Minggu, 29 Desember 2013

Bestfriend? Hmmm... Part 6 - Simponi Hitam



Bestfriend? Hmm... Part 6 – Simponi Hitam.

            Melihat Gwen yang menangis sampai seperti ini, membuat Andrew merasa kesal pada dirinya sendiri. Kesal, karena tidak bisa membantu gadis itu untuk menghadapi masalah yang sedang dihadapinya. Kesal karna dia merasa tak berguna dan hanya bisa melihat sahabatnya terisak tanpa tau masalahnya. Selama mengenal Gwen, baru kali ini, dia melihat Gwen menangis hingga nyaris membuat matanya tidak terlihat. Membuat wajahnya dan hidung peseknya memerah. Bahkan, mendengar isakan tangisnya sanggup membuat Andrew  tak bisa menahan rasa sakit dan sesak yang tiba-tiba saja muncul dihatinya. Seolah menandakan, bahwa Gwen sedang mempunyai masalah yang sangat berat dan tidak ingin berbagi dengannya.

            Andrew tidak membiarkan Gwen pulang sendiri. Meskipun gadis itu menolak  ketika dia mengutarakan niat untuk mengantarkannya pulang. Namun, bukan Andrew namanya kalau tak bisa membuat sahabatnya mengangguk lemah dan mengikutinya di belakang dan menyodorkan kunci kendarannya, membiarkannya bercakap – cakap dengan satpam sekolah sebentar dan meninggalkan motornya, dan berjanji akan mengambilnya sore nanti sebelum satpam itu akan menggadaikan sahabatnya.


            “Ayo, naik....” Andrew mengulurkan sebelah tangannya pada Gwen yang disambut dengan tatapan ragu. Dengan berat hati dia menaiki jok belakang motor gede Andrew dan berdeham pelan. Kemudian memegang erat besi di belakang motor Andrew dan menatap ke arah lain. tak mau menatap punggung kokoh sahabatnya yang semakin menghancurkan hatinya tanpa ampun.


            Andrew merasa tak ada pelukan di pinggangnya setiap mesin motor dia nyalakan. Dia melirik ke arah spion motor dan melihat wajah sendu Gwen menatap bak sampah di depan parkir. Membuatnya tanpa sadar mendengus pelan dan mematikan mesin motornya.

            Gwen mengerutkan kening ketika Andrew malah mematikan mesin motornya. Laki-laki itu menaikan kaca helm-nya dan menoleh ke belakang. membuatnya spontan menatap mata tajam sahabatnya yang terasa menusuknya itu. dan menundukkan wajahnya.

            “Gwen... boleh gue tau alasan sebenarnya lo ngehindarin gue? Apa gue ada salah?” tanya Andrew sedikit putus asa. Sebenarnya sudah puluhan kali dia menanyakan hal ini, namun jawabannya selalu sama, Gwen menjawab dia tak ada salah, dia bilang masalahnya terlalu berat untuk diceritakan padanya. Namun, penolakan Gwen secara halus dengan setiap tingkahnya membuatnya frustasi. Dia tau Gwen seperti dia mengetahui dirinya sendiri.
           

            “Ndrew...” Dia menjawab lemah. Lelah mengulang jawaban itu seperti kaset rusak. Lelah merasakan hatinya berdenyut sakit setiap kalimat itu terluncur dari bibirnya. “gue, kan, udah bilang sama lo tadi... lo nggak punya salah apa-apa,” Jawabnya tanpa menatapnya. Tak mau menatap wajah Andrew yang menatapnya serius. Tak mau tatapan mata tajamnya itu akan memecahkan kantong air matanya terakhir dan membuatnya menangis disini.
            Andrew menghembuskan napas keras ketika mendengar jawaban yang kini dihapalnya itu. dia memejamkan kedua matanya sejenak. Lalu kembali membuka kedua matanya. Matanya masih menatap Gwen yang kini bermain dengan jemarinya.

            “Terus, kalau gue gak ada salah apa – apa sama lo, kenapa kenapa lo nggak mau pegangan ke gue?”
            Pertanyaan bernada polos dan frustasi itu menghentikan gerakan tangannya. Dia menatap Andrew yang masih menatapnya

            “Apa?”
            Andrew menghela napas. Sahabatnya mendadak lebih bolot dari yang diperkirakannya. “Pegangan, Gwen... seperti yang biasa lo lakuin kalau gue bonceng elo. Gue cuma nggak mau lo jatuh dari motor dan berujung masuk rumah sakit dengan salah satu anggota tubuh ada yang patah.”


            Gwen berpikir sejenak. Di dalam dirinya. dia seperti berperang dengan batinnya sendiri. batinnya menginginkan tangannya memeluk pinggang yang kokoh itu dengan kuat dan menyandarkan wajahnya di punggung sahabatnya itu, menghirup wangi tubuhnya, dan mendengarkan tawanya setiap dia melempar lelucon dan merasakan getarannya di punggung. Tapi, jauh dalam hatinya, dia menolak berat keinginan batinnya dan menyuruhnya untuk turun dari motor sekarang juga, mengambil motor yang dia tinggalkan di parkiran, dan pergi kemana saja dan meneriakkan apa yang dirasakannya. Kemudian kembali seperti biasa esok harinya dan tersenyum riang. Bukan duduk disini, diintimidasi dengan tatapan sahabatnya.
            Entah apa yang dilakukannya, tanpa sadar kedua tangannya kini memeluk pinggang Andrew seperti sering dia lakukan, dan menyandarkan wajahnya di punggung cowok itu. menghirup dalam – dalam aroma tubuh Andrew yang sangat disukainya dan menyimpannya dalam lemari kenangan agar setiap dia rindu, dia bisa mengeluarkannya dan memeluknya.
            Gerakan spontan Gwen entah kenapa membuatnya tersenyum dan berbalik ke depan, tangan kiri memegang erat kedua tangan Gwen yang memeluk pinggangnya, takut kalau sahabatnya akan menarik tangan lembutnya itu di tengah jalan. Dan tangan kanannya menyalakan mesin motornya
            Gerakan samar di tangannya membuat Andrew tersadar. Dia mendengar bisikan lirih Gwen di punggungnya.
           
            “Ndrew... pulang. Gue mau pulang.” Ucapnya dan entah dorongan hati atau batinnya, dia semakin mendekatkan tubuhnya ke punggung Andrew. Seolah mencari sandaran.


            “Pegangan, Gwen.” Ucapnya dan dia menutup kaca helm-nya,dan menjalankan motrnya kembali untuk membelah keramaian jalan raya dengan Gwen yang masih memeluk pinggangnya.



***

            Arny melihat semuanya dengan mata terbelalak. Langkah ringannya menuju parkiran motor mendadak berat ketika dia melihat semuanya. Melihat Andrew, cowok yang dicintainya hingga membuatnya rela pulang ke Indonesia itu, kini membiarkan cewek lain memeluknya erat. Dan senyumnya saat cewek itu melakukannya. Seperti menyukainya. Seperti menginginkannya. Kenyataan itu membuatnya tertohok. Dia terdiam di antara pilar – pilar gedung. Menyembunyikan tubuhnya agar tak terlihat. Menyembunyikan serpihan ketika dia merasa ada yang pecah terbanting tanpa ampun di dalam dirinya. yah, hatinya pecah. Keyakinannya hancur.

            Andrew tak pernah membiarkan siapapun memeluk dirinya seintens itu. termasuk dirinya.
           
            “Oh Tuhan...” Dia mendadak limbung jatuh ke tanah. Dia lemas, lututnya serasa mencair. Keakraban itu, bukan keakraban sepasang sahabat. Dia bukan cewek bodoh yang bisa menerima alasan Andrew telak kalau semua bukti mengatakan hal yang lain. Dia tau arti tatapannya, dia tau arti setiap sentuhan yang diberikan Andrew pada Gwen, tapi dia tak bisa menerimanya. Dia takut jawaban batinnya itu benar. Dan kalau itu benar ...

            “Apakah aku terlambat untuk meminta semua kenangan indah itu, kembali seperti dulu? Menjadi milikku lagi? Kalau itu benar ... bagaimana caranya agar hatimu yang bercokol kuat dalam hatiku ini, terlepas tanpa harus meninggalkan lubang menganga dan tak bisa kusembuhkan?”


Perasaan ini, apa namanya
Ku takut, untuk menyebut apa namanya
Bukan karena, ku takut salah.
Tetapi, ku takut benar apa yang kurasa.”


*Titi DJ – Galau*

**

            Andrew menghentikan motornya dan mematikan mesinnya ketika pagar rumah Gwen berada di sampingnya. Dia merasakan pelukan di pinggangnya itu mengendur. Entah kenapa seperti ada yang terlepas paksa dari hatinya, dan itu membuatnya kehilangan. Dan dia bisa merasakan Gwen kini memegang kedua bahunya sebagai pegangan dia untuk turun. Dan kini, cewek itu berdiri di sampingnya. Menatapnya dengan mata bengkak dan memerah seperti baru saja menangis sepanjang perjalanan. Keadaan ini seolah menamparnya keras.

            “Oh Gwen, lo kenapa? Apa masalah lo? kenapa lo gak kasih tau gue? Jangan bikin gue gila, Gwen!


            “Makasih.” Ucapnya pelan dan kemudian diam membisu. Ini bukan Gwen. Gwen yang dikenalnya akan bercerocos panjang lebar setelah turun dari motornya. Membuatnya berkali – kali harus mengingatkan untuk balik badan dan berjalan ke arah pintu rumahnya sebelum mereka akan berdiri disini semalaman.
            Gwen mendengar petir dan terlonjak kaget lalu mendongkakkan wajahnya. Dia melihat awan hitam menggantung di langit, angin dingin berhembus entah kenapa membuatnya sedikit kedinginan. Dan dia menatap Andrew yang rupanya juga menatapnya. Mata mereka bertemu. Membuatnya terdiam dan buru – buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.
            “Pulang, Ndrew. Sebentar lagi harinya hujan. Gue gak mau lo kehujanan gara – gara antar gue ...” Ucapannya terhenti ketika lengannya ditarik dan dia kini berada di pelukan Andrew yang memeluknya erat. Pelukannya itu seolah melemaskan otot – otonya yang tegang. Pelukannya nyaman dan hangat. namun mengancamnya untuk membasahi baju sahabatnya itu dengan air mata yang menggantung di pelupuk matanya.
            Dia merasa lemas seketika kalau saja tangan kokoh itu tak memegang lengannya. Dia merasakan kecupan di keningnya ketika pelukan itu terurai, dan tubuhnya ditarik maju ke arahnya. Dia tak pernah dikecup orang lain kecuali papahnya. Perlakuan Andrew yang manis itu, membuatnya ingin menangis saat itu juga.
            “Ndrew...” Bisiknya ketika Andrew betah mencium keningnya. Seolah tak ingin menjauh. Dan bisikannya itu berhasil. Andrew seolah tersadar dan memundurkan tubuhnya. dia menatapnya dalam.
             “Lo tau, kalau sudah begini, gue entah kenapa ingin banget waktu berhenti berputar , berhenti berdetak, untuk menikmati ini lebih lama. Merasakan lebih dalam lagi, Gwen. Mempunyai sahabat seperti lo ini membuat hidup gue seperti ada artinya. So,please, just stay in my side. Don’t leave me,” ucapan Andrew yang dalam dan tulus membuat hatinya bergetar sesaat. Sebelum akhirnya tertusuk lebih sakit lagi. Lebih nyeri lagi. Perlahan, genggaman di lengannya terurai.


            Gwen hanya tersenyum mendengarnya. Tak berniat membalasnya. Enta kenapa, senyuman gadis itu membuatnya ikut tersenyum dan mengacak rambutnya pelan.            “Gue pulang dulu yah, salam buat kak Rere. Bye.” Pamitnya dan dia mengangguk mengiyakan.
            “Hati – hati, Ndrew.” Ucapnya tulus ketika Andrew menaiki motornya, memasang helmnya, dan membuka kacanya.
            “Iya, Gwen. Sampai jumpa besok.” Dia tersenyum dan menjalankan motornya pelan. Pelan, hingga akhirnya menghilang dari kompleks rumahnya.

            Sepeninggal Andrew, dia langsung jatuh tersimpuh di tanah. Air matanya menetes deras membasahi kedua pipinya. Dan dia merasakan rintik – rintik hujan membasahi tubuhnya pelan. Seolah ikut merasakan apa yang dirasakannya sekarang.
            “Ndrew...” Bisiknya pelan disela isakan tangisnya. Dia tak peduli kalau sekarang tubuhnya basah oleh hujan yang semakin deras. dia tak peduli keesokannya akan sakit dan tak bisa sekolah. Biar saja dia sakit. Karna dirinya memang sudah sakit dari dulu. Sudah sakit sejak menyadari dia menyukai sahabatnya tapi tak bisa berbuat apa – apa.
            Dia merasa menggigil. Tubuhnya basah. Namun tak ada niat untuk beranjak dan masuk rumah. Dia membiarkan tubuhnya basah. Karna jauh dari tubuhnya, ada yang lebih basah dan brdarah di dalamnya

            Hatinya.

            “Can i say, I love you, My friend?”

“Cause all I know is we said "Hello"
And your eyes look like coming home...
All I know is a simple name...
Everything has changed...
All I know is you held the door...
You'll be mine and I'll be yours...
All I know since yesterday is everything has changed...

Come back and tell me why...
I'm feeling like I've missed you all this time, oh, oh, oh...
And meet me there tonight...
And let me know that it's not all in my mind...”


(Taylor Swift feat Ed Sheeran-Everything Has Changed)


***


“Malam sunyi ku impikanmu
ku lukiskan cita bersama.
namun selalu aku bertanya,
adakah aku, di hatimu.”


            Lagu Sherina – Simponi Hitam mengalun terdengar merdu di kamarnya. Seolah menyanyikan isi hatinya yang sedang gulana. Gwen yang baru saja pulang dari mengambil motornya di sekolah, terdiam dan mendengarkannya. Tanpa sadar, lagunya itu membuatnya menangis.

“Tak bisakah, kau sedikit saja dengar aku
Dengar simponiku, simponi hanya  untukku.”

           
            Gwen mengikutinya dengan sepenuh hati. Alunan musiknya mengalun merdu, namun serasa menyayat hatinya. suara Sherina seolah meneriakkan isi hatinya. hingga suara ponselnya menyadarkannya. Dia tersentak dan mengambilnya.

            Tiara menelponnya.

            Dia mengangkat telponnya bersamaan dengan sebuah ide gila terlintas di otaknya. Dia tersenyum miris. Mungkin ini satu – satunya cara untuknya tenang sekarang.

            “Halo...”

**



            “Kenapa, sih, lo nggak jujur aja sama dia, Gwen?”


            Gwen terhenyak. Dia menarik napas panjang dan mengusap airmatanya dengan punggung tangannya. Saat ini, dia sedang berada di rumah Tiara. Dia menginap disana. Dia butuh teman bicara. Dan Tiara satu-satunya orang yang dia percayai dan yang tau masalahnya sekarang.
            Sudah setengah jam Gwen disini, duduk bersila didepannya dengan kotak tisu yang isinya hampir habis karna selalu diambilnya. Tiara hanya bisa melihatnya tanpa bisa berkata apa – apa. Isakan Gwen ketika dia menelponnya membuatnya tanpa ragu untuk menyuruhnya kemari dan menceritakan semuanya. Tak sampai 10 menit, Gwen sudah berada di depan rumahnya dengan wajah memprihatinkan.
           
            “Gue... nggak... bisa... Ra...” Gwen berkata dengan nada terbata. Isak tangisnya masih terdengar didalam kamar Tiara. Saat ini sudah pukul delapan malam. Beruntung keadaan rumah Tiara sedang sepi. Kedua orangtua gadis itu ada pekerjaan diluar kota. Maka dari itu, Gwen memutuskan untuk menginap disana. Dan meninggalkan kakaknya, Rere, sendirian dirumah.

           
            “Kenapa nggak bisa?” tanya Tiara lembut sambil menggenggam tangannya erat. Gwen sesegukan dan memejamkan kedua matanya. Meredam rasa sesak yang mengerubungi hatinya, seperti gerombolan semut merah yang mengeruminya dengan sengat yang menyakitkan.


            “Dia... hiks... cuma... hiks... nganggep gue... sebagai... sahabat....” Gwen membiarkan Tiara meremas tangannya. Dia tak tau, tangan siapa yang hangat, dan tangan siapa yang dingin sekarang.

            “Lo nggak tau apa isi hati Andrew yang sebenarnya, Gwen. Jangan membuat spekulasi sendiri.” Tiara kini mengalihkan tangan kirinya ke arah rambut Gwen dan mengelusnya lembut. Ucapan Tiara itu membuatnya menggeleng lemah.
           
            “Gue... nggak... mau... persahabatan... gue... sama... Andrew... hancur... Ra... cuma... karena... perasaan... sepihak... gue...,” ucap Gwen terbata. “Gue nggak mau hal itu terjadi. Dia terlalu mengerti gue. Dan gue tak mau kehilangan dia, Ra.” Lanjutnya lagi.


            “Gwen....” Tiara berhenti sejenak. Gadis itu mengambil napas panjang dan membuangnya dengan perlahan. “Gwen, Andrew berhak tau perasaan lo yang sebenarnya ke dia. He deserve to know. Jangan siksa diri lo sendiri.”


            “Tiara...” Dia menatap sahabatnya yang menggenggam tangannya, “Dia itu sukanya sama lo, Ra. Bukan gue.” lirih Gwen pelan. Akhirnya, kata-kata itu terucap juga dari bibirnya. Kata-kata dari Andrew yang selalu terngiang-ngiang ditelinganya dan dibenaknya selama ini. Kata – kata yang sanggup memukul mundur harapannya setiap dia berpikir, bahwa, mungkin, Andrew menyukainya.

            Reaksi Tiara diluar dugaannya. Sahabatnya itu hanya tersenyum tenang mendengar ucapannya. Tidak kaget atau membelalakkan matanya shock.
             “Gue tau... Andrew pernah bilang sama gue waktu itu.”
Kini, dialah yang shock. “Andrew bilang suka sama dia? Kapan? Kenapa gue gak tau? Kenapa? Apakah mereka...” Pertanyaan – pertanyaan terketik di dalam kepalanya.

            “Berpacaran tanpa sepengetahuan gue?” entah kenapa, pikiran ngawur itu membuatnya tersiksa.
            Seolah tau apa yang dipikirkan sahabat galaunya itu, Tiara menggeleng. “Gue tau otak lo larinya kemana,Gwen. Kami tetap teman sampai saat ini. Gak ada main tusuk. Dia Cuma bilang “pernah” suka sama gue. Itu doang. Kalau lo nanya kapan dia bilang suka sama gue, itu beberapa hari yang lalu. Kalau lo tanya bagaimana ekspresi gue saat itu, gue juju, kaget. Tapi, itu gak seberapa dengan ucapan dia selanjutnya.”
            “Memangnya dia bilang apa, Ti?”
            “Lo bolot gak hilang – hilang yah,” keluhnya sambil menoyor kepala Gwen pelan. “Dia bilang “pernah,” berarti dulu dia ada rasa, kan sama gue?” Tanyanya dan Gwen mengangguk. “ Trus gue tanya lagi, kenapa dia gak suka sama gue lagi. Dia bilang, kalau perasaan ke gue mulai memudar dan dia melihat sosok cewek yang selama ini luput dari matanya, dan dia menyukai cewek itu. cewek yang membuat seluruh perhatian yang seharusnya buat gue, lari ke cewek itu.”
            Penjelasan Tiara membuatnya terdiam. Andrew menyukai cewek, dan cewek itu bukan Tiara lagi,
            Tapi siapa?
 
            “Si... apa?” tanya Gwen. Entah kenapa dia menjadi gugup sendiri. dia sangat ingin mengetahui siapa yang disukai sahabatnya itu.

           
            Apakah dirinya? Dirinya yang membuat perhatian Andrew yang seharusnya untuk Tiara, beralih padanya?

            “Bagaimana, kalau dia, menyukai Arny?” Pertanyaan telak dari hatinya membuatnya serasa dipukul satu ton batu besar.
           
            “Kenapa dia mengabaikan kenyataan itu?”
           
            “Nggak tau juga, gue....”  Jawaban dan senyum kecil Tiar membuatnya sadar. Dan itu membuatnya merenung.

           
            Dia tau siapa yang disukai Andrew saat ini. Dia sudah melihat buktinya.
           
            “Arny, kan?” Ucapnya dengan nada membenarkan daripada meminta kepastian.

            “Apa?” tanya Tiara memastikan pendengarannya. Dia menatap Gwen yang memejamkan kedua matanya dan menarik napas panjang lalu membuangnya dengan pelan.

           
            “Arny... pasti, Andrew suka sama Arny lagi. Biar bagaimanapun, Andrew dan Arny terpaksa berpisah karena keadaan, seperti yang pernah lo bilang dulu ke gue. Dan sekarang, benih-benih cinta itu pasti tumbuh lagi di hati Andrew.”

            “Gwen, buk...”

            Belum selesai Tiara berbicara, sebuah nada dering dari ponsel Gwen berbunyi. Gwen mengambil ponselnya dari saku celana jeansnya dan menatap layar ponsel. Matanya terbelalak ketika membaca nama si penelepon.

            Andrew menelponnya. Entah kenapa, nama itu tak membuatnya bahagia seperti dulu. Tapi...
           
            Sepertinya menyakitkan hanya dengan melihat nama seseorang yang dicintai, tapi, dia mencintai orang lain. seperti tertusuk belati yang tak terlihat.
            Namun sakitnya terasa. Sakit hingga ingin membelah diri menjadi dua”
           
            “Gwen?”


            Gwen menoleh dan menyerahkan ponselnya pada Tiara. “Dari Andrew. Angkat gih.”


            “Kenapa lo kasih ke gue?”


            “Gue nggak sanggup ngomong sama dia. Gue mohon, lo jangan bilang kalau gue lagi nangis. Bilang gue udah tidur atau dimana kek. Dan kalau dia tanya kenapa gue ada di rumah lo, bilang aja lo yang minta gue untuk menginap disini. Please.” Dia mendesak Tiara yang bingung dengan tingkahnya. Sedangkan ponselnya tak mau kompromi.

            “Tapi....”


            “Gue nggak mau dia dengar suara gue yang seperti ini, Ra. Dia akan langsung tau kalau gue...  sedang menangis. Dan dia pasti akan langsung mencari gue dan muncul disini. Gue gak sanggup melihatnya, Ra. Dan untuk saat ini, mungkin, pilihan untuk melarikan diri adalah yang terbaik.” Putusnya dan langsung melayangkan tubuhnya di ranjang Tiara yang lembut dan menutup mata. Berusaha untuk terlelap ditengah percakapan Tiara gelagapan dengan intimidasi Andrew di ponselnya.

**


            Andrew membanting ponselnya dengan keras ke atas kasurnya. Laki-laki itu meremas rambutnya dengan frustasi lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Andrew memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang. Gwen benar-benar aneh beberapa hari terakhir ini. Apa sebenarnya yang sedang mengganggu pikiran gadis itu?


            “SIAL!” Andrew melempar bantal ke arah pintu kamarnya hingga berdebum keras. Dadanya bergemuruh hebat. Emosinya mulai naik ke permukaan. Dia sangat ingin Gwen berkeluh kesah padanya. Semuanya. Tentang apapun yang sedang gadis itu rasakan. Apapun yang sedang gadis itu pikirkan. Bukan seperti ini. Keterdiaman Gwen membuatnya frustasi tanpa sadar.
           
            “Brengsek! Brengsek! Brengsek!” Andrew memejamkan kedua matanya dan memijit kedua alisnya yang mulai nyut – nyutan. Dia melepas kacamatanya sambil mengelus dada, Berusaha meredam gemuruh hebat yang siap dia tumpahkan.

            Dia memang baru menyadari perasaan itu. Dia menyukai Gwen. Tapi, dia tidak ingin perasaannya ini justru membuat persahabatannya dengan Gwen hancur.


            “Apa yang harus gue lakuin? Bilang gue suka sama dia?
            Bagaimana kalau dia gak merasakan apa yang gue rasakan?” Bagaimana kalau dia enak dengan hubungan ini dan ...”

            “Dia akan meninggalkan gue?” Entah kenapa, pertanyaan terakhir itu membuatnya terdiam. Tidak, tidak, dia takkan pernah sanggup ditinggalkan Gwen. Kehilangan sebagian jati diri Gwen saja membuatnya gila,

            “Apa jadinya kalau gue benar – benar kehilangan dia?”
           
            Dia menghela napas keras. Otaknya buntu.
            “Lo harus ngomong, Ndrew kalau lo suka sama dia. Jangan saling pendam begini. Pendam perasaan itu gak enak, Ndrew. Bikin sakit jiwa.” Nasihat Tiara beberapa hari yang lalu saat dia bilang pernah suka dengannya sebelum mengaku bahwa akhirnya, dia menyukai Gwen, terngiang – ngiang di kepalanya. Seolah membisikinya. Memberinya dorongan batin.
             
            “Gue harus ngomong sama Gwen! Harus!”


            Andrew bangkit dari tidurnya. Dia menyambar jaket jeans yang tergantung dibelakang pintu kamarnya, mengambil kunci motornya dan bergegas keluar kamar untuk pergi pergi ke rumah Tiara. Dia tak peduli kalau Gwen sedang tidur, sedang tengkurap di lantai, atau sedang menghitung ribuan bintang di atas langit.
            Dia tak tahan lagi. Kebisuan Gwen membuatnya gila.
            Dan dia harus menyelesaikannya.
            Kalau perlu ...

            Dia akan bilang, kalau dia menyukainya. Entah sejak kapan.




**


            Gwen merapatkan jaket yang dikenakannya. Tubuhnya mulai menggigil. Ini sudah pukul sembilan malam dan Gwen pamit kepada Tiara untuk berjalan-jalan sebentar keluar, sekedar mencari oksigen. Dia butuh udara malam yang segar untuk menghilangkan sesak dihatinya.  Tadinya, Tiara ingin menemani, namun Gwen menolak dengan halus. Gwen butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya yang carut marut.


            Gwen mendesah berat dan berhenti di pinggir jalan yang sepi dan hanya ada rumah kecil yang terlihat tak berpenghuni dengan lampu sangat minim. Dia berdiri Tepatnya di samping jembatan dimana ada sungai yang mengalir dibawahnya. Gwen menatap aliran sungai ya itu dengan tatapan kosong. Sekosong hatinya saat ini.

            Udara malam ini begitu dingin hingga menusuk tulangnya. Sedingin hatinya saat ini.

            “Ndrew...,” lirih gadis itu sambil mengusap airmata yang mulai mengalir di pipinya dengan punggung tangannya. “Apa yang harus gue lakukan? Gue nggak sanggup....”
“Gimana kalau lo temanin gue? Gue akan menghilangkan semua kesedihan lo, beban pikiran lo, semuanya. Gue juga akan menghangatkan elo. Kita akan bersenang-senang. Gimana?”


            Gwen langsung memutar tubuhnya ketika mendengar suara berat bernada rendah itu. Dia menoleh dan wajahnya seketika pucat pias, seolah aliran darah berhenti di suatu titik dan tak mau mengalir ke wajahnya ketika dia tau siapa yang mengatakan dengan kurang ajar itu padanya.
            Jo, menatapnya dari atas hingga bawah dengan pandangan nafsu. Seperti prredator yang menatap mangsanya dengan kelaparan. Matanya menikmati sorot ketakutan Gwen yang terpampang jelas di depannya. Bibirnya gemetar ketakutan. Entah kenapa, membuat nafsunya langsung dalam posisi ON.
            Siap untuk menyerangnya.
            “Ap... pa yang lo lakuin disini?!” Ucapnya dengan nada berusaha dingin, menghilangkan ketakutan ketika Jo mendekatinya perlahan. Senyum sinis terpampang diwajahnya.
            “Menikmati keberuntungan gue ketemu lo, Gwen.” Dia tersenyum dan kini berdiri tepat di depan Gwen yang pucat pasi. Dia tak bisa mundur karna belakangnya adalah sungai yang berarus keras, dan kalau dia meloncat, kemungkinan ada dua, dia terbawa arus tanpa ujung, atau mati karna terbentur batu sungai,  dan dia tak bisa lari ke kiri atau ke kanan karna aura Jo mengintimidasinya.
            just enjoyed, Gwen.” Tiba – tiba, sebuah pukulan telak mengenai tengkuknya. Membuat seluruh syaraf – syarafnya berhenti seketika. Dia merasakan pandangannya memudar, dan dia merasa tangan Jo memegang tubuhnya, terakhir dilihatnya ...
           
            Jo tersenyum puas.

            Andrew...”  Panggilnya pelan sebelum akhirnya menutup mata. Dia pingsan.


**

            “Gwen...”  Entah kenapa, hatinya daritadi selalu memanggil namanya dan mengirimkan sinyal pertanda buruk untuknya.
            Dia tak tau apa yang terjadi sampai akhirnya dia menghentikan kendaraan di persimpangan jalan. Dia melihat kendaraan terparkir di pinggir jalan, dekat sungai. Entah kenapa, dia turun dari motornya dan berjalan menghampiri motor Ninja Hitam itu.  Dia melihat plat motornya dan terdiam.

            Dia tau siapa pemilik motor ini.
            Suara jeritan terdengar nyaring dan  tak jauh darinya membuatnya menoleh dan dia melihat rumah kosong itu. setaunya, rumah kosong itu lampunya tak pernah seterang ini. Lampunya selalu redup. Kesadaran menghentaknya hingga membuatnya menggigil menahan emosi.
            Dia tau suara jeritan itu.
            Suara itu...

            “Gue bunuh lo, JO!”

♥ ♥

            Gwen menjerit ketakutan ketika dia terbangun, dia melihat tangannya terikat di tiang ranjang usang dengan tali rafia yang disimpul mati, dia berusaha menggerakkannya, tapi bukannya lepas, malah menyakiti pergelangan tangannya. Dan di ujung sana, dia melihat Jo, tersenyum penuh kepuasan batin melihatnya menderita.
            “Sudah bangun, sayang? Akhirnya...” Dia mendekati Gwen yang menatapnya ketakutan, duduk di sampingnya, dan mengelus pipinya lembut. Tatapan matanya membahayakan Gwen.

            “Ma...mau ngapain lo?” gwen semakin ketakutan ketika Jo menindihi tubuhnya, menarik kasar reselting jaket hitamnya hingga baju kemeja yang bekerah rendah terpampang jelas. Dia melihat Jo menelan ludah susah payah melihat keadaannya sekarang.
            “Sssh...” Jo menempelkan telunjuknya di bibirnya yang bergetar dan tersenyum manis. Namun membawa maut baginya, “Sayang, bisa diem sebentar? Pesta kita berdua akan segera dimulai, jangan agresif gitu, nanti gue tambah nafsu sama lo,” ucap Jo masih dengan seringai setannya. Jeritannya semakin menggila ketka Jo membuka kancing atas kemejanya.
 
“Jo...lo...lo mau ngapain? Janga.. Jangan!” teriak gwen panik. Alarm di kepalanya memberikanya petunjuk bahwa laki – laki itu akan berbuat jahat padanya. Gwen semakin berusaha menggerakkan tangannya yang terikat di atas kepalanya. Namun, bukannya longgar, yang ada malah menyakiti lengannya. Keadaan itu membuat Jo langsung menahan kedua tangan gwen. Mengurung tubuh mungil gwen. Tangan kiri laki –laki itu menahan kedua lengan gwen di atas kepala gadis itu, sementara tangan kananya mulai bergerilya di tubuh Gwen. Menyentuh semua jengkal tubuh yang dia inginkan sejak pertama kali melihat gadis itu
             “Jo, gue mohon, Jo...jangan apa –apain gue,” pinta gadis itu terisak, dia sudah merasa putus asa. Hanya memohon pada laki –laki itu adalah jalan satu – satunya. Jo tersenyum lebar mendengar ucapan yang keluar dari bibir mungil gwen.

            Permohonannya bagai lagu indah di telinga Jo yang sudah terhanyut nafsu. Dia menghentikannya dan memegang dagu Gwen, dan mendekatkan wajahnya hingga mereka saling bersentuhan ujung hidung. “Lo tau, gwen? Dari pertama liat lo, gue penasaran banget pengen ngerasain bibir tipis lo ini,” bisik Jo tepat di depan bibirnya yang membuatnya terbelalak. Apalagi wajah laki – laki itu semakin mendekat, membuang jarak keduanya. Ketakutan gwen semakin bertambah hingga membuat tubuhnya lemas. Bahkan untuk menjeritpun dia sudah tidak sanggup. Air mata gwen masih terus mengalir, meratapi nasibnya yang sebentar lagi akan hancur gara – gara bajingan ini. Gwen menggeleng lemah, berusaha kembali memohon pada Jo.

            “Jo... jang...” Jeritnya terhenti ketika mulut Jo menutup kata – katanya, memainkannya dengan kasar. Membuatnya tak bisa bernapas. Membuat pertahannya hancur seketika. Lebih hancur dari dibayangkannya.
            Ciuman pertamanya, ciuman yang seharusnya diberikan kepada cowok yang dicintainya, yang dijaganya selama 18 tahun, hilang dalam satu malam oleh cowok bajingan yang sekarang puas dengan ketidak berdayaannya.
            “Hmm.. i like your smell.” Jo menghentikan ciuman di bibirnya yang tipis kemerahan itu dan tanpa peringatan, mencium lehernya, menggigit tengkuknya hingga dia menjerit. Meminta agar Jo melepasnya.

            “Joo.. jangaann... jangann...” Ucapnya histeris dan penuh ketakutan ketika Jo masih berada di lehernya, sedangkan tangan kirinya membuka kancing kemejanya satu – persatu,

            Oh tidak.. tidak...”
            “Gue suka dengar teriakan lo, Gwen. Sexy voice.” Sambil berkata begitu, dia menggigit leher Gwen hingga membekas kemerahan. Gigitannya membuatnya menjerit kesakitan.
           
            Gwen menutup matanya ketika Jo semakin “bermain” di tubuhnya, habis tenaganya untuk berontak, ketakutan menutupi akal sehatnya, trauma yang seharusnya dia lupakan tentang percobaan perkosaannya dengan tetangganya itu, menyerang mentalnya.
            BRAK! Seseorang menarik tubuh Jo hingga terpental jatuh ke lantai dengan kasar. Suara teriakan penuh kemarahan, kata – kata kasar berloncatan dari mulutnya, dan tendangan bertubi – tubi hingga barang – barang jatuh, membuatnya berani membuka mata, dan kaget dengan siapa yang dilihatnya.

            “Andrew?” Ucapnya pelan sebelum dia pingsan karna mentalnya tertekan segitu beratnya.

♥ ♥

            Percobaan perkosaan itu membuat Gwen trauma. Dia sudah 2 hari tak turun sekolah. Kedua orang tuanya tak tau karna saat Andrew mengantarnya pulang, mereka sedang keluar kota dan hanya Rere, kakaknya yang menghadapinya, mengantarnya masuk kamar tidur, dan tidur disampingnya sambil memeluknya setiap dia mimpi buruk. Mimpi akan perlakuan Jo.
            Pintu kamarnya terbuka, namun Gwen tak menyadarinya. Matanya fokus menatap dinding kamar. Semenjak kejadian itu, Gwen seolah mayat hidup. Raganya hadir, tapi rohnya entah pergi kemana. Dia menjadi rapuh, tak bisa tersentuh.
            Andrew menatap sahabatnya yang hanya duduk di ujung ranjang dengan bersandar di tembok dan memeluk kedua lututnya dengan perasan terluka. Seandainya dia terlambat menyadarinya, seandainya dia tak datang hari itu, seandainya...

            Mungkin, Gwen akan...

            “Gwen, liat, gue bawa makanan kesukaan lo.” Andrew berjalan menghampirinya dan duduk disampingnya yang hanya menatap kosong tembok, entah tak menyadari kehadirannya, atau, dia memang tak tau kalau Andrew duduk disampingnya.
            Dengan pelan, Andrew menyentuh lengan Gwen dengan lembut. Ingin menarik lembut sahabatnya yang terlalu berdiam diri di kubang kegelapan hingga tak menyadari kehadirannya, “Gwen, ini gue...”

            “Tidaaakkkk!!! Menjauh dari gue! Menjauh!” Gwen berteriak ketakutan ketika Andrew menyentuhnya. Matanya nyalang ketakutan, sorot matanya yang kosong itu berubah menjadi penuh ketakutan. Semakin dia mendekat, semakin Gwen beringsut menjauh, menghindarinya sambil berteriak ketakutan dan kini berjongkok di lantai sambil memeluk tubuhnya. air mata membasahi pipinya.  Melihatnya, membuat Andrew sakit dan merasa tertusuk.

            Gwen tidak mengenalinya.

            Andrew beringsut dari ranjang, berjalan mendekati Gwen yang berteriak menyuruhnya mundur, untuk tak mendekatinya, dia duduk di depan Gwen dan memeluknya erat, walau gadis itu berteriak kesakitan seolah pelukannya menyakitinya, walau gadis itu berontak dengan memukul dadanya agar bisa terlepas. Dia tak peduli.
            Setetes air mata membasahi pipinya ketika Gwen menangis lemah dipelukannya. Dia tak pernah menangis seumur hidupnya. Bahkan saat diputusi Arny pun dia masih bisa tertawa terbahak – bahak.
            Tapi, melihat Gwen, sahabatnya, cewek yang disukainya, tak mengenalinya, menganggapnya sama seperti cowok bajingan itu, membuatnya sakit.
                it's me, gwen! It's me, andrew! Listen to me! I promise that i'll kill that bloody jerk! I'll kill him into the pieces! I'll send him to the deepest hell!”  Dia berkata dengan nada dendam. Nada yang menjanjikan kegelapan bagi siapa saja yang mencari gara – gara dengannya,
           
             Cause i love you... I love you with all my heart! And i won't let anybody hurt you!"
            Ucapan terakhir itu membuat Gwen terdiam. Tak menyangka. Dan menatap Andrew dengan tatapan kosong.

            What?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar