Aku tersentak dari tidur-ayam disiang
hari ketika mendengar ponsel berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat siapa
yang menelponku.
“Halo..”
“Still
remembering me, Syrena?”
DEG!
Aku terdiam. Refleks menjauhkan ponsel
dan melirik layar yang masih berkedip. Tak ada nama. Keningku berkerut heran.
“Ini siapa?”
“Kau melupakanku ternyata, manis.”
Suara berat itu terdengar sedih. Cepat aku menggelengkan kepala. Membuang rasa
sedih sialan dihati. Tidak! Tidak! Aku tak boleh kasihan dengannya! dia tak
pantas mendapatkan secuil rasa kasihanku. “Kau memang pantas untuk dilupakan, kak
Khair.” Tanpa mendengar dia menjawab apa, aku langsung menekan tombol merah dan
melempar ponsel ke arah karpet berbulu. Tak peduli kalau itu membuatnya rusak.
Kantukku hilang. Yang ada aku
menelungkupkan wajah di antara lutut dan memeluknya dengan kedua tangan
melingkar dikaki. Rambut panjang menutupi wajah. Mendengar suara kak Khair,
cowok – yang sialnya masih ku cintai hingga saat ini, membuat pertahanan yang
kubuat selama 1 tahun hancur berantakan.
Aku menengadahkan kepala, menatap
langit – langit untuk mencegah kedua air mata – yang sialnya sekarang menetes
ini. Teringat masa – masa manis saat kami bersama tanpa ada kata pacaran, semua
itu hancur seketika ketika aku melihatnya di cafee berciuman dengan cewek lain! yang ku ingat saat itu hanyalah
berlari keluar tanpa tau apakah dia melihatku datang atau tidak. Aku tak
peduli. Yang kupedulikan saat itu adalah hatiku yang berdenyut sangat, sangat
sakit.
“kak Khair..” Aku mengucapkan namanya
dengan lambat. Nama yang membuat sisi hatiku berdenyut sakit hebat.
“Kenapa kamu muncul lagi? Aku ingin
lupa sama kamu.”
1 tahun yang lalu...
Kamulah
pandangan pertama yang membuat hatiku berbunga. Dan menjadi yang pertama ku
lupakan. Ketika kau menyakitiku.
“Dia siapa?” Tanyaku pada Regina,
teman kuliahku ketika cowok ganteng itu lewat didepan kami, melirik sekilas
lalu berbalik kearah lain. Entahlah, tatapan tajamnya tadi saat menatap kami
membuatku seketika salah tingkah, senyum manis ketika aku menoleh ke arah dia
yang tersenyum ketika temannya menyapa, gesture
tubuhnya yang tegap dan berkulit putih, wajahnya yang tampan dan berahang
tegas, tanda dia tipe keras kepala dan berpendirian kuat, serta suaranya yang
enak didengar. Membuatku betah menoleh ke belakang.
Aku tak sadar kalau Regina mengikuti arah
tatapanku dan terkikik. cepat – cepat aku berbalik dan menatapnya garang. Menyuruh
diam. “Lo gak tau siapa dia, Ren?”
“Kalau ada ngapain coba gue nanya,
Gin?” Tanyaku balik.
“Dia itu...” Dengan somplak Regina malah menunjuk cowok itu.
Buru – buru ku turunkan tangannya agar tak ada yang melihat bahwa kami baru
saja mengobrolkan orang lain yang jaraknya hanya beberapa meter. “Khair. Kaka
tingkat kita tuh. Penyiar radio, Syrena.”
“Penyiar radio?” Aku membeo. Kebetulan yang asyik.
“Iya. Dia setiap sore siaran. Kadang
malam juga iya, Gue sering dengarin soalnya.” Aku tau kalau Regina ini pecinta
Radio, tapi pengetahuannya tentang kakak itu membuatku bingung. Segitu cintanya
kah dengan media paling efektif sebelum Televisi itu hingga dia tau semua
jadwalnya? “Ciiee.. yang stalker.”
Godaku dan membuat pipi Regina yang putih bersih itu, memerah seketika.
“Bukannya gitu. Gue tau karna dia juga
sering siaran ama gebetan gue. Hati – hati loh, Syrena. Dia banyak yang naksir.
Banyak cewek yang deket sama dia. Semuanya diladenin. Tapi yang nyantol gak
ada.”
“Kok gitu?” Tanyaku sambil melangkah
ringan ke arah payung besar dan duduk bertopang dagu menatapnya. Dia tampan.
Aku mengakui itu. Tapi apakah dia pemilih?
“Karena Khair itu selera ceweknya
tinggi, Syrena.”
“Tinggi badan maksudnya?”
Dan sebuah jitakan melayang mulus ke
arah kepalaku sebagai jawabannya. “Bukan, Rena! Dia penyiar radio, otomatis dia
butuh cewek yang stylish untuk
imbangin dia dan pengetahuan yang luas. Susah, Syrena. Kalau bisa lo jangan
naksir sama dia. Hati lo akan sakit. Udah banyak bukti cewek yang sakit karna
dia.”
Aku tersenyum mendengar nasihat Regina
yang berapi – api agar tak jatuh dalam pesona Khair. Ah sahabat, kau terlambat
memperingatkanku. Karna...
Aku
menyukainya dalam sekali pandangan.
∞ ∞
Aku memperhatikannya dari jauh. Dia
sedang bercanda dengan teman – temannya di salah satu payung dengan laptop
didepannya yang berlogo Universitas dan Prodi tempatnya bernaung. Aku duduk tak
jauh darinya sambil mengambil novel dari dalam tas lalu diam – diam memperhatikannya.
Sejak curhat dengan Regina beberapa minggu yang lalu, bukannya aku mundur, yang
ada malah selalu memperhatikannya setiap dia berada dikampus, bertanya pada
teman – temanku yang akrab dengan teman – temannya itu dan semuanya memberikan
nasihat yang sama. “Jangan mencintainya
jika tak ingin terluka.”
Aku tak peduli. Aku menyukainya sejak
dia lewat didepanku dan melirik sekilas. Mungkin ini obsesi, tapi aku selalu
lewat didepannya sambil berharap dia menoleh dan menatapku. Tapi itu sia – sia belaka.
Jangankan menoleh, sadar aku lewatpun tidak.
“Syrenaa...” Aku menoleh dan melihat
Monica memanggilku dengan menenteng keyboard
di tangan kanannya. Cepat aku berdiri dan membantunya. “Ini yang gue maksud.”
Ucapnya nyengir ketika aku memegang sisi keyboard
itu.
Aku tertawa dan membantunya meletakkan
keyboard itu tepat didepan dimana
Khair sedang duduk dengan teman – temannya. Hal itu membuatku panas – dingin
seketika. Aku salah tingkah sendiri dan membuat Momon yang melihat itu,
tertawa. “Salting karna dia, heh?”
“Gak kok, Mon. Udah kelar, kan? Gue
cabut yah. Dadah...” tanpa menunggu jawaban, aku bergegas meninggalkannya
sebelum jantungku berhenti berdetak karna kehadiran Khair yang sangat dekat,
dan mengintimidasi. Padahal dia tak menoleh ke arah kami.
“Selamat siang semuanya di Free Campus Day! Hari ini gue pengen
denger Syrena nyanyi disini. Well, dia
sahabat gue kok.” Ucapan Momon tanpa dosa di microfon membuatku mengerang kesal. Sial beribu sial! Buat apa dia
membuat pengumuman disaat aku ingin lari?! Aku menoleh kesal Momon tersenyum
jahil kearahku. Aku menggeleng sebagai jawaban.
“Rupanya sahabat gue satu ini sangat
pemalu,” Ingin rasanya kusumpal mulutnya pakai penutup detergen agar diam saja.
Disaat aku siap kabur dengan tas selempang melingkar, tau – tau ada yang
menyeretku ke depan keyboard dan microfon yang tersedia, berjarak entah
berapa senti dari payung tempat dimana Khair bisa melihat bagaimana Momon
mempermalukanku.
“Nyanyi, Syrena. Satu lagu ajaa..”
“Gak!” Desisku ketika menatap Momon
yang berada dibelakang sambil menekan tuts – tuts keyboard. Tapi dia tak mendengarkanku. Malah memainkan satu lagu
yang membuatku terdiam. Mati kutu tentu saja!
Sialan!!!
Tatapan Khair tertuju pada kami
seutuhnya. Dan dia menatapku tajam yang membuat kakiku seketika berubah menjadi
arca. Astagaa.. tatapannya saja sudah membuatku begini, bagaimana kalau nanti
aku bicara dengannya?
“Syrena..” Desis Momon dibelakangku
sebagai usaha ntuk menarikku kedunia nyata. Ke dunia pekerjaanku yang sebagai
penyanyi freelance. Ketika intro terdengar, aku menghela napas.
meminta kekuatan.
“Kuhanya bisa memandangmu..
Dari jauh tanpa kau sadari
Ku hanya bisa mencintaimu..
Aku menatap kak Khair. Mencoba
membaca ekspresi wajahnya, Namun tetap saja datar. Tak ada gejolak, membuatku
kecewa. Namun, aku siapa? Aku Cuma pengagum yang hanya berani menatapnya dari
jauh. Stalking tanpa berbuat apa –
apa.
“Ooh..
Apakah pernah kau menyadari
Ku tak pernah henti menatapmu..
Ku hanya pengangum rahasiamu..
Regina Ivanova – Terlalu Indah.
Lagu ini menyindirku secara halus. Menelanjangi
isi hati tepat didepannya. Selesai menyanyikan lagu ini, terdengar bunyi tepuk
tangan dari beberapa orang yang menontonku sejak tadi. Aku mengucapkan terima
kasih sambil tersenyum dan sedikit membungkukkan badan kemudian mendongkak dan
menatapku tanpa ekspresi, tanpa tepuk tangan seperti yang lain. Dengan wajah
bosan dia berbalik memunggungiku dan berbicara dengan teman – temannya tanpa
menoleh.
Entah kenapa, melihat ekspresi
datarnya membuatku patah hati.
∞ ∞
Lirikan
tajammu sejak saat itu menggoda hati ntuk selalu bertanya, kenapa? Kau penasaran
denganku, atau ingin mempermainkan hatiku yang menyukaimu?
“Ren.. Rena...” Regina mencolek
lenganku heboh disaat aku lewat didepan kak Khair. Ntahlah, menyanyi didepannya
beberapa minggu tanpa respon sama sekali masih teringat jelas dan membuatku
kelabu seketika. Seperti awan mendung yang menggantung dilangit.
“Apaan, Re?” Aku melirik sebal sambil
melangkah ke arah satu payung untuk mengerjakan tugas Akutansi Biaya yang
membuatku ingin membenturkan kepala ke atas meja saking frustasi.
“Lo dilirikin kak Khair tuh daritadi!”
Aku tertawa sangat sumbang. Dia
melirikku? Hahaha! Lucu sekali teman. Mana mungkin dia melirikku setelah
beberapa minggu aku diabaikan bagai pot kembang yang tak menarik di mata.
“Bohong.” Ucapku sambil asyik berhitung. Tak mempedulikan dengusan Regina.
“Gue serius, Syrena Maharani! Dia
melirik lo daritadi!”
“Gak mungkin, Regina. Mana mungkin dia
lir...” Aku terdiam dan gerakan tanganku yang menulis terhenti seketika. Sumpah
demi apapun, Dia menatapku? Ciyusan?!
“Syrena... Lo gak papa, kan?”
“Re...” Aku shocked berat. Aku mengalihkan pandangan ke arah Regina dan
menatapnya lagi. Oh Tuhan! Dia masih menatapku tajam tanpa kedip! Apa maksudnya
coba?! Apa dia tak tau efek tatapan mata tajamnya itu membuat kaki dan tanganku
panas dingin tanpa sebab, jantungku berdetak tak keruan, dan aku tak bisa
berpaling lagi selain balas menatapnya?!
“Sejak kapan dia lirik gu.. eh,
maksudnya lirik kita, Re?” Aku berdehem ntuk menjernihkan tenggorokan yang mendadak
kerontang. Akal sehatku mengatakan mungkin dia melirik kami karna dari keluar
ruangan sangat heboh hingga menarik perhatian. Bukannya melirikku terang –
terangan. “Jangan terlalu pede, Syrena.
Gak mungkin dia lirik lo!”
“Sejak kita keluar ruangan tadi, Ren.
Awalnya dia lirik kita, terus matanya lirik ke lo dari lewat didepan dia sampai
sekarang.”
Aku tak bisa konsentrasi sekarang.
Mataku menatap dia – yang untungnya sedang
mengobrol dengan temannya. Cepat aku berpaling dan menatap Regina. “Muka gue
aneh yah?”
Tawa Regina yang melengking itu
membuatku buru – buru menutup mulutnya. Aku tak mau kak Khair menoleh kearah
kami lagi dan menatapku. Tatapannya sanggup membuat cara kerja otakku menjadi error! “Lo aneh, Syrena. Kenapa gak pede gitu? Wajar
kali kak Khair lirik lo.”
“gak wajar kalau dia hanya melirik
tanpa maksud apa – apa, Regina! Muka gue pasti ada yang aneh! Pasti!” Aku
langsung mengambil ponsel dan berkaca di layarnya. Mencari setitik kesalahan
fatal diwajah yang membuatnya menatapku.
“Syrena Maharani,” Regina malah
mengambil ponsel dan menatapku prihatin. “Pede, Syrena. Mungkin dia baru sadar
kalau lo itu ada makanya perhatiin daritadi.”
Aku melirik dia– yang sialnya entah
sejak kapan menatapku. Astagaa!!! Apa yang ada dipikirannya ketika melihatku
kasak – kusuk tadi? Pasti sangat memalukan. Oh Tuhan.. aku serasa ingin nyemplung saja kedalam bak sampah. “Gue
gak terbiasa diperhatiin dan itu aneh, Re. Belum lagi yang memperhatikan gue
itu gebetan sendiri.”
Regina menepuk pundakku pelan dan
matanya melirik kak Khair yang menatapnya. Dia tersenyum manis ketika
menatapku. Ntahlah apa arti senyuman itu, yang jelas itu aneh. “Biasakanlah
kalau begitu, Syrena.”
∞ ∞
Kejadian siang tadi dikampus masih
sangat jelas tercetak diotakku. Kak Khair tidak hanya sekilas melihatku, tapi benar – benar melihatku! Oh Tuhan... apa
yang dia pikirkan ketika melihatku? Anehkah aku? Atau aku hanyalah cewek yang
memancing rasa isengnya ntuk dibuat salting? Kalau itu benar, selamat! Aku
benar – benar salting!
Lelah karna perjalanan setengah jam
dari kampus menuju rumah mendadak hilang, tanpa masuk dalam rumah, aku
mengambil ponsel dan fokus menatap layar kemudian menekan icon Twitter dan mengetik usernamenya yang ku dapat dari temanku.
Cepat aku membaca semua statusnya yang mungkin – ada sedikit petunjuk yang
kutemukan dari tingkahnya yang memperhatikanku. Tapi, nihil. Aku tak
menemukannya selain tentang pekerjaaannya, beberapa tweet dia dan beberapa teman penyiarnya, dan...
Aku terdiam.
Beberapa isi tweetnya tentang bagaimana dia menyukai cewek berwajah manis yang
entahlah –apkah itu ceweknya atau bukan, aku tak tahu. Tapi membuatku hening
cukup lama. Apakah dia sudah punya pacar?
Aku tertawa sumbang dengan pertanyaan
terakhirku itu. Memangnya aku siapa jadi bertanya apakah dia punya pacar atau
tidak? Toh, tak ada urusannya denganku, bukan? Aku hanya seorang cewek yang
kebetulan menyukainya – bukan, jatuh cinta padanya hingga ntuk menatap matanya
saja sanggup membuatku panas dingin. Kenyataan ini membuatku tanpa sadar
menghela napas berat. Kuletakkan ponsel kembali dalam tas dan masuk dalam rumah
yang sudah terbuka sejak lama dan melangkah gontai masuk kamar. Fakta bahwa dia
–punya pacar seperti yang tersirat di status membuatku seketika galau.
Aku meletakkan tas di atas ranjang dan
menjatuhkan diri disebelahnya. Tatapanku menerawang di langit – langit kamar.
Tak menyadari bahwa Mpok Soimah, pembantuku sejak berada dalam kandungan
mengetuk pintu kamar pelan dan kepalanya menyembul masuk.
“Mbak Syrena, makan, yuk? Udah mpok
masakin tuh.”
Aku menggeleng. Pemikiran tadi
membuatku kehilangan nafsu makan. “Gak, Mpok. Rena udah kenyang.”
“Yasudah kalau gitu. Kalau mbak Rena
lapar, ntar bilang aja. Nanti Mpok masakin.” Mpok Soimah dengan senyumnya
menutup pintu kamarku dengan pelan. Meninggalkanku yang tersenyum samar.
Asyik merenung, tau – tau ponselku
berdering. Dengan malas aku membongkar tas dan mengambil ponsel lalu
meletakkannya di telinga. Nama Andini, teman sekaligus kakak tingkatku berkedip
– kedip. “Kenapa, kak?”
“Sibuk gak, Ren hari ini? Manggung
yuk!”
Mendengar kata “Manggung” membuat
semangatku serasa melonjak tinggi ke titik puncak. Spontan aku duduk bersila
dan mengangguk penuh semangat. Tersenyum sendiri ketika tau bahwa kak Andini
takkan melihat ekspresiku. “Gak kak. Ayuk! Dimana?”
Suara anak kecil khas kak Andini
terdengar manis ditelingaku. Senyumku semakin lebar mendengar suaranya itu.
“Kalau masalah manggung semangat aja. Jam 4 sore di Cafee Kuta. Gimana?”
“hahaa.. maklum, kak. Lagi bete
soalnya. Oke deh. Lagunya apa saja, kak?”
“Kita nyanyi bebas kok. Soalnya
temanku baru aja buka Cafee disitu yang kebetulan gabung juga dengan Radio Sky
yang berada di lantai dua. Jadi dia minta tolong sama gue ntuk nyari beberapa
teman yang bisa dongkrak cafeenya
gitu. Gimana?”
“Radio
Sky?” Aku mengulang nama itu dalam
hati. Kenapa aku merasa familiar dengan
nama itu? Kenapa jadi gugup begini?
“Boleh deh. Bayarannya gimana, kak?”
Candaku sembari mengurangi rasa gugup yang merajalela tanpa sebab sekarang.
Suara kak Andini semakin lucu
sekarang. “Mata duitan lo, dek! Ntar kita bahas deh. Datang aja gimana? Gue
tunggu deh. Penyiarnya ganteng – ganteng loh. Itung – itung lo bisa ngecengin
satu deh.” Godanya dan aku tersenyum simpul. Sorry to say, dear sister, tapi aku sudah punya satu penyiar ganteng yang
sedang menjerat akal pikiranku hingga tak sanggup melirik penyiar radio lain.
“hahahhaa.. iya, kak. Ntar kalau sudah nyampe,
Rena sms aja. Oke?”
“Oke.” Dan perbincangan kami terputus
dengan sendirinya. Aku menatap ponselku dan melempar ke samping sambil menutup
mata. Mencoba menghilangkan kegelisahan yang sekarang menggulung isi perutku
bagai ombak ganas.
∞ ∞
Kau
mendekat? iya. Kau memberiku harapan? iya. Tetapi kenapa kau malah
menjatuhkanku disaat aku berada di atas awan akan perhatianmu – yang ternyata
semu itu?
Aku buru – buru menaiki dua anak
tangga sekaligusmenuju cafee yang
berada di lantai dua. Setelah kak Andini menelpon, aku malah tertidur jam
terbangun pukul 15.45. Setegah sadar aku buru – buru berpakaian dan berlari ke garasi
lalu masuk dalam mobil dan menginjak gas dalam – dalam sambil berdoa sepanjang
perjalanan agar tak terjadi apa –apa. Kenapa? Karna aku paling anti telat kalau
sudah berurusan dengan pekerjaan ini.
Aku membuka pintu cafee dengan napas ngos –
ngosan dan memandang sekeliling. Panggung lumayan besar ada di tengah cafee bernuansa minimalis dengan dinding
didominasi walpaper manis berwarna
coklat dan hitam. Kursi – kursi yang
terbuat dari kayu dan bersofa empuk ini disusun melingkari meja dengan
fokus tatapan ke arah panggung. Aku menatap ke atas dan melihat sebuah ruangan
besar berdinding kaca yang ternyata adalah tempat siaran yang ternyata
bergabung dengan cafee teman kak
Andini. Tatapanku fokus ke arah lantai dua itu tanpa kedip, Memperhatikan
kesibukan dua penyiar yang terlihat dari samping sedang berbicara di depan
mikrofon dan headset hitam super besar
di telinganya sambil menatap layar laptop – mungkin membaca beberapa balasan
penggemar mereka di dunia maya. Sampai salah seorang penyiar itu menatap di
tempatku berdiri, seketika aku terdiam.
DIA!
Jantungku serasa lepas dan jatuh
berdebum ke lantai tanpa suara. Aku tak mungkin salah lihat sekarang. Mataku
tak mungkin rabun, apalagi katarak seketika! Aku sangat yakin itu kak Khair
sedang menatapku tanpa kedip dari lantai dua. Dia terlihat santai dan semakin
tampan saja dimataku dengan mengenakan baju kaos berwarna putih, rambut dibikin
berantakan, tatapan mata yang sangat tajam itu yang sialnya – tak terkejut
ketika melihatku, serta seulas senyum yang sering ia tunjukkan pada teman –
temannya, namun jarang padaku itu, membuatku tak bisa bergerak sekarang. Aku
terhipnotis sampai tak sadar tepukan lembut mengenai pundakku.
“Kenapa, Ren?” Kak Andini bertanya cemas sambil mengikuti
arah pandanganku. Mencari penyebab kenapa aku malah membatu di depan pintu. Cepat
ku gelengkan kepala dan tersenyum manis. Mengabaikan serangan gemetar mendadak
di sekujur tubuhku karna cowok sialan itu. “Gak, kak. Terpesona aja melihat
dekorasi cafeenya. Rena kira biasa
aja kayak cafee lainnya. Gak taunya beda banget.” Kilahku.
Fokus tatapan kak Andini seutuhnya ke
arahku. Wajahnya tersenyum. “Iya. Sebenarnya lumayan lama sih cafee teman gue ini. Tapi baru diresmiin
sekarang. Yuk..” Tanpa mempedulikanku yang masih gugup, dia mengajak naik ke
atas panggung. Tepat membelakangi ruangan siaran itu. Aku bisa menatap punggung
tegapnya dari sini. Setidaknya apabila ku bernyanyi nanti, aku takkan
terintimidasi oleh tatapannya.
“Syrena, ayoooo! Jangan bengong!” kak
Andini menyenggol lenganku sambil menyodorkan tab 10 inch yang berisi lirik lagu ku nyanyikan. Aku membaca dan
menelan ludah. Oh Tuhan.. kenapa terjadi lagi?!
Aku terdiam dan mencoba tersenyum
semanis mungkin ketika beberapa pengnjung cafee
menatapku sepenuhnya. Sesekali ku
melempar pandang ke lantai dua dan samar – samar mendengar dari pengeras suara
yang terpasang di tembok tentang siaran mereka. Suaranya, cara dia tertawa dan
menanggapi komentar dari penelpon, membuatku tersenyum tanpa sadar. Aku seperti
dekat dengannya, walau dari jauh.
Intro
musik yang dimainkan temanku mengalun merdu. Aku tersenyum dan mulai menyanyi.
“Ku perhatikan kau dari jauh,
kau jalani hidup tanpa jenuh,
mencari bahagia tanpa keluh,
Saat itu juga kau curi perhatianku.”
kau jalani hidup tanpa jenuh,
mencari bahagia tanpa keluh,
Saat itu juga kau curi perhatianku.”
Tanpa sadar aku tersenyum ketika
melihat dia – entah sejak kapan sudah di tengah penonton dan duduk di meja
kosong. Fokus antara menatapku – atau pemain band di belakangku yang mungkin
temannya ini. Dan dia balas tersenyum. Senyum manis yang membuat hariku merasa
begitu sempurna sekarang. Senyum yang kunantikan.
“mereka datang mendekat,
tapi mereka gagal melihat,
rasa sepi yang lama terpahat saat itu juga,
oh ku rasakan.. oh ku inginkan.”
tapi mereka gagal melihat,
rasa sepi yang lama terpahat saat itu juga,
oh ku rasakan.. oh ku inginkan.”
Aku tak peduli berapa lama aku
menunggunya. Yang jelas, aku akan selalu menyukainya. Tak peduli walau itu akan
menghabiskan waktu kuliahku.
Akan Ku tunggu, selalu ku tunggu,
sampai kau mau, melihatku sebagai yang
mengerti kamu, cintai kamu
kan ku temani perjalananmu, selamanya.”
sampai kau mau, melihatku sebagai yang
mengerti kamu, cintai kamu
kan ku temani perjalananmu, selamanya.”
*Sherina – Akan Ku Tunggu.
Tepukan meriah dari pengunjung
membuatku puas. Aku menatapnya dan dia tersenyum. Dengan malu aku membalas
senyum itu dan menatap kak Andini yang mengacungkan jempol. Aku terlalu bahagia
dengan apa yang kudapat hingga tak menyadari bahwa beberapa pengunjung mulai
menunjuk ke arah belakang dan melempar senyum menggoda. Membuatku bingung dan
spontan menoleh ke tempat yang mencuri perhatian. Pemandangan itu membuatku
terbelalak. Mendadak serasa ingin mati saja!
Dia naik ke atas panggung dengan gitar
akustik di tangan dan tersenyum ketika melihatku yang terperangah hingga lupa
menutup mulut. Tatapannya tajam ketika mendekat. “Boleh gabung?”
“Silahkan, kak.” Jawabku terbata –
bata. Seluruh kinerja otakku serasa mati total sekarang. Aku gugup!
Dia tersenyum lalu menarik kursi kecil
dibelakang ntuk diletakkan disampingku dan semuanya itu kuperhatikan dengan
jantung berdegup sangat kencang! Oh Tuhan.. Mimpikah aku? Kalau iya, Please jangan bangunkanku, Tuhan. Ini
terlalu indah dan nyata untuk menjadi mimpi. Terlalu khayal untuk jadi nyata.
Suaranya membuatku benar – benar sadar
bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata. “Hei, Tau lagu ini, gak?” Dia memainkan sebuah
lagu dan aku berkonsentrasi penuh ntuk mengingatnya. Sial! Pengaruhnya membuatku
lupa ingatan!
“Tau kok, kak.”
“Lo hapal?”
“Iya.”
“Bagus. Kita mainin ini aja, yah.”
Ucapnya dan tersenyum sambil memainkannya. Tak menyadari wajahku sudah merona
seperti kepiting seharian terebus.
Kita?
Kita?! Dia bilang Kita? Astagaa.. Indah sekali hari ini, Tuhan.
Permainannya yang manis membuat
senyumku semakin lebar. Ah.. aku semakin menyukainya.
“Especially for you.
I wanna let you know what I was going through,
All the time we were apart I thought of you,
You were in my heart, my love never changed,
I still feel the same.”
I wanna let you know what I was going through,
All the time we were apart I thought of you,
You were in my heart, my love never changed,
I still feel the same.”
Aku menoleh ke arahnya. Hatiku puas
sekali hari ini karna bisa dekat dengannya tanpa jarak. Aku puas memandangi
wajah tampannya yang sekarang tersenyum dengan lagu yang kubawakan ini. “Liat saja Kak Khair, kau akan terpesona
dengan suaraku nanti.” Batinku
berkata penuh percaya diri dan aku tersenyum sendiri. menertawakan
kekonyolanku.
“Especially for you.
I wanna tell you I was feeling that way too,
And if dreams were wings, you know,
I would have flown to you to be where you are,
No matter how far and now that Im next to you.
I wanna tell you I was feeling that way too,
And if dreams were wings, you know,
I would have flown to you to be where you are,
No matter how far and now that Im next to you.
*M.Y.M.P – Especially For You.
Di
ujung sana, Kak Andini bertepuk tangan heboh ketika kami selesai diatas
panggung, diikuti dengan pengunjung lainnya. Aku tersenyum super lebar dan
sedikit menundukkan badan. “Terima kasih.” Ucapku dan hatiku menjerit
kegirangan ketika tangan kananku dirangkul olehnya!
Aku menoleh
cepat dan ia menatapku. Tatapan tajam dan wajah tampan yang selalu kuperhatikan
dari jauh kini tepat dihadapan tanpa jarak, jemarinya panjang yang selalu ingin
kusentuh suat saat nanti, kini merangkul tanganku. Membuatku meleleh seperti
lilin terbakar.
“Gue suka
suara lo. Kapan – kapan kita duet lagi yah.”
“Dengan senang hati, kak.” Balasku cepat
dengan wajah yang kuyakin pasti merona padam. Pujiannya terdengar tulus dan aku
takkan menolak dua kali kalau ditawari duet dengannya. Dia mengajak duo pun aku
takkan berpikir lagi. Langsung main iya.
Dia tersenyum
dan kulihat ada lesung kecil di sebelah kirinya. Membuat wajahnya semakin bikin
mabuk kepayang. Kurasakan rangkulan ditanganku terlepas dan sebagai gantinya,
ia mengulurkan tangan. “Gue Khair. Lo?”
Aku tersenyum
super manis didepannya. “Syrena.”
∞ ∞
“Ciee... yang senyum daritadi.” Goda
Regina membuatku malusaat kami sedang istirahat di cafetaria kampus yang sangat sesak dan panas. Masih sangat ingat
dalam ingatan, setelah kami kenalan diatas panggung Cafee Kuta beberapa minggu
lalu, kami bertukar pin BlackBerry dan
saling bertanya kabar. Setiap hari pasti ada saja yang kami bahas dan ujung –
ujungnya saling menelpon tengah malam. Ah.. semua khayalan indah tentangnya itu
serasa menjadi kenyataan. Membuatku seperti melayang ke langit ketujuh saja
akan perhatiannya.
Perhatianku pada Regina yang sekarang
tersenyum menggoda menjadi tak menarik lagi ketika ponsel dikantong celanaku
bergetar hebat. Aku memundurkan badan untuk mengeluarkannya dan melihat siapa
yang menelpon. Dan senyumku semakin lebar saja.
“Halo...”
“Hai, Rena. Lagi ngapain, sayang?”
Aku tersenyum sambil menatap garang
kearah Regina yang mengolok – olokku dengan meletakkan sendok ketelinganya –
seolah itu ponsel dan mengubah suaranya yang cempreng itu menjadi suara kak
Khair. Pelototanku membuatnya tertawa. “Lagi makan aja kak. Kakak sendiri lagi
dimana? Ribut banget.”
“Lagi break siaran, Ren makanya nelpon lo. Eh.. gimana..” Dan percakapan
pun mengalir lancar hingga aku tak sempat lagi menyuapkan nasi goreng
kesukaanku. Fokus mendengar setiap kalimat yang terucap dari bibir tipisnya
itu, tersenyum meski tau dia tak bisa melihat, dan tertawa ketika joke – joke khasnya muncul. Aku bahagia
dengan semua ini. Sangat.
Tendangan jahil di bawah meja
membuyarkan semuanya. Aku menjerit pelan dan Regina tersenyum super jahil.
Seolah bangga dengan jeritan kecilku diantara tawa melengking. Dan aku
menghentikan kebahagiaan semu itu dengan menendang balik lututnya hingga dia
mengerang kesakitan dan melotot. Membuatku terkikik tanpa sadar.
“Kenapa, Ren?”
Aku tersenyum dan memeletkan lidah
ketika Regina mulai menunjukkan gejala gilanya. “Gak papa, kak Khair. Tadi ada
kerusuhan dikit.”
“Regina usil, yah?”
Dan aku tersenyum. Mengkhayal bahwa
sekarang dia duduk didepanku dengan tatapan tajamnya serta senyum yang
membuatku merona malu hanya karna menatapnya. “Bukan dia namanya kalo gak usil,
kak.”
Dan suara tawa kak Khair adalah suara
favoritku sekarang. “Syrena..”
“Iya, kak?”
“Udah dulu, yah. Gue mau siaran lagi
nih soalnya udah selesai break. Bye, Rena.”
“Bye
juga kak Khair.” Jawabku dengan sedikit tak rela karna telepon kami
terputus. Dengan galau ku masukkan ponsel dalam tas dan menatap Regina yang entah
sejak kapan terabaikan kini menatapku serius setelah melakukan berbagai hal
gila. “Kenapa, Re?”
“Hubungan lo dengan kak Khair gimana?”
“Yaaa.. biasa aja, Re. Ngopi bentar di cafee favorit dia,
terkadang nonton atau BBM-an. Yaaa..
kayak lo liat sekarang. Kenapa?”
“Lo pacaran gak sama dia?”
Aku menggeleng. Kami dekat, tapi tak
pacaran. Tapi.. apakah itu penting? Toh, orang dewasa macam dia sekarang pasti
tak butuh kata “I love You.” Untuk memperjelas suatu status. Cukup dengan
perhatian lebih, dan kebersamaan intens itu sudah sangat cukup menggambarkan
hubungan kami sekarang. Bahkan kemarin kami sempat berciuman di depan pintu cafee Kuta ketika hujan mengguyur deras
saat mendatanginya di tempat siaran. Aku tak tau siapa yang memulai, tau – tau
kami sudah saling berpelukan ditengah dinginnya malam dan menghangatkan tubuh
masing – masing dengan ciuman panasnya. Kurang dekat apalagi?
Aku menceritakan semuanya pada Regina
dan matanya membesar. “Lo tak minta kejelasan, Ren?”
“Gak, Re. Ciuman kemarin, perhatian
lebih dia selama ini dan betapa ributnya
ketika tau jadwal manggung gue dan menasihati gue panjang lebar untuk membuat schedule agar kami masih bisa ketemu,
sudah cukup bahwa kami sekarang pacaran.”
“Syrena...” Regina menatapku penuh
prihatin. Seolah – olah aku anak super polos akan jahatnya dunia dan dia
bertugas menyadarkan bahwa dunia terkadang tak seindah cerita dongeng. “Lo harus
minta kejelasan, Ren. Gue tau dia 3 tahun lebih tua dari lo hingga merasa tak
butuh tiga kalimat sakral itu untuk membuat suatu hubungan lebih. tapi apa
salahnya, Rena? Setidaknya itu bukti bahwa lo benar – benar milik dia. Bukan
Teman Tapi Mesra yang bisa ditinggal pergi kalau sudah bosan.”
“Kak Khair gak seperti itu, Regina.”
“Gue tau dia gak begitu. Masalahnya hubungan
lo sudah bukan antar kakak dan adik tingkat yang akrab lagi.. Gue tanya deh
sama lo, udah berapa orang yang nanya apa hubungan lo ama dia dan apa
jawabannya?” Serangan Regina membuatku terdiam. Dia benar, banyak yang bertanya
bagaimana hubungan kami dan aku kebingungan menjawab semua itu. Dibilang pacar,
dia tak pernah memperjelaskan hal itu, dibilang teman dekat, perhatian kami lebih
dari sekedar itu, pedekate? Itu
memancing olok – olok bahkan godaan massal dari mereka.
Melihat keterdiamanku, dia mendesah
seolah tau jawabannya tanpa perlu bertanya. “See? Tanyakan sekarang, Syrena sebelum menyukainya terlalu dalam.”
Dengan berat hati yang amat sangat dan
penuh kebimbangan, aku mengeluarkan ponselku dan membuka chat BBM kami dengan tatapan berat. Kutatap ponsel dan Regina
secara bergantian. perang antara logika dan hati karna ucapannya membuatku
mendesah. Logikaku menang telak dan menagih janji untuk direalisasikan.
Rena_Syrena.
Kak,
sibuk gak?
Aku mengetuk meja berulang kali
sambil menggigit jari telunjuk kananku karna gelisah menunggu balasannya.
Ketika nada Ping berbunyi, cepat
kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja kantin dengan napas memburu karna
penasaran.
So_Khair.
Sekarang
gak kok, manis. Kenapa?
Ini saatnya. Aku menatap Regina yang tersenyum
menyemangati. Ini memang harus ada ujungnya. Dan aku ingin tau kemana semua ini
berhenti.
Rena_Syrena.
Apa
artinya gue untuk lo, kak Khair?
∞ ∞
Aku tertunduk lesu. Sejak pertanyaan
itu, Kak Khair seolah menghilang dari Bumi. Dia tak pernah membalas chat BBM ku bahkan tak aktif, tak pernah
terlihat lagi di area kampus. Jangan ditanya bagaimana aku mencarinya, mulai
dari mendatanginya ke tempat siaran, ke kampus meski tak ada jadwal kuliah, tetap
saja tak bisa ditemukan. Seolah – olah dia lenyap seperti debu tersedot vacuum cleaner tanpa sisa.
“Syrena, melamun aja lo!” Tepukan
punggung Monica dan Regina membuyarkan lamunan. Aku menatap mereka berdua yang
duduk didepanku sambil membawa pesanannya. Kehilangan kak Khair yang mendadak
tanpa menjawab pertanyaanku membuat seluruh nafsu makan lenyap. Aku memandang
pesanan mereka tanpa selera sama sekali dan memilih menyeruput teh esku tanpa
gairah. Kelesuan hidupku ternyata membuat Regina berdecak kesal dan melayangkan
jitakan di kepalaku.
“Sakit, Re!”
“Lo senyum dikit napa?”
“Lagi males.”
Regina berdecak dan aku tak peduli.
Toh dia berdecak sampai lidahnya putus pun aku takkan bertemu dengan kak Khair.
Ah... mengingat namanya lagi membuat
hatiku berdenyut sakit. Dan ekspresi wajahku rupanya membuat Monica menghela
napas prihatin. “Ren, gimana kalo kita bolos kuliah dan cabut ke Papilon
Cafee?” Usulan jenius dari Momon yang rajin kuliah itu membuatku menoleh
takjub. Kalau yang mengusulkan ini adalah Regina, aku takkan heran karna dia
memang labil kalau urusan kuliah, tapi kalau Monica yang berkata begitu, itu
keajaiban yang perlu diabadikan. “Bolos? Yakin?”
“Yap. Gue lagi malas masuk soalnya.
Gimana Ren? Lo gak usah sok pasang wajah menolak deh, Re. Gak cocok!” Momon
menatapnya yang nyengir kuda. Hal itu membuatku tersenyum geli. Mungkin sejenak
ngilang dari puyengnya kampus membuat
otakku fresh. “Okedeh.” Ucapku sambil
berdiri dengan kunci mobil ditangan. Diikuti oleh kedua temanku yang buru –
buru berlari ke tempat mereka memesan makanan ntuk minta dibungkuskan agar bisa
makan di kost nanti.
Perjalanan menuju Papillon Cafee hanya
memakan waktu 10 menit kalau berjalan kaki. Ku putuskan tak membawa mobil dan
memilih berjalan saja karna malas mencari posisi yang pas mengingat tempatnya
sempit akan lahan parkir. Kedua temanku merangkul pundakku ketika sudah tiba
didepan pintu cafee yang berlatar
kaca buram itu. Salah satu tempat favorit kami.
Aku masuk kedalam sambil tertawa karna
Regina melemparkan lelucon sakit perutnya hingga kami terpingkal – pingkal
sambil menjelejahi isi cafee yang
bernuansa santai itu dengan sofa besar sebagai tempat duduknya, meja panjang
berukuran kecil , dan rak buku yang berisi koleksi bacaan menarik. membuatku
betah seharian. Senyumku masih melebar ketika masuk sebelum terhenti di satu
sudut. Langkahku membeku seketika.
Prang!
Di sudut cafee yang minim cahaya itu, aku melihat sangat jelas bahwa cowok
yang kucari hingga nyaris gila itu, kini duduk santai dengan seorang cewek
entah siapa. Sepinya cafee ini membuat mereka serasa berdua dan itu membuatku
hampir lemas ketika kak Khair mengelus wajah putih cewek itu dengan lembut,
kemudian mendekatkan diri ke arahnya sambil memegang dagu cewek itu dan
menciumnya!
Yah..
mereka berciuman tepat didepanku. Kau tau, kan bagaimana sakitnya itu? Sangat
hingga ingin mati saja rasanya.
` Aku
langsung berlari keluar tanpa mempedulikan mereka berteriak memanggilku. Aku
tak peduli dia tau aku melihat semuanya, aku tak peduli apakah dia mengejarku
atau tidak, yang kupedulikan sekarang hanyalah hatiku. Yah.. hatiku hancur.
∞ ∞
“Tak mau lagi, aku percaya.
pada semua kasih sayangmu.
tak mau lagi, aku tersentuh,
pada semua, pengakuanmu.”
pada semua kasih sayangmu.
tak mau lagi, aku tersentuh,
pada semua, pengakuanmu.”
Gitarku basah dengan air mata ketika
menyanyikan lagu ini. Masih ingat dalam ingatan aku berlari dari cafee itu menuju kampus dan langsung
pulang kerumah dengan membawa mobil kecepatan tinggi hanya untuk menghilangkan
sakit hati yang menggila. Sesampai dirumah, yang kutuju bukanlah kamar untuk
menghempaskan tubuh ke ranjang, melainkan halaman belakang yang menjadi tempat
pelarianku dan menangis terisak sambil memegang gitar yang ada diatas kursi gantung.
“Pergilah kau, pergi dari hidupku.
bawalah semua rasa bersalahmu,
pergilah kau, pergi dari hidupku,
bawalah rahasiamu, yang tak ingin,
Ku tahui.”
bawalah semua rasa bersalahmu,
pergilah kau, pergi dari hidupku,
bawalah rahasiamu, yang tak ingin,
Ku tahui.”
*Sherina – Pergilah kau.
“Syrena...”
Aku terdiam. Hatiku menjerit ketika
suara yang sangat kurindukan – kini menghancurkan itu berada tak jauh dimana
aku duduk. Aku tak mempedulikannya dan memilih menundukkan wajah. Tak sanggup
melihat wajah tampannya yang dulu membuatku tersenyum, kini membuatku menangis,
tangan hangatnya yang selalu merangkulku itu memegang kedua lututku dengan
posisi seolah – olah dia berlutut didepanku. Aku tak berani mendongkak. Tak
sanggup melihat pesona yang membuatku mabuk kepayang itu – kini menghancurkan
semua angan indah yang kumiliki selama ini.
“Look
at me, Syrena.”
“Pergi. Gue gak butuh lo disini.”
“Syrena..”
Aku menutup mata, mengunci hati. Tak sudi
terjerat sekali lagi akan wajah bersalahnya. “Buat apa lo kesini, kak? Lo bukan
siapa – siapa gue.” Kurasakan denyut sakit dihati ketika mengucapkan itu.
“Sialan, lo kak! Sialan!” Aku mendorong tubuhnya dan berjalan menjauh. Dia
mengikuti. “Ijinin gue jelasin sesuatu, Syrena.”
“Apa, kak? Jelasin kalau lo baru saja ciuman dengan kak Dewi yang kebetulan adalah sahabat gue sendiri? jelasin kenapa lo baru saja muncul setelah beberapa minggu lalu menghilang karna pertanyaan gue itu? Gue gak peduli sama semua alasan lo itu, kak! Gak peduli!”
Melihat dia terdiam menatapku.
Membuatku ingin menyerangnya. “Lo tau kenapa gue bertanya itu? Karna gue ingin
kejelasan dengan hubungan kita ini. Tapi rupanya gue sudah mendapatkannya dengan sangat jelas!” Aku menekankan
tiga kalimat itu dan menusuk dadanya dengan jari telunjuk. “Pergi, kak Khair.”
“Ijinin gue jelasin sesuatu, Syrena.
Lo salah paham.”
“Iya! Gue salah paham karna selama ini
berpikir lo cinta sama gue, padahal lo hanya ingin mempermainkan gue! Pergi!”
Aku emosi sekarang. Dia tak kunjung pergi. Malah menyentuh kedua lenganku dan
meremas kuat. Aku hentakkan dengan kasar.
“Lo mudah berkata semuanya salah
paham, berkata seolah – olah gue bodoh. tapi lo pikir gak bagaimana hati gue
ketika lihat semuanya tadi? Sakit, kak. Lo hancurin semua harapan yang gue
bangun tanpa sisa. Please, kak.
Pergi. Gue gak butuh alasan apapun dari lo. Yang gue inginkan lo pergi dan
jangan pernah muncul lagi.”
Fine!
Dia melepas cekalan dilenganku dan aku membuang wajah. Takut ketika aku
menatap wajahnya sekali lagi, semua benteng pertahanan yang kubangun akan
hancur dan membuatnya mendapat angin segar lalu menjelaskan semuanya versi dia
sendiri yang membuatku rapuh.
Aku merasa ia menjauh sekarang. “Gue
pergi, Syrena sesuai mau lo. Tapi satu hal yang lo harus tau dan camkan dalam
hati, gue gak menghilang. Gue mengawasi lo dari kejauhan dan hubungan gue
dengan Dewi tak ada apa – apanya. Gue tulus sama lo dan tak berniat main –
main. Maaf, kalo semua yang gue lakuin membuat lo sakit, Syrena.” Ucapnya dan
pergi meninggalkanku sendiri dengan gitar yang jatuh ke tanah.
“Kak Khair..”
Aku mendongkak dan dia menoleh.
Wajahnya terlihat berharap ketika aku memanggilnya. “Don’t pretend that you loving and caring me. Bilang aja lo gak
tulus dan hanya permainin hati gue, kak.”
Dia berbalik tanpa mengatakan apa –
apa lagi. Membiarkanku jatuh berlutut di tanah dengan air mata menetes deras.
Aku tak mempercayai setiap ucapannya. Semuanya palsu, bohong, apalah namanya
agar aku goyah.
Ya..
Dia bohong sama gue dan berakting menyesal agar gue goyah. Kuat, Syrena! Jangan
percaya!”
Tapi entah kenapa, hatiku kembali
sakit ketika berkata seperti itu.
“No. I don't believe you.
When you say don't come around here no more.
I won't remind you,
You said we wouldn't be apart.
When you say don't come around here no more.
I won't remind you,
You said we wouldn't be apart.
No, I don't believe you,
When you say you don't need me anymore.
So don't pretend.
To not love me at all.
I don’t believe you.”
*P!nk – I don’t Believe You.
∞ ∞
Khair.
Menginginkanmu,
Selalu.
“We simply fit together
like a piece of apple pie.
I will be vanilla ice cream,
And i'll sing you lullabies,
I will love you in the moonlight and i'll love you in the day.
Always.
I will be vanilla ice cream,
And i'll sing you lullabies,
I will love you in the moonlight and i'll love you in the day.
Always.
Gue terpesona mendengar suaranya yang mengalun merdu di
tengah kampus. Dengan cepat gue keluar ruangan dan mendekat untuk melihat siapa
pemilik suara bening yang sanggup membuat gue seolah tersedot ntuk kearahnya.
Cewek itu menyanyi dengan senyum lembut di wajahnya yang
putih bersih. Ketika ia membuka mata, bola matanya yang coklat – kehitaman itu
membesar dan menatap gue, lalu buru – buru berbalik ke arah lain. Gue tersenyum
sendiri, baru kali ini ada cewek yang melihat gue langsung berbalik.
“I will help you keep
your smile,
Promise me you'll stay awhile,
I will come when you need it,
And I'll help you when I can,
Promise me you'll stay awhile,
I will come when you need it,
And I'll help you when I can,
When I can.”
Tanpa sadar gue merangsek maju ke depan dan duduk tanpa
dosa disebelah Dekan yang rupanya dalang kenapa cewek itu berdiri di depan
panggung dengan wajah gugup. Menurut hasil pengalaman gue sebagai kakak tingkat
yang tau semua tingkah dosen yang rada nyeleneh disini, beliau asal tarik saja
ntuk ke atas panggung yang kosong itu ntuk menyanyikan sebuah lagu dan
terpesona akan itu. Suaranya sangat bening dan manis. Membuat gue betah disini
sampai malam asalkan dia menyanyi hanya ntuk gue.
“Bapak suka suara dia.”
“Saya juga, pak.” Gue menyetujui tanpa banyak cingcong.
Yah... suaranya membuat gue tak bisa berpaling kemana – mana.
“Stay with me.
Promise me you're never gonna leave,
Stay with me yeah.
Lets try to be the best that we can be,
Take our time.”
Promise me you're never gonna leave,
Stay with me yeah.
Lets try to be the best that we can be,
Take our time.”
*Colbie Calliat – Stay
With Me.
Dia menatap gue sekali lagi dan tersenyum. Pipinya yang
putih itu merona dan membuatnya terlihat cantik alami, matanya yang besar itu
semakin menarik di mata gue.
Yah... tanpa gue sadari,
dia benar – benar membuat gue terpesona dan jatuh cinta dengannya.
“Hei, Bro! Melamun
aja lo.” Tepukan Yogie di pundak membuat gue terperanjat. Kenangan pertama kali
gue bertemu dengannya saat dia masih semester 1 dan menyanyi di depan Dekan ntuk
pertama kali dengan suara yang luar biasa bening itu, terulang lagi dan membuat
gue galau.
“Mikirin Syrena?”
Seolah tau apa yang gue pikirkan, Yogie malah duduk disamping gue dan
menyeruput kopi yang ada diatas meja. Entah milik siapa dia tak peduli. “Lo
barusan nelpon dia, yah?”
Gue mengangguk.
Pertemuan pertama kami setelah setahun berlalu itu tercetak jelas di otak gue.
Dia menyanyi di cafee Kuta sambil
sesekali melirik kiri – kanan. Takut kalau – kalau gue muncul. Dengan sangat
berat hati gue melihat penampilan dia di ruang siaran dan mendengarkan suaranya
yang membuat benar – benar jatuh cinta itu dari jauh. tapi gue tak tahan
seperti ini, setelah dia selesai menyanyi dan buru – buru kabur, gue
menghampiri Andini yang kebetulan Koordinator tempat gue siaran dan memohon
sekuat tenaga agar memberikan nomor Syrena. Karna gadis itu ganti nomor ponsel
tepat kejadian sialan itu.
Ah.. seandainya saja dia tau. Gue benar –
benar menyesal mencampakkannya.
“Khair. Lo rencanain apa sekarang?” sohib gue satu ini rupanya tak sabaran dengan rencana brilian gue untuk mendapatkannya kembali. Gue tersenyum penuh rahasia. “Ada deh.”
“Lo benar – benar
ingin Syrena balik, kan? Gue bukannya gak terima lo balik sama dia, loh.” Dia
buru – buru menambahkan ketika gue menatapnya tajam. Mengingatkan dengan sangat jelas Syrena milik gue. Yah.. dia milik gue. “Cuma
gue gak mau lo diamukkin ama Andini lagi karna menyakiti dia. Gak tega gue, Bro.”
Gue tersenyum miris. Masih segar dalam ingatan Andini melabrak disaat
gue break siaran dan berteriak betapa
bajingannya gue berciuman dengan cewek lain, padahal status gue dekat dengan
Syrena. Yah... siapapun yang melihat gue berciuman dengan Dewi pasti mengira
gue berpacaran dengannya dan mengkhianati Syrena. Tapi, yang benar adalah, gue
mantannya Dewi dan mencium dia itu karna ingin mengetes hati gue sendiri yang
rada ababil apakah gue masih mengharapkan Dewi, atau malah berpaling ke Syrena.
Tapi rupanya keputusan konyol gue itu membuat dia salah paham.
Gue menatap Yogie
dan menepuk pundaknya. Dialah yang membantu gue menyusun semuanya ntuk
mendapatkan Syrena kembali. Yah.. gadis pemalu yang sanggup membuat gue tak
bisa berpaling lagi. Dari awal gue sudah memperhatikannya, tapi cuek saja
ketika dia menoleh balik. Sampai dia menyanyi sekali lagi dengan suara
indahnya, gue tak tahan hanya terus memandang tanpa mendekatinya. Ketika kami
dekat, gue semakin terjerat dan tak berniat kabur.
“Gue yakin, Gie.”
Menginginkanmu selalu, Syrena Maharani.
∞ ∞
Aku berada di dalam
Cafee Kuta dengan napas berat. Yah...
Yogie, salah satu temanku menelpon dan meminta agar aku menyanyi disini sampai
jam 7 malam. Hatiku ingin menolak, tapi tak tega karna suaranya benar – benar
memohon. Membuatku mengiyakan dengan pasrah dan sekarang berdiri disini.
Telpon dari Khair siang
tadi menganggu benakku. Apakah dia ada disini?
Apakah kami bertemu lagi? Banyak
pertanyaan yang menari usil di kepalaku, menggoda imanku ntuk berlari dari sini
dan menelpon Yogie ntuk berbohong bahwa aku tak bisa datang.
Sebelum aku
berbalik untuk kabur, tau – tau ada yang merangkul pundakku dari belakang dan
membuatku terperanjat dan menoleh. Yogie tersenyum manis tanpa dosa. “Udah
lama, Ren?”
Aku tersenyum paksa
dan merutuk kenapa tidak daritadi saja melarikan diri agar tak terjebak disini.
Tanpa sadar pemikiran itu membuatku menghela napas berat. “Kenapa, Ren? Lo
sakit?” Tanya Yogie melihat ekspresi wajahku yang mungkin sedang kacau ini.
“Gak kok. Yuk..”
Yogie mengangguk
dan merangkul pundakku. Perlakuannya ini membuatku teringat dengan apa yang
dilakukan kak Khair setiap aku mampir kesini. Huft... Setahun sudah kami berpisah tak jua membuat bayangannya
hilang dari memori. “Lo duduk disini aja, Ren. Kami lagi check sound system soalnya. Jadi makan waktu beberapa menit gitu.
Gak papa, kan?”
Tanpa sadar Yogie
menuntunku duduk dikursi paling depan. Aku mengangguk. Toh, check Sound System tak pernah lama dan
aku bisa menunggu sambil membaca novel. “Oke deh. Tapi biayanya nambah yah.”
Godaku sambil tersenyum jahil. Dia tertawa. “Mata duitan lo, Ren. Gue tinggal
yah.” Ucapnya dan bergegas naik ke lantai dua yang kutau adalah ruang siaran.
Aku membuka tas dan
mengambil novel lalu membacanya. Terhanyut akan kisah romantis yang ditulis
disini, tak sadar bahwa ada kejutan di atas panggung. Ketika aku mendongkak
karna mendengar bunyi petikan gitar yang sangat ku kenal, aku melihat seseorang
yang sangat, sangat kuhindari.
Kak Khair duduk di atas panggung sambil memgegang gitar dan
menatapku dalam.
Aku menutup buku
dan bergegas meninggalkan cafee yang
mulai terasa sesak. Melihatnya seperti mengingatkan kenangan pahit yang ingin
kubuang jauh – jauh itu. Tidak! Aku tak sanggup satu ruangan dengannya.
“Lagu ini gue
persembahin ntuk Syrena Maharani yang sekarang berdiri di tengah ruangan. Please, dengarin gue sekali ini saja. Setelah itu lo
boleh pergi ninggalin gue, Rena.” Ucapannya yang lembut itu menggoyahkan
sedikit pertahananku. Aku berdiri namun tak berpaling. Memberinya sedikit
harapan seperti yang ia lakukan dulu, lalu menghempaskannya tanpa ampun.
“Hey baby listen to me carefully.
Come and sit beside me.
I’ll tell you everything about me.”
Come and sit beside me.
I’ll tell you everything about me.”
Hampir saja aku ingin menangis. Dia
menyanyikan salah satu lagu favoritku setiap kami bersama. Suaranya memang
biasa saja, tapi dia menyanyikan itu yang membuatku tak bisa berkata apa – apa.
Stay stay with me.I will be your lover.
I will be your everything.”
*Mocca – Listen to me.
Aku mengabaikan teriakan hati yang ingin berlari dan memeluknya erat diatas panggung sambil berkata bahwa aku memaafkannya. “Syrena! Kuatkan hati lo! Dia Cuma ingin mempermainkan lo!” Teriak sudut hatiku yang lain dan aku mengiyakan. Dengan mantap aku berjalan menuju pintu. Namun, suara petikan gitar memainkan musik lain, namun sangat ku kenal, mengguncang emosiku.
“Stay with
me.
Promise me you're never gonna leave.
Promise me you're never gonna leave.
Stay with me.
Lets try to be the best the we can be,
Take our time.”
Dia menyanyikan dua lagu secara medley dan semuanya adalah lagu yang
pernah kunyanyikan dan kusuka. Seolah tidak cukup, dia berganti lagi. Dan kali
ini, pertahananku runtuh.Lets try to be the best the we can be,
Take our time.”
“Especially for you.
I wanna tell you, you mean all the world to me.
How Im certain that our love was meant to be.
You changed my life, you showed me the way.
And now that, Im next to you.”
*M.Y.M.P - Especially For You.
Aku tak sadar bahwa Kak Khair sekarang berdiri di belakangku. Hela napasnya sangat terasa di atas kepalaku. “Come back to me please, Syrena Maharani.”
Aku tak menghiraukannya. Terdengar ia mendesah putus asa. “Gue cinta sama lo, Syrena Maharani.”
Hatiku berteriak girang agar aku mengiyakan saja dan melupakan semuanya. “Tidak. Tidak. Dia pasti bohong. He’s a liar, Rena.”
“Kalau lo masih marah karna kejadian setahun yang lalu, Gue akan jelasin. Dewi itu mantan pacar gue dan kami ciuman itu karna...gue ingin yakinin diri sendiri bahwa gue benar – benar bisa melepas Dewi.” Menyadari aku diam saja, dia terdengar frustasi “Please, say something, Rena.”
“Lo benar – benar mainin hati gue, kak.” Ucapku dan setengah berlari menuju pintu cafee. “yakinin hati ntuk melepas Dewi? Jadi selama ini dia samain gue dengan ka Dewi, atau parahnya gue pelarian? Ya Tuhan..” Hatiku berdenyut sakit memikirkan hal itu sembari berlari menuju parkiran. Aku ingin pergi kemana saja asalkan tak disini. Satu ruangan dengan cowok yang membuatku nangis darah.
“Syrena!” Dia menangkap lenganku tepat aku siap masuk dalam mobil. Aku ditariknya kasar kemudian didorong kemobil dan ia menutup akses pelarianku dengan memegang sisi kiri dan kananku. Tatapan matanya menakutkan. “Lo bukan pelarian, Syrena. Gue benar – benar cinta sama lo. Masalah gue menghilang saat itu karna jujur gue ragu dengan hubungan kita, tapi ketika lo pergi...” dia menghela napas dan menatapku dalam. “Gue sadar kalau gue benar – benar milih lo. Bahkan ketika gue mencium Dewi, malah lo yang ada disini, Rena.”
Aku menatapnya dalam. Mencari kejujuran pada setiap ucapannya di mata yang bersorot tajam itu. Dia menatapku tanpa kedip seolah meyakinkan bahwa semuanya itu benar. “Lo benar – benar sayang sama gue, kak?”
Dia tersenyum dan mengecup keningku penuh sayang. “Kalau gue gak sayang sama lo, gue gak akan disini mengejar lo, gak akan menyanyikan lagu didepan banyak orang dengan suara pas – pasan.” Guraunya dan memelukku sangat erat.
“Aku mencintaimu, Syrena Maharani. Please, believing me once again.”
Aku melepas pelukannya dan mendorong ia menjauh. Ku gelengkan kepalaku. “Gak, kak. gue gak bisa.”
Dia terhenyak kaget dan meremas kedua lenganku. “Syrena! Gue serius! Gue..”
“Maksudnya..” Aku membungkam mulutnya dengan meletakkan jari telunjukku. Tatapan matanya yang panik ketika aku menolaknya, perlakuannya yang romantis mengingat dia tipikal cuek, dan kejujuran yang kental dari matanya membuatku yakin akan ini. “Gue gak bisa ntuk menolak ucapan cinta lo, kak.”
Matanya melotot dan memegang jariku lalu menciumnya. Tanpa peringatan, dia menarikku dan menciumku penuh lembut. Kedua tangannya melingkar posesif dipinggangku seolah tak ingin terlepas. Dan aku merangkulkan tangan di lehernya.
“I love You, Syrena.”
“Love you too.”
“Let me love you, With all my heart.
You are the one for me.
You are the light in my soul.
Let me hold you, With my arms.
I wanna feel love again.
And I know, Love is you.”
*Ten2Five – Love Is You.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar