“Waw...
takut banget gue dengernya,” Jo menyeka darah yang mengucur lumayan deras di
hidung mancungnya dengan senyuman mengejek ke arah Andrew yang mati – matian
menahan emosi agar tidak menghajarnya hingga tak bertulang.
Gwen bersembunyi di belakang Andrew.
Mencari ketenangan sambil berusaha menenangkan Andrew yang diliatnya sudah
menumbuhkan tanduk di atas kepalanya. “Ndrew... Pulang yuk, gue gak papa,”
Bujuknya sambil menarik lengan baju Andrew dari belakang dengan hati – hati.
“Tunggu gue mampusin dia dulu, Gwen.
Baru kita cabut,” Andrew menjawab dingin ajakan Gwen.
Merasa di depannya bukan Andrew yang
dikenal, dia merangkul tangannya. “Gue gak papa, Ndrew. See? Jangan marah
disini, ini sekolah, lo bisa dituntut,”
“Gak papa. Yang penting dia tau lo
gak bisa disentuh kayak cewek yang biasa dia grepe – grepe seenak jidat!”
sambil berkata begitu, dia menatap Jo dengan tatapan ingin membunuh saat ini
juga.
Jo yang melihat tatapan Andrew,
tertawa geli. Seolah – olah Andrew baru saja melucu didepannya. “Gue heran deh,
kok lo menjaga Gwen segitunya sih? Dia siapa lo sih? Sahabat doang kan?”
“Iya! Dia sahabat yang paling gue jaga!”
“Sahabat gak ada seprotektif kayak
lo gini!”
“Memangnya itu jadi masalah buat lo?”
Masalah sih gak, gue malah mikir lo sahabatan sama dia ada
maksud tertentu kan?”
Gwen dan Andrew saling berpandangan. Bingung dengan arah
pembicaraan Jo. Mengetahui hal itu, Jo nyengir. “Gue tau lo pasti pengen nyicip
tubuh Gwen yang menggoda iman itu kan jadi lo ngamuk setiap cowok yang mencoba
dekatin dia? Gue tau lo pasti gak ingin tubuh Gwen, apalagi bibirnya yang super seksi
itu,” Sambil berkata begitu, dia mengulum bibirnya sendiri dan melirik Gwen
yang semakin ketakutan dengan tatapan sinis, siap menerkam mangsa. “Ada jejak
cowok lain. Tenang saja, gue akan nyisakan sedikit kok buat lo. gak usah
khawatir. lo mau gue nyisain bagian mana? Tinggal sebut aja. Gue bisa ngerem
kok, tapi... sebelum lo nyebutin, bagian dada, bibir, leher dan bawah perut dia
itu hak milik gue. Gak bisa lo ganggu gugat.” Jo tersenyum sinis dan
membayangkannya. Membuatnya semakin bernapsu. “Tapi, itu ama aja lo gak dapat
bagian dong? ah... gampang, Ndrew. Ntar bisa gue atur lo dapat di bagian mana
aja dari tubuh sexy sahabat lo itu.” Dia menjentikkan jarinya dengan
ekspresi gampang saja kalau gue yang ngurus. Tenang aja.
Habis kesabaran Andrew ketika
mendengar ucapan kurang ajar Jo yang sangat – sangat merendahkan Gwen seperti
wanita jalang. Seperti tak ada harga dirinya sama sekali. Dengan langkah yang
tak diduga, dia maju dan menonjok Jo dengan keras hingga bisa dipastikan ada
yang patah. Membuat Gwen yang melihat itu, menjerit.
“Sudah, Andrew! Kita pulang!”
“Gue belum selesai, Gwen! Dia
merendahkan harga diri lo sebagai wanita! Kenapa lo gak marah?!” Teriak Andrew
dengan suara penuh emosi. Membuat Gwen terpaku. Selama dia bersahabat
dengannya, Andrew tak pernah membentaknya seperti ini.
“Ndrew, Gue ingin pulang. Gue gak
mau disini, mendengarkan dia menghina gue. Gue mau marah, tapi gimana caranya,
Ndrew? Lo tau gue,” sambil berkata begitu, dia menundukkan wajahnya. Tak ingin
menunjukkan bahwa dia juga sakit hati mendengarkan ucapan Jo yang sangat
merendahkannya itu. Melihat itu, Andrew melunak dan mendekati Jo yang tersenyum
sinis kearahnya. “Sekali lagi lo sentuh Gwen, atau siapapun yang berarti buat
gue,” Sambil berkata begitu, dia menunjuk dada Jo dengan telunjuknya “Gue
pastikan lo akan merasakan dinginnya liang lahat saat itu juga!” Dan mendorong
kasar Jo hingga terbentur dinding dan menarik Gwen agar segera keluar.
Melihat mangsanya kabur dibawa
penjaganya, Jo berdecak kesal dan melap bibir dan hidungnya yang masih
berdarah. “Yah... buruan gue gagal deh. tapi tenang saja... masih ada hari esok
yang lebih indah. Dan gue, akan nikmatin tubuh sahabat lo, Andrew!” dan dia
tersenyum penuh menang dengan ide brilian yang akan dijalankan di lain waktu.
Disaat salah satu dari mereka lengah.
íííí
“Lo gak papa?” Tanya Andrew ketika
melihat Gwen seperti patung hidup di belakangnya. Semenjak meninggalkan kelas
hingga mereka di lapangan basket. Tak terdengar ocehan cerewet Gwen. Membuatnya
cemas.
“Makasih,” Mendadak Gwen memeluknya
erat dan menangis hebat di dadanya hingga tubuhnya bergetar. Sebuah pukulan
telak menimpanya hingga sahabatnya trauma. Andrew mempererat pelukannya dan
mengusap pelan rambut Gwen.
“Gue minta maaf yah karna gara –
gara gue ninggalin lo di kelas, lo jadi begini. Seharusnya gue sudah antisipasi
saat lo cerita soal Jo itu. Seharusnya gue nyuruh lo nunggu di lapangan basket.
Bukan di kelas. Gue memang bodoh.” Rutuknya membuat Gwen melepas pelukannya dan
menggeleng.
“Gak.. lo gak bodoh, Ndrew. Lo
memang gak tau kan ini bakal terjadi. Gue juga salah, seharusnya saat itu gue
teriak, bukan mingkem kayak tadi.”
“Lo terlalu shock makanya gak sempat
teriak kan? Gue tau lo, Gwen.” Ucapnya sambil mengacak rambut pendeknya.
Membuat Gwen tertawa.
“Iya... serasa semua tingkah laki –
laki gue pada ngumpet semua, Ndrew. Hahaha...”
Andrew senang sahabatnya bisa
tertawa lagi dan air mukanya berubah ceria. Tak sadar membuatnya tersenyum.
“Kita jalan yuk? Itung – itung lupain kejadian tadi” Ajaknya.
“Kemana?” Tanya Gwen.
“Makan bakso di tempat biasa gimana?
Gue lapar nih,”
Mendengar ajakan Andrew yang begitu
menggodanya, mendadak perutnya berbunyi dan tanpa ragu dia mengangguk. “Ayo!!”
Teriaknya penuh semangat dan menuju kendaraan yang terparkir. Namun ditahan
Andrew.
“Lo ikut gue aja,”
“Terus motor gue gimana?” Tanya Gwen
bingung.
“Ntar kita ke sekolah lagi ambil
motor lo, terus pulang bareng. Kan rumah searah.”
Gwen menggeleng. Rencana repot.
Pikirnya. “Gak usah deh. bikin repot aja.”
“Gak kok. ayolah... lo gak pernah
gue boncengin, Gwen.”
“Motor lo mengerikan untuk gue
tumpangin, Ndrew,” Gwen melirik kendaraan Ninja terbaru Andrew dan tak bisa
membayangkan bagaimana posisi duduknya nanti. Pinggangnya bakal encok parah
karna menunduk mulu.
Andrew terlihat berpikir, lalu tersenyum.
“Yaudah, gue nebeng motor lo aja. Daripada lo nyalahin gue karna badan lo pada
encok semua. Ayo.. mana kunci motor lo? Gue yang bawa.”
Gwen melongo mendengarnya. Dia tau
Andrew kurang menyukai membawa motor matik miliknya. Seperti naik motor – motoran
katanya. “Serius?”
“Serius Gwen. Mana kunci motor lo?”
Gwen pun menyerahkan kunci motornya
ke Andrew dan mereka berjalan beriringan ke tempat parkir dan membiarkan
dirinya dibonceng sahabatnya menuju tempat makan kesukaan mereka.
õõõõ
Sepanjang perjalanan, Gwen dan
Andrew saling bercanda di jalan. Mereka saling mengomentari apa saja yang dilihat.
“Gwen, pegangan dong. lo bikin gue
serasa jadi paman ojek tau gak!” Gerutu Andrew kesekian kalinya karna Gwen tak
mau berpegangan.
“Gue gak bisa boncengan sama cowok
terus pegangan, Ndrew. Serasa aneh gimana gitu,” Elaknya.
“Ya ampun, Gwen. Ayolah... kalo gak,
gue ngerem mendadak nih!” Ancamnya.
Merasa ancaman Andrew serius, buru –
buru Gwen berpegangan di baju Andrew. Gemas, Andrew mengerem motornya mendadak
hingga Gwen langsung memeluknya dari belakang.
“Sompret lo Ndrew!” Gerutunya sambil
menoyor kepala Andrew dari belakang.
“Salah sendiri lo pegangan kayak gue
jijik gitu. Makanya, pegangan yang erat.” Perintahnya.
Merasa tak ingin kejadian nahas itu
terulang lagi, dengan terpaksa dan deg – degan, Gwen memeluk pinggang Andrew
dari belakang. Dan membuatnya tersenyum.
♥
♥
“Gwen, ini perut apa jurang? GILAA...” Andrew
berseru takjub sambil mengelus pelan perut Gwen ketika gadis itu memesan bakso
untuk kedua kalinya karna masih sangat lapar. Seolah gak dikasih makan berabad
– abad.
Gwen
hampir tersedak pentol yang ditelannya bulat – bulat ketika ada elusan lembut
diperutnya. Dia menatap garang, “Lo mau gue besok masuk berita karna mati kesedak
pentol bakso segede batu?! Perut gue sensitif akan sentuhan cowok macam lo!”
Andrew
tertawa mendengarnya. Gwen 180 derajat berbanding terbalik dengan cewek – cewek
yang dikenalnya. Kalau cewek lain diet ketat hingga porsi makan jauh lebih
menggenaskan dari orang – orang yang menderita kelaparan, maka Gwen adalah
kebalikannya. Cuek bebek dengan berat badan.
“Lo
dikasih makan apa emangnya dirumah jadi rakus ampun – ampunan? Rumput?”
“Lo
kira gue kambing?” Gwen menyahut sewot dengan mulut penuh karna pentolnya
membuat pipinya gemuk. “Mumpung gak ada Tiara. Kalo ada dia mah, jangan harap
gue makan senikmat ini! Heran tuh anak, kok kenyang yah makan Cuma pentol
doang? 2 biji pentol yang paling kecil lagi! Dan itu sudah dibilang sangat
menggendutkan?! Gue mah dikasih porsi gitu, mending milih makan rumput kale...”
Dia bergidik ketika Tiara makan hanya dua biji pentol yang paling kecil plus
pangsit goreng yang paling kecil juga. Membuatnya hendak pingsan.
“Lo
bakal kena diare hebat kalo buatin sambel sebanyak ini! Kuah lo udah merah kebanyakan
sambal tuh!” Andrew langsung menjauhkan tempat sambal dari jangkauan Gwen
ketika melihat gadis itu hendak menyendoknya dalam porsi besar untuk ketiga
kalinya. Padahal sambal ini terkenal pedas dalam satu sendok kecil. Namun entah
perutnya mati rasa atau gimana, gak ada pengaruhnya.
Gwen
hanya manyun, “Kurang pedas, Andrew. Gak nikmat.” Rajuknya. Padahal wajahnya
sudah sangat memerah karna kepedesan.
Andrew
mencoba mencicipi bakso Gwen dan langsung mengambil air minum disampingnya
sambil mengipas – ngipas mulutnya. Pedasnya serasa membakar rongga mulutnya.
“Gak beres syaraf lidah lo.”
“Cemen
loh,” Ejeknya sambil memakan baksonya kembali dan Andrew hanya geleng – geleng
melihatnya. “Lo sakit perut gue gak tanggung loh ya,”
“Bodo.”
Dia menyahut cuek sambil terus mengambil tempat sambal itu. Namun dihalangi
Andrew. Membuatny manyun.
“Kenyang?”
Tanyanya ketika bakso itu habis tak tersisa di mangkoknya. Gwen mengacungkan
jempol puas. 2 mangkok bakso porsi jumbo plus 4 botol air mineral ditandasnya.
Membuat pengunjung lain yang melihatnya, geleng – geleng kepala.
“Mau
bungkus gak?” Tanyanya sambil berdiri untuk membayar. Namun Gwen juga berdiri
dan berjalan di depan kasir. “Gue yang bayar. Lo udah keseringan bayarin gue. Lagipula,
gue takut porsi gue bikin dompet lo jebol.”
“Nyadar juga lo akhirnya bahwa tiap
pulang habis makan, dompet gue pasti tinggal receh doang. Hahahaa...”
“Gue selalu nyadar tanpa lo bilang,
Ndrew.” Gwen juga ikut tertawa. plong hatinya sekarang. Kekesalannya pada Jo
sudah terlampiaskan dengan makan besar. Membuat setiap langkahnya nyaman.
Andrew hanya mengacak rambut pendek
sahabatnya dan mereka berjalan ke parkiran motor. “Kemana lagi nih? Makan udah,
ke Toko Buku?” dan Gwen mengangguk.
“Gue ikut kemana lo mau deh. tapi
ambil motor lo dulu di sekolah. Biar setelah dari toko buku, langsung pulang.
Takutnya kita jalan ampe malam. Kan gak lucu ke sekolah malam – malam ambil
motor doang.” Sarannya dan Andrew mengangguk.
“Pintar juga lo. yuk.. naik.” Jawabnya
dan Gwen langsung duduk manis diboncengan Andrew yang melaju membawa motornya
menuju sekolah sebelum berangkat ke mall tempat tongkrongan mereka.
♥
♥
“Eh... eh, Ndrew. Coba deh lo liat arah jam 12
dari gue, ada segerombolan cewek sinting liat lo mulu daritadi tanpa kedip
tuh,” Coleknya ketika mereka berada di bagian majalah otomotif, melihat
segerombolan cewek kayak tawon menunjuk kearah mereka dan tatapan mata
memujanya ke arah Andrew yang cuek. Membuatnya gemas.
“Ndrew!
Sonooo... samperin fans lo!” Dia mencubitnya karna Andrew hanya melirik mereka
sekilas, lalu membaca lagi.
“Gue
nyamperin? Terus gue bilang apa? Bilang “Hai.. kok liatin gue? Mau foto bareng
yah? Yukk.. kita foto bareng. Mau tanda tangan juga? Atau nomor ponsel? Nih gue
tulisin di kertas terus hubungin yah ntar.” Begitu?” Andrew menatap tajam Gwen
yang cekikikan dengan ide gilanya. Membuatnya bergidik ngeri.”Hiyyy...
merinding gue!” Dan Gwen langsung tertawa ngakak. Membuat para pengunjung
melihat kearahnya dan Andrew langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan
dan melotot. Menyuruh diam.
Melihat
Gwen tidak tertawa lagi. Dia melepasnya dan langsung merangkul erat di pundak.
Membuatnya jumpalitan. “Eh... eh..., lo apain gue? Jangan rangkul! Haram
hukumnya!” Gwen berusaha melepas namun Andrew semakin erat merangkulnya.
“Haram
apaan? Lo udah pernah gue rangkul berkali – kali bahkan dipeluk, baru sekarang
bilang haram? Ckckckkc...” Andrew tersenyum kearahnya lalu melirik segerombolan
cewek yang ditunjuk Gwen lalu menatapnya yang wajahnya memerah seperti kepiting
direbus.
“Ayoooo
sayang...” Andrew berjalan sambil merangkul Gwen dan sesekali mencium
keningnya. Puas hatinya sekarang melihat sahabatnya seperti kucing betina yang
jinak dirangkulannya.
Gwen
menghela napas. Dia melirik segerombolan cewek yang diliatinya. Bisa dirasakan
hawa pembunuhan mengental. Membuatnya entah harus tertawa terbahak – bahak
melihat kecemburuan itu atau ikut dalam alur permainan Andrew. Dan dia memilih
pilihan kedua. “Ayoooo sayang...” Gwen melingkarkan tangan kirinya di pinggang
Andrew dan tertawa terbahak – bahak ketika mereka sudah keluar toko buku.
“Enaknya
kita pulang lewat mana yah, Ndrew? Takut gue kalau dicegat fans – fans lo di
toko buku pas dijalan. Habis gue. Mereka kalo cemburu, widihhhh.... Macan Afrika
kelaparan mah lewat buasnya kalo dibandingin mereka.”
Andrew
tertawa mendengarnya. Mereka keliling mall dan melihat restoran es krim favorit
Gwen. Dia melirik gadis itu yang tatapannya sudah mulai lapar lagi. Padahal
baru saja makan 2 jam yang lalu. “Mau masuk?”
Tanpa
perlu jawaban, Gwen langsung menarik Andrew masuk kedalam restoran itu. Urusan
dompet yang merongrong karna cekak itu belakangan, yang penting.... makan.
Batinnya dalam hati.
♥
♥
“Kenapa
lo liatin gue mulu? Mau?” Gwen berhenti memakan es krim serba cokelat porsi
jumbo ketika melihat Andrew bertopang dagu sambil melihatnya makan. Dan dia
menyuapi Andrew yang sukarela membuka mulutnya. Membiarkan es krim masuk dalam
mulutnya plus buah ceri.
“Gak...
gue takjub aja liat porsi makan lo yang naudzubillah. Padahal ada gue
loo...”
“Emangnya
kenapa kalo ada lo? masalah gitu?” Gwen berkerut kening sambil menyuapi Andrew
lagi eskrimnya.
“Gak...
gue kan cowok. Yaa... seharusnya kalo cewek normal itu pasti limited banget
soal makan. Alasan diet lah, kantong cekak lah, dsb. Dan lo enggak, mau kantong
cekak kek, kantong jebol kek, makan nomor satu. Itu yang gue suka.” Ucapnya
entah kenapa, membuat Gwen tersipu.
“Kenapa
gue jadi dagdigdug begini?”
“Apaan
sih loh,” Dia mendorong pundak Andrew pelan dan memakan es krimnya lagi.
Wajahnya memerah malu.
Andrew
hanya nyengir melihat perubahan wajah sahabatnya dan mengacak rambutnya hingga
acak – acakan.
“Kenyang...”
Gwen mengelus perutnya yang tetap ramping walau porsi makannya seperti seekor
Gajah. Membuat Andrew yang memperhatikannya, bingung.
“Lo
gak cacingan kan?” Tanya Andrew sambil terus memperhatikan tangan sahabatnya
yang berputar mengelus perutnya sendiri.
Gwen
merengut dan menghentikan elusannya. “Sompret! Gue memang keturunan gak bisa
gemuk walau makan sebanyak apapun. Bukannya cacingan!” dan Andrew tertawa
mendengar omelannya.
“Yaa..
untungnya lo gak bisa gemuk. Kalau iya, wah... mungkin berat badan lo seperti
pemain Sumo. Hahahaa...” Andrew memperagakan para pesumo yang sering dilihatnya
di TV. Membuatnya Gwen tertawa melihat wajahnya yang lucu.
“Hahaha...
gue bayar dulu yah.” Katanya sambil memanggil pelayan untuk meminta bill.
Ketika dia siap membayar, Andrew mengeluarkan kartu kreditnya. “Gue traktir. Dan
jangan menolak.” Ucapnya tegas ketika melihat wajah protes dari Gwen yang sudah
mengeluarkan 100ribuan yang terakhir didompetnya.
“Tapi
kan, lo gak pesan apa – apa, Ndrew. Lo Cuma duduk manis sambil liatin gue
doang. Gue gak mau terima.” Gwen mengambil kartu kredit Andrew dan
meletakkannya di depan cowok itu lalu meletakkan uangnya di nampan kecil tempat
billnya. Namun, Andrew mengambil uangnya dan menggantinya dengan kartu
kredit.
“Gue
mau nraktir. Kenapa sih?” Andrew heran dengan sifat Gwen. Biasanya cewek suka
ditraktir, apalagi tukang makan seperti Gwen, tapi tumben dia gak mau dibayari.
Waiters
di depan mereka bingung dengan pertengkaran siapa yang harus membayar pesanan.
Lalu dia berdehem pelan. Membuat Andrew dan Gwen saling melirik ke arahnya dengan
tatapan terganggu karna diinterupsi. “Maaf, mas, mbak. Jadi bayar pakai apa? Credit
card atau cash?”
Gwen
yang lumayan lola saat itu, menjadi keuntungan Andrew yang entah kenapa
ngotot ingin membayar. “Pake credit card mbak.” Dia memberikan senyum termanisnya
dan dengan patuh tanpa banyak cingcong, Waiters itu langsung menjauh
dengan anggun dan wajah tersipu.
Sedangkan
Gwen, hanya merengut karna kalah dan memasukkan uangnya kembali di dompet. Dan
Andrew tersenyum penuh kemenangan.
♥
♥
“Kita
lucu yah, masa mau bayar pesanan aja pake debat segala,” Andrew tertawa
terbahak – bahak mengingat kejadian di restoran tadi itu. Membuat Gwen ikut
tertawa.
“Habisnya
lo ngotot sih mau bayarin gue. Yang makan kan gue, kenapa jadi lo yang mau
bayarin? Kan aneh.” Balas Gwen disela tawanya.
“Soalnya
udah mau temanin gue muter – muter di toko buku. Itu kan keajaiban banget
mengingat lo paling malas ke mall dengan pakai baju sekolah.”
“Iya
juga sih...” Gwen mengangguk dan melirik Andrew dari samping yang kata mamanya,
mirip artis Tom Cruise waktu masih muda. Membuatnya langsung searching di
internet lalu mangut – mangut penuh semangat mengiyakan.
“Kok
gue bisa yah sahabatan sama cowok ganteng ini? Ckckck... hebat nasib gue.”
“Gwen...
kemana lagi nih sekarang? Nonton?” Pertanyaan Andrew membuatnya sadar dari
lamunan dan melirik jam tangannya lalu menggeleng. “Udah jam 8 malam nih. Gue
takut dicariin. Tadi sudah bilang sih sama bokap kalo gue jalan sama lo. tapi
tetap aja.”
Andrew
mengangguk. Mungkin lain kali. begitu pikirnya. “Yaudah.. yuk kita pulang.” Dia
tanpa sadar menggandengn tangan Gwen keluar mall menuju parkiran motor.
“Gue
yang bayar parkir motor.” Ucap Gwen sambil naik ke motornya dan Andrew hanya
tertawa sambil menyalakan mesin motor Ninjanya yang terlihat lebih gagah
daripada kendaraan matic Gwen.
“Iyaa...iyaa...
gue malas berantem di parkiran motor hanya karna siapa yang harus bayar
parkir.” Ucapnya disela tawa lalu menutup wajahnya dengan helm. Membuatnya
seperti pembalap profesional.
Gwen
nyengir penuh kemenangan lalu membayar parkiran untuknya dan Andrew yang
dibelakang. Lalu mereka keluar mall beriringan.
♥
♥
“We just a Friend.”
“Thanks.”
Ucapnya ketika Andrew mengantarnya sampai depan rumah. Cowok itu membuka
penutup helmnya dan tersenyum lalu tangannya menarik pipi tembem Gwen saking
gemasnya.
“Aduh!”
Jeritnya sambil mengelus pipinya yang memerah karna dicubit Andrew. Cowok itu
hanya tertawa melihat wajahnya yang merengut.
“See
you tomorrow. Salam sayang ma ortu dan kakak lo, si Rere yah.”
Gwen
mengacungkan jempolnya dan melambaikan tangan ketika Andrew menjalankan
motornya dengan kecepatan penuh.
Melihat
sahabatnya sudah pergi, dia memasukkan kendaraannya dalam rumah.
♥
♥
“Wajah lo kenapa?” Tanya Bian, sahabat Jo yang
sekarang kuliah di Jurusan Kedokteran bingung melihat wajah sahabatnya memar
seperti dihajar orang sekampung.
“Di
tonjok orang.” Jawabnya singkat. Membuat Bian tertawa.
“Lo
memangnya kenapa jadi ditonjok? Godain cewek orang yah?”
“Gak...
gue...” Jo menceritakan kejadian pagi tadi dan Bian hanya menggeleng.
“Pantes
lo dihajar. Kalau gue mah, jangankan lo, cowok lain aja yang berani ganggu
kakak gue atau adik gue, Lista, gue hajar ampe mati. Bagus deh lo dihajar sama
dia.” Bian menepuk pundaknya dan memasang wajah penuh simpati. Padahal
berbanding terbalik dengan ucapannya.
“Sahabat
apa bukan sih lo?!” Bian hanya nyengir. “Gue Cuma mengungkapkan apa yang gue
pikir. Dan itu wajar kan?”
“Gue
penasaran jadinya...” Dia mengepal tangannya. Sebuah senyum terlukis di
wajahnya.
“Liat
aja, Ndrew. Gue buat sahabat lo jatuh cinta sama gue dan dia menjauh dari lo!”
Dia tersenyum sinis dan Bian yang melihatnya, acuh tak acuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar