh jiwanya. Dia merasakan ketentraman dan kedamaian ketika tubuh Gwen berada dalam tubuhnya, dalam pelukannya. Andrew merasa tenang.

            “Gwen… jangan bikin gue seperti orang gila. Gue gila karena lo menjauh dari gue. Gue gila karena lo menghindar dari gue. Gue gila karena lo dekat dengan laki-laki lain, selain gue. Gue gila karena lo menolak berbicara sama gue. Gue nggak bisa tanpa lo, Gwen, nggak bisa… lo itu sahabat gue. Sahabat terbaik gue. Sahabat terdekat gue. Gue kehilangan arah tanpa lo, Gwen….”
           
            “Dan gue gila karna lo dekat dengan dia tanpa gue bisa melakukan apa – apa, Ndrew.”


            Tubuh Gwen mulai bergetar hebat. Isakan pertama yang keluar dari bibir gadis itu membuat Andrew makin mengeratkan pelukannya. Semakin dalam Andrew memeluknya, semakin menjadi tangis Gwen. Gwen kini mulai melingkarkan lengannya di leher Andrew. Gadis itu membiarkan tubuhnya didekap semakin kuat oleh Andrew. Gwen belum pernah menangis seperti ini sebelumnya.

“Just one more times,
one more moment to take you in my arms

One more times, before i have to face
I know that day, and my heart break, again...

again...”

One More Times – Kenny G.

Andrew sesak ketika sadar bahwa Gwen menangis tanpa dia tau kenapa. Cowok itu  membiarkan Gwen menangis sepuas hatinya. Menangis sesegukan di bahunya yang kokoh. Rengkuhan kedua tangan gadis itu pada bahunya serta tubuh Gwen yang gemetar, membuat Andrew sadar bahwa masalah yang sedang dialami oleh Gwen mungkin sangat berat. Sampai-sampai gadis itu tidak ingin membaginya pada Andrew. Padahal, Andrew sangat ingin Gwen berkeluh-kesah padanya. Tentang apa saja. Semuanya.

            Karena, Andrew mulai sadar bahwa dirinya menyukai Gwen.

            Karena Andrew mulai sadar,  kalau dirinya mempunyai perasaan yang lebih pada sahabatnya itu.
Tapi, Andrew tidak ingin membuat persahabatannya dengan Gwen hancur.

            Maka, dia tidak akan mengatakan yang sejujurnya pada Gwen.

            Lalu… disebut keadaan seperti apakah hal ini? Saling menyukai, saling membutuhkan, saling menyayangi, tanpa keduanya sadari. Saling menginginkan tapi juga saling melukai satu sama lain. Saling mencintai tapi juga saling membunuh perasaan masing-masing.

            Andrew dan Gwen terjebak dalam keadaan dimana keduanya harus mempertahankan ego masing-masing, mengubur dan membunuh perasaan yang mulai tumbuh diantara keduanya, diatas label persahabatan.

           
            “Persahabatan itu memang indah. Tapi kenapa harus ada cinta di antaranya? Apa yang harus gue lakuin? Pergi, atau mengatakan? Atau.. melupakan?”


BestFriend? Hmmm.. Part 4 - Rasa Ini



Andrew berusaha mengatur napasnya dan debaran jantungnya yang meliar. Mimpi itu benar-benar terasa seperti nyata. Dirinya menikah dengan Gwen? Gwen Lucynda Evelyn, gadis tengil yang notabene adalah sahabatnya sendiri? Ha! Mustahil sekali pemirsa! Bagaimana bisa seorang sahabat menjadseorang pasangan? Benar-benar tidak mungkin, bukan?


            Andrew meremas rambutnya dan mengerang pelan. Laki-laki itu turun dari kasurnya dan berjalan menuju dapur. Dibukanya kulkas dan diambilnya sebotol air dingin yang langsung ditenggaknya tanpa jeda. Andrew kemudian melempar botol tersebut dan menarik napas panjang.
            “Kenapa gue bisa mimpi nikah sama si Gwen, ya?” Andrew menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sekali lagi, laki-laki itu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan lagi. Dadanya bergemuruh hebat. Seperti ada palu yang mengentak-entak dadanya. Rasanya sangat sesak. Tapi jenis sesak yang membuatnya ingin selalu tersenyum.


            “Holy shit!” umpat Andrew pelan. “Gue nggak mungkin suka sama sahabat gue sendiri, kan?”


            Pertanyaan itu menggantung di udara dan di benaknya. Tanpa sadar seulas senyum tercetak di bibirnya. Tatapannya menerawang. Andrew kemudian menarik kursi di dapur dan duduk dengan bertopang dagu. cowok itu kembali menghela napas panjang.


            “Hhhh… aneh emang mimpinya, tapi… kalau dipikir-pikir, Gwen lumayan menarik juga. Minus kelakuan tomboynya itu. Coba aja kalau dia sedikit lembut dan feminin, Gwen pasti keliatan manis dan cantik….”
Andrew yang baru tersadar dengan ucapannya barusan langsung meringis dan menjitak kepalanya sendiri.


            “Begoooo! Andrew Janson Maynard, elo bener-bener lagi nggak waras! Otak lo lagi konslet ya sampai bisa-bisanya lo bilang kalau Gwen itu cantik?! Inget, Ndrew, inget, Gwen itu sahabat lo. Dari dulu sampai sekarang dan untuk selamanya….”
           

            Andrew terengah-engah dan menghembuskan napas panjang. “Lama-lama gue sinting beneran nih!”


♥♥

            Gwen mengusap peluh di pelipisnya. Baru saja dia bermimpi aneh. Dia bermimpi sudah menikah dengan seorang laki-laki yang tidak dia kenali wajahnya. Gwen memejamkan kedua matanya dan berusaha mengingat-ingat kembali mimpinya. Nihil. Gadis itu tetap saja tidak bisa mengingat siapa laki-laki yang telah mengucapkan ijab Kabul disebelahnya itu.
           

            Gwen mendesah berat dan melirik jam berbentuk Tweety yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Sudah pukul setengah dua pagi. Masih terlalu pagi untuk menelepon seseorang. Tapi, Gwen merasa dia harus menelepon orang tersebut. Hanya dia yang bisa menenangkan dan menjernihkan pikiran Gwen saat ini. Gwen mengangguk yakin dan mengambil ponselnya yang diletakkan di bawah bantalnya. Gadis itu kemudian menekan angka satu dan langsung terhubung dengan nomor Andrew.


            “Halo?” sapa Gwen ragu ketika nada sambung di ponselnya telah berganti dengan sebuah suara bernada berat dan serak. Gwen jadi merasa bersalah dan tidak enak hati karena dia yakin tidur Andrew sudah terganggu oleh teleponnya.


            “Kenapa, Gwen?” tanya Andrew pelan. Tanpa Gwen sadari, Andrew tengah tersenyum di ujung sana. Andrew sendiri tidak tahu kenapa dia bisa tersenyum hanya karena mendengar suara gadis itu. Padahal selama ini, sudah tidak terhitung lagi dia mendengar suara cempreng khas sahabatnya itu dan baru kali ini Andrew tersenyum ketika mendengarnya.
           

            “Ganggu, nggak?” tanya Gwen takut-takut. Andrew menggeleng pelan. Sadar bahwa sahabatnya itu tidak bisa melihat tindakannya, Andrew berkata,           “Santai aja, Gwen, kayak yang baru kenal sama gue, aja….”
            Gwen tersenyum kecil dan menghela napas. “Ndrew… gue… gue abis mimpi….”
Andrew mengerutkan keningnya dan mengambil buah apel yang berada di atas meja di depannya. Laki-laki itu kemudian menggigit buah apel tersebut dan kembali memusatkan perhatiannya pada Gwen.


            “Mimpi apa?”
            Gwen menggeleng. Kemudian gadis itu bersuara ketika tahu gelengan kepalanya tidak bisa dilihat oleh Andrew. “Nggak tau...,” jawabnya ragu.


            “Dih….” Andrew kembali mengunyah buah apel nan ranum di tangannya.    “Kok lo bisa aneh banget gitu, sih, Gwen? Masa mimpi sendiri aja nggak tau?”
            Gwen yang mendengar suara kunyahan Andrew kontan mengerutkan keningnya. “Lo lagi makan, ya, Ndrew?”
            “Ho-oh… lagi makan apel, gue. Sumpah, lagi pada demonstrasi ini cacing-cacing dalam perut gue, Gwen.”
           

            Gwen mencibir dan memutar kedua bola matanya. Takjub akan kelakuan Andrew yang selalu makan di tengah malam seperti ini namun tidak pernah mengubah bentuk tubuhnya yang tegap dan atletis itu.
            “Gue mimpi nikah, Ndrew….”
            Andrew yang mendengar itu langsung terbatuk-batuk dan menyemburkan apel yang sedang dikunyahnya. Laki-laki itu buru-buru mengambil air dalam kulkas dan langsung meneguknya dengan cepat. Gwen yang menyadari bahwa Andrew tersedak langsung panik.
           

            “Halo? Halo?! Ndrew? Heh, monyet yang suka nongol di cibubur, lo baik-baik aja, kan?” tanya Gwen. Mendengar rentetan pertanyaan Gwen membuat Andrew mendengus kesal dan menarik napas panjang setelah yakin bahwa tidak ada potongan apel yang tersangkut di tenggorokannya.
            “Gue ganteng kayak gini lo bilang monyet? Wah, Gwen, untung lo sahabat gue, kalau nggak, gue pites, lo!” gerutu Andrew. Di seberang sana, Gwen tertawa geli.
            “Bercanda, Ndrew….”
            “Balik lagi ke topik awal….” Andrew mengambil jeda beberapa saat sebelum melanjutkan. “Lo beneran mimpi nikah, Gwen? Sama siapa?”
            “Itu dia, Ndrew….”
            “Itu dia? Dia siapa, maksud lo?”
            Gwen mendengus dan mencoba meredam kekesalan yang mendadak terbit akibat kelolaan Andrew yang tak hilang – hilang juga.
           

            “Maksud gue, itu dia, gue nggak tau gue nikah sama siapa, Ndrew!”


            Andrew menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ada yang janggal disini. Kemarin juga sewaktu Andrew pertama kali mendapatkan mimpi bahwa dia tengah menikah dengan seorang gadis, Andrew tidak mengenali siapa gadis itu. Tapi nyatanya malam ini, sesuatu yang tidak diduganya muncul. Laki-laki itu kini tahu siapa yang tengah dinikahinya dalam mimpinya kemarin malam. Gadis itu… Gwen. Mengingat mimpinya, dia mendadak seperti menelan biji apel dan tersangkut di tenggorokan.
           

            “Mmm, Gwen… lo percaya nggak kalau… kalau….” Andrew tidak menyelesaikan kalimatnya. Apa yang akan dikatakan Gwen kalau gadis itu tahu bahwa Andrew pernah memimpikannya menikah dengan gadis itu?
           

            “Kalau apa, Ndrew?”
            Andrew tergeragap bingung hendak bicara apa dan langsung menggeleng tegas. “Eh, nggak apa-apa kok, Gwen.”
           

            Andrew melirik jam yang menggantung di dinding ruangan tersebut. Sudah pukul dua lewat. Sudah lewat tengah malam. Tiba – tiba ide konyol melintas di otaknya seperti komet.
           
            “Gwen, mau ketemuan, nggak?”
            Gwen terbelalak dan langsung menoleh ke arah jam Tweety miliknya. “Ketemuan gundulmu! Lo nggak liat sekarang jam dua lewat, Ndrew? Kita harus sekolah nanti pagi, tau!” seru Gwen tertahan. Gadis itu menajamkan kedua telinganya untuk mengetahui apakah seruannya beberapa saat lalu telah menimbulkan keributan. Gwen mendesah lega ketika mendapati bahwa keadaan tenang, aman dan damai sentosa.
           

            “Yah, Gwen… sebentar aja… ayolah, masa lo tega sih sama gue?” Andrew merajuk dengan nada manja. “Please?”
           

            Gwen menggigit bibir bawahnya. Rasanya ada yang aneh dengan jantungnya. Entah mengapa Gwen merasa jantungnya berdebar melebihi batas normal yang seharusnya. Rasanya aliran darahnya terserap keluar. Rasanya dia ingin melompat dan bertemu dengan Andrew secepatnya. Astaga! Apakah hal ini wajar? Demi Tuhan, dia dan Andrew adalah sahabat. Tidak mungkin dia menyukai Andrew. Itu sangat tidak mungkin! Sahabat tidak akan pernah menjadi sepasang kekasih. Demi Tuhan, Gwen, buang pikiran itu jauh-jauh! Ucapnya dalam hati sambil menepuk – nepuk pipinya pelan.


            “Halo? Gwen? Belum mati, kan?” Andrew bertanya lagi ketika tak ada tanda – tanda kehidupan di seberang sana.
            Gwen mencibir. “Sialan lo!” umpat Gwen ketus dan membuat Andrew tertawa.
            “Gimana? Sebentar aja. Soalnya nggak tau kenapa tiba-tiba gue kangen banget sama lo, nih!”
           

DEG!

            Barusan Andrew bilang apa? Kangen? KANGEN?!
           

            “Ndrew?”
            “Hmm?”


            “Lo nggak lagi kesambet setan yang suka mangkal di pohon mangga depan rumah lo, kan? Mengingat ini sudah jam dua pagi dan menurut buku yang gue baca kegiatan supranatural itu selalu terjadi antara pukul dua hingga tiga dini hari. Gue yakin seratus persen kalau lo lagi kerasukan sekarang….”
Andrew terbahak mendengar ucapan Gwen itu.

             “Sejak kapan lo baca buku, Gwen? Jangankan buku supranatural, komik aja lo malas baca!” Ejeknya dan Gwen merengut. Mengetahui sahabatnya merajuk, dia tertawa dan melanjutkan, “Tenang, Gwen… gue rajin sholat, ngaji, puasa, dan zakat. Tinggal naik haji aja yang belum gue lakuin karena uang gue belum cukup untuk pergi ke sana. Gue sehat, kok, Gwen… mental dan fisik. Jangankan setan, kucing aja liat gue terpesona kok!”


            Dih, ngelantur banget nih bocah. Apa coba hubungannya setan sama kucing yang terpesona sama dia?


            Gwen menghembuskan napas panjang dan tersenyum lebar. Rasanya sangat menyenangkan mendengar suara Andrew, entah kenapa.


            “Oke. Cuma sebentar aja ya ketemuannya?” Gwen memberi syarat pada Andrew. “Mau ketemuan dimana?”


            “Biar gue yang ke rumah lo. Terus kita nongkrong di atas genteng rumah lo, seperti biasa.” Ucapnya dan entah Gwen ketularan sinting atau gimana, setuju dengan ucapannya.



♥ ♥


            “Dingin?”


            Gwen meringis dan menggeleng. Dirapatkannya jaket yang dikenakannya. Lebih tepatnya jaket milik Andrew yang disampirkan di tubuhnya. Sekarang sudah pukul setengah tiga dini hari dan beberapa menit yang lalu, Andrew baru saja tiba di rumahnya. Andrew mengendarai motor gedenya dengan kecepatan sedang. Karena jalanan yang lengang, laki-laki itu hanya menghabiskan waktu sepuluh menit untuk pergi ke rumah Gwen.


            “Biasa gue, mah… lo inget nggak waktu itu kita climbing? Waktu itu kan hawanya lebih dingin daripada sekarang, Ndrew.”


            Andrew menoleh dan mengacak rambut Gwen, membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya. “Iya, dan lo bikin gue khawatir setengah mampus karena lo sok-sokan kuat nahan dingin dan akhirnya malah kehabisan napas gara-gara asma lo kumat.”


            Gwen tersenyum kecil dan menatap bintang-bintang yang bertaburan di atas sana.
            “Gwen….”
            “Hm?” gumam Gwen tanpa menatap Andrew. Gadis itu sangat terpesona dengan keindahan langit malam. Apalagi Cuma berduaan dengan Andrew, membuat hatinya merasa gimaanaaa.. gitu.
            “Inget kan kalau gue pernah bilang gue lagi suka sama cewek?”Seketika, pandangan Gwen teralihkan dari langit dan menatap Andrew dengan kening berkerut. Gadis itu mengangguk dan memiringkan kepalanya.


            “Lo mau tau, siapa orangnya?”
           

            Gwen menelan ludah susah payah. Rasanya ada sebuah batu yang mengganjal di tenggorokannya, menghimpit dadanya, membuatnya sulit bernapas. Gwen mengambil napas panjang dan membuangnya. Kenapa tiba-tiba hanya untuk bernapas saja rasanya teramat sulit baginya?


            “Siapa, emang?” tanya Gwen setelah berhasil menemukan suaranya kembali. dia bertanya dengan nada cuek, seolah apa yang baru saja diucapkan oleh Andrew tidak penting baginya. Padahal dalam hati, jantungnya berdetak tak keruan.
            “Tiara….”


            “Hah? HAH?! WHAT?!”


            “Ti… ara?” tanya Gwen terbata. Andrew menoleh. Keduanya saling tatap dalam diam. Perlahan, kepala Andrew mengangguk.
            “Kenapa? Kok kayak kaget, gitu? Cemburu?”
           

            Gwen mengerjapkan mata dan langsung membuang muka. Mengubah ekspresinya agar mencibir. Padahal dalam hatinya seperti ada yang terbanting keras dan serpihannya jatuh mengenainya. Sakit... “Dih, pede! Mau lo suka sama Tiara, kek, Shabrina kek, Puput atau semua cewek-cewek yang histeris kalau ngeliat lo dan ingin mencekik gue hidup-hidup karena gue dekat sama lo dan jelas-jelas mereka tau kalau gue itu sahabat lo, I DON’T CARE!”


            Andrew menahan senyum dan menghela napas. Ditatapnya bintang yang bertaburan di langit hitam di atasnya. Entah kenapa dia merasakan ada sedikit nada tak suka dari sahabatnya itu.


            “Yakin lo nggak peduli kalau gue suka sama orang lain?”


            Gwen tidak menjawab. Gadis itu sibuk mengatur ritme hentakkan jantungnya agar debarannya tidak bisa didengar oleh cowok disampingnya ini.


            “I don’t know, Gwen… gue mulai ngerasa ada yang perlahan berubah antara gue dan Tiara. Udah lama hingga akhirnya yakin kalau gue suka sama dia.”


            Kini, Gwen memusatkan perhatiannya kepada Andrew. Laki-laki itu menundukkan kepalanya dan menatap lekat-lekat mata Gwen. Andrew terpana. Bersahabat dengan Gwen selama ini, baru kali ini Andrew menyadari bahwa gadis itu memiliki mata yang indah. Tanpa sadar, Andrew mengelus sebelah pipi Gwen. Pipi itu terasa begitu lembut sekaligus dingin di telapak tangannya yang besar dan hangat.


            Gwen menahan napas. Baru kali ini dia bertatapan dengan intens dengan sahabatnya sendiri. Sahabatnya yang menurutnya sangat gokil, aneh, ramah dan mudah bergaul. Sahabat yang selalu ada untuknya, kapanpun dan dimanapun dia berada serta dalam kondisi seburuk apapun.


            “Maksud… lo?”


            Gwen tidak mengenyahkan tangan Andrew yang berhenti di pipinya yang putih. Gadis itu terhanyut dengan perlakuan Andrew. Andrew tersenyum lembut dan dengan gerakan cepat, tanpa diduga oleh Gwen sebelumnya, Andrew melingkarkan kedua lengannya yang kokoh pada tubuh Gwen. Menyalurkan kehangatan pada tubuh gadis itu yang sudah menggigil kedinginan. Sama seperti ketika waktu itu mereka climbing, kali ini pun Gwen tidak ingin mengakui keadaan yang sebenarnya. Bahwa ternyata, gadis itu menggigil kedinginan.
           
            Gwen semakin tidak bisa bernapas. Dia tidak membalas pelukan Andrew. Gwen bisa merasakan hangat napas dan detakan jantung Andrew pada tubuhnya. Jantungnya sendiri sepertinya sudah sekarat dan harus diganti dengan jantung model terbaru. Jantung dengan keuntungan yang sangat bagus, yaitu anti deg-degan.


            “Why you make it so hard, Gwen? Is it hard to confess that you’re cold?” bisik Andrew lembut dan makin menguatkan pelukannya. Dengan senyum tipisnya, Gwen kemudian melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Andrew.


            Astaga, bagaimana ini?


            Sepertinya, dia, Gwen Lucynda Evelyn telah jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.


            Oh, God… apakah itu bahkan mungkin untuk terjadi?

            “ANDREEEW!”  Terdengar suara geram penuh kemarahan dari bawah. Otomatis, Andrew dan Gwen menoleh ke bawah dan tersentak. “LO NGAPAIN PELUK-PELUK ADIK GUE DI ATAS GENTENG PAGI BUTA BEGINI?! BELUM PERNAH NGERASAIN DIGORENG BOKAP GUE, YA?!”


            “Mati gue!”
            Andrew dan Gwen langsung melepaskan pelukan mereka masing-masing dan nyengir kuda ke arah Rere, kakak perempuan Gwen yang melotot sangar pada mereka.
            “Turun!”  Bentaknya dengan rambut acak – acakan khas orang bangun tidur, mata melotot ke arah mereka yang sekarang sedang turun dengan gaya seolah - olah ketahuan nyolong ayam kampung. Andrew yang lebih dulu menginjak tanah langsung hendak memegang pinggang Gwen ingin membantu, namun mendadak tangannya dipukul oleh ranting pohon dengan keras entah nemu dimana.
            “Jangan sentuh – sentuh adek gue!” Ucap Rere posesif *ketahuan gak ikhlas* Sambil melirik Andrew yang hanya cengar – cengir. Tak tau harus merespon apa.
            Gwen turun dan menatap kakaknya dan Andrew bergantian, “Tumben lo bangun kak. Ada apa?”
            Mendadak Rere bersin. Udara dingin membuatnya bersin berkali – kali karna hidungnya memang sensitif. “Gue mau ambil minum...” Dia berhenti karna bersin lagi. Membuat hidungnya memerah. “Trus dengar ada orang ngomong gitu di atas genteng. Gue mikir, hanya maling konyol yang berdiskusi di atas atap tentang barang apa saja yang mau diambil. Yaudah gue keluar dan melihat lo pada pelukan di atas genteng! Ckkckck... emang gak bisa nunggu besok yah jadi harus pelukan sekarang?” Ucapnya dan bersin lagi.
            Andrew tersenyum dan melepas jaketnya lalu hendak menyampirkan ke badan Rere. Namun ditolaknya. “Iya kak,. Entah kenapa adek lo yang satu ini ngangenin... banget.” Dia melirik Gwen dan mengedipkan mata. Sukses membuatnya memerah malu.
            Nih anak kalau merona manis juga yah. ntar ah... kapan – kapan gue godain lagi kalau sumpek.” Batinnya dalam hati
            Rere melirik ke arahnya. Saatnya mengusir makhluk hidup satu ini kembali ke habtitatnya sebelum dia bersin sepanjang pagi yang berujung bedrest. “Ok, gue tau adek gue ini cantik mengingat gue juga cantik,” Ucapnya dengan nada narsis dan bersin lagi karna udara jam 3 pagi yang semakin dingin. Sedangkan besok dia kuliah. “Tapi,mending lo pulang sekarang deh, Ndrew. Apa kata tetangga ntar lo disini di pagi buta pelukan dengan adek gue? Untung gue yang liat, coba bokap atau nyokap yang liat, lo beneran digoreng! Kalau gak tahan juga, ntar lulus SMA lo nikahin aja adek songong gue. Gue ikhlas dilangkahin.” Ucapan Rere membuat mereka tersentak. Apalagi Andrew yang baru saja memimpikan Gwen menikah dengannya. Entah kenapa membuatnya merinding.
            “Gue diusir, Gwen.” Andrew melirik sahabatnya yang daritadi diam sribu bahasa. Hanya menjadi penonton diantara mereka. “Lo memang pantas diusir sih! Kasian kakak gue bersin mulu dekat lo. bau sih...” Ejeknya membuat rambutnya diacak Andrew.
            “Iyaa... gue pulang dulu kak. Bye kak Rere, Gwen.” Andrew memutuskan pamit dan keluar dari rumah Gwen dan mendorong motornya hingga keluar komplek dan menjalankannya.
            Rere langsung masuk rumah dengan hidung memerah karna selalu bersin. Meninggalkan Gwen yang tetap berdiri di  luar. Menatap kepergian Andrew dengan perasaan seolah – olah ada yang hilang dari hatinya. Entah apa, dia tak tau. Sambil memegang dadanya dia masuk dalam rumah dan mengunci pintu. Memutuskan tidur kembali.

“Satu kata yang sulit terucap… hingga batinku tersiksa…
Tuhan tolong aku jelaskanlah, perasaanku berubah jadi cinta…
Tak bisa hatiku merapikan cinta, karena cinta tersirat bukan tersurat…
Meski bibirku terus berkata tidak, mataku trus pancarkan sinarnya…
Apa yang kita kini tengah rasakan, mengapa tak kita coba ‘tuk satukan…
Mungkin cobaan untuk persahabatan… atau mungkin semua takdir Tuhan…”


(Zigaz-Sahabat Jadi Cinta)

♥ ♥

          Gwen tiba di sekolah dengan napas ngos – ngosan. Dia hampir saja terlambat sedikiitttt lagi karna telat bangun. Sudah beberapa hari ini dia selalu bermimpi tentang dia menikah dengan seseorang tapi dia tak tau siapa pria yang menikahinya. Dia samar – samar mendengar suaranya saat mengucapkan ijab kabul, dan dia ingat suara siapa itu, tapi hatinya ragu untuk meyakininya.
            “Gue mimpi nikah, tapi nikah dengan siapa?”
            Asyik melamun, tau – tau dia melihat Andrew asyik mengobrol dengan Tiara dan Andini, sangat akrab. Entah kenapa dia tak suka melihatnya ketika Tiara dengan santai melingkarkan tangannya di pundak Andrew dan cowoktak melakukan apa – apa. Seolah santai saja dirangkul oleh cewek secantik Tiara. Ok, itu biasa karna dia pun pernah ribuan kali dipeluk Andrew dengan posisi itu. Tapi dia entah kenapa tak terima ketika Tiara yang melakukannya. Membuat pengakuan Andrew tentang perasaannya pada Tiara terngiang jelas di telinganya. Membuatnya manyun.
            “Ngapain sih pelak – peluk di depan umum?! Gak sopan banget deh! tapi... bukannya gue juga kayak gitu? Kok..”
           
            Andrew menoleh ke arahnya dan tersenyum sambil melambaikan tangannya membuat Tiara menoleh dan melepas rangkulannya dan melambaikan kedua tangan kearahnya dengan heboh. Gwen membalasnya dan hendak menyusul, namun langkahnya terhenti ketika ada yang memanggilnya, dia menoleh dan tersenyum ketika Sandy menghampiri dan mengajak berdiskusi tentang perlombaan basket Putri yang akan diikutinya dua minggu lagi.

♥ ♥

          Berkali – kali mata Andrew selalu melirik ke arah lapangan basket. Dia melihat Gwen tertawa dan sesekali wajahnya serius dengan Shandy. Entah membahas apa, dia tak tau dan tak peduli. Dia hanya tak ingin cewek itu menepuk – nepuk pundak Shandy seperti dia sering menepuk pundaknya. Tertawa keras seperti yang sering dilakukannya saat bersamanya, apapun itu, dia tak mau Gwen melakukannya dengan Shandy.
            “kenapa gue jadi posesif akut begini?”
            Sadar bahwa Andrew tak fokus lagi, Tiara mengikuti arah mata Andrew dan tau siapa yang membuat sahabatnya sekarang sedang mengepal tangannya menahan emosi.
            “Cemburu nih ceritanya?” Godanya ketika Andrew melirik ke seberang sana berkali – kali. seolah memberi sinyal pada Shandy yang kadang menoleh ke arahnya agar segera menyingkir sebelum dia yang turun tangan.
            Andrew menoleh ke arah Tiara yang cekikikan melihat tingkahnya. “Kata siapa? Sotoy deh.”
            Andini ikut – ikutan menggodanya. “Masa sih? Kalau gak, kenapa lo selalu lirik Gwen dan menatap Shandy seolah – olah lo sedang melirik Jo? Dia kan gak ngapa – ngapain Gwen. Cuma ngajak ngobrol aja.”
            “Iya juga yah. ngapain juga gue kayak gini? aneh deh...”
            Andrew angkat bahu. Dia melirik Gwen yang sekarang memegang tangan Shandy dan menarik – nariknya pelan. Seperti yang sering dilakukannya ketika ingin sesuatu dan menagih pada Andrew untuk dibelikan. Membuatnya tak tahan lagi melihatnya.
            “Gue mau nyamperin Gwen.” Ucapnya dan bergegas menghampiri sahabatnya yang bingung dengan kedatangannya. aplagi Shandy yang merasa terganggu karna dia menaruh hati pada Gwen sejak lama dan ingin mendekatinya. Namun gagal total karna Andrew selalu berada dimana – mana. Seperti sekarang.
            “Coba liat..” Andini menunjuk Andrew yang sekarang merangkul Gwen dengan posesif dan menatap Shandy dengan tajam sesekali menimpali. Membuat Tiara nyengir.
            “Gue bilang juga apa? Mereka itu lama – lama saling naksir! Tapi ego terlalu tinggi untuk ngaku! Gemas juga lama – lama!”
            Andini mengangguk menyetujui. Walaupun dia hanya akrab dengan Tiara, tapi dia bisa melihat bahwa Andrew dan Gwen itu bukan hanya bersahabat biasa. Ada sesuatu yang istimewa. Mereka tak bisa merasakan namun orang lain bisa melihatnya. “Lo pengen tau gak gimana cara menyatukan mereka?” Ucapnya dan Tiara mengangguk. “Apa?”
            Dia langsung membisikkan idenya dan mereka terkikik penuh konspirasi sambil menatap Andrew yang menatapnya heran. Namun Tiara hanya merespon dengan kedipan mata.  Sudah saatnya menyatukan pasangan aneh ini menjadi pasangan kekasih. Begitu pikirnya dan dia langsung mengiyakan dan memutuskan membahasnya lebih panjang lagi dengan Andini di kelas.

            Di Balkon sekolah, Jo asyik melihat semuanya dari atas sambil memakan apel. Dia menggigit ujungnya dan menatap Gwen yang asyik tertawa itu lalu melirik apelnya lagi. Seringai napsu terpampang di wajah innocentnya dan menggigit apelnya lagi. “Gue akan gigit lo seperti apel, perlahan – lahan, namun akan habis hingga tinggal ampasnya doang. Setelah itu,” Dia membuang apelnya yang sudah habis ke bak sampah. “Lo akan gue buang. Seperti cewek yang lain” Ucapnya sinis dengan ide yang menari – nari di atas kepalanya.

♥ ♥

          Gwen duduk di kursinya dengan Andrew yang asyik mengobrol dengan temannya. Dia asyik membolak – balik buku dan mencatatnya. Saking asyiknya, dia tak sadar guru pelajaran pertama masuk ke kelasnya diikuti seorang cewek manis, berambut panjang, berkulit kuning langsat dan tatapannya tak lepas dari Andrew saat masuk hingga berdiri di depan. Lalu beralih ke dirinya dan melempar senyum. Membuatnya terdiam.
            “Dia siapa?” Tanya Gwen namun Andrew hanya terpaku. sorot matanya terlihat tak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan.
            “Lo mau tau siapa dia?” Tanya Andrew ketika gadis itu memperkenalkan dirinya. Gwen bisa melihat tatapan mata Andrew mengikuti kemana arahnya berjalan dan duduk di kursinya yang berjarak dua langkah ke belakang darinya.   “Dia Arny. Kan tuh cewek udah memperkenalkan dirinya tadi?” Jawabnya dan kaget ketika cewek itu, Arny menoleh ke belakang dan tersenyum ke Andrew lalu meliriknya sekilas dan berbalik ke depan.
            “Dia... cinta pertama gue, dan..”
            “Dan... apa?” Tanyanya lagi. Mendadak hatinya tak tenang.
            “Dia mantan pacar gue waktu kelas 1 SMA yang gue putusin waktu itu. Lo ingat kan?” Lanjutnya lagi dan Gwen melongo ke arahnya.

            What?!

            Arny. Yah, dia ingat sekarang. pacar dan cinta pertama Andrew yang terpaksa  diputusinya karna cewek itu pindah keluar negeri dan Andrew tak sanggup long distance dengan jarak sejauh itu. Tapi... kenapa dia kembali lagi? Apa ada yang ketinggalan? Kalau ada, apa?

            Bagaimana kalau yang tertinggal disini itu adalah Andrew? Sahabatnya sendiri? Sanggupkah?

Teaser Bestfriend? Hmmm... Part selanjutnya. *baru rencana. gatau bikin apa gak.*
            “Gue merasa dilupakan!” Gwen langsung melemparkan bom  waktu kearah Tiara yang saat itu asyik menyusun beberapa cerita untuk mading mereka. Gwen memutuskan mengungsi kerumah Tiara karna tak tahan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Pagi tadi yang cerah, dia disuguhkan pemandangan Arny asyik mengobrol dengan Andrew di taman sekolah. Sangat mesra hingga hatinya entah kenapa merasa terbakar. Tatapan yang tak pernah ditunjukkan Andrew padanya itu sangat jelas terpancar saat dia berduaan dengan Arny. Seperti orang pacaran dan yang lainnya ngontrak. Termasuk dirinya.
            Tiara memutuskan menghentikan pekerjaannya dan melirik Gwen yang duduk di ranjangnya dengan melipat tangan ke dada. Dia tersenyum geli. “Lo cemburu liat Andrew dengan Arny? Wajar kalii.. kan mereka mantan pacar yang sengaja putus karna keadaan.”
            “Gue gak cemburu!” Gwen berteriak dan meremas – remas boneka Tiara yang dipegangnya dengan gemas. Saking gemasnya, hampir saja dia ingin mengguntingnya dan menghamburkan isi boneka itu ke lantai. Mendadak, hatinya semakin sakit saja.
            “Apa wajar...” Dia terdiam. Matanya menatap Tiara yang fokus ke arahnya sekarang. Sorot mata sahabatnya sangat pengertian. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang kata kakaknya akhir – akhir terlihat lelah. “Kalau pada akhirnya, gue suka dengan dia sedangkan dia merasa nyaman dengan persahabatan ini?”
           
            “Dan apa wajar gue cemburu karna Andrew suka sama lo? bukan sama gue, sahabatnya sendiri?”