Author : Andini Ekaputri Nur’aulia.
: Rere
Nurlie.
Gwen terhenyak dan menelan ludah
susah payah. Ditatapnya Arny yang tengah tersenyum manis ke arah teman
sebangkunya itu. Gwen ikut – ikutan memperhatikannya. Tatapan mereka berdua
terlihat lain, yang satu penuh kerinduan, satunya lagi penuh keterkejutan dan
ada sepercik perasaan rindu. Membuat Gwen mendadak tak pantas ada di antara
mereka.
“Ndrew...” Panggilnya pelan dan
cowok itu memutus eye contact dengan Arny dan beralih padanya.
“Gue duduk sama Tiara yah. ada yang
mau diobrolin bentar. Lagipula, kasian dia duduk sendiri kayak gak ada temannya
itu.” Dia memberikan alasannya ketika Andrew menatapnya serius. Dan tanpa
diduga, dia mengangguk. “Yaudah, lo duduk sana sama Tiara. Kasian gue kalau dia
nangis ntar ga ada yang temanin.”
Kalau biasanya dia akan tertawa
terbahak – bahak mendengarnya, namun kini entah kenapa dia hanya tersenyum
simpul dan membereskan mejanya secepat dia bisa dan langsung pindah ke depan
dan mendaratkan pantatnya di samping Tiara yang puyeng melihat soal.
“YAK! Ngapain lo disini?” Tiara
kaget dengan kehadiran Gwen yang seperti Jin baginya. Tak biasanya Andrew
mengijinkan Gwen duduk dengannya. Biasanya boro – boro mengijinkan, dia meminta
agar Gwen sebangku dengannya sebentar... saja, wajah Andrew langsung berubah
menjadi mengerikan. Seolah – olah dia meminta hatinya untuk dibikin jeroan.
“Memangnya gak boleh? Gue pengen
sebangku sama lo.” Gwen menjawab tanpa melihat Tiara yang masih menatapnya
takjub. Dia fokus dengan apa yang dihadapinya sekarang.
Tiara geleng – geleng dibuatnya. Dia
melihat Andrew yang sekarang duduk sendiri. Entah kenapa, ada sesuatu antara
mereka. Dan dia seperti orang bodoh karna tak mengetahuinya.
“Lo gak berantem dengan Andrew,
kan?”
Gerakan mulutnya yang asyik komat –
kamit menghitung hasil hitungannya yang
lebih mirip baca jampi – jampi itu kontan melongo. Semua hitungannya buyar
seketika seperti debu yang ditiup.
“Gak. gue Cuma pengen duduk bareng
lo aja. Memangnya gak boleh yah? yaudah, gue balik.” Gwen pura – pura memasang
wajah terluka dan berdiri dari duduknya, namun ditahan Tiara.
“Ya amplop! Gue Cuma bercanda, Gwen.
Heran aja sih liat lo sebangku sama gue.”
Gwen tersenyum mendengarnya. Entah
kenapa dia tak ingin memnjawabnya. “Hhahaha... udah ah, gue mau ngerjain lagi
nih. Masih banyak.”
Gwen melanjutkan pekerjaannya yang
tertunda. Membiarkan pikiran Tiara menari – nari.
“Mereka kenapa?”
♥
♥
“Kenapa, lo?”
Suara Tiara membawa Gwen kembali ke realita. Gadis itu sontak meringis dan menggeleng cepat. Diubahnya air mukanya agar menjadi tenang, sehingga Tiara tidak mengetahui bahwa sebenarnya di dalam dadanya sudah menggenang lahar yang siap dimuntahkan keluar dalam bentuk makian.
“Nothing,” jawab Gwen pelan. Gadis itu
memaksakan seulas senyum kepada Tiara. Tiara sendiri hanya mengangkat bahu tak
acuh, kemudian kembali memusatkan perhatiannya ke arah guru yang sedang
menjelaskan pelajaran selanjutnya, Bahasa Inggris.
Gwen menghembuskan napas lega karena untuk kali ini, Tiara tidak memberikan pertanyaan apapun yang berpotensi membuatnya mati dalam posisi duduk saking bingung harus jawab apa. Mengingat saat ini dia tak ingin menjawab pertanyaan apapun baik diucapkan atau menggunakan telepati seperti yang dia lakukan dengan Andrew atau Tiara. Mengingat Andrew, entah kenapa dia menoleh pelan ke belakang dan membelalakkan matanya.
“ Sejak kapan Arny bertukar tempat
duduk dengan Roy?!”
Gwen bisa melihat Arny dan Andrew saling bercanda dalam intonasi suara yang pelan. Sesekali, mereka tertawa dan terlihat sangat akrab. Gwen mendengus dan membuang muka. Katanya mantan, tapi kenapa hubungan keduanya begitu dekat? Seolah-olah masih tersisa perasaan cinta diantara keduanya!
Apa… apa jangan-jangan, Andrew masih
menyukai Arny? Dan Arny juga masih menyukai Andrew? Lalu, mereka berdua
nantinya akan memutuskan untuk kembali berpacaran?
Gwen menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir pikiran menyakitkan itu. Nggak, mereka berdua nggak mungkin balikan. Andrew sendiri yang bilang kalau dia menyukai Tiara. Jadi, Andrew tidak mungkin akan mengajak Arny untuk kembali menjalin hubungan seperti di masa lalu!
Tapi….
Sekali lagi, Gwen melirik Andrew dan Arny. Gwen terkesiap dan langsung mengalihkan pandangannya ketika mengetahui bahwa Andrew juga tengah menatapnya sambil menaikkan satu alisnya. Gwen merutuki dirinya sendiri karena tertangkap basah sedang memperhatikan Andrew.
“Bego! Bego! Bego! Lo kenapa bisa bego banget gitu, sih, Gwen?!” Rutuknya dalam hati
Gwen langsung bangkit dari duduknya dan meminta izin untuk ke kamar mandi kepada wali kelasnya. Begitu dia akan membuka pintu kelas dan keluar, sekali lagi, Gwen melirik ke arah Andrew. Laki-laki itu sedang asyik berebut pulpen dengan Arny. Gwen terpana. Belum pernah dia melihat senyum Andrew seperti itu sebelumnya. Hati Gwen serasa diiris dan diberi air jeruk nipis. Rasanya begitu perih. Dengan kesal, Gwen membanting pintu kelasnya dan langsung keluar. Sama sekali tidak sadar bahwa tindakannya barusan telah membuat sang wali kelas juga teman-temannya menoleh kaget ke arah pintu, termasuk Andrew. Laki-laki itu mengerutkan kening dan memikirkan alasan Gwen membanting pintu.
Jo memperhatikan kejadian itu dengan
senyum terukir di bibirnya. Laki-laki itu hanya terkekeh pelan dan melanjutkan
kembali aktivitas mencatatnya.
“Well, udah sangat jelas kalau ada
yang salah dengan persahabatan kalian, Gwen!” desis Jo.
♥
♥
Andrew menoleh ke kanan dan ke kiri.
Sudah dua puluh menit dia berdiri seperti patung penjaga di depan toilet cewek semenjak
Gwen izin ke kamar mandi, namun gadis itu belum juga kembali ke kelas. Andrew
jadi sedikit cemas dan takut kalau sesuatu terjadi pada Gwen. Bagaimana kalau
gadis itu sedang tidak enak badan dan pingsan di kamar mandi?
Dia menggeram kesal karena tidak ada satu orang murid perempuan yang ingin masuk ke dalam kamar mandi. Dia ingin meminta tolong untuk memastikan bahwa Gwen baik-baik saja di dalam sana. Menunggu selama itu membuatnya frustasi berat hingga hampir pecah batok kepalanya.
“Apa gue dobrak aja pintunya
yah?”
Andrew langsung melempar jauh – jauh
pikiran paling gila yang pernah muncul di otaknya itu. Kalau ada yang melihat,
apa yang harus dia katakan? Dia tak mungkin bilang gak liat tanda toilet cewek
segede baliho itu, kan?
Namun Gwen tak keluar dari tadi membuatnya gila. Saking gilanya, dia menggaruk kepalanya dengan kasar dna menghentakkan kaki frustasi ke lantai.
Namun Gwen tak keluar dari tadi membuatnya gila. Saking gilanya, dia menggaruk kepalanya dengan kasar dna menghentakkan kaki frustasi ke lantai.
“Lama-lama gue dobrak juga deh, nih,
pintu!”
“Lo ngapain, Ndrew?”
Andrew menoleh dan mendapati sosok
Arny sedang berdiri di hadapannya. Gadis itu terlihat bingung dan mengerutkan
keningnya karena Andrew berdiri layaknya satpam kurang kerjaan di depan pintu
kamar mandi perempuan karna mondar – mandir seperti setrika rusak.
Andrew menghela napas luar biasa lega ketika melihat pahlawannya muncul disaat di butuhkan. “Kebetulan lo datang, Ar.” Tanpa peduli dia sedang kebingungan, dia langsung menarik lengan Arny ke pinggir dan berbisik sangat pelan.
“Gue bisa minta tolong?”
Arny mengangguk ragu dan melirik ke
arah lengannya yang masih dipegang oleh mantan pacarnya itu. Ada desiran halus
dalam dadanya ketika Andrew memegang lengannya. Rasanya suhu tubuhnya mulai
meningkat dan darah dalam tubuhnya terserap keluar. Jantungnya berdegup liar
dan Arny harus berusaha sekuat tenaga agar tidak terlena dengan aroma tubuh
Andrew yang memabukkan dengan memasang wajah sedatar mungkin.
“Apaan?”
“Apaan?”
“Begini...” Andrew mendadak salah
tingkah harus mengatakan itu pada mantan pacarnya sendiri. “Si Gwen, dari dua
puluh menit yang lalu dia minta izin mau ke toilet, sampai sekarang belum
keluar juga. Gue takut dia kenapa-napa di dalam sana.”
“Gwen?” Ulangnya. Berusaha meyakini
diri sendiri kalau dia tak salah dengar.
Andrew mengangguk. “Bisa tolongin,
gue, kan?”
Arny merasa ada perasaan tidak
senang ketika mendengar nada cemas dalam suara Andrew. Raut wajah cowok itu
juga menunjukkan kekhawatiran yang sarat akan keadaan Gwen. Arny berusaha untuk
tersenyum dan meredam rasa cemburu yang mulai terbit dalam dirinya.
“Gue bisa kok. bisa dilepasin gak?” Andrew membalas senyuman Arny dan melepaskan pegangannya pada lengan gadis itu. Arny melangkah perlahan ke dalam kamar mandi, meninggalkan Andrew yang menunggu di luar dengan perasaan yang semakin tidak enak.
Beberapa detik seakan seperti setahun tanpa kabar yang pasti buat Andrew, ketika melihat Arny keluar. Andrew langsung mendekatinya dan menatap gadis itu tepat di manik mata.
“Gwen nggak ada di dalam, Ndrew…,”
lapor Arny. Andrew langsung mengerutkan keningnya.
“Lo yakin?”
Arny mengangguk. “Gue udah coba liat ke semua bilik, tapi Gwen nggak ada. Mungkin dia udah keluar dari kamar mandi.”
“Lo yakin?”
Arny mengangguk. “Gue udah coba liat ke semua bilik, tapi Gwen nggak ada. Mungkin dia udah keluar dari kamar mandi.”
“Tapi, dia nggak balik ke kelas.”
Andrew mulai panik dan kebingungan sekarang. Dalam hati, dia sudah berjanji
akan mengomeli Gwen habis-habisan karena sudah membuatnya khawatir seperti ini.
Gwen itu memang pintar kalau dalam urusan membuat dirinya kelabakan.
“Ndrew… Gwen itu udah gede, udah
dewasa. Kenapa lo sampai cemas dan panik kayak gitu, sih? Ini kan masih di
lingkungan sekolah. Gwen pasti baik-baik, aja.” Arny menyadari tingkah ganjil
Andrew dan mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa ralat sama sekali.
Andrew menghembuskan napas keras dan
mendesah berat. “Gwen itu sahabat gue, Ar. Gue nggak bisa nggak cemas dan nggak
peduli sama dia. Dia itu penting banget buat gue.”
Arny mengalihkan pandangannya dari
wajah Andrew menjadi mempelototi bak sampah dan mendengus. Rasa cemburu itu
hadir kembali dengan kuat. Mematikan seluruh akal sehatnya. Membakarnya dari
dalam. Sejujurnya, dia masih mencintai cowok yang berdiri di depannya ini. Yang
sedang mencemaskan keadaan sahabatnya ini daripada bertanya bagaimana hatinya
sekarang. Jujur, Dia ingin Andrew
kembali padanya dan balik ke Indonesia serta mencari keberadaan cowok itu karna
dia tak sanggup meninggalkannya. namun, entah kenapa, kehadiran Gwen yang bertitle sahabat dekat itu menghalanginya.
“Apa benar lo cuma nganggap dia
sebagai sahabat lo aja?”
Andrew mengerutkan kening. Tak mengerti arah pembicaraan Arny yang sekarang menatapnya tajam. “Maksud lo apa ngomong kayak gitu?”
Andrew mengerutkan kening. Tak mengerti arah pembicaraan Arny yang sekarang menatapnya tajam. “Maksud lo apa ngomong kayak gitu?”
“Cuma bingung aja. Tingkah lo itu
bukan seperti seorang sahabat, tapi lebih seperti orang yang lagi takut kalau
pacarnya kenapa-napa!”
Andrew berniat untuk membalas ucapan Arny, namun niat itu diurungkannya. Saat ini yang paling penting adalah menemukan Gwen. Andrew langsung meninggalkan Arny yang masih berdiri sambil memandang laki-laki yang mulai menjauh darinya itu dengan tatapan tajam dan mendecak kesal.
“Awas lo, Gwen!”
♥
♥
Gwen sengaja menghindari Andrew seharian ini. Setiap kali Andrew mendekatinya dan berusaha untuk mengajaknya bicara, Gwen akan langsung mencari seribu satu alasan dan gaya untuk menjauh dari Andrew. Entah kenapa kalau berada dekat dengan Andrew, dia jadi teringat lagi akan Arny yang selalu ada di dekat cowok itu seperti perangko dan amplop. Membuatnya entah kenapa dibakar oleh perasaan aneh dan paling ganjil.
Seperti pulang sekolah tadi, Gwen yang
asyik cekikan dengan Tiara, mendadak termangu melihat Andrew dan Arny duduk
berdua di taman sekolah. Entah apa yang mereka bicarakan, Gwen sendiri tidak
tahu. Awalnya, dia memang melihat Andrew dan Arny berbicara dengan serius.
Lama-kelamaan, keseriusan itu berubah menjadi canda tawa. Gwen bahkan belum
pernah melihat tawa Andrew yang seperti itu sebelumnya. Dan membuatnya langsung
tancap gas berlari ke parkiran dan berteriak nyaring agar Tiara cepat ikut
dengannya karna dia mendadak tak tahan lagi disini
Gwen memang merasa Andrew berusaha
mendekatinya untuk mengajaknya bicara, tapi, Gwen jauh lebih merasa Andrew
melupakannya. Gwen merasa Andrew sekarang jadi semakin dekat dengan Arny. Dan
entah kenapa hal itu membuatnya sakit. Seperti ditusuk tombak yang tak terlihat
wujudnya, namun terasa sakitnya.
“Gue merasa dilupakan!” Gwen langsung melemparkan bom molotov tanpa kearah Tiara yang saat itu asyik menyusun beberapa cerita untuk mading mereka. Gwen memutuskan mengungsi kerumah Tiara karna tak tahan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Seperti tadi, dia disuguhkan pemandangan Arny asyik mengobrol dengan Andrew di taman sekolah. Sangat mesra hingga hatinya entah kenapa merasa terbakar. Tatapan yang tak pernah ditunjukkan Andrew padanya itu sangat jelas terpancar saat dia berduaan dengan Arny. Seperti orang pacaran dan yang lainnya ngontrak. Termasuk dirinya.
Tiara memutuskan menghentikan pekerjaannya dan melirik Gwen yang duduk di ranjangnya dengan melipat tangan ke dada. Dia tersenyum geli. “Lo cemburu liat Andrew dengan Arny? Wajar kalii.. kan mereka mantan pacar yang sengaja putus karna keadaan.”
“Gue gak cemburu!” Gwen berteriak
dan meremas – remas boneka Panda Tiara yang dipegangnya dengan gemas. Saking
gemasnya, hampir saja dia ingin mengguntingnya dan menghamburkan isi boneka itu
ke lantai. Mendadak, hatinya semakin sakit saja.
“Apa wajar....” Dia terdiam. Matanya
menatap Tiara yang fokus ke arahnya sekarang. Sorot mata sahabatnya sangat
pengertian. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang kata kakaknya akhir
– akhir terlihat lelah. “Kalau pada akhirnya, gue suka dengan dia sedangkan dia
merasa nyaman dengan persahabatan ini?”
Tiara menghembuskan napas berat dan
memandang lembut Gwen. “Gwen, gue nggak tau, ya, apa ucapan gue ini emang benar
atau nggak. Cuma, beberapa orang pernah bilang kalau persahabatan antara
laki-laki dan perempuan itu nggak akan bisa berjalan dengan baik, karena salah
satu dari mereka pasti akan merasakan perasaan yang lebih daripada sekedar
sahabat. Seperti yang lagi lo alamin sekarang ini. Dari awal yang gue liat, lo
sama Andrew emang bukan terlihat seperti seorang sahabat, melainkan seperti
sepasang kekasih. Lo terlalu nyaman sama Andrew, sampai-sampai lo nggak sadar
kalau perasaan nyaman itu sekarang berubah menjadi cinta.”
Entah kenapa, ucapan Tiara yang
panjang lebar itu memancing air mata yang sudah beberapa hari ini tertahan di
pelupuk matanya. Ucapan sahabatnya itu seperti api yang membuat air mata yang
membeku lalu mencair dan akhirnya menetes tanpa ampun membasahi pipinya. “ Kalau
itu benar, kalau persahabatan gue memang ada cinta yang selama ini gak pernah
kami rasain, apa yang harus gue lakuin, Tiara?” tanya gadis itu dengan suara
serak. Air mata semakin membasahi pipinya “ Jujur, Gue nggak kuat liat dia sama
Arny berduaan terus. Ada yang sangat sakit dan berdarah disini, Tiara. Hati
gue.” Gwen menunjuk dadanya sendiri dan menangis terisak/. Dia tak sanggup
menahan sakit di hatinya yang semakin hari membuatnya tersiksa. Duduk sebangku
dengan Andrew, dekat, namun dia seperti melihat sekat tak tersentuh di antara
mereka. Setiap dia melihat Andrew berbicara dengan Arny atau cewek itu yang
mendekatinya dan memberikan tatapan tajam yang seolah diartikan “ngapain lo
disini? Bisa pergi gak?”, hatinya seperti tersayat – sayat tanpa ampun. Dia
ingin berteriak kesakitan, tapi yang dia lakukan hanyalah diam dan melihat
semuanya lalu menghilang sambil mengobati lukanya, dengan caranya sendiri.
Menghilang perlahan.
Tiara lagi-lagi menghembuskan
napasnya. Gadis itu kemudian meraih tubuh Gwen dan memeluknya. dia mengelus punggung
Gwen, hingga membuatnya semakin
menangis. Tubuhnya gemetar hebat tanda tak sanggup dia menahan kesakitan semua
ini. Ternyata, mencintai seseorang bisa membuatnya sedih dan menderita seperti
ini.
“Nggak akan ada yang bisa ngelawan
cinta atau menghindarinya, Gwen. Saran gue, lo nggak usah ngejauh dari Andrew.
Bersikap biasa aja. Seperti dulu sebelum lo gak punya perasaan ini. Jangan pernah
memaksa kalau lo harus melupakan perasaan cinta lo ke Andrew, itu justru malah
bikin lo tambah cinta sama dia dan lo akan semakin sakit. Gwen.”
Gwen mendengarkan semua nasihat Tiara dengan tangisan yang masih terdengar. dia mengangguk di bahu Tiara. Dia akan mencobanya. mencoba melupakan dan membunuh perasaan cinta yang mulai tumbuh untuk sahabatnya itu. Dia tidak ingin merusak persahabatannya dengan Andrew. Laki-laki itu terlalu memahami dirinya, hingga Gwen tidak bisa kalau tidak bersama Andrew.
“Tapi.. bagaimana bila gue tak
sanggup melakukannya? Bagaimana kalau gue semakin jatuh dalam jeratnya dan tak bisa berdiri tegak lagi?”
♥
♥
Sudah beberapa hari terakhir ini, Andrew merasa Gwen menjauhinya. Gadis itu memang masih berbicara dengannya, namun gadis itu seperti menjaga jarak dengannya. Seperti membuat sekat tak terlihat di depannya. Andrew sendiri tidak tahu apa sebenarnya. Tiap malam dia selalu memikirkan apa yang diperbuatnya hingga sahabatnya itu menjauh, namun dia tak menemukan jawaban. yang ada pertanyaan menggantung.
“Apa salah gue?”
“Gwen!”
Gwen tersentak ketika asyik berjalan
sendiri sambil melamun, dia merasa lengannya ditarik dan tubuhnya diputar
paksa. Gwen terkesiap ketika mendapati sosok Andrew tengah berdiri di depannya
dengan kening yang berkerut dan wajah yang kebingungan.
“Lo kenapa, sih, akhir-akhir ini kayak yang ngejauh dari gue?” Tanpa ampun cowok itu menyerangnya dengan pertanyaan yang sanggup membuatnya mati tanpa perlawanan.
Dia tergagap. Tak siap kalau harus ditanya seperti itu oleh Andrew. Gwen menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapapun yang bisa membantunya melarikan diri dari Andrew saat ini. Yang bisa dia jadikan kambing hitam untuk membuatnya kabur dalam situasi ini. Sayangnya, dia tidak bisa meminta tolong pada sembarang orang dan tak ingin mengorbankan, karena bisa-bisa akan terjadi pertumpahan darah. Dia cukup lama bersahabat dengan Andrew untuk tahu bahwa laki-laki itu paling tidak senang kalau ada orang yang tidak dikenal ikut campur urusannya.
“Ndrew… gue mau pulang, capek,” Lirihnya. Dia memang lelah. Lelah hati dan pikiran. Dia mencoba menghindar dengan berusaha melepaskan cekalan tangan Andrew pada tangannya, namun gagal. Andrew tidak berniat untuk melepaskan tangannya. Malah semakin erat hingga sedikit menyakitinya.
Andrew sadar gerakannya itu
menyakiti sahabatnya. Tapi dia harus tahu kenapa gadis itu berusaha menjaga
jarak darinya. Dia tak ingin setiap menutup mata, pikiran menggantung itu
menjadi penghias mimpinya.
“Kita mesti ngomong, Gwen. Gue mesti
ngomong sama lo,” balas Andrew tegas. Tanpa persetujuan, cowok itu langsung menarik
Gwen menuju taman belakang sekolah. Gwen berusaha memberontak, menjejakkan
kedua kakinya kuat-kuat di aspal, namun ternyata tenaga Andrew terlalu kuat
untuk dilawan.
“Andrew, gue bilang lepas!” seru
Gwen. Dengan mengerahkan seluruh cadangan kekuatan yang ada, Gwen menyentakkan
tangan Andrew dari tangannya begitu keduanya sudah sampai di taman belakang
sekolah. Andrew yang tidak biasa medapat perlakuan seperti itu dari sahabatnya,
hanya bisa mengerutkan kening dan menatapnya tajam. Sementara yang ditatap
hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Taman belakang sekolah ini sepi
karena jam sekolah sudah selesai.
“Kasih tau gue, apa salah gue!” Andrew mengucapkannya dengan penuh penekanan yang sanggup membuat lawannya terintimidasi. Gwen menghembuskan napas berat dan lelah untuk kesekian kalinya dan memejamkan kedua matanya. Dadanya bergemuruh hebat. Gadis itu mulai merasa matanya memanas. Air mata mulai siap membasahi pipinya lagi.
“Demi Tuhan, jangan menangis
sekarang, Gwen… jangan …”
“Lo selalu menghindar dari gue beberapa hari belakangan ini. Setiap gue ajak lo untuk ngobrol, lo selalu nyoba untuk nyari kesibukan, lo selalu ngalihin pembicaraan supaya lo bisa pergi dari gue. Kenapa, Gwen? Gue nggak ngerti kenapa lo perlakukan gue kayak begini. Salah gue, dimana?” Andrew mencecarnya dengan pertanyaan bertubi – tubi, tanpa ampun. Tanpa sadar bahwa setiap pertanyaannya itu, menyakiti hati sahabatnya yang sudah sangat rapuh. Saking rapuhnya hingga hembusan angin kecil bisa merubuhkannya tanpa tersisa. Tanpa bisa dia berdiri tegak lagi.
Gwen mencoba menahan isakan tangis yang sebentar lagi mengancam untuk keluar sambil mendengarkan pertanyaan sahabatnya tanpa dia bisa menjawabnya. Dia masih memejamkan kedua matanya tanpa berani membuka ketika dirasakannya dagunya disentuh lembut. Sentuhan itu membuat matanya terbuka dan mendapati Andrew tengah mengarahkan wajahnya untuk menatap laki-laki itu. Gwen bisa melihat tatapan putus asa dan frustasi dari kedua mata Andrew.
“Gwen… gue tersiksa kalau lo
perlakukan gue kayak gini tanpa gue tau apa salah gue….”
“Dan gue juga tersiksa menyimpan
perasaan cinta ini, sakit ini, tanpa bisa gue bagi sama lo! tanpa bisa lo tau
apa isi hati gue! Peka sedikit, Ndrew! Liat hati gue udah hancur! Liat serpihan
hati gue yang berserakan kemana – mana hingga menjadi serpihan terkecil setiap
gue liat lo sama Arny.”
Gwen menepis tangan Andrew dari dagunya. Dia menatap Andrew tepat di manik mata cowok itu yang sekarang menatapnya bingung.
“Lo nggak salah apa-apa, Ndrew, lo
sama sekali nggak salah apa-apa. Gue cuma lagi banyak masalah dan pikiran. Gue
cuma nggak mau libatin lo sama masalah gue yang satu ini. Gue mohon lo bisa
ngerti. Untuk sementara waktu, biarin gue sendiri dulu….”
“Dan kalau ada yang perlu
disalahin disini, gue yang salah. Salah karna dekat sama lo, salah karna
membiarkan perasaan asing ini masuk dan akhirnya menyakiti gue tanpa ampun. Parahnya
lagi, lo gak sadar, Ndrew. Lo seenaknya dekat dengan dia tanpa sadar, tanpa
menoleh sedikitpun, gue terluka.”
Andrew terperangah. Dia tidak menyangka Gwen benar-benar ingin menjauh darinya. Ada masalah apa sebenarnya? Apa yang sedang mengganggu pikiran gadis itu? Apa?
Gwen membalikkan tubuh dan berniat
untuk pergi, namun lagi-lagi Andrew menahan lengannya. Andrew membiarkan Gwen
membelakanginya. Andrew merasa tangan yang dicekalnya begitu dingin. Seorah
aliran darah mendadak tak mengalir di titik yang dia pegang sekarang.
“Gwen… kita sahabat, kan?” Tanyanya dengan nada sakit. Tak terima disuruh pergi tanpa tau apa – apa.
Gwen terdiam. Sama sekali tidak bisa menemukan suaranya. Sama sekali tidak sanggup untuk mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir Andrew dan menjawabnya.
“Lo tau apa gunanya seorang sahabat?
Sahabat akan selalu membantu sahabatnya yang lain apabila sahabatnya itu sedang
mengalami masalah. Apapun itu. Kapanpun itu. Dan gue… gue mau lo berbagi semua
masalah lo sama gue, Gwen. Gue mau lo limpahin semua masalah lo sama gue,
limpahin semua emosi lo, semua yang mengganggu pikiran lo, semuanya. Lo boleh
marah-marah sama gue, lo boleh maki-maki gue, lo boleh pukul gue, asal itu bisa
bikin lo senang, bisa bikin lo tenang, bisa bikin lo bebas, gue bersedia, Gwen.
Tapi, please… jangan jauhin gue, jangan menghindar lagi dari gue. Gue nggak
bisa, Gwen… gue tersiksa….”
“lo tersiksa karna tak tau
masalah gue, tapi lo tau apa yang buat gue tersiksa? Gak. Dan, apakah gue
sanggup melakukannya, Ndrew? Sanggup mengeluarkan isi hati gue yang semuanya
berasal dari lo? gak ada yang bisa buat gue tenang, buat gue bebas seperti
burung terbang ke angkasa selain bisa menghilangkan perasaan ini tanpa perlu
persahabatan kita hancur lebur, Ndrew. Gue sakit, gue terluka tanpa sadar. Dan
itu... membunuh gue. ”
Pertahanan Gwen mulai runtuh.
Benteng itu mulai pecah. Ucapan Andrew sangat membuatnya goyah. Bagaimana bisa
cowok itu melakukannya? Bagaimana bisa cowok itu membuatnya semakin
menyukainya? Curang! Andrew benar-benar curang! Dia tidak bisa melakukan hal
ini seenaknya pada Gwen. Andrew tidak boleh membuat dirinya menjadi seperti
ini.
Perlahan, seolah tau, Andrew menarik lengan Gwen, memutar tubuh gadis itu ke arahnya, dan mendekapnya erat. Angin berhembus pelan, memainkan rambut keduanya. Gwen tidak membalas pelukan Andrew. Meskipun saat ini, Andrew memeluknya dengan sangat erat. Dengan seluruh jiwanya. Dia merasakan ketentraman dan kedamaian ketika tubuh Gwen berada dalam tubuhnya, dalam pelukannya. Andrew merasa tenang.
“Gwen… jangan bikin gue seperti
orang gila. Gue gila karena lo menjauh dari gue. Gue gila karena lo menghindar
dari gue. Gue gila karena lo dekat dengan laki-laki lain, selain gue. Gue gila
karena lo menolak berbicara sama gue. Gue nggak bisa tanpa lo, Gwen, nggak
bisa… lo itu sahabat gue. Sahabat terbaik gue. Sahabat terdekat gue. Gue
kehilangan arah tanpa lo, Gwen….”
“Dan gue gila karna lo dekat
dengan dia tanpa gue bisa melakukan apa – apa, Ndrew.”
Tubuh Gwen mulai bergetar hebat.
Isakan pertama yang keluar dari bibir gadis itu membuat Andrew makin
mengeratkan pelukannya. Semakin dalam Andrew memeluknya, semakin menjadi tangis
Gwen. Gwen kini mulai melingkarkan lengannya di leher Andrew. Gadis itu
membiarkan tubuhnya didekap semakin kuat oleh Andrew. Gwen belum pernah
menangis seperti ini sebelumnya.
“Just one
more times,
one more moment to take you in my arms
one more moment to take you in my arms
One more
times, before i have to face
I know that day, and my heart break, again...
again...”
I know that day, and my heart break, again...
again...”
One More
Times – Kenny G.
Andrew sesak ketika sadar bahwa Gwen menangis tanpa dia tau kenapa. Cowok itu membiarkan Gwen menangis sepuas hatinya. Menangis sesegukan di bahunya yang kokoh. Rengkuhan kedua tangan gadis itu pada bahunya serta tubuh Gwen yang gemetar, membuat Andrew sadar bahwa masalah yang sedang dialami oleh Gwen mungkin sangat berat. Sampai-sampai gadis itu tidak ingin membaginya pada Andrew. Padahal, Andrew sangat ingin Gwen berkeluh-kesah padanya. Tentang apa saja. Semuanya.
Andrew sesak ketika sadar bahwa Gwen menangis tanpa dia tau kenapa. Cowok itu membiarkan Gwen menangis sepuas hatinya. Menangis sesegukan di bahunya yang kokoh. Rengkuhan kedua tangan gadis itu pada bahunya serta tubuh Gwen yang gemetar, membuat Andrew sadar bahwa masalah yang sedang dialami oleh Gwen mungkin sangat berat. Sampai-sampai gadis itu tidak ingin membaginya pada Andrew. Padahal, Andrew sangat ingin Gwen berkeluh-kesah padanya. Tentang apa saja. Semuanya.
Karena, Andrew mulai sadar bahwa dirinya menyukai Gwen.
Karena Andrew mulai sadar, kalau dirinya mempunyai perasaan yang lebih pada sahabatnya itu.
Tapi, Andrew tidak ingin membuat persahabatannya dengan Gwen hancur.
Maka, dia tidak akan mengatakan yang
sejujurnya pada Gwen.
Lalu… disebut keadaan seperti apakah
hal ini? Saling menyukai, saling membutuhkan, saling menyayangi, tanpa keduanya
sadari. Saling menginginkan tapi juga saling melukai satu sama lain. Saling
mencintai tapi juga saling membunuh perasaan masing-masing.
Andrew dan Gwen terjebak dalam keadaan dimana keduanya harus mempertahankan ego masing-masing, mengubur dan membunuh perasaan yang mulai tumbuh diantara keduanya, diatas label persahabatan.
“Persahabatan itu memang indah.
Tapi kenapa harus ada cinta di antaranya? Apa yang harus gue lakuin? Pergi,
atau mengatakan? Atau.. melupakan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar