Senin, 25 November 2013

Cerpen - Especially for You. (Menginginkanmu, Selalu)



          Aku tersentak dari tidur-ayam disiang hari ketika mendengar ponsel berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelponku.
          “Halo..”
          Still remembering me, Syrena?”
          DEG!
          Aku terdiam. Refleks menjauhkan ponsel dan melirik layar yang masih berkedip. Tak ada nama. Keningku berkerut heran. “Ini siapa?”
          “Kau melupakanku ternyata, manis.” Suara berat itu terdengar sedih. Cepat aku menggelengkan kepala. Membuang rasa sedih sialan dihati. Tidak! Tidak! Aku tak boleh kasihan dengannya! dia tak pantas mendapatkan secuil rasa kasihanku. “Kau memang pantas untuk dilupakan, kak Khair.” Tanpa mendengar dia menjawab apa, aku langsung menekan tombol merah dan melempar ponsel ke arah karpet berbulu. Tak peduli kalau itu membuatnya rusak.

          Kantukku hilang. Yang ada aku menelungkupkan wajah di antara lutut dan memeluknya dengan kedua tangan melingkar dikaki. Rambut panjang menutupi wajah. Mendengar suara kak Khair, cowok – yang sialnya masih ku cintai hingga saat ini, membuat pertahanan yang kubuat selama 1 tahun hancur berantakan.

          Aku menengadahkan kepala, menatap langit – langit untuk mencegah kedua air mata – yang sialnya sekarang menetes ini. Teringat masa – masa manis saat kami bersama tanpa ada kata pacaran, semua itu hancur seketika ketika aku melihatnya di cafee berciuman dengan cewek lain! yang ku ingat saat itu hanyalah berlari keluar tanpa tau apakah dia melihatku datang atau tidak. Aku tak peduli. Yang kupedulikan saat itu adalah hatiku yang berdenyut sangat, sangat sakit.
          “kak Khair..” Aku mengucapkan namanya dengan lambat. Nama yang membuat sisi hatiku berdenyut sakit hebat.

          “Kenapa kamu muncul lagi? Aku ingin lupa sama kamu.”

            1 tahun yang lalu...

          Kamulah pandangan pertama yang membuat hatiku berbunga. Dan menjadi yang pertama ku lupakan. Ketika kau menyakitiku.

          “Dia siapa?” Tanyaku pada Regina, teman kuliahku ketika cowok ganteng itu lewat didepan kami, melirik sekilas lalu berbalik kearah lain. Entahlah, tatapan tajamnya tadi saat menatap kami membuatku seketika salah tingkah, senyum manis ketika aku menoleh ke arah dia yang tersenyum ketika temannya menyapa, gesture tubuhnya yang tegap dan berkulit putih, wajahnya yang tampan dan berahang tegas, tanda dia tipe keras kepala dan berpendirian kuat, serta suaranya yang enak didengar. Membuatku betah menoleh ke belakang.
          Aku tak sadar kalau Regina mengikuti arah tatapanku dan terkikik. cepat – cepat aku berbalik dan menatapnya garang. Menyuruh diam. “Lo gak tau siapa dia, Ren?”
          “Kalau ada ngapain coba gue nanya, Gin?” Tanyaku balik.
          “Dia itu...” Dengan somplak Regina malah menunjuk cowok itu. Buru – buru ku turunkan tangannya agar tak ada yang melihat bahwa kami baru saja mengobrolkan orang lain yang jaraknya hanya beberapa meter. “Khair. Kaka tingkat kita tuh. Penyiar radio, Syrena.”
          “Penyiar radio?” Aku membeo. Kebetulan yang asyik.
          “Iya. Dia setiap sore siaran. Kadang malam juga iya, Gue sering dengarin soalnya.” Aku tau kalau Regina ini pecinta Radio, tapi pengetahuannya tentang kakak itu membuatku bingung. Segitu cintanya kah dengan media paling efektif sebelum Televisi itu hingga dia tau semua jadwalnya? “Ciiee.. yang stalker.” Godaku dan membuat pipi Regina yang putih bersih itu, memerah seketika.
          “Bukannya gitu. Gue tau karna dia juga sering siaran ama gebetan gue. Hati – hati loh, Syrena. Dia banyak yang naksir. Banyak cewek yang deket sama dia. Semuanya diladenin. Tapi yang nyantol gak ada.”
          “Kok gitu?” Tanyaku sambil melangkah ringan ke arah payung besar dan duduk bertopang dagu menatapnya. Dia tampan. Aku mengakui itu. Tapi apakah dia pemilih?
          “Karena Khair itu selera ceweknya tinggi, Syrena.”
          “Tinggi badan maksudnya?”
          Dan sebuah jitakan melayang mulus ke arah kepalaku sebagai jawabannya. “Bukan, Rena! Dia penyiar radio, otomatis dia butuh cewek yang stylish untuk imbangin dia dan pengetahuan yang luas. Susah, Syrena. Kalau bisa lo jangan naksir sama dia. Hati lo akan sakit. Udah banyak bukti cewek yang sakit karna dia.”
          Aku tersenyum mendengar nasihat Regina yang berapi – api agar tak jatuh dalam pesona Khair. Ah sahabat, kau terlambat memperingatkanku. Karna...
          Aku menyukainya dalam sekali pandangan.

∞ ∞

          Aku memperhatikannya dari jauh. Dia sedang bercanda dengan teman – temannya di salah satu payung dengan laptop didepannya yang berlogo Universitas dan Prodi tempatnya bernaung. Aku duduk tak jauh darinya sambil mengambil novel dari dalam tas lalu diam – diam memperhatikannya. Sejak curhat dengan Regina beberapa minggu yang lalu, bukannya aku mundur, yang ada malah selalu memperhatikannya setiap dia berada dikampus, bertanya pada teman – temanku yang akrab dengan teman – temannya itu dan semuanya memberikan nasihat yang sama. “Jangan mencintainya jika tak ingin terluka.”
          Aku tak peduli. Aku menyukainya sejak dia lewat didepanku dan melirik sekilas. Mungkin ini obsesi, tapi aku selalu lewat didepannya sambil berharap dia menoleh dan menatapku. Tapi itu sia – sia belaka. Jangankan menoleh, sadar aku lewatpun tidak.
         
          “Syrenaa...” Aku menoleh dan melihat Monica memanggilku dengan menenteng keyboard di tangan kanannya. Cepat aku berdiri dan membantunya. “Ini yang gue maksud.” Ucapnya nyengir ketika aku memegang sisi keyboard itu.
          Aku tertawa dan membantunya meletakkan keyboard itu tepat didepan dimana Khair sedang duduk dengan teman – temannya. Hal itu membuatku panas – dingin seketika. Aku salah tingkah sendiri dan membuat Momon yang melihat itu, tertawa. “Salting karna dia, heh?”
          “Gak kok, Mon. Udah kelar, kan? Gue cabut yah. Dadah...” tanpa menunggu jawaban, aku bergegas meninggalkannya sebelum jantungku berhenti berdetak karna kehadiran Khair yang sangat dekat, dan mengintimidasi. Padahal dia tak menoleh ke arah kami.

          “Selamat siang semuanya di Free Campus Day! Hari ini gue pengen denger Syrena nyanyi disini. Well, dia sahabat gue kok.” Ucapan Momon tanpa dosa di microfon membuatku mengerang kesal. Sial beribu sial! Buat apa dia membuat pengumuman disaat aku ingin lari?! Aku menoleh kesal Momon tersenyum jahil kearahku. Aku menggeleng sebagai jawaban.
          “Rupanya sahabat gue satu ini sangat pemalu,” Ingin rasanya kusumpal mulutnya pakai penutup detergen agar diam saja. Disaat aku siap kabur dengan tas selempang melingkar, tau – tau ada yang menyeretku ke depan keyboard dan microfon yang tersedia, berjarak entah berapa senti dari payung tempat dimana Khair bisa melihat bagaimana Momon mempermalukanku.
          “Nyanyi, Syrena. Satu lagu ajaa..”
          “Gak!” Desisku ketika menatap Momon yang berada dibelakang sambil menekan tuts – tuts keyboard. Tapi dia tak mendengarkanku. Malah memainkan satu lagu yang membuatku terdiam. Mati kutu tentu saja!

          Sialan!!!
         
          Tatapan Khair tertuju pada kami seutuhnya. Dan dia menatapku tajam yang membuat kakiku seketika berubah menjadi arca. Astagaa.. tatapannya saja sudah membuatku begini, bagaimana kalau nanti aku bicara dengannya?
          “Syrena..” Desis Momon dibelakangku sebagai usaha ntuk menarikku kedunia nyata. Ke dunia pekerjaanku yang sebagai penyanyi freelance. Ketika intro terdengar, aku menghela napas. meminta kekuatan.

Kuhanya bisa memandangmu..
Dari jauh tanpa kau sadari
Ku hanya bisa mencintaimu..

          Aku menatap kak Khair. Mencoba membaca ekspresi wajahnya, Namun tetap saja datar. Tak ada gejolak, membuatku kecewa. Namun, aku siapa? Aku Cuma pengagum yang hanya berani menatapnya dari jauh. Stalking tanpa berbuat apa – apa.

Ooh..
Apakah pernah kau menyadari
Ku tak pernah henti menatapmu..
Ku hanya pengangum rahasiamu..

Regina Ivanova – Terlalu Indah.

          Lagu ini menyindirku secara halus. Menelanjangi isi hati tepat didepannya. Selesai menyanyikan lagu ini, terdengar bunyi tepuk tangan dari beberapa orang yang menontonku sejak tadi. Aku mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan sedikit membungkukkan badan kemudian mendongkak dan menatapku tanpa ekspresi, tanpa tepuk tangan seperti yang lain. Dengan wajah bosan dia berbalik memunggungiku dan berbicara dengan teman – temannya tanpa menoleh.

          Entah kenapa, melihat ekspresi datarnya membuatku patah hati.

∞ ∞

          Lirikan tajammu sejak saat itu menggoda hati ntuk selalu bertanya, kenapa? Kau penasaran denganku, atau ingin mempermainkan hatiku yang menyukaimu?

          “Ren.. Rena...” Regina mencolek lenganku heboh disaat aku lewat didepan kak Khair. Ntahlah, menyanyi didepannya beberapa minggu tanpa respon sama sekali masih teringat jelas dan membuatku kelabu seketika. Seperti awan mendung yang menggantung dilangit.
          “Apaan, Re?” Aku melirik sebal sambil melangkah ke arah satu payung untuk mengerjakan tugas Akutansi Biaya yang membuatku ingin membenturkan kepala ke atas meja saking frustasi.
          “Lo dilirikin kak Khair tuh daritadi!”
          Aku tertawa sangat sumbang. Dia melirikku? Hahaha! Lucu sekali teman. Mana mungkin dia melirikku setelah beberapa minggu aku diabaikan bagai pot kembang yang tak menarik di mata. “Bohong.” Ucapku sambil asyik berhitung. Tak mempedulikan dengusan Regina.
          “Gue serius, Syrena Maharani! Dia melirik lo daritadi!”
          “Gak mungkin, Regina. Mana mungkin dia lir...” Aku terdiam dan gerakan tanganku yang menulis terhenti seketika. Sumpah demi apapun, Dia menatapku? Ciyusan?!
          “Syrena... Lo gak papa, kan?”
          “Re...” Aku shocked berat. Aku mengalihkan pandangan ke arah Regina dan menatapnya lagi. Oh Tuhan! Dia masih menatapku tajam tanpa kedip! Apa maksudnya coba?! Apa dia tak tau efek tatapan mata tajamnya itu membuat kaki dan tanganku panas dingin tanpa sebab, jantungku berdetak tak keruan, dan aku tak bisa berpaling lagi selain balas menatapnya?!
          “Sejak kapan dia lirik gu.. eh, maksudnya lirik kita, Re?” Aku berdehem ntuk menjernihkan tenggorokan yang mendadak kerontang. Akal sehatku mengatakan mungkin dia melirik kami karna dari keluar ruangan sangat heboh hingga menarik perhatian. Bukannya melirikku terang – terangan. “Jangan terlalu pede, Syrena. Gak mungkin dia lirik lo!”
          “Sejak kita keluar ruangan tadi, Ren. Awalnya dia lirik kita, terus matanya lirik ke lo dari lewat didepan dia sampai sekarang.”
          Aku tak bisa konsentrasi sekarang. Mataku menatap dia –  yang untungnya sedang mengobrol dengan temannya. Cepat aku berpaling dan menatap Regina. “Muka gue aneh yah?”
          Tawa Regina yang melengking itu membuatku buru – buru menutup mulutnya. Aku tak mau kak Khair menoleh kearah kami lagi dan menatapku. Tatapannya sanggup membuat cara kerja otakku menjadi error!  “Lo aneh, Syrena. Kenapa gak pede gitu? Wajar kali kak Khair lirik lo.”
          “gak wajar kalau dia hanya melirik tanpa maksud apa – apa, Regina! Muka gue pasti ada yang aneh! Pasti!” Aku langsung mengambil ponsel dan berkaca di layarnya. Mencari setitik kesalahan fatal diwajah yang membuatnya menatapku.
          “Syrena Maharani,” Regina malah mengambil ponsel dan menatapku prihatin. “Pede, Syrena. Mungkin dia baru sadar kalau lo itu ada makanya perhatiin daritadi.”
          Aku melirik dia– yang sialnya entah sejak kapan menatapku. Astagaa!!! Apa yang ada dipikirannya ketika melihatku kasak – kusuk tadi? Pasti sangat memalukan. Oh Tuhan.. aku serasa ingin nyemplung saja kedalam bak sampah. “Gue gak terbiasa diperhatiin dan itu aneh, Re. Belum lagi yang memperhatikan gue itu gebetan sendiri.”
          Regina menepuk pundakku pelan dan matanya melirik kak Khair yang menatapnya. Dia tersenyum manis ketika menatapku. Ntahlah apa arti senyuman itu, yang jelas itu aneh. “Biasakanlah kalau begitu, Syrena.”

∞ ∞

          Kejadian siang tadi dikampus masih sangat jelas tercetak diotakku. Kak Khair tidak hanya sekilas melihatku, tapi benar – benar melihatku! Oh Tuhan... apa yang dia pikirkan ketika melihatku? Anehkah aku? Atau aku hanyalah cewek yang memancing rasa isengnya ntuk dibuat salting? Kalau itu benar, selamat! Aku benar – benar salting!
          Lelah karna perjalanan setengah jam dari kampus menuju rumah mendadak hilang, tanpa masuk dalam rumah, aku mengambil ponsel dan fokus menatap layar kemudian menekan icon  Twitter dan mengetik usernamenya yang ku dapat dari temanku. Cepat aku membaca semua statusnya yang mungkin – ada sedikit petunjuk yang kutemukan dari tingkahnya yang memperhatikanku. Tapi, nihil. Aku tak menemukannya selain tentang pekerjaaannya, beberapa tweet dia dan beberapa teman penyiarnya, dan...
          Aku terdiam.
          Beberapa isi tweetnya tentang bagaimana dia menyukai cewek berwajah manis yang entahlah –apkah itu ceweknya atau bukan, aku tak tahu. Tapi membuatku hening cukup lama. Apakah dia  sudah punya pacar?
          Aku tertawa sumbang dengan pertanyaan terakhirku itu. Memangnya aku siapa jadi bertanya apakah dia punya pacar atau tidak? Toh, tak ada urusannya denganku, bukan? Aku hanya seorang cewek yang kebetulan menyukainya – bukan, jatuh cinta padanya hingga ntuk menatap matanya saja sanggup membuatku panas dingin. Kenyataan ini membuatku tanpa sadar menghela napas berat. Kuletakkan ponsel kembali dalam tas dan masuk dalam rumah yang sudah terbuka sejak lama dan melangkah gontai masuk kamar. Fakta bahwa dia –punya pacar seperti yang tersirat di status membuatku seketika galau.

          Aku meletakkan tas di atas ranjang dan menjatuhkan diri disebelahnya. Tatapanku menerawang di langit – langit kamar. Tak menyadari bahwa Mpok Soimah, pembantuku sejak berada dalam kandungan mengetuk pintu kamar pelan dan kepalanya menyembul masuk.
          “Mbak Syrena, makan, yuk? Udah mpok masakin tuh.”
          Aku menggeleng. Pemikiran tadi membuatku kehilangan nafsu makan. “Gak, Mpok. Rena udah kenyang.”
          “Yasudah kalau gitu. Kalau mbak Rena lapar, ntar bilang aja. Nanti Mpok masakin.” Mpok Soimah dengan senyumnya menutup pintu kamarku dengan pelan. Meninggalkanku yang tersenyum samar.
          Asyik merenung, tau – tau ponselku berdering. Dengan malas aku membongkar tas dan mengambil ponsel lalu meletakkannya di telinga. Nama Andini, teman sekaligus kakak tingkatku berkedip – kedip. “Kenapa, kak?”       
          “Sibuk gak, Ren hari ini? Manggung yuk!”
          Mendengar kata “Manggung” membuat semangatku serasa melonjak tinggi ke titik puncak. Spontan aku duduk bersila dan mengangguk penuh semangat. Tersenyum sendiri ketika tau bahwa kak Andini takkan melihat ekspresiku. “Gak kak. Ayuk! Dimana?”
          Suara anak kecil khas kak Andini terdengar manis ditelingaku. Senyumku semakin lebar mendengar suaranya itu. “Kalau masalah manggung semangat aja. Jam 4 sore di Cafee Kuta. Gimana?”
          “hahaa.. maklum, kak. Lagi bete soalnya. Oke deh. Lagunya apa saja, kak?”
          “Kita nyanyi bebas kok. Soalnya temanku baru aja buka Cafee disitu yang kebetulan gabung juga dengan Radio Sky yang berada di lantai dua. Jadi dia minta tolong sama gue ntuk nyari beberapa teman yang bisa dongkrak cafeenya gitu. Gimana?”
          “Radio Sky?”  Aku mengulang nama itu dalam hati. Kenapa aku merasa familiar dengan nama itu? Kenapa jadi gugup begini?
          “Boleh deh. Bayarannya gimana, kak?” Candaku sembari mengurangi rasa gugup yang merajalela tanpa sebab sekarang.
          Suara kak Andini semakin lucu sekarang. “Mata duitan lo, dek! Ntar kita bahas deh. Datang aja gimana? Gue tunggu deh. Penyiarnya ganteng – ganteng loh. Itung – itung lo bisa ngecengin satu deh.” Godanya dan aku tersenyum simpul. Sorry to say, dear sister,  tapi aku sudah punya satu penyiar ganteng yang sedang menjerat akal pikiranku hingga tak sanggup melirik penyiar radio lain. “hahahhaa.. iya, kak. Ntar kalau sudah nyampe, Rena sms aja. Oke?”
          “Oke.” Dan perbincangan kami terputus dengan sendirinya. Aku menatap ponselku dan melempar ke samping sambil menutup mata. Mencoba menghilangkan kegelisahan yang sekarang menggulung isi perutku bagai ombak ganas.

∞ ∞

          Kau mendekat? iya. Kau memberiku harapan? iya. Tetapi kenapa kau malah menjatuhkanku disaat aku berada di atas awan akan perhatianmu – yang ternyata semu itu?
         
          Aku buru – buru menaiki dua anak tangga sekaligusmenuju cafee yang berada di lantai dua. Setelah kak Andini menelpon, aku malah tertidur jam terbangun pukul 15.45. Setegah sadar aku buru – buru berpakaian dan berlari ke garasi lalu masuk dalam mobil dan menginjak gas dalam – dalam sambil berdoa sepanjang perjalanan agar tak terjadi apa –apa. Kenapa? Karna aku paling anti telat kalau sudah berurusan dengan pekerjaan ini.
          Aku membuka pintu cafee dengan napas ngos – ngosan dan memandang sekeliling. Panggung lumayan besar ada di tengah cafee bernuansa minimalis dengan dinding didominasi walpaper manis berwarna coklat dan hitam. Kursi – kursi yang  terbuat dari kayu dan bersofa empuk ini disusun melingkari meja dengan fokus tatapan ke arah panggung. Aku menatap ke atas dan melihat sebuah ruangan besar berdinding kaca yang ternyata adalah tempat siaran yang ternyata bergabung dengan cafee teman kak Andini. Tatapanku fokus ke arah lantai dua itu tanpa kedip, Memperhatikan kesibukan dua penyiar yang terlihat dari samping sedang berbicara di depan mikrofon dan headset hitam super besar di telinganya sambil menatap layar laptop – mungkin membaca beberapa balasan penggemar mereka di dunia maya. Sampai salah seorang penyiar itu menatap di tempatku berdiri, seketika aku terdiam.

          DIA!

          Jantungku serasa lepas dan jatuh berdebum ke lantai tanpa suara. Aku tak mungkin salah lihat sekarang. Mataku tak mungkin rabun, apalagi katarak seketika! Aku sangat yakin itu kak Khair sedang menatapku tanpa kedip dari lantai dua. Dia terlihat santai dan semakin tampan saja dimataku dengan mengenakan baju kaos berwarna putih, rambut dibikin berantakan, tatapan mata yang sangat tajam itu yang sialnya – tak terkejut ketika melihatku, serta seulas senyum yang sering ia tunjukkan pada teman – temannya, namun jarang padaku itu, membuatku tak bisa bergerak sekarang. Aku terhipnotis sampai tak sadar tepukan lembut mengenai pundakku.
          “Kenapa, Ren?”  Kak Andini bertanya cemas sambil mengikuti arah pandanganku. Mencari penyebab kenapa aku malah membatu di depan pintu. Cepat ku gelengkan kepala dan tersenyum manis. Mengabaikan serangan gemetar mendadak di sekujur tubuhku karna cowok sialan itu. “Gak, kak. Terpesona aja melihat dekorasi cafeenya. Rena kira biasa aja kayak cafee lainnya. Gak taunya beda banget.” Kilahku.
          Fokus tatapan kak Andini seutuhnya ke arahku. Wajahnya tersenyum. “Iya. Sebenarnya lumayan lama sih cafee teman gue ini. Tapi baru diresmiin sekarang. Yuk..” Tanpa mempedulikanku yang masih gugup, dia mengajak naik ke atas panggung. Tepat membelakangi ruangan siaran itu. Aku bisa menatap punggung tegapnya dari sini. Setidaknya apabila ku bernyanyi nanti, aku takkan terintimidasi oleh tatapannya.
          “Syrena, ayoooo! Jangan bengong!” kak Andini menyenggol lenganku sambil menyodorkan tab 10 inch yang berisi lirik lagu ku nyanyikan. Aku membaca dan menelan ludah. Oh Tuhan.. kenapa terjadi lagi?!
          Aku terdiam dan mencoba tersenyum semanis mungkin ketika beberapa pengnjung cafee  menatapku sepenuhnya. Sesekali ku melempar pandang ke lantai dua dan samar – samar mendengar dari pengeras suara yang terpasang di tembok tentang siaran mereka. Suaranya, cara dia tertawa dan menanggapi komentar dari penelpon, membuatku tersenyum tanpa sadar. Aku seperti dekat dengannya, walau dari jauh.
         
          Intro musik yang dimainkan temanku mengalun merdu. Aku tersenyum dan mulai menyanyi.

“Ku perhatikan kau dari jauh,
kau jalani hidup tanpa jenuh,
mencari bahagia tanpa keluh,
Saat itu juga kau curi perhatianku.”
                   
          Tanpa sadar aku tersenyum ketika melihat dia – entah sejak kapan sudah di tengah penonton dan duduk di meja kosong. Fokus antara menatapku – atau pemain band di belakangku yang mungkin temannya ini. Dan dia balas tersenyum. Senyum manis yang membuat hariku merasa begitu sempurna sekarang. Senyum yang kunantikan.

“mereka datang mendekat,
tapi mereka gagal melihat,
rasa sepi yang lama terpahat saat itu juga,

oh ku rasakan.. oh ku inginkan.”
         
          Aku tak peduli berapa lama aku menunggunya. Yang jelas, aku akan selalu menyukainya. Tak peduli walau itu akan menghabiskan waktu kuliahku.


Akan Ku tunggu, selalu ku tunggu,
sampai kau mau, melihatku sebagai yang
mengerti kamu, cintai kamu

kan ku temani perjalananmu, selamanya.”

*Sherina – Akan Ku Tunggu.

          Tepukan meriah dari pengunjung membuatku puas. Aku menatapnya dan dia tersenyum. Dengan malu aku membalas senyum itu dan menatap kak Andini yang mengacungkan jempol. Aku terlalu bahagia dengan apa yang kudapat hingga tak menyadari bahwa beberapa pengunjung mulai menunjuk ke arah belakang dan melempar senyum menggoda. Membuatku bingung dan spontan menoleh ke tempat yang mencuri perhatian. Pemandangan itu membuatku terbelalak. Mendadak serasa ingin mati saja!

          Dia naik ke atas panggung dengan gitar akustik di tangan dan tersenyum ketika melihatku yang terperangah hingga lupa menutup mulut. Tatapannya tajam ketika mendekat. “Boleh gabung?”

          “Silahkan, kak.” Jawabku terbata – bata. Seluruh kinerja otakku serasa mati total sekarang. Aku gugup!
          Dia tersenyum lalu menarik kursi kecil dibelakang ntuk diletakkan disampingku dan semuanya itu kuperhatikan dengan jantung berdegup sangat kencang! Oh Tuhan.. Mimpikah aku? Kalau iya, Please jangan bangunkanku, Tuhan. Ini terlalu indah dan nyata untuk menjadi mimpi. Terlalu khayal untuk jadi nyata.
          Suaranya membuatku benar – benar sadar bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata. “Hei, Tau lagu ini, gak?” Dia memainkan sebuah lagu dan aku berkonsentrasi penuh ntuk mengingatnya. Sial! Pengaruhnya membuatku lupa ingatan!
          “Tau kok, kak.”
          “Lo hapal?”
          “Iya.”
          “Bagus. Kita mainin ini aja, yah.” Ucapnya dan tersenyum sambil memainkannya. Tak menyadari wajahku sudah merona seperti kepiting seharian terebus.
         
          Kita? Kita?! Dia bilang Kita? Astagaa.. Indah sekali hari ini, Tuhan.

          Permainannya yang manis membuat senyumku semakin lebar. Ah.. aku semakin menyukainya.

“Especially for you.
I wanna let you know what I was going through,
All the time we were apart I thought of you,
You were in my heart, my love never changed,
I still feel the same.”

          Aku menoleh ke arahnya. Hatiku puas sekali hari ini karna bisa dekat dengannya tanpa jarak. Aku puas memandangi wajah tampannya yang sekarang tersenyum dengan lagu yang kubawakan ini. “Liat saja Kak Khair, kau akan terpesona dengan suaraku nanti.”  Batinku berkata penuh percaya diri dan aku tersenyum sendiri. menertawakan kekonyolanku.

“Especially for you.
I wanna tell you I was feeling that way too,
And if dreams were wings, you know,
I would have flown to you to be where you are,
No matter how far and now that Im next to you.


*M.Y.M.P – Especially For You.

         
          Di ujung sana, Kak Andini bertepuk tangan heboh ketika kami selesai diatas panggung, diikuti dengan pengunjung lainnya. Aku tersenyum super lebar dan sedikit menundukkan badan. “Terima kasih.” Ucapku dan hatiku menjerit kegirangan ketika tangan kananku dirangkul olehnya!

          Aku menoleh cepat dan ia menatapku. Tatapan tajam dan wajah tampan yang selalu kuperhatikan dari jauh kini tepat dihadapan tanpa jarak, jemarinya panjang yang selalu ingin kusentuh suat saat nanti, kini merangkul tanganku. Membuatku meleleh seperti lilin terbakar.

          “Gue suka suara lo. Kapan – kapan kita duet lagi yah.”

          Dengan senang hati, kak.” Balasku cepat dengan wajah yang kuyakin pasti merona padam. Pujiannya terdengar tulus dan aku takkan menolak dua kali kalau ditawari duet dengannya. Dia mengajak duo pun aku takkan berpikir lagi. Langsung main iya.

          Dia tersenyum dan kulihat ada lesung kecil di sebelah kirinya. Membuat wajahnya semakin bikin mabuk kepayang. Kurasakan rangkulan ditanganku terlepas dan sebagai gantinya, ia mengulurkan tangan. “Gue Khair. Lo?”

          Aku tersenyum super manis didepannya. “Syrena.”



∞ ∞


          “Ciee... yang senyum daritadi.” Goda Regina membuatku malusaat kami sedang istirahat di cafetaria kampus yang sangat sesak dan panas. Masih sangat ingat dalam ingatan, setelah kami kenalan diatas panggung Cafee Kuta beberapa minggu lalu, kami bertukar pin BlackBerry dan saling bertanya kabar. Setiap hari pasti ada saja yang kami bahas dan ujung – ujungnya saling menelpon tengah malam. Ah.. semua khayalan indah tentangnya itu serasa menjadi kenyataan. Membuatku seperti melayang ke langit ketujuh saja akan perhatiannya.
          Perhatianku pada Regina yang sekarang tersenyum menggoda menjadi tak menarik lagi ketika ponsel dikantong celanaku bergetar hebat. Aku memundurkan badan untuk mengeluarkannya dan melihat siapa yang menelpon. Dan senyumku semakin lebar saja.
          “Halo...”
          “Hai, Rena. Lagi ngapain, sayang?”
          Aku tersenyum sambil menatap garang kearah Regina yang mengolok – olokku dengan meletakkan sendok ketelinganya – seolah itu ponsel dan mengubah suaranya yang cempreng itu menjadi suara kak Khair. Pelototanku membuatnya tertawa. “Lagi makan aja kak. Kakak sendiri lagi dimana? Ribut banget.”
          “Lagi break siaran, Ren makanya nelpon lo. Eh.. gimana..” Dan percakapan pun mengalir lancar hingga aku tak sempat lagi menyuapkan nasi goreng kesukaanku. Fokus mendengar setiap kalimat yang terucap dari bibir tipisnya itu, tersenyum meski tau dia tak bisa melihat, dan tertawa ketika joke – joke khasnya muncul. Aku bahagia dengan semua ini. Sangat.
          Tendangan jahil di bawah meja membuyarkan semuanya. Aku menjerit pelan dan Regina tersenyum super jahil. Seolah bangga dengan jeritan kecilku diantara tawa melengking. Dan aku menghentikan kebahagiaan semu itu dengan menendang balik lututnya hingga dia mengerang kesakitan dan melotot. Membuatku terkikik tanpa sadar.
          “Kenapa, Ren?”
          Aku tersenyum dan memeletkan lidah ketika Regina mulai menunjukkan gejala gilanya. “Gak papa, kak Khair. Tadi ada kerusuhan dikit.”
          “Regina usil, yah?”
          Dan aku tersenyum. Mengkhayal bahwa sekarang dia duduk didepanku dengan tatapan tajamnya serta senyum yang membuatku merona malu hanya karna menatapnya. “Bukan dia namanya kalo gak usil, kak.”
          Dan suara tawa kak Khair adalah suara favoritku sekarang. “Syrena..”
          “Iya, kak?”
          “Udah dulu, yah. Gue mau siaran lagi nih soalnya udah selesai break. Bye, Rena.”
          Bye juga kak Khair.” Jawabku dengan sedikit tak rela karna telepon kami terputus. Dengan galau ku masukkan ponsel dalam tas dan menatap Regina yang entah sejak kapan terabaikan kini menatapku serius setelah melakukan berbagai hal gila. “Kenapa, Re?”       
          “Hubungan lo dengan kak Khair gimana?”
          “Yaaa.. biasa aja, Re. Ngopi bentar di cafee favorit dia, terkadang nonton atau BBM-an. Yaaa.. kayak lo liat sekarang. Kenapa?”
          “Lo pacaran gak sama dia?”
          Aku menggeleng. Kami dekat, tapi tak pacaran. Tapi.. apakah itu penting? Toh, orang dewasa macam dia sekarang pasti tak butuh kata “I love You.”  Untuk memperjelas suatu status. Cukup dengan perhatian lebih, dan kebersamaan intens itu sudah sangat cukup menggambarkan hubungan kami sekarang. Bahkan kemarin kami sempat berciuman di depan pintu cafee Kuta ketika hujan mengguyur deras saat mendatanginya di tempat siaran. Aku tak tau siapa yang memulai, tau – tau kami sudah saling berpelukan ditengah dinginnya malam dan menghangatkan tubuh masing – masing dengan ciuman panasnya. Kurang dekat apalagi?
         
          Aku menceritakan semuanya pada Regina dan matanya membesar. “Lo tak minta kejelasan, Ren?”
          “Gak, Re. Ciuman kemarin, perhatian lebih dia selama ini dan  betapa ributnya ketika tau jadwal manggung gue dan menasihati gue panjang lebar untuk membuat schedule agar kami masih bisa ketemu, sudah cukup bahwa kami sekarang pacaran.”
          “Syrena...” Regina menatapku penuh prihatin. Seolah – olah aku anak super polos akan jahatnya dunia dan dia bertugas menyadarkan bahwa dunia terkadang tak seindah cerita dongeng. “Lo harus minta kejelasan, Ren. Gue tau dia 3 tahun lebih tua dari lo hingga merasa tak butuh tiga kalimat sakral itu untuk membuat suatu hubungan lebih. tapi apa salahnya, Rena? Setidaknya itu bukti bahwa lo benar – benar milik dia. Bukan Teman Tapi Mesra yang bisa ditinggal pergi kalau sudah bosan.”
          “Kak Khair gak seperti itu, Regina.”
          “Gue tau dia gak begitu. Masalahnya hubungan lo sudah bukan antar kakak dan adik tingkat yang akrab lagi.. Gue tanya deh sama lo, udah berapa orang yang nanya apa hubungan lo ama dia dan apa jawabannya?” Serangan Regina membuatku terdiam. Dia benar, banyak yang bertanya bagaimana hubungan kami dan aku kebingungan menjawab semua itu. Dibilang pacar, dia tak pernah memperjelaskan hal itu, dibilang teman dekat, perhatian kami lebih dari sekedar itu, pedekate? Itu memancing olok – olok bahkan godaan massal dari mereka.
         
          Melihat keterdiamanku, dia mendesah seolah tau jawabannya tanpa perlu bertanya. “See? Tanyakan sekarang, Syrena sebelum menyukainya terlalu dalam.”

          Dengan berat hati yang amat sangat dan penuh kebimbangan, aku mengeluarkan ponselku dan membuka chat BBM kami dengan tatapan berat. Kutatap ponsel dan Regina secara bergantian. perang antara logika dan hati karna ucapannya membuatku mendesah. Logikaku menang telak dan menagih janji untuk direalisasikan.

          Rena_Syrena.
          Kak, sibuk gak?
         
          Aku mengetuk meja berulang kali sambil menggigit jari telunjuk kananku karna gelisah menunggu balasannya. Ketika nada Ping berbunyi, cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja kantin dengan napas memburu karna penasaran.
         
          So_Khair.
          Sekarang gak kok, manis. Kenapa?

Ini saatnya. Aku menatap Regina yang tersenyum menyemangati. Ini memang harus ada ujungnya. Dan aku ingin tau kemana semua ini berhenti.

          Rena_Syrena.
          Apa artinya gue untuk lo, kak Khair?
         

∞ ∞
         
          Aku tertunduk lesu. Sejak pertanyaan itu, Kak Khair seolah menghilang dari Bumi. Dia tak pernah membalas chat BBM ku bahkan tak aktif, tak pernah terlihat lagi di area kampus. Jangan ditanya bagaimana aku mencarinya, mulai dari mendatanginya ke tempat siaran, ke kampus meski tak ada jadwal kuliah, tetap saja tak bisa ditemukan. Seolah – olah dia lenyap seperti debu tersedot vacuum cleaner tanpa sisa.

          “Syrena, melamun aja lo!” Tepukan punggung Monica dan Regina membuyarkan lamunan. Aku menatap mereka berdua yang duduk didepanku sambil membawa pesanannya. Kehilangan kak Khair yang mendadak tanpa menjawab pertanyaanku membuat seluruh nafsu makan lenyap. Aku memandang pesanan mereka tanpa selera sama sekali dan memilih menyeruput teh esku tanpa gairah. Kelesuan hidupku ternyata membuat Regina berdecak kesal dan melayangkan jitakan di kepalaku.
          “Sakit, Re!”
          “Lo senyum dikit napa?”
          “Lagi males.”
         
          Regina berdecak dan aku tak peduli. Toh dia berdecak sampai lidahnya putus pun aku takkan bertemu dengan kak Khair. Ah... mengingat namanya lagi membuat hatiku berdenyut sakit. Dan ekspresi wajahku rupanya membuat Monica menghela napas prihatin. “Ren, gimana kalo kita bolos kuliah dan cabut ke Papilon Cafee?” Usulan jenius dari Momon yang rajin kuliah itu membuatku menoleh takjub. Kalau yang mengusulkan ini adalah Regina, aku takkan heran karna dia memang labil kalau urusan kuliah, tapi kalau Monica yang berkata begitu, itu keajaiban yang perlu diabadikan. “Bolos? Yakin?”
          “Yap. Gue lagi malas masuk soalnya. Gimana Ren? Lo gak usah sok pasang wajah menolak deh, Re. Gak cocok!” Momon menatapnya yang nyengir kuda. Hal itu membuatku tersenyum geli. Mungkin sejenak ngilang dari puyengnya kampus membuat otakku fresh. “Okedeh.” Ucapku sambil berdiri dengan kunci mobil ditangan. Diikuti oleh kedua temanku yang buru – buru berlari ke tempat mereka memesan makanan ntuk minta dibungkuskan agar bisa makan di kost nanti.

          Perjalanan menuju Papillon Cafee hanya memakan waktu 10 menit kalau berjalan kaki. Ku putuskan tak membawa mobil dan memilih berjalan saja karna malas mencari posisi yang pas mengingat tempatnya sempit akan lahan parkir. Kedua temanku merangkul pundakku ketika sudah tiba didepan pintu cafee yang berlatar kaca buram itu. Salah satu tempat favorit kami.

          Aku masuk kedalam sambil tertawa karna Regina melemparkan lelucon sakit perutnya hingga kami terpingkal – pingkal sambil menjelejahi isi cafee yang bernuansa santai itu dengan sofa besar sebagai tempat duduknya, meja panjang berukuran kecil , dan rak buku yang berisi koleksi bacaan menarik. membuatku betah seharian. Senyumku masih melebar ketika masuk sebelum terhenti di satu sudut. Langkahku membeku seketika.

          Prang!

          Di sudut cafee yang minim cahaya itu, aku melihat sangat jelas bahwa cowok yang kucari hingga nyaris gila itu, kini duduk santai dengan seorang cewek entah siapa. Sepinya cafee ini membuat mereka serasa berdua dan itu membuatku hampir lemas ketika kak Khair mengelus wajah putih cewek itu dengan lembut, kemudian mendekatkan diri ke arahnya sambil memegang dagu cewek itu dan menciumnya!

          Yah.. mereka berciuman tepat didepanku. Kau tau, kan bagaimana sakitnya itu? Sangat hingga ingin mati saja rasanya.

`        Aku langsung berlari keluar tanpa mempedulikan mereka berteriak memanggilku. Aku tak peduli dia tau aku melihat semuanya, aku tak peduli apakah dia mengejarku atau tidak, yang kupedulikan sekarang hanyalah hatiku. Yah.. hatiku hancur.

∞ ∞

“Tak mau lagi, aku percaya.
pada semua kasih sayangmu.
tak mau lagi, aku tersentuh,
pada semua, pengakuanmu.”

          Gitarku basah dengan air mata ketika menyanyikan lagu ini. Masih ingat dalam ingatan aku berlari dari cafee itu menuju kampus dan langsung pulang kerumah dengan membawa mobil kecepatan tinggi hanya untuk menghilangkan sakit hati yang menggila. Sesampai dirumah, yang kutuju bukanlah kamar untuk menghempaskan tubuh ke ranjang, melainkan halaman belakang yang menjadi tempat pelarianku dan menangis terisak sambil memegang gitar yang ada diatas  kursi gantung.

“Pergilah kau, pergi dari hidupku.
bawalah semua rasa bersalahmu,
pergilah kau, pergi dari hidupku,

bawalah rahasiamu, yang tak ingin,

Ku tahui.”

*Sherina – Pergilah kau.

          “Syrena...”
          Aku terdiam. Hatiku menjerit ketika suara yang sangat kurindukan – kini menghancurkan itu berada tak jauh dimana aku duduk. Aku tak mempedulikannya dan memilih menundukkan wajah. Tak sanggup melihat wajah tampannya yang dulu membuatku tersenyum, kini membuatku menangis, tangan hangatnya yang selalu merangkulku itu memegang kedua lututku dengan posisi seolah – olah dia berlutut didepanku. Aku tak berani mendongkak. Tak sanggup melihat pesona yang membuatku mabuk kepayang itu – kini menghancurkan semua angan indah yang kumiliki selama ini.
          Look at me, Syrena.”
          “Pergi. Gue gak butuh lo disini.”
          “Syrena..”
           Aku menutup mata, mengunci hati. Tak sudi terjerat sekali lagi akan wajah bersalahnya. “Buat apa lo kesini, kak? Lo bukan siapa – siapa gue.” Kurasakan denyut sakit dihati ketika mengucapkan itu. “Sialan, lo kak! Sialan!” Aku mendorong tubuhnya dan berjalan menjauh. Dia mengikuti. “Ijinin gue jelasin sesuatu, Syrena.”
         
          “Apa, kak? Jelasin kalau lo baru saja ciuman dengan kak Dewi yang kebetulan adalah sahabat gue sendiri? jelasin kenapa lo baru saja muncul setelah beberapa minggu lalu menghilang karna pertanyaan gue itu? Gue gak peduli sama semua alasan lo itu, kak! Gak peduli!”
          Melihat dia terdiam menatapku. Membuatku ingin menyerangnya. “Lo tau kenapa gue bertanya itu? Karna gue ingin kejelasan dengan hubungan kita ini. Tapi rupanya gue sudah mendapatkannya dengan sangat jelas!” Aku menekankan tiga kalimat itu dan menusuk dadanya dengan jari telunjuk. “Pergi, kak Khair.”
          “Ijinin gue jelasin sesuatu, Syrena. Lo salah paham.”
          “Iya! Gue salah paham karna selama ini berpikir lo cinta sama gue, padahal lo hanya ingin mempermainkan gue! Pergi!” Aku emosi sekarang. Dia tak kunjung pergi. Malah menyentuh kedua lenganku dan meremas kuat. Aku hentakkan dengan kasar.
          “Lo mudah berkata semuanya salah paham, berkata seolah – olah gue bodoh. tapi lo pikir gak bagaimana hati gue ketika lihat semuanya tadi? Sakit, kak. Lo hancurin semua harapan yang gue bangun tanpa sisa. Please, kak. Pergi. Gue gak butuh alasan apapun dari lo. Yang gue inginkan lo pergi dan jangan pernah muncul lagi.”

          Fine! Dia melepas cekalan dilenganku dan aku membuang wajah. Takut ketika aku menatap wajahnya sekali lagi, semua benteng pertahanan yang kubangun akan hancur dan membuatnya mendapat angin segar lalu menjelaskan semuanya versi dia sendiri yang membuatku rapuh.

          Aku merasa ia menjauh sekarang. “Gue pergi, Syrena sesuai mau lo. Tapi satu hal yang lo harus tau dan camkan dalam hati, gue gak menghilang. Gue mengawasi lo dari kejauhan dan hubungan gue dengan Dewi tak ada apa – apanya. Gue tulus sama lo dan tak berniat main – main. Maaf, kalo semua yang gue lakuin membuat lo sakit, Syrena.” Ucapnya dan pergi meninggalkanku sendiri dengan gitar yang jatuh ke tanah.
          “Kak Khair..”
          Aku mendongkak dan dia menoleh. Wajahnya terlihat berharap ketika aku memanggilnya. “Don’t pretend that you loving and caring me. Bilang aja lo gak tulus dan hanya permainin hati gue, kak.
         
          Dia berbalik tanpa mengatakan apa – apa lagi. Membiarkanku jatuh berlutut di tanah dengan air mata menetes deras. Aku tak mempercayai setiap ucapannya. Semuanya palsu, bohong, apalah namanya agar aku goyah.

          Ya.. Dia bohong sama gue dan berakting menyesal agar gue goyah. Kuat, Syrena! Jangan percaya!”

          Tapi entah kenapa, hatiku kembali sakit ketika berkata seperti itu.

“No. I don't believe you.
When you say don't come around here no more.
I won't remind you,
You said we wouldn't be apart.

No, I don't believe you,
When you say you don't need me anymore.
So don't pretend.
To not love me at all.

I don’t believe you.”

*P!nk – I don’t Believe You.

∞ ∞

            Khair.
          Menginginkanmu, Selalu.
         
“We simply fit together like a piece of apple pie.
I will be vanilla ice cream,
And i'll sing you lullabies,
I will love you in the moonlight and i'll love you in the day.
Always.
          Gue terpesona mendengar suaranya yang mengalun merdu di tengah kampus. Dengan cepat gue keluar ruangan dan mendekat untuk melihat siapa pemilik suara bening yang sanggup membuat gue seolah tersedot ntuk kearahnya.
          Cewek itu menyanyi dengan senyum lembut di wajahnya yang putih bersih. Ketika ia membuka mata, bola matanya yang coklat – kehitaman itu membesar dan menatap gue, lalu buru – buru berbalik ke arah lain. Gue tersenyum sendiri, baru kali ini ada cewek yang melihat gue langsung berbalik.
         
“I will help you keep your smile,
Promise me you'll stay awhile,
I will come when you need it,
And I'll help you when I can,

When I can.”
          Tanpa sadar gue merangsek maju ke depan dan duduk tanpa dosa disebelah Dekan yang rupanya dalang kenapa cewek itu berdiri di depan panggung dengan wajah gugup. Menurut hasil pengalaman gue sebagai kakak tingkat yang tau semua tingkah dosen yang rada nyeleneh disini, beliau asal tarik saja ntuk ke atas panggung yang kosong itu ntuk menyanyikan sebuah lagu dan terpesona akan itu. Suaranya sangat bening dan manis. Membuat gue betah disini sampai malam asalkan dia menyanyi hanya ntuk gue.

          “Bapak suka suara dia.”
          “Saya juga, pak.” Gue menyetujui tanpa banyak cingcong. Yah... suaranya membuat gue tak bisa berpaling kemana – mana.

“Stay with me.
Promise me you're never gonna leave,
Stay with me yeah.
Lets try to be the best that we can be,
Take our time.”

*Colbie Calliat – Stay With Me.
         
          Dia menatap gue sekali lagi dan tersenyum. Pipinya yang putih itu merona dan membuatnya terlihat cantik alami, matanya yang besar itu semakin menarik di mata gue.
Yah... tanpa gue sadari, dia benar – benar membuat gue terpesona dan jatuh cinta dengannya.
         
          “Hei, Bro! Melamun aja lo.” Tepukan Yogie di pundak membuat gue terperanjat. Kenangan pertama kali gue bertemu dengannya saat dia masih semester 1 dan menyanyi di depan Dekan ntuk pertama kali dengan suara yang luar biasa bening itu, terulang lagi dan membuat gue galau.
          “Mikirin Syrena?” Seolah tau apa yang gue pikirkan, Yogie malah duduk disamping gue dan menyeruput kopi yang ada diatas meja. Entah milik siapa dia tak peduli. “Lo barusan nelpon dia, yah?”
          Gue mengangguk. Pertemuan pertama kami setelah setahun berlalu itu tercetak jelas di otak gue. Dia menyanyi di cafee Kuta sambil sesekali melirik kiri – kanan. Takut kalau – kalau gue muncul. Dengan sangat berat hati gue melihat penampilan dia di ruang siaran dan mendengarkan suaranya yang membuat benar – benar jatuh cinta itu dari jauh. tapi gue tak tahan seperti ini, setelah dia selesai menyanyi dan buru – buru kabur, gue menghampiri Andini yang kebetulan Koordinator tempat gue siaran dan memohon sekuat tenaga agar memberikan nomor Syrena. Karna gadis itu ganti nomor ponsel tepat kejadian sialan itu.
          Ah.. seandainya saja dia tau. Gue benar – benar menyesal mencampakkannya.
         
         
“Khair. Lo rencanain apa sekarang?” sohib gue satu ini rupanya tak sabaran dengan rencana brilian gue untuk mendapatkannya kembali. Gue tersenyum penuh rahasia. “Ada deh.”
          “Lo benar – benar ingin Syrena balik, kan? Gue bukannya gak terima lo balik sama dia, loh.” Dia buru – buru menambahkan ketika gue menatapnya tajam. Mengingatkan dengan sangat jelas  Syrena milik gue. Yah.. dia milik gue. “Cuma gue gak mau lo diamukkin ama Andini lagi karna menyakiti dia. Gak tega gue, Bro.”  Gue tersenyum miris. Masih segar dalam ingatan Andini melabrak disaat gue break siaran dan berteriak betapa bajingannya gue berciuman dengan cewek lain, padahal status gue dekat dengan Syrena. Yah... siapapun yang melihat gue berciuman dengan Dewi pasti mengira gue berpacaran dengannya dan mengkhianati Syrena. Tapi, yang benar adalah, gue mantannya Dewi dan mencium dia itu karna ingin mengetes hati gue sendiri yang rada ababil apakah gue masih mengharapkan Dewi, atau malah berpaling ke Syrena. Tapi rupanya keputusan konyol gue itu membuat dia salah paham.
          Gue menatap Yogie dan menepuk pundaknya. Dialah yang membantu gue menyusun semuanya ntuk mendapatkan Syrena kembali. Yah.. gadis pemalu yang sanggup membuat gue tak bisa berpaling lagi. Dari awal gue sudah memperhatikannya, tapi cuek saja ketika dia menoleh balik. Sampai dia menyanyi sekali lagi dengan suara indahnya, gue tak tahan hanya terus memandang tanpa mendekatinya. Ketika kami dekat, gue semakin terjerat dan tak berniat kabur.
         
          “Gue yakin, Gie.”

          Menginginkanmu selalu, Syrena Maharani.

∞ ∞

          Aku berada di dalam Cafee Kuta dengan napas berat. Yah... Yogie, salah satu temanku menelpon dan meminta agar aku menyanyi disini sampai jam 7 malam. Hatiku ingin menolak, tapi tak tega karna suaranya benar – benar memohon. Membuatku mengiyakan dengan pasrah dan sekarang berdiri disini.

          Telpon dari Khair siang tadi menganggu benakku. Apakah dia ada disini? Apakah kami bertemu lagi?  Banyak pertanyaan yang menari usil di kepalaku, menggoda imanku ntuk berlari dari sini dan menelpon Yogie ntuk berbohong bahwa aku tak bisa datang.
          Sebelum aku berbalik untuk kabur, tau – tau ada yang merangkul pundakku dari belakang dan membuatku terperanjat dan menoleh. Yogie tersenyum manis tanpa dosa. “Udah lama, Ren?”
          Aku tersenyum paksa dan merutuk kenapa tidak daritadi saja melarikan diri agar tak terjebak disini. Tanpa sadar pemikiran itu membuatku menghela napas berat. “Kenapa, Ren? Lo sakit?” Tanya Yogie melihat ekspresi wajahku yang mungkin sedang kacau ini.
          “Gak kok. Yuk..”

          Yogie mengangguk dan merangkul pundakku. Perlakuannya ini membuatku teringat dengan apa yang dilakukan kak Khair setiap aku mampir kesini. Huft... Setahun sudah kami berpisah tak jua membuat bayangannya hilang dari memori. “Lo duduk disini aja, Ren. Kami lagi check sound system soalnya. Jadi makan waktu beberapa menit gitu. Gak papa, kan?”

          Tanpa sadar Yogie menuntunku duduk dikursi paling depan. Aku mengangguk. Toh, check Sound System tak pernah lama dan aku bisa menunggu sambil membaca novel. “Oke deh. Tapi biayanya nambah yah.” Godaku sambil tersenyum jahil. Dia tertawa. “Mata duitan lo, Ren. Gue tinggal yah.” Ucapnya dan bergegas naik ke lantai dua yang kutau adalah ruang siaran.
          Aku membuka tas dan mengambil novel lalu membacanya. Terhanyut akan kisah romantis yang ditulis disini, tak sadar bahwa ada kejutan di atas panggung. Ketika aku mendongkak karna mendengar bunyi petikan gitar yang sangat ku kenal, aku melihat seseorang yang sangat, sangat kuhindari.

          Kak Khair duduk di atas panggung sambil memgegang gitar dan menatapku dalam.

          Aku menutup buku dan bergegas meninggalkan cafee yang mulai terasa sesak. Melihatnya seperti mengingatkan kenangan pahit yang ingin kubuang jauh – jauh itu. Tidak! Aku tak sanggup satu ruangan dengannya.

          “Lagu ini gue persembahin ntuk Syrena Maharani yang sekarang berdiri di tengah ruangan. Please,  dengarin gue sekali ini saja. Setelah itu lo boleh pergi ninggalin gue, Rena.” Ucapannya yang lembut itu menggoyahkan sedikit pertahananku. Aku berdiri namun tak berpaling. Memberinya sedikit harapan seperti yang ia lakukan dulu, lalu menghempaskannya tanpa ampun.

“Hey baby listen to me carefully.
Come and sit beside me.
I’ll tell you everything about me.”

          Hampir saja aku ingin menangis. Dia menyanyikan salah satu lagu favoritku setiap kami bersama. Suaranya memang biasa saja, tapi dia menyanyikan itu yang membuatku tak bisa berkata apa – apa.
Stay stay with me.
I will be your lover.
I will be your everything.”


*Mocca – Listen to me.

          Aku mengabaikan teriakan hati yang ingin berlari dan memeluknya erat diatas panggung sambil berkata bahwa aku memaafkannya. “Syrena! Kuatkan hati lo! Dia Cuma ingin mempermainkan lo!” Teriak sudut hatiku yang lain dan aku mengiyakan. Dengan mantap aku berjalan menuju pintu. Namun, suara petikan gitar memainkan musik lain, namun sangat ku kenal, mengguncang emosiku.

Stay with me.
Promise me you're never gonna leave.
Stay with me.
Lets try to be the best the we can be,
Take our time.”

          Dia menyanyikan dua lagu secara medley dan semuanya adalah lagu yang pernah kunyanyikan dan kusuka. Seolah tidak cukup, dia berganti lagi. Dan kali ini, pertahananku runtuh.

“Especially for you.
I wanna tell you, you mean all the world to me.
How Im certain that our love was meant to be.
You changed my life, you showed me the way.
And now that, Im next to you.”

*M.Y.M.P  - Especially For You.

          Aku tak sadar bahwa Kak Khair sekarang berdiri di belakangku. Hela napasnya sangat terasa di atas kepalaku. “Come back to me please, Syrena Maharani.”
          Aku tak menghiraukannya. Terdengar ia mendesah putus asa. “Gue cinta sama lo, Syrena Maharani.”

          Hatiku berteriak girang agar aku mengiyakan saja dan melupakan semuanya. “Tidak. Tidak. Dia pasti bohong. He’s a liar, Rena.”
          “Kalau lo masih marah karna kejadian setahun yang lalu, Gue akan jelasin. Dewi itu mantan pacar gue dan kami ciuman itu karna...gue ingin yakinin diri sendiri bahwa gue benar – benar bisa melepas Dewi.” Menyadari aku diam saja, dia terdengar frustasi “Please, say something, Rena.”
          “Lo benar – benar mainin hati gue, kak.” Ucapku dan setengah berlari menuju pintu cafee.yakinin hati ntuk melepas Dewi? Jadi selama ini dia samain gue dengan ka Dewi, atau parahnya gue pelarian? Ya Tuhan..” Hatiku berdenyut sakit memikirkan hal itu sembari berlari menuju parkiran. Aku ingin pergi kemana saja asalkan tak disini. Satu ruangan dengan cowok yang membuatku nangis darah.
          “Syrena!” Dia menangkap lenganku tepat aku siap masuk dalam mobil. Aku ditariknya kasar kemudian didorong kemobil dan ia menutup akses pelarianku dengan memegang sisi kiri dan kananku. Tatapan matanya menakutkan. “Lo bukan pelarian, Syrena. Gue benar – benar cinta sama lo. Masalah gue menghilang saat itu karna jujur gue ragu dengan hubungan kita, tapi ketika lo pergi...” dia menghela napas dan menatapku dalam. “Gue sadar kalau gue benar – benar milih lo. Bahkan ketika gue mencium Dewi,  malah lo yang ada disini, Rena.”

          Aku menatapnya dalam. Mencari kejujuran pada setiap ucapannya di mata yang bersorot tajam itu. Dia menatapku tanpa kedip seolah meyakinkan bahwa semuanya itu benar. “Lo benar – benar sayang sama gue, kak?”

          Dia tersenyum dan mengecup keningku penuh sayang. “Kalau gue gak sayang sama lo, gue gak akan disini mengejar lo, gak akan menyanyikan lagu didepan banyak orang dengan suara pas – pasan.” Guraunya dan memelukku sangat erat.

          “Aku mencintaimu, Syrena Maharani. Please, believing me once again.”
          Aku melepas pelukannya dan mendorong ia menjauh. Ku gelengkan kepalaku. “Gak, kak. gue gak bisa.”

          Dia terhenyak kaget dan meremas kedua lenganku. “Syrena! Gue serius! Gue..”
          “Maksudnya..” Aku membungkam mulutnya dengan meletakkan jari telunjukku. Tatapan matanya yang panik ketika aku menolaknya, perlakuannya yang romantis mengingat dia tipikal cuek, dan kejujuran yang kental dari matanya membuatku yakin akan ini. “Gue gak bisa ntuk menolak ucapan cinta lo, kak.”

          Matanya melotot dan memegang jariku lalu menciumnya. Tanpa peringatan, dia menarikku dan menciumku penuh lembut. Kedua tangannya melingkar posesif dipinggangku seolah tak ingin terlepas. Dan aku merangkulkan tangan di lehernya.

          I love You, Syrena.”
          “Love you too.”

“Let me love you, With all my heart.
You are the one for me.
You are the light in my soul.
Let me hold you, With my arms.
I wanna feel love again.
And I know, Love is you.”


*Ten2Five – Love Is You.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar