Gue
pergi, Ndo. Good bye.”
“Jangann!!” Ando langsung terbangun dari tidurnya
dengan keringat dingin mengalir deras. Mimpi yang sama beberapa minggu ini
sejak dia menginap di Villa. Dia melihat Lista tersenyum sedih padanya,
mengecup pipinya lembut, lalu mengucapkan kalimat perpisahan dan akhirnya...
Langkahnya menjauh, menjauh, hingga
akhirnya hilang sama sekali.
Dia merasa hatinya sakit. Sakit
ditinggalkan. Dia ingin menemuinya, mengatakan apa yang dipikirannya, tapi dia
tak sanggup apabila bertatapan dengannya. Entah kenapa, dia tak tahu.
Dia melirik ponselnya yang
dinonaktifkannya. Yang berisi nomor Lista, yang berisi semua kenangan
tentangnya. Terkadang hatinya gatal untuk menekan tombol on, mencari
nomor ponselnya kemudian menekan tombol call, dan mengatakan dia disini.
Tapi, ketika dia mencobanya, tangannya mendadak gemetar dan dengan bodohnya, dia mematikan ponselnya dan melepas
sim cardnya lalu diletakkannya di atas meja.
“Gue benar – benar pengecut
kayaknya.” Dia mendesah dan melirik pigura kecil di sampingnya. Foto Lista yang
sedang tersenyum diam – diam dicetaknya lalu diletakkan di pigura. Kalau rindu
melanda hatinya, dia memeluk pigura itu, melupakan cerita masa lalunya yang
membuatnya berada disini seperti pengecut yang patut dibasmi.
Dia menghela napas berat. Sudah
beberapa minggu dia berada disini. Di pantai paling ujung di Jawa Barat.
Terisolasi, terasing, tak dikenali. Itulah keinginannya. Pengakuan Lista pada
malam itu dan ucapan penuh hina dari Dylan yang tampaknya tak puas dihajar Bian
itu, membuatnya kalap memberinya pelajaran.
Dia masuk ke kamar Dylan dan
melihat cowok itu merebahkan dirinya di ranjang yang empuk dengan wajah memar
sana – sini, hidung yang diplester karna terlihat sedikit bengkok dari
samping.. Sepertinya pukulan kakak Lista benar – benar membuat pesona wajahnya
sedikit memudar. Dan ketika melihatnya, cowok itu tersenyum jahat.
“Ngapain lo kesini?”
“Menurut lo?” Dia mendekati Dylan
yang tampak tak terintimidasi dengannya. Yang ada dirinyalah yang berjuang mati
– matian dalam hati agar tetap dingin.
“Gue tau lo pacarnya Tata, eh...
Lista maksudnya.” Dia memasang wajah mengejek dan menatapnya, “Lo udah dikasih
apa aja ma dia? Mengingat, tuh cewek udah gak suci lagi setelah sama gue.
Pastinya lo udah merasakan nikmat tubuh dan wajah cantiknya yang pasrah saat lo
sentuh, kan? gue ama teman – teman gue aja sampai saat ini masih terbayang
bagaimana enaknya tubuh dia saat...” Ucapannya terhenti ketika sebuah tonjokan
melayang ke arah bibirnya dan langsung meneteskan darah.
“Lo hina Lista segitu kejinya sekali
lagi...” Dia mengepalkan tangannya penuh emosi. Tak terima cewek yang mencuri
perhatiannya, dihina segitu kejinya oleh cowok yang tega – teganya merebut apa
yang paling berharga dalam hidup gadisnya.
Dylan tak terpengaruh dengan emosi
Ando yang terpampang jelas di wajahnya yang mengeras dan tatapan matanya
menggelap. Dia dengan santainya mengelap darah yang menetes. Seolah – olah itu
adalah saos tomat yang melepoti wajahnya, “Akan apa? Gue tau. Lo pasti marah
karna kecolongan gue, kan dalam urusan beginian? Tapi tenang aja, lo masih bisa
sentuh tubuh dia yang seksi itu, membuat wajah cantiknya yang menggoda itu
pasrah dalam pelukan lo, dan... buat dia tunduk sekali lagi. Kalau sudah
tunduk, bilang aja sama gue.” Ekspresi wajahnya berubah kesakitan ketika Ando
sekali lagi, menonjok bibirnya hingga dia merasa ada yang lepas dan dia segera
mengeluarkannya.
Kedua giginya, entah di bagian mana,
telah tanggal dan berada di tangannya yang berlumur darah.
Ando menutup mata ketika dia
merasakan ingin membunuh orang itu sekali lagi dan melemparnya ke neraka kalau
bisa. Dia menghela napas sekali lagi, mencoba menenangkan kepala dan hatinya lalu
melirik jam dinding kamarnya yang masih menunjukkan pukul 3 pagi. Lalu
tatapannya beralih ke pigura itu dan memasukkannya dalam laci ketika hatinya
serasa berdenyut sakit. Dengan tak tenang, dia mencoba tidur kembali.
♥
♥
“Jangaann!!
Jangann!! Sakit, sakit...” Lista mengerang kesakitan dalam tidurnya. Kepalanya
ditolehkannya ke kiri dan ke kanannya, air matanya menetes deras membasahi
pipinya dan tubuhnya melengkung tegang ke atas. Seolah tak tahan menanggung
sakit yang menyiksanya.
Bian,
yang sengaja tidur di sofa Lista tanpa sepengetahuan pemilik kamar sejak dia
mengungsi tidur ke kamarnya karna mimpi buruk, terbangun dan spontan
mendekatinya, duduk disamping sambil mengelus kepalanya dan mencium keningnya
lembut.
“Dek,
tenang. Lo Cuma mimpi.” Dia menenangkan Lista yang masih berteriak ketakutan
dan menangis. Membuat hatinya sesak seketika dan memori yang ingin dihapusnya,
menyeruak keluar. Menyerang mentalnya. Memperburuk keadaan hatinya.
“Jangan,
Dylan. Lo gak boleh lakuin itu ke gue, jangaan... jangaaannn...” Dia dan
kakaknya, Erika kaget ketika diam – diam masuk kamarnya karna curiga dengan
sifat anehnya beberapa bulan ini setelah pesta prom night itu, terkejut ketika
pintu kamar dibuka pelan, mereka melihat Lista, menjerit kesakitan dan wajahnya
sarat ketakutan. Dengan panik dia berlari dan mendekati Lista, berusaha
membangunkannya.
Lista langsung terbangun dengan mata
melotot dan meloncat turun dari ranjangnya lalu duduk di sudut kamar sambil
memeluk kedua lututnya. Tatapan matanya terlihat sangat ketakutan saat
menatapnya dan kosong.
“Lista...” Dia mendekatinya dan
tanpa diduga, Lista semakin menjerit ketakutan dan menutup kedua telinganya.
“Jangan dekatin gue, Dylan! Jangan
dekatin gue! Menjauh! Menjauh!”
Dia merasa hancur saat itu juga.
Hancur karna tak dikenal oleh adiknya sendiri. dia dianggap Dylan yang entah
apa dilakukannya hingga membuat adiknya berubah total seperti ini. Sepulang
dari prom night itu, Lista berubah seketika. Mulai dari memaksanya untuk
memanggilnya “Lista” Bukan “Tata”, memotong pendek rambutnya hingga nyaris
cepak di sebelah kanan, membuang semua baju yang dianggapnya cewek dan
menggantinya menjadi gothic, membakar apa saja yang berhubungan dengan Dylan
dengan tatapan tak terbaca, berusaha untuk tomboy dan membuang jauh – jauh sisi
manis yang dulu melekat kuat di dirinya, dan tatapan matanya terlihat awas
setiap melihat cowok lalu beringsut ketakutan melihat gerombolan cowok asing.
Bahkan terkadang dia merasa Lista menjauhinya perlahan. Tak ingin didekati dan mencoba
sibuk dengan urusan SMAnya, dunia yang baru dimasukinya beberapa bulan lalu.
Kakaknya, Erika menyentuh pundaknya
lembut saat dia berusaha mendekati Lista yang semakin menjerit ketakutan. Dia
menoleh dan melihat kakaknya menggeleng. Dia bisa melihat sorot mata bingungnya
itu.
“Gue aja, dek.” Dengan terpaksa dia
mundur dan membiarkan kakaknya memeluk Lista yang dilihatnya butuh penopang.
Dengan ragu, dia mendekati mereka
dan duduk di lantai. Menatap Lista yang masih sesegukan. Tatapan matanya sudah
tak kosong lagi. “Lo kenapa, dek? Apa hubungannya dengan Dylan hingga lo
seperti ini?”
Efek nama itu membuat wajahnya pucat
pasi. Dan dia melihat perubahan itu. “Elista, ada apa? Cerita sama kakak.”
Kakaknya, Erika menangkup kedua tangannya di pipi Lista yang basah karna air
mata.
Awalnya dia menggeleng. Tapi,
paksaan lembut kakaknya membuatnya mengaku. Sambil menangis terisak – isak dan
mengucapkan berkali – kali agar jangan ditinggalkan dan diceritakan pada orang
tuanya, dia menceritakan malam itu. malam prom night yang selama setahun ini
disembunyikan rapat olehnya. Dan malam itu jugalah, dia merasa gagal untuk
menjadi kakak.
Lamunan
Bian terhenti ketika menatap wajah adiknya yang mulai tenang. Sejak malam
pengakuan itu dan dia mengungsi tidur di kamarnya karna mimpi buruk, dia selalu
mengutuk dirinya sendiri dan mencoba tidur di sofa seperti maling takut
ketahuan di kamar Lista, lalu menenangkannya dengan kalimat lembut dan kecupan
ringan di dahi ketika dia mimpi buruk, walau hatinya teriris pedih melihat
adiknya kesakitan. Setiap malam hatinya terasa hancur dan dendam yang tertanam
semakin menguat setiap melihat adik kesayangannya berteriak ketakutan. Dan
dendam itu akhirnya terbalas. Dia tersenyum bangga mengingatnya.
Menghajar
Dylan hingga nyaris mati saat dia menginjak perut cowok sialan itu kalau saja
kakaknya tak datang dan menariknya menjauh. Dan harus merelakan dirinya dibawa
ke kantor polisi karena membuat keonaran dan dua jam kemudian, papahnya
langsung pasang badan menyelamatkannya dari tidur dalam jeruji besi bersama
beberapa preman kelas teri lainnya.
Bian
menghela napas berat. Dia ingat malam itu. malam disidang kedua orang tuanya
pertama kalinya dan papahnya, yang selalu tertawa, menggoda mamanya dan
mengejeknya itu, berubah menjadi papah tak dikenalnya. Tatapan hijau toskanya
yang hangat itu, berubah menjadi dingin dan menyerangnya dengan perkataan
memojokkannya dan mengintimidasi terang - terangan. Dan dia dengan tenang
menjawabnya. Dengan tatapan tak kalah dingin dan menentang papahnya sendiri
untuk seumur hidupnya.
Sampai
adiknya datang. Lista mendatanginya saat dia bersitegang dengan papahnya dan
mamanya yang sibuk menenangkannya agar duduk dengan kepala dingin. Bukannya
saling melotot dan berdiri siap menyerang. Dengan isak tangis dan meminta maaf
berkali – kali, dia menceritakan malam setahun yang lalu itu kepada orang
tuanya. Semuanya. Tanpa ada rahasia sedikitpun.
Membuat mamanya shock dan memeluk adiknya sambil menangis dan papahnya hanya terdiam
sambil menatapnya. Tatapan matanya tak terbaca dan memilih ikut memeluk adiknya
yang dipeluk erat mamanya.
Kalau
kedua orang tuanya merasa menyesal dan sedih sekarang, dia merasakannya lebih
dari itu. selama 3 tahun dia merasa menyesal karna gagal menjaga adiknya yang
berharga, hancur karna melihat adiknya kadang tak mengenalinya setiap mimpi
buruk, dan kehilangan sosok Elista yang manis dan manja dengannya.
“Kenapa
lo tinggalin gue, Ndo? Lo udah janji untuk disini dan genggam tangan gue.
Bukannya memeluk terus hilang begitu saja. Come back, please.” Igauan
Lista menyadarkan lamunannya dan dia terkejut ketika setetes air mata membasahi
pipi mulusnya. Dia menghapusnya dan menghela napas berat. Untuk urusan ini, dia
tak bisa berbuat apa – apa selain menenangkannya.
“Dia
akan kembali untuk lo, dek.” Bia membisikkan harapan di telinganya dan wajah
kesedihan itu mulai memudar hingga akhirnya berganti ketenangan.
Ketika
napasnya terlihat teratur, Bian mengecup kening Lista sekali lagi dengan lama
dan penuh sayang sebagai seorang kakak, “Maafkan gue, dek yang gagal menjaga
lo. tapi gue janji, lo gak akan gue biarkan hancur lagi . gue akan jadi tameng
lo, perisai diri lo yang rapuh. Kalo lo tanya kenapa, itu karna gue sayang lo,
dek.” Ucapnya pelan dan penuh penyesalan kemudian berdiri tegak dan berjalan ke
arah pintu kemudian menutupnya pelan agar Lista tak terbangun dan menyadari
kedatangannya.
♥
♥
Erza terbangun dari tidurnya dan bergerak
gelisah. Membuat suaminya, Putra, yang tidur di belakangnya sambil memeluk
pinggangnya posesif, terbangun karna gerakannya. “Kenapa, sayang?” Dia menatap
istrinya yang menatapnya dengan wajah sedih. Tatapan coklat beningnya yang
selalu bersinar itu, kini meredup sedih.
“Pengakuan
Lista buat aku shock, pah.” Dia menghela napas. Orang tua mana yang tak
kaget ketika melihat anak gadisnya, yang dilihatnya selama ini baik – baik
saja, ternyata menyimpan rahasia yang menyakitkan?
Putra
melepas pelukan pinggangnya dan menyalakan lampu lalu duduk menghadapnya yang
masih berbaring. “Aku juga. Serasa gagal menjadi papah yang baik untuk dia.”
Putra memandang pigura Lista yang diapit oleh kedua kakaknya waktu masih kecil.
“Pantas saja dia berubah semenjak SMP itu menjadi tomboy. Aku awalnya heran
kenapa dia berubah sedrastis itu mengingat, dia cewek banget. tapi aku gak nyangka
kalau alasan dia berubah itu karna ini. Pantas saja waktu aku bertemu Adel
beberapa waktu lalu, dia nitip pesan agar aku jaga Lista lebih erat lagi. Gak
taunya...”
Erza
kini merubah posisi menjadi duduk dan bersandar di dinding. Dia menatap
suaminya yang masih betah menatap foto ketiga anaknya. “Tatapan dia aku
perhatiin kayaknya beda, Pah. Lebih redup. Seperti ... kehilangan.” Erza
terdiam ketika kalimat terakhir itu meluncur mulus dari mulutnya. Dia dulu
pernah merasakan kehilangan itu, kehilangan hingga membuatnya ingin pergi saja
karna tak tahan.
.
“Aku
ada rencana, tapi aku gak tau apa ini berhasil, sayang. Karna semuanya
tergantung dia mau atau tidak.” Putra kini menatapnya dan tersenyum miring.
Mungkin ini satu – satunya cara.
“Apa,
sayang?”
“Membawa
Lista ke Jerman untuk tinggal dengan mama.” Rencana suaminya membuatnya
terdiam.
Pergi?
“Sampai
kapan kau membuatnya seperti melarikan diri?”
Putra
terdiam. itu semuanya terserah Lista. Dia tak tahan melihat kesedihan yang
nyata setiap melihat matanya. Bukannya dia tak sayang hingga ingin mengusir
Lista sejauh itu, tapi naluri kebapakan yang sangat menyayanginya tak tahan melihat kesakitan anaknya, membuatnya
mengambil keputusan ini.
“Sampai...
dia sanggup untuk kembali kesini lagi, sayang. Sampai waktu menyembuhkan
dirinya.”
♥
♥
Been lonely since the day. The day you went
away.
Entah
sudah berapa kali dia menoleh ke belakang dan melirik kursi kosong itu. Kursi
yang dulu ditempati oleh seseorang yang dicintainya tanpa sadar,yang selalu
tersenyum setiap dia seperti ini lalu beranjak dari duduknya dan melangkah ke
arahnya dan duduk di depan dengan posisi menghadapnya lalu memasang wajah
menggoda. Membuatnya tertawa.
Kenangan
itu menusuk perih dalam dirinya. membuatnya tanpa sadar mengambil ponsel yang
tersimpan kantong roknya, mencari nomornya kemudian menekan tombol call kesekian
kalinya sambil mengucapkan harapan dalam hati agar tersambung. Namun, pil
kekecewaan kembali ditelannya bulat – bulat.
Ponselnya
tak aktif selama beberapa minggu ini. Membuatnya ingin menangis saat ini juga.
Dia
menghela napas dan menekan tombol end call dengan berat lalu menutup
matanya. Berusaha untuk mengenyahkan sosok yang menerornya kemanapun dia
berada. Tapi, dia tak sanggup melakukannya. Terlalu sakit.
“Lis...”
pundaknya disentuh lembut membuatnya menoleh. Dia melihat Cindy dan Shabrina,
sahabatnya berdiri cemas dibelakangnya. Dan dia tersenyum. “Iya, ada apa?”
“Lo akhir – akhir
ini melamun mulu deh. kenapa?” Shabrina duduk di depannya dan bertopang dagu
menatapnya. Lista menatap kosong ke jendela dan melirik lapangan basket yang
sedang dikuasai Jayden cs. Biasanya, saat – saat seperti ini dia akan duduk
dengan terpaksa di kursi penonton paling depan, berpanas – panas ria hanya
untuk menuruti keinginan Ando yang selalu mengancamnya tanpa tanggung -
tanggung.
Lista mendekatkan
wajahnya di kaca dan menghembuskan napasnya hingga berembun. Dia menggerakkan
jemari tangannya perlahan sambil menutup mata.
“Sorry.”
Kata – kata terakhir Ando sebelum meninggalkannya, terngiang lagi dan membuat
air mata yang sedari tadi ditahannya, menetes membasahi pipinya.
“Gue kangen... lo
dimana?”
“semenjak itu, tak pernah kau beri kabar,
tak pernah kau beri aku sesuatu kepastian,
hatiku tak berdaya, oleh apa yang terjadi,
Sanggupkah aku berada disini.
tak pernah kau beri aku sesuatu kepastian,
hatiku tak berdaya, oleh apa yang terjadi,
Sanggupkah aku berada disini.
Dimanakah kau ada...
rinduku takkan pernah sirna,
kekasih, ingat aku disini.
tertusuk oleh perih.
menjadi tak pernah ku dapat
namun ku kan selalu merindu.”
rinduku takkan pernah sirna,
kekasih, ingat aku disini.
tertusuk oleh perih.
menjadi tak pernah ku dapat
namun ku kan selalu merindu.”
*Ratu – Dimana kau ada.
Cindy
langsung menarik Lista ke pelukannya ketika sahabatnya itu semakin terisak. Dia
merasakan kesakitan Lista yang sama untuk kedua kalinya.
Kesakitan ketika
Dylan ternyata menipu sahabatnya dan mengambil apa yang berharga dalam dirinya,
dan kepergian Ando yang tak disangkanya ketika pengakuan itu meluncur mulus
dari mulut sahabatnya.
“Kenapa dia
ninggalin gue, Cind? Apa dia gak bisa terima keadaan gue? Oke, gue sadar diri
dari dulu, jauh sebelum gue ketemu dia, gue gak pantas untuk dicintai. Tubuh
gue terlalu kotor untuk itu. tapi kenapa, kenapa dia?” Lista menceracau di
pelukan Cindy yang mengetat. Membuat sahabatnya harus mendongkakkan wajahnya
keatas agar setetes air mata tak membasahi pipinya sekarang.
“Dia mungkin
butuh waktu, Lis.” Bisik Shabrina yang mengelus pundaknya lembut. Dia memang
tak selama Cindy bersahabat dengan Lista, tapi cerita sahabatnya beberapa hari
yang lalu tentang itu, membuatnya ikut merasakan apa yang dirasakan sahabatnya
yang terisak dipelukan Cindy sekarang.
Lista menatap
Shabrina dengan tatapan terluka, “Butuh waktu... mungkin, untuk melupakan gue.”
Jawabannya terdengar merenung. Membuat Cindy mengucek matanya berkali – kali
agar tak ketahuan menangis dan menatap Lista.
“Bukan
meninggalkan, atau melupakan. Tapi menerima, Lista.”
Lista
menggigit bibirnya kuat dan menggeleng, “Gue gak tau,” dia melepas pelukannya,
menghapus air mata yang masih menetes membasahi pipinya, dan menatap jendela
yang masih ada bekas wajahnya lalu menuliskan sesuatu dengan jemarinya.
Fernando
Hayman.
“Lo
tau,” Lista terlihat merenung sambil menatap tulisannya dan tersenyum sedih
ketika efek nama yang dulu sering dikutuknya itu, sanggup membuatnya begini.
Hancur.
“Gue
terkadang menyesal dalam hati, kenapa dulu dengan bodohnya gue mau iyain
taruhan kita kalau pada akhirnya, lo buat gue lebih jatuh dari sebelumnya.” Dia
tersenyum pedih mendengar ucapannya sendiri.
“Lo
gak tau rasanya jadi gue, Ndo. Ditinggalkan ketika hati sudah terbiasa akan lo.
kenapa gak dari dulu – dulu aja lo pergi? biar gue gak sehancur ini. Gue benci
lo, Ndo”
Bila rasaku ini
rasamu,
sanggupkah engkau, menahan sakit yang
terkhianati cinta yang kau jaga.
coba bayangkan kembali,
betapa hancurnya hati...,
kasih...,
sanggupkah engkau, menahan sakit yang
terkhianati cinta yang kau jaga.
coba bayangkan kembali,
betapa hancurnya hati...,
kasih...,
Semua telah
terjadi.
*Kerispatih –
Bila rasaku ini, rasamu.
♥
♥
Jayden bersiul – siul menuju kelasnya,
mendadak terhenti ketika melihat seseorang berdiri di samping pintu. seperti
mengintip.
Penasaran
dan merasa kenal, Dia menepuk pundak temannya itu hingga membuatnya menoleh, “Kenapa
lo disini seperti maling, Karen?”
Karen
kaget dan memberikan isyarat diam pada Jayden yang menatapnya dengan kening
berkerut. Tingkah Karen sangat aneh dilihatnya. Seperti sedih.
“Gue
tau Ando dimana,” Ucapan Karen membuat keningnya semakin berkerut. Dia tau
Ando dimana? Tau darimana?
Seolah
tau, dia menatapnya dengan tatapan lesu. “Bisa kita ngobrol ditempat lain? ada
yang mau gue omongin.” Ucapnya dan Jayden mengangkat bahu lalu mengikutinya
dari belakang menuju tempat yang enak untuk bicara.
♥
♥
“Gue
baru tau, kalau kakak gue ternyata mantannya Lista waktu SMP dan gue gak
nyangka, kakak yang gue sayangi, gue banggakan, yang melindungi gue, berubah
sebejat itu.” Karen mengatakan itu sambil mengaduk – aduk minumannya dengan tak
berselera. Mereka berada di kantin yang kebetulan sepi karna banyak yang masuk
kelas dan dia dan Jayden sengaja bolos.
Jayden
mengangguk. Dia tau semuanya dari Ando yang menelponnya saat malam itu dan
mengatakan dia berada di Villa dan menyuruhnya agar tak mengatakan ini kepada
Lista. Awalnya dia menolak mentah – mentah dan memarahinya, tapi mendengar nada
sahabatnya terdengar terluka, dia mengalah dan dengan bodohnya mengikuti
kemauan Ando.
Yang
dia tak tau sekarang, kenapa Karen bisa tau?
“Terus?
Kakak lo berada dimana sekarang?”
“Dia
udah balik ke Amerika dengan wajah babak belur karna dihajar kakaknya Lista dan
Ando. gue awalnya kaget kenapa kakak gue dihajar, setelah gue tau semuanya dari
menguping pembicaraan Ando malam itu, gue serasa ditampar, Jay. gue merasa ogah
punya kakak seperti dia. Bisa menjaga gue segitu kuatnya, tapi menghancurkan
cewek lain tanpa ampun. Dan kalau lo tanya kenapa gue tau Ando dimana,” Dia
menatap Jayden yang serius mendengarkannya, “Dia nelpon gue.”
Ucapan
terakhir itu membuat Jayden kaget. “Ando menelpon Karen? Cewek yang
mengejarnya mati – matian? Bukannya menelpon Lista yang notabene gadis
dicintainya? Dimana kewarasan sahabatnya itu?!” Jayden menyumpah dalam hati
bila selesai dari sekolah, dia akan mendatangi sahabat sintingnya itu ke Villa
dan menghajarnya agar otaknya kembali ke jalan yang benar.
Seolah
tau apa yang dipikiran Jayden, mau tak mau Karen tersenyum geli. “Gue sudah
mengakui perasaan gue sama dia dan ditolak. Awalnya gue gak terima dan
berusaha, berusaha untuk merebutnya lagi. Tapi, setelah tau kejadian ini, gue
berpikir, mungkin perasaan ini bukan cinta, naksir atau sebagainya, tapi nafsu
menggebu – gebu. Toh, kalaupun dia jadi pacar gue, gue belum tentu bisa seperti
Lista yang kayaknya menerima apa yang dilakukan Ando. jadi, gue posisiin diri
gue sebagai sahabat dan dia menerimanya.”
“Yakin?”
Entah kenapa, Karenina yang terlihat Dewi Perang di matanya, mendadak mundur
teratur dan berubah menjadi Dewi Kebijaksanaan.
“Sangat
yakin, Jayden.” Karen menatap Jayden dengan serius.
“Kapan
lo ditelpon dia? Bagaimana suaranya waktu itu?”
“Lelah.
Hancur. dari suaranya gue tau gimana dia sekarang, Jay. malam tadi dia nelpon
gue dan mengatakan dia berada di Villa suatu pantai entah apa namanya dan
sengaja nelpon karna sinyal lagi bagus. Pas gue tanya kenapa dia malah nelpon
gue, bukannya nelpon lo atau Lista. Dia jawab lo udah tau dan Lista... dia
terdiam dan bilang gak sanggup. Gue sudah memberinya nasihat, sebagai sahabat
tentunya,” Jawabnya ketika Jayden menatapnya penuh curiga. Takut kalau dibalik
nasihatnya, ada hasutan terselubung. Tapi hatinya benar – benar mantap melepas
Ando. “Dia bilang Lista gak usah dikasih tau. Anggap aja gue gak tau keberadaan
dia. Gue bilang gak mau, dia memohon, Jay. itu yang gue gak bisa nolak. Gue
baru kenal dia, tapi udah tau egonya tinggi dan mendengar dia memohon, membuat
gue antara ingin menginjak harga dirinya atau menuruti keinginannya.”
“Dan
kita bodoh karna menurutinya,” Ucap Jayden membuat Karen nyengir.
“Dan
setelah itu, dia bilang apalagi?”
“Dia
bilang, jangan hubungi dia dan kalau dia telpon, kasih tau gimana Lista. Gitu
aja sih. Setelah itu telpon putus, Jay dan sampai hari ini, gue gak ada kabar.”
“Sama
aja dengan gue.” Jayden berusaha menelpon sahabatnya daritadi sejak dia melihat
Lista menangis di jendela. Membuatnya ingin mengomeli sahabatnya dan
menyuruhnya balik.
“Gue
bingung harus bilang apa dengan Lista, Jay setelah ini. Gue ingin minta maaf
karna secara tak langsung gue ikut menyakitinya, tapi gimana caranya? belum
lagi perbuatan kakak gue yang gak bisa dimaafkan itu. dan gue antara ingin
ngasih tau ke Lista dimana Ando atau hanya diam pura – pura gak peduli.”
Jayden
menatap Karen yang sendu itu dengan serius. “Nanti gue yang ngomong sama Lista.
Kalau lo yang ngomong mengingat dia antipati, gue takutnya dia malah lebih
hancur, Ren. Lo liat sendiri kan bagaimana dia ditinggal Ando?” Dan Karen
mengangguk pelan, “Gue gak bisa bayangin kalau lo kasih tau ke Lista kalau Ando
nelpon lo untuk ngasih tau dimana dia sekarang. Sekarang... karna kita berdua
tau dimana cowok sialan itu berada,” Jayden memutar bola matanya dan Karen
hanya tersenyum. “Bagaimana kalau kita bersekongkol untuk merahasiakannya agar
tak ikut terlibat? Bukannya kita cuci tangan, hanya untuk tidak memperkeruh suasana
aja.” Jelasnya sambil menunjuk jari kelingkingnya di depan Karen. Meminta
saling bertaut.
Dan
Karen menautkan jarinya, “Gue setuju. Mari berdoa untuk sahabat kita yang satu
itu agar balik kesini sebelum...” Dia terdiam. merasa ada hawa berbeda. Karen
memang dianugerahi bakat untuk bisa merasakan siapa saja yang akan datang, dan
yang pergi dari kehidupannya atau kehidupan orang disekitarnya. Dan ketika
melihat Lista segitu hancurnya, dia merasakannya.
“Sebelum
apa, Karen?” Jayden bingung melihat Karen wajahnya seperti menerawang.
“Tidak
apa – apa.” Karen menggeleng. Mungkin ini perasaannya saja dan dia berharap,
Ini
memang perasaannya saja.
♥
♥
“Kamu
kenapa?” Tanya Lyesha ketika melihat pacarnya, Bian terlihat merenung. Dia
bingung ketika asyik – asyiknya santai di kostan karna hari ini tak mendapat tugas
jaga, pacarnya menelpon dan mengajak jalan suatu tempat. Awalnya ingin menolak
karna dia kelelahan berjaga sampai jam 6 pagi tanpa tidur, tapi mendengar
suaranya terlihat sedih, dia mengalah dan mengikuti ajakan Bian yang ternyata
membawanya ke sebuah restoran di daerah Valley. Restoran yang bisa melihat
indahnya kota Bandung sekaligus dinginnya dari atas.
Bian
menatap pacarnya dan tersenyum. “Gak papa. Kamu kedinginan yah? bentar...” Bian
melepas sweater kesayangannya dan memberikan ke Lyesha agar tubuh
pacarnya itu hangat.
Lyesha
menggeleng dan sedikit terpesona karna selain wajahnya yang tampan di atas rata
– rata, senyumnya yang maut, ternyata badannya bagus juga. Dadanya terlihat
bidang karna Bian mengenakan kemeja polos dengan lengan digulung sampai siku
dan dua kancing paling atas yang terbuka itu , sorot matanya yang tajam serta
rambutnya yang diacak – acaknya, membuat wajahnya memerah karna beberapa
pikiran konyol datang dan dia menggeleng. Berusaha mengusir dan menolak
permintaan Bian. “Gak usah, aku tahan kok. kamu lebih penting dari aku, Bian.”
“Lyesha...”
Bian menatapnya. Membuat Lyesha mengerang dalam hati kenapa tatapan matanya
yang melembut itu sanggup membuatnya lumer hingga menjadi air. “Aku gak mau
kamu sakit. Ayo pakai. Aku gak papa kok.”
“Gak,
Bian.”
Bian
tersenyum dan berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arahnya dan berdiri di
belakangnya, kedua tangannya mengulurkan sweaternya. “Pakai, Lyesha. Aku
gak mau kamu sakit.”
“Tapi...”
“Ayolah,
sayang.” Dia mengatakannya dengan suara menggoda. Membuat wajahnya memerah.
“Cewek yang membuatku tergila – gila ternyata keras kepala juga, yah. jadi
makin cinta deh.” Godanya sambil mendekatkan sweaternya. Menunggu untuk
dikenakan.
Dan
dia menyerah. Dengan wajah memerah malu karna tingkah Bian yang romantis tak
kenal tempat itu menjadi tontonan beberapa orang, apalagi beberapa cewek yang
melirik pacarnya daritadi dengan wajah terpesona, dia mengenakannya dan
anehnya, sweater itu membuatnya hangat.
Bian tersenyum dibuatnya. Dia
mendorong tubuh Lyesha ke arahnya dan mengecup puncak kepalanya yang tertutup
oleh jilbab. “Makasih, sayang.” Dan Bian dengan tenangnya berjalan kembali ke
posisi duduknya. Mengabaikan wajah pacarnya yang memerah malu.
“Kamu kenapa?” Tanya Lyesha ketika
melihat sekali lagi, sinar matanya terlihat sedih walau wajahnya tersenyum
manis. Bian yang dikenalnya, yang dicintainya, sinar matanya selalu bahagia dan
usil. Bukan yang didepannya sekarang. Seperti menyembunyikan lukanya sendiri.
Bian menghela napas dan menatap
makanan yang baru saja diantar pelayan. Dia menatap Lyesha, “Ayo kita makan,
sayang. Aku lapar.”
“Cerita dulu,” Lyesha memegang
tangannya dan membuat Bian tersenyum sedih, “Aku gak bisa sembunyi kayaknya,
yah.” Dia menatapnya dan tersenyum lalu mengelus tangan yang memegangnya dan
mengecup jarinya satu persatu sambil menatap Lyesha yang memerah malu. “Aku
akan cerita, sayang. Tapi sambil makan yah?” Dia mengedipkan matanya dan
melepaskan tangan Lyesha darinya.
Sambil makan, Bian menceritakan
semuanya. Menceritakan penyesalannya, emosinya. Tanpa ada yang dia sembunyikan
padanya. Dan Lyesha, serius mendengarkan ditemani matahari yang perlahan –
lahan mulai menghilang dengan indahnya dari atas sini sambil mengenggam erat
tangannya ketika cerita itu menyakitkan untuknya dan memberikan kekuatan agar
pacarnya, tak terlalu jatuh dalam penyesalan karna merasa gagal.
♥
♥
Lista duduk daiam di atas balkonnya
sambil memandang bintang – bintang di langit dan tangan yang memegang gitar. Dia
bersandar di dinding dengan wajah mendongkak ke atas sambil memetik gitar.
Sesekali dia melirik ponselnya dan tersenyum sedih bahwa itu harapan yang sia –
sia.
Cowok itu takkan pernah menelponnya.
Kenyataan ini membuatnya sedih,
sambil memetik gitar, dia menutup matanya.
“Heartbreak Lullaby,
I can almost feel you lying next to me,
Like it used to be,
And its hard to let go,
When there's always something there reminding me,
How things could be,”
Lista terdiam. wajahnya merenung
dan melirik ponselnya lagi. Jangan ditanya bagaimana usahanya melupakan Ando
dan menganggapnya tak kenal kalau bisa. tapi dia tak sanggup, setiap dia
menutup matanya, bayang – bayang Ando menari dibenaknya. Itu membuatnya
terluka.
“I've tried to get you off my mind,
I've tried to play my part,
But everytime I close my eyes,
You're still inside my heart,
I've tried to play my part,
But everytime I close my eyes,
You're still inside my heart,
Why can't I laugh?
Why must I cry?
Everytime we say good - bye,
Why must I cry?
Everytime we say good - bye,
Why does it rain,
Here in my heart,
Everyday that we're apart,
Why can't it be,
Just you and me,
What will it take to make you see,
These are the words,
Here in my heart,
Everyday that we're apart,
Why can't it be,
Just you and me,
What will it take to make you see,
These are the words,
To my Heartbreak Lullaby.”
A*TEENS – Heartbreak Lullaby.
Tanpa sadar gitarnya basah oleh air mata yang kini menetes membasahi
pipinya. Dia menghapus pelan dan menggigit bawah bibirnya sendiri. sesak di
dadanya semakin menggila hingga tak menyadari seseorang berdiri di belakangnya
dan menyentuh pundaknya. membuatnya menoleh kaget.
“Kak Rika?” Dia buru – buru menyentuh pipinya. Takut ada
air mata colongan yang masih membekas.
Erika hanya tersenyum sedih melihatnya. Namun ditutupinya
agar Lista merasa bahwa dia tak melihat apa – apa. Tak melihat ada bekas air
mata di pipi kanannya, tak melihat bahwa matanya memerah karna menangis entah
sejak kapan, dan tak melihat ada genangan kecil di lekukan gitar kesayangannya.
Dia tutup mata.
“Gak kedinginan duduk disini, dek? Ntar sakit loh,” Erika
duduk disamping Lista dan dia melihat sudut mata adiknya yang melirik ponselnya
lalu menghela napas berat dan menatapnya.
“Gak, kak. Eh, kak Bian mana?” Lista baru sadar bahwa
seharian ini, kakak cowoknya tak terlihat sama sekali. Biasanya ada saja suara
teriakan frustasi kakaknya yang sedang menyusun skripsi atau tertawa terbahak –
bahak tanpa alasan jelas.
“Biasa.. pacaran dengan Lyesha.”
Lista hanya tersenyum. Dulu dia seperti ini. Setiap malam
minggu jam 7 tepat Ando akan menjemputnya dan mengajaknya pergi. entah membawa
Lily atau Cuma berdua naik motor atau naik mobil bila ingin. Mereka pergi
kemana saja, entah pasar malam, entah pergi ke Taman, atau malah keliling kota
Bandung dan berakhir di salah satu mall untuk makan. Jam 10 malam, dia harus
berada dirumah kalau tak ingin papahnya menerornya. Yah, itu biasa saja, pada
awalnya. Tapi di saat – saat seperti ini, dia ingin mengulangnya kembali. untuk
dirinya sendiri. untuk mengobati hatinya sendiri.
Melihat Lista terdiam, Erika mendesah, “Kita jalan yuk,
dek? Kakak bosan dirumah nih.”
“Bosan?” Elista yang awalnya menundukkan wajah, mendadak
mendongkak, “Kak Mikail mana?”
“Lagi keluar kota, dek. Kita jalan gimana? Ajak Ravina
ama Akina gimana? Gue kangen nih ama kebawelan mereka.”
“Kakak aja deh. Lista males jalan kak.”
“Yakin?”
“Ya...” Lista terdiam ketika ponselnya berdering dengan
nada khusus. Dia tau di nomor siapa yang memasang musik Yiruma – Love hurts,
tapi apakah...
“Halo...” Secepat kilat Lista mengangkat ponselnya dengan seluruh tubuh bergetar. Dia merindukannya, sangat hingga rasanya tak ingin kemana – mana.
“Halo...” Secepat kilat Lista mengangkat ponselnya dengan seluruh tubuh bergetar. Dia merindukannya, sangat hingga rasanya tak ingin kemana – mana.
“Ando?” Dengan suara bergetar dia menyebut nama si
penelpon yang hanya diam membisu. “Ini lo, kan?” Tanyanya ragu. “Please,
ngomong apa saja, bicara apa saja! Gue pengen denger suara lo!” Lanjutnya
dalam hati.
Tut... tut... suara telpon terputus membuat Lista menutup
matanya dan meletakkan ponselnya ke lantai. Menahan sakit yang merajam hatinya.
menahan air mata yang hendak membasahi wajahnya sekali lagi.
“Elista,” Suara lembut kakaknya, elusan pelan di
punggungnya menjanjikan kehangatan, membuatnya langsung memeluknya dan menangis
sepuasnya di tubuh kakaknya yang harum. Melepaskan semua kesakitan hatinya.
“Gue gak tahan lagi, kak Rika. Sumpah. Buat apa gue
tinggal disini tapi satu udara dengannya, gue
merindukannya setiap malam, kak, gue seperti orang gila menunggunya menelpon,
mengatakan dia berada dimana, kak. Itu aja. Apa permintaan gue susah, kak? Apa
itu susah?” Dia terisak di pelukan kakaknya yang mengetat. Dia kesal, sakit
hati, marah. Kenapa cowok itu menelponnya, tapi pada akhirnya berujung membuat
hatinya lebih terluka dari sebelumnya.
“Kak,”
Dia terdiam sejenak. Ingatan ucapan papahnya yang setengah membujuk untuk
pindah dari sini terasa menggodanya. Baginya, dia tak ada gunanya disini lagi.
Untuk apa? Hatinya sudah terlalu hancur untuk diberi harapan sekali lagi, lalu
dihempaskan kasar. Dia tak punya kekuatan untuk membuatnya utuh. Satu – satunya
cara adalah,
Dia
harus pergi. meninggalkan semuanya.
“Gue
setuju untuk pindah ke Jerman temanin nenek. Mulai minggu ini.” Ucapnya yakin
di tengah pelukan kakaknya yang menegang.
“Apa?”
♥ ♥
“APA?!” Bian berteriak ketika paginya, adiknya datang
dengan mata bengkak seperti menangis semalaman, mendekati orang tuanya dengan
wajah yakin dan langsung melempar bom tepat di depannya dengan mengatakan ingin
ke Jerman menemani neneknya. Membuatnya tak habis pikir.
Keputusan gila apalagi yang dibuat adiknya ini?
Papahnya, Putra langsung berhenti makan dan menatap
istrinya yang kini menatap Lista. “Kamu yakin dengan keputusan kamu, sayang?
Ini bukan keputusan mudah. Kalau kamu pindah, kamu harus mengulang semua
pelajaran dari awal, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan berusaha menerima
norma barat mereka yang terkadang bentrok dengan disini. Apa kamu siap dengan
semuanya, sayang? Apa kamu memikirkan semua konsekuennya? Mama hanya tak ingin
kamu salah ambil keputusan lalu menyesal.”
Lista mengangguk kuat. Dia sudah sangat, sangat yakin
dengan keputusannya. Kedatangan Dylan yang berujung menghancurkan semua
hidupnya dan membuat Ando pergi meninggalkannya, membuat hatinya lelah untuk
menghancurkan diri lagi, dan lagi. Dia ingin istirahat, menyembuhkan hatinya,
dan berusaha menjadi dirinya yang dulu. Hanya itu keinginannya. Dan
kepergiannya, adalah keputusan terbaik untuk mendapatkan apa yang dia impikan.
“Lista yakin, ma, pah.”
“Dek... ini bukan keputusan mudah loh. Gue tau lo gak
pernah betah tinggal di Jerman. Jangan tersinggung loh, pah. Nenek sangat
konservatif pisan.” Bian buru – buru menambahkan ketika papahnya melirik
dengan tatapan tajam. Dia sudah pernah tinggal disana sebulan saat libur
semester yang lalu dan buru – buru pulang karna tak tahan batin menghadapi
kecerewetan dan kegilaan nenek cantiknya itu.
“Itu mah alasannya lo aja karna nenek tinggal di pedesaan
yang kiri kanan, muka belakang, hanya lapangan kuda dan kebun Anggur yang
indah. Lo kan ngayalnya ketemu cewek cantik disana, bukan liat kuda poni
berseliweran.” Erika tertawa melihat Bian manyun. Dia sangat menyukai nenek
Jennifer, nenek yang paling cantik pernah dilihatnya walau sudah berumur 70
tahun, tatapan matanya yang persis seperti papahnya selalu berpendar ceria
setiap menyambut cucu – cucunya, kemudian mengajaknya barbeque di kebun
Anggur dan taman Puzzle yang indah di belakang rumah. Udara yang segar, kuda
poni kesayangannya, dan keindahan taman membuatnya betah tinggal di sana.
Saking betahnya, dia mengiyakan dengan mudahnya ketika neneknya berkata bahwa
ingin melihat salah satu cucunya menikah di rumahnya, di tamannya yang indah
itu. mengkhayal seperti itu, membuatnya memerah seketika.
Lista tertawa mendengar pertengkaran kedua kakaknya.
Wajah kak Erika yang memerah karna digoda kak Bian, dan senyum menggodanya
membuatnya tersenyum. Dia melirik mamanya yang rupanya memperhatikan
ekspresinya. dia mengangkat bahu sedih. Hanya mamanya yang tau isi hatinya
sekarang setelah dia menangis di pelukan mamanya di tengah malam buta karna tak
bisa tidur dan duduk merenung di depan piano. “Kak Bian, gue serius loh pergi
ke Jerman. Toh nenek kasian, perlu ditemani. Gue kan cucu yang baik. Gak kayak
kakak.”
“Iya, lo itu cucu durhaka, Bian.” Erika menyambung ucapan Lista dengan pedas. Membuat Bian tersedak mendengarnya. “Seganteng gue dibilang cucu durhaka?” Bian menatap kakaknya dengan wajah terluka. “Lo bikin hati gue remuk hingga menjadi butiran debu, kak.”
“Emang gue peduli?” Jawabnya acuh dan melirik Lista yang
tertawa.
Kedua orang tuanya tertawa mendengar ucapan Bian.
papahnya mulai mencairkan suasana dengan melempar ejekan balasan padanya. cowok
itu hanya nyengir kuda dan membisiki Lista yang sedang menyuap makanannya,
“Kita ngobrol nanti di belakang.”
Elista hanya mengangguk dan tersenyum. Tanpa melirik
kakaknya, Erika memperhatikan mereka dengan kening berkerut.
♥ ♥
“Melarikan
diri?” Bian menyuarakan apa yang dipikirannya ketika mereka selesai sarapan.
Dan Lista yang duduk menghadapnya sambil mengelus burung merpati peliharaannya,
hanya mengangguk sedih.
“Gue
gak sanggup lagi, kak. Tiap hari, tiap detik, gue melirik ponsel seperti orang
gila karna berharap dia menelpon gue, kak. Berharap dia ingat gue. Tapi
nyatanya apa?” Dia mendesah dan membiarkan Sparrow, nama burung merpatinya yang
dibelikan Ando lepas dan terbang menjauhinya. “Dia tak ada menghubungi gue. Dan
kehadiran Dylan, gue gak sanggup kak. Kehadiran Dylan dengan kenangan buruk
membuat gue retak kak, tapi kepergian Ando,” Dia terdiam dan menatap kakaknya
dengan sedih. “Buat hati gue hancur tanpa sisa, kak. Gue gak sanggup
menghancurkan diri sendiri lagi, dan lagi hanya karna harapan semu. Please,
kak. Ijinin gue pergi. gue lelah.” Lista menundukkan wajahnya dan membuat Bian
berdiri dari ayunannya dan memeluk Lista dengan sayang.
“Kalau
lo pergi, apakah lo bakal balik kesini, Lis?” Tanya Bian pelan sambil
menundukkan badannya dan mencium puncak kepala Lista yang kini terisak di
pelukannya. Terisak kesakitan hingga membuatnya mengeryit tanpa sadar. Serasa
ada yang sakit saat mendengar isakannya itu.
Hatinya.
Lista
terdiam. dia tak memikirkan dan tak mau memikirkannya. Baginya, dia pulang buat
apa? Untuk membuatnya hancur lagi? Tidak. Dia takkan pernah pulang lagi.
Jerman
akan menjadi kotanya terakhir melarikan diri, dan dia akan menetap.
Selamanya.
“Gue
gak bakal pulang, kak.”
♥
♥
“Lo bodoh!” Karen berteriak di ponselnya
dengan nada emosi. Dia tak peduli bahwa yang diumpatnya sekarang adalah mantan
gebetannya sekarang. “Lo nelpon Lista, kemudian lo matiin hanya karna sudah
puas mendengar suaranya? Mati aja lo sana!”
“Gue
gak sengaja.” Ando mendesah. Entah kenapa dia tak punya kekuatan lagi untuk
menangkis sumpah serapah Karen di seberang sana. Menyumpahi ketololannya
menelpon Lista, lalu saking gugupnya tanpa sadar tangannya menekan tombol end.
Dia berusaha menghubungi berkali – kali. tapi telpon itu tidak pernah aktif
lagi.
Sampai
hari ini.
“Kenapa
lo nelpon dia, Ndo? Berubah pikiran untuk pulang?” Karen melemah ketika
mendengar nada Ando sedih dan tak ada semangat hidup. Dia terlalu terbawa emosi
hingga memarahinya tanpa tanggung – tanggung.
“Gue
merindukannya. Tapi gue gak sanggup muncul, Karen.”
“Tingkah
lo seperti ini malah buat dia merasa lo gak bisa menerima keadaan yang
sebenernya, Ando. Gue cewek, biar gue pernah jahat begini sama dia, tapi
siapapun yang melihat dia nangis kemarin sambil nulis nama lo di jendela
kemudian menatapnya seolah – olah lo berharga itu, pasti akan merasakan
sakitnya, Ando. saran gue, mending lo pulang. jelasin semuanya kenapa lo pergi,
jelasin isi hati lo yang menerima dia apa adanya, sebelum semuanya terlambat,
Ando. sebelum lo tak bisa memperbaikinya lagi.”
Dia
terdiam. dalam hati membenarkan setiap ucapan Karen. Dia memang harus pulang.
Menjelaskan semuanya. Seharusnya itu yang dilakukannya dari dulu. Tapi entah
kenapa, setiap dia memikirkannya, dia tak bisa melakukannya. Dia tak sanggup
melihat wajahnya.
“Ando...
lo masih idup, kan?” Suara Karen membuyarkan lamunannya. “Iya, gue masih idup
kok.”
“Ando..”
Karen menghela napas. Perasaan itu hadir lagi. “akan ada yang pergi.”
Bisiknya dalam hati. “Pulang atau lo akan kehilangan dia.” Selesai berkata
begitu, dia memutuskan telponnya. Membuat Ando bingung. Mendadak batinnya tak
tenang.
Pergi?
♥
♥
I feel like our
world's been infected
And somehow you left me neglected
We've found our lives been changed
And somehow you left me neglected
We've found our lives been changed
Babe, you lost me.”
*Christina
Aguilera – You Lost Me.
Hari ini dia akan pergi. yah, setelah
percakapan dengan kedua orang tuanya dua minggu yang lalu tentang
kepindahannya, dia sibuk mengurus paspor dan visanya, surat pindah sekolah, dan
tetek bengek lainnya. Sedangkan kedua orang tuanya sibuk mencari SMA terbaik di
Jerman untuknya nanti dan dia sudah menjalani serangkaian test lewat situs
sekolahnya dan diterima. Kedua temannya baru dia kasih tau kemaren malam
setelah pengumuman dia diterima di sekolah itu. hanya mereka berdua yang tau
dia pergi.
Minggu
depan dia akan bersekolah disana, memulai hidup barunya sebagai Elista yang
baru dan hari ini,
Dia
pergi.
“Listaaaaa...”
Teriakan kakaknya, Erika membuyarkan lamunan. Dia memeriksa isi koper terakhirnya dan menghela napas.
Jujur, dia benci pergi. sangat membencinya. Tapi ...
Dia
harus melakukannya. Demi hatinya.
“Bentar
kak. Sebentar lagi.” Lista balas berteriak dan tiba – tiba matanya melirik
ponsel yang di atas ranjang. Dia mendesah sedih dan mengambilnya. Dia sengaja
mematikannya saat Ando menelponnya lalu memutus secara sepihak disaat
harapannya terbang tinggi, dan dia mengaktifkannya lagi beberapa hari kemudian.
Entah
apa yang dilakukannya, dia mencari kontak nama itu, kemudian mengetik sebuah
pesan dan akhirnya terkirim.
Yah,
sms terakhir darinya. Dan takkan pernah ada lagi dirinya di hidup cowok itu.
Begitu
juga dirinya.
Lista
mematikan ponselnya, mengambil sim cardnya, dia menutup mata dan
mematahnya menjadi dua. Kemudian dibuangnya ke bak sampah dengan tatapan tak
terbaca.
“Good
bye, Lullaby.”
♥
♥
Ando memutuskan pulang hari ini dan menemui
Lista. Dia akan menemui ceweknya dan mengatakan kalau dia mencintainya. dia
menerimanya apa adanya dan menyadari ketololannya pergi tanpa pesan.
Dia
mendengar ponselnya bergetar ketika sedang membereskan pakaiannya terakhir di
lemari sebelum pulang. Dia mengambilnya, membuka isi pesannya dan langsung
berlari keluar Villa, ,mengunci pintunya dengan terburu – buru dan langsung
berlari ke mobil. Dia menjalankannya dengan tenaga penuh.
Tidak,
tidak. Lista tak boleh pergi meninggalkannya disaat dia yakin dengan
keputusannya.
“Lo
gak boleh pergi, Lista. Lo harus disini. Tak ada lagi yang boleh pergi setelah
ini.” Bisik Ando pelan sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan gila –
gilaan.
“Gue
mencintai lo, Elista.”
By
: Lista my girlfriend (Wannabe).
Ando, di saat lo baca sms gue ini.
Mungkin, ini adalah yang terakhir gue sms lo. gue pergi ke Jerman. Sekolah
disana, kuliah disana, dan tinggal disana. Kalau lo tanya kapan gue pulang, gue
takkan pernah pulang lagi, Ando. gue terima keputusan lo pergi tanpa pamit
dalam kehidupan gue, karna gue pun sadar, sebelum bertemu lo, gue tak pantas
mendapatkan cinta sekali lagi dengan kondisi seperti ini. Makasih karna dulu lo
mau menjadi pacar kontrak gue selama 8 bulan, makasih udah memberikan warna
dalam hidup gue, makasih karna lo memberikan apa yang dari dulu gue inginkan,
walau semuanya terlambat untuk gue sekarang.
Sebelum semuanya benar – benar
berakhir, boleh, kan gue ngomong satu hal? satu kata yang mungkin, gue gak akan
dengar jawabannya dari lo karna mungkin saat itu gue udah berada di atas awan,
tapi, biarkan gue mengatakannya. Sekali saja. Agar gue tenang menjalani
kehidupan gue yang baru tanpa kehadiran lo lagi.
Can i say, I love You?
♥
♥
Waktu serasa lambat berjalan. Lista sudah tiga
jam yang lalu berada disini, di Bandara Soekarno – Hatta di pintu kepergian
Luar negeri untuk menunggu penerbangan
ke Jerman dengan transit melalui Malaysia. Kedua orangtua dan kakaknya sudah
pergi meninggalkannya. mereka akan menyusulnya minggu depan.
Dia
mendengar suara announcer mengucapkan kode pesawatnya dan dia bergegas
menarik kopernya, kakinya melangkah menuju dua penjaga untuk mencheck tiketnya
hingga...
Dia
merasa ada yang memanggilnya. Suara itu. suara yang dirindukannya hampir
sebulan ini, yang menghilang tanpa jejak dan meninggalkan luka menganga di
hatinya, kini terdengar jelas di belakangnya. Memanggil namanya dengan nada
suara yang sama, kesakitan yang sama.
Tapi,
mungkinkah itu dia? Atau hanya ilusi yang bermain di kepalanya?
“Elista...”
Dia terhenyak ketika suara itu mendekat dan semakin terasa nyata untuknya.
Dia perlahan mundur dari dua penjaga
itu. namun tak berani menoleh ke belakang. “Ini gue, Ando.”
♥
♥
“Just one more
times,
one more moment,
to take you in my arms.”
one more moment,
to take you in my arms.”
Ando
merasakan Lista berhenti di tempat ketika dia memanggilnya. Dia mendekati gadis
itu perlahan. Oh Tuhan, dia sangat merindukannya.
Dan
menyesalinya.
“Elista..
“ perlahan dia menarik lengan Lista tanpa perlawanan dan membawanya ke pelukan.
Dia memeluknya erat.
Suara
Announcer itu terdengar lagi. Mengucapkan kode penerbangan dan tujuan
perginya. Ando menghela napas dan merasakan air mata Lista membasahi bajunya
sekarang.
Lista
menangis di pelukannya. Entah sejak kapan.
“Jangan
pergi, Lis. Gue minta maaf karna pergi malam itu. tapi bukan berarti gue tak
terima keadaan lo. gue terima, Lista. Gue terima lo apa adanya. Please, stay
here. Don’t leave me.”
Dia
merasakan pelukannya mengendur dan Lista menatapnya dengan mata yang memerah
dan air mata yang masih menetes. “Good bye, Ando.”
“Gue
mencintai lo, Lista. Apa adanya.” Ando menatapnya dan Lista balas menatapnya
dengan senyum yang terlihat pedih.
“Good
bye, Ando. Jangan tunggu gue. Gue takkan pernah pulang. Makasih untuk
semuanya.” Dia tersenyum sedih dan mencium pipinya. Ando bisa merasakan pipi
Lista yang basah ketika menciumnya.
“I
Love You, Elista.” Dan dia langsung memeluknya kemudian menciumnya. Untuk
terakhir kalinya. Sebelum dia sadar bahwa esok harinya, dan hari – hari
selanjutnya.
Dia
akan patah hati yang amat sangat karna kehilangannya.
One more chance,
One more kiss,
before i wake to find you go,
One more kiss,
before i wake to find you go,
One more time,
before i have to face another day
And my heart breaks ...
Again.”
*kenny G ft Chante Moore – One More Times.
before i have to face another day
And my heart breaks ...
Again.”
*kenny G ft Chante Moore – One More Times.
♥
♥
Seandainya kau tau arti kata “Selamat tinggal”
dan “sampai jumpa” itu berbeda, Masihkah kau mengucapkan “selamat tinggal”
sedangkan aku berharap kau mengatakan “sampai jumpa”?
“I’m sitting
here,
Thinking about,
How i’m gonna do without
You around in my life.”
Thinking about,
How i’m gonna do without
You around in my life.”
Ando duduk terdiam di depan piano
putihnya. Lista telah pergi. yah, dia menciumnya di Bandara, memeluknya erat,
mengatakan tiga kalimat sakti itu, tapi tetap saja,
Lista
pergi meninggalkannya. meninggalkan hatinya yang patah ketika melihat gadis itu
menatapnya dalam setelah dia menciumnya dengan seluruh perasaan yang ada dihati,
lalu menarik kopernya dan memasuki ruang keberangkatan dan melambaikan
tangannya sekali lagi sebelum akhirnya,
Menghilang
dari pandangan matanya.
Ando
mendesah. Hatinya sakit. Yah, sakit. Begini rasanya kehilangan. Begini rasanya
ditinggalkan.
Dan
dia tak tau, apakah setelah ini, dia akan masih bisa merasakan perasaan cinta
itu atau malah menunggunya pulang.
“Show me the meaning of being
lonely,
it is the feeling i need to walk with?,
tell me why i can’t be there where you are,
it is the feeling i need to walk with?,
tell me why i can’t be there where you are,
There’s something
missing in my heart.”
* Backstreet Boys
– show me the meaning.
♥
♥
Lista
terdiam sambil menatap awan melalui kaca pesawat. Disampingnya, Steven Raveno,
sepupu jauh dari pihak papahnya, tertidur pulas di sampingnya. Cowok itu tau
kepergiannya ke Jerman dan entah alasan apa, tiba – tiba ijin kuliah sementara
dari Universitas terkenal di Malaysia dan menunggunya untuk pergi bersama ke
Jerman. Yah, berdua dengan Steven. Yang tau masa lalunya, dan tak
mempedulikannya. Bahkan berdiri disampingnya dan menguatkan hatinya.
Dia
teringat dengan Ando. cowok itu menciumnya lama seolah tak ingin berpisah.
Seolah ingin menghentikan waktu kalau bisa. dan dia, dengan keras kepalanya,
tetap pergi meninggalkannya yang terdiam dan melepaskan pelukannya lalu
membiarkannya berjalan masuk ke ruang keberangkatan dan membalas lambaian
tangan terakhirnya sebelum dia benar – benar pergi.
Oh
Tuhan... Lista meneteskan air mata ketika teringat ucapan Ando yang
mengatakan dia mencintainya, dia menerimanya apa adanya. Seandainya cowok itu
tau betapa dia sangat bahagia hingga hampir memeluknya erat. Tapi, dia tak
bisa.
Sama
sekali tak bisa. dia butuh diyakinkan.
“Ando...”
Dengan isak pelan tanpa suara dia memanggil namanya. dia melirik Steven yang
menggenggam tangan kanannya erat. Wajahnya tetap sangat tampan walau dia
tertidur. Seluruh kecantikan mamanya, Jihan Vexia dengan mata biru lautnya yang
berpendar indah seperti berlian, dengan sorot mata lembut dan tutur kata halus,
dan ketampanan papahnya dengan wajah khas Indonesia yang sekarang menjadi
Psikiater terkenal, Nanda Raveno. ada di
setiap sudut wajahnya dan membuatnya sangat tampan hingga mendekati cantik.
“Kalau
gue sanggup, gue akan pulang. Tapi..” Dia terdiam. untuk yang ini. Dia tak
berani berharap. Dan dia juga pesimis bisa melakukannya.
“Maukah
lo menunggu gue selama yang gue ingin? Gue janji, kalau lo menunggu gue, gue
takkan pernah pergi lagi, Ando. dan...” Dia terdiam. seolah ada yang hendak
disampaikannya daritadi.
“Gue
juga mencintai lo, Fernando Hayman.” Jawabnya pelan di dalam pesawat yang membawanya
pergi ke Jerman untuk melanjutkan hidupnya. Seperti yang dia inginkan. Dengan
Steven yang entah kenapa. Dia merasa akan ikut merubah hidupnya.
THE END.
keren bangetr kax cerbungnya ,mau banget punya pacar kaya ando
BalasHapusAku berterimakasih karna cerita ini yang pertama kali aku baca tahun 2013 yang bikin aku jadi seneng sama novel sampai saat ini, dan gara gara kemarin buka buka yang diikuti di wattpad ketemu nama kaka jadi flasback terus nyari nyari cerita ini untung masih ada dan tetep terbaik sukaa
BalasHapusUdah 4 kali baca ulang dari part1 smpe tamat, tetep mewek
BalasHapus