Someone like you. Always hurting but, never give up.”
![]() |
Erika Assifa Pradipta |
Aku
mengerang dan membuka mata perlahan. Sinar Matahari pagi yang terpancar dari
jendela kamar sangat menyilaukan. Aku memicingkan mata dan melihat mamaku
berada di depan tempat tidurku dan berkacak pinggang.
“Kenapa
ma?” Tanyaku dan duduk dengan rambut panjang menutupi sebagian muka dan mataku.
Hingga seperti Dajjal, Setan bermata satu yang kulihat di buku yang
malam tadi kubaca. Pemberian dia.
Mamaku,
Erza Noor Assifa. Seorang wanita paling cantik pernah ku lihat dan aku bangga
mewarisi kecantikannya itu. Adikku, Elista, mewarisi wajah dan sifat kedua
orang tua kami. Sedangkan kembaranku, Febrian, hanya kegantengan papahku.
Itupun sudah membuatnya besar kepala dengan selalu menggoda cewek – cewek yang
kepergok meliriknya.
“Kamu
kuliah jam berapa hari ini?” Di umurku yang 20 tahun ini, mamaku masih saja
bertanya aku kuliah jam berapa. Seolah – olah aku baru saja masuk kuliah dan
semester pertama. Padahal aku sudah jalan semester 5 Jurusan Kedokteran. Tak usah
dikhawatirkan lagi untuk urusan seperti ini.
“Jam 1
siang ma.” Jawabku dan duduk di tepi ranjang sambil mengacak – acak rambut. Ini
sudah kesekian kalinya aku tidur dengan mata berkantong seperti Panda, rambut
kesana – kemari seperti kesetrum, dan tatapan mata yang kata Bian, seperti ingin
menerkam orang.
Aku
merebahkan kepalaku lagi di kasur yang empuk. Sebelum kepalaku benar – benar
menempel, dengan kejamnya mama menarik bantal. “Gak boleh tidur lagi!”
Perintahnya.
“Yaaahh...
ma, Rika baru aja tidur jam 3 subuh! Sekarang baru jam 7 pagi. Kuliah jam jam 1
siang. Ayolah... ngantukkk...maa...” Aku memohon dengan mata sayu. Otot mataku
mengejang karna menahan kantuk. Membuat kepalaku sakit lagi.
“Tapi..
tadi Yudha nelpon tuh ke rumah. Katanya mau jemput kamu kuliah. Gak siap –
siap?” Umpan mama berhasil. Mendengar namanya, aku langsung tegak lagi.
“Yudha?”
Dengan cepat aku mengambil ponsel dan melihat ada sms disana. Dengan riang aku
membalasnya. Melupakan kehadiran mama yang sudah mengeluarkan “taring” interogasinya.
“Ehm...
Katanya mau tidur lagi.” Godanya dan aku tak tau harus bereaksi apa selain
menundukkan wajah malu.
“Maa...
ketahuan banget yah Rika naksir Yudha?” Aku bertanya kesekian kalinya pada
mamaku soal Yudha, sahabatku sejak kami sama – sama masuk kedokteran. Dan entah
kapan, perasaan suka itu hadir di antara persahabatan kami. Padahal aku tau
kami takkan bisa bersatu kalaupun ingin, karna tradisi keluarganya mengatur
demikian. Dan perbedaan agama juga semakin membuat jurang pemisah semakin lebar
dan satu – satunya jalan untuk bersama adalah membangun jembatan persahabatan
di antaranya.
Aku tau
mamaku berpikiran demokratis. Tapi, tak menutup keyakinan mamaku akan
menyuruhku berpikir bila Yudha adalah kekasihku. Mengingat banyak perbedaan di
antara kami. “di mata mama sih kelihatan banget. Sahabat tapi cinta nih
ceritanya?” Godanya dan aku semakin menutup wajah dengan boneka Panda pemberian
Yudha di saat aku ulang tahun ke- 20 minggu lalu.
“Udahlah,
ma...” Aku mendorong mamaku pelan ke samping dan dia hanya tertawa melihat
tingkah maluku. Kalau Bian melihat ini, aku jamin dia akan membuatku lebih
merah dari ini. Kalau perlu sampai mengeluarkan air mata saking malunya.
“Jalani
aja persahabatan kalian. Jangan terlalu berharap. Nanti kamu sakit. Sudah tidur
lagi. Kasian tuh kantong mata kamu tambah bengkak. Keliatan tua.” Mama
tersenyum dan keluar dari kamarku sambil menutup pintu.
Seperginya
mama, aku terdiam. Memikirkan ucapannya barusan dan mataku tertumbuk pada foto
– foto di dinding kamarku yang penuh dengan kami berdua bersama Siska dan
Winda. Sahabatku. Merasa pusing semakin menjadi – jadi, aku memutuskan tidur
lagi. Berharap Yudha menjadi milikku walau hanya dalam mimpi.
♥ ♥
“Aku
membangun jembatan di antara jurang. Jagalah jangan sampai rubuh. Karna jembatan
itulah satu – satunya cara agar aku dekat denganmu.
“Rikaa...”
Suara bariton yang seksi dan lembut sangat ku kenal menggangguku. Aku menutup
telingaku dengan bantal dan berbalik ke samping. namun suara itu memanggilku
kembali. lebih lembut. Bahkan kakiku
menjadi geli karna digelitikinya. Membuatku mengerang.
Dengan perlahan,
aku berbalik. perlahan membuka mata
dan... “Yudha?” Aku shock berat. Sahabatku, cowok yang kusukai, ada di
samping tempat tidurku. Melihat rambutku yang acak – acakan. Baju piamaku yang
sudah sangat lusuh ini.
Oh
Tuhan, apakah aku baik – baik dimatanya sekarang? Apakah ada air liur menetes
di pipiku? Apakah aku mengigau? Sejak kapan dia disini?
Seolah
tau aku sibuk bertanya dan merutuk pada Tuhan, dia tersenyum. Membuat
tuntutanku berhenti dan mengerang dalam hati. Tuhan... senyumnya manis sekali.
“Lo gue telpon gak ngangkat. Yaudah, gue kesini. Dan nyokap lo nyuruh gue masuk
aja ke kamar lo. ckckckc... percaya amat nyokap lo ma gue.” Dia dengan
santainya berdiri dan berjalan mengitari kamarku dan tersenyum melihat Biola, alat musik kesukaanku ada di atas meja
belajar dan Tom, sebenarnya kucing dia juga. Mengingat kami patungan membelinya
dan dia tak diijinkan mempunyai kucing karna alergi bulu yang parah. membuat
Tom yang waktu itu masih berumur beberapa bulan, menjadi milikku.
“Yaiyalah
nyokap gue percaya. Mengingat wajah lo bukan wajah penjahat. Lagipula, kalaupun
lo macam – macam ma gue, gue bisa hajar lo sampai tak bertulang.” Dan dia
mengacungkan jari tanda setuju. “Ngapain juga gue macam – macam sama lo?
terlalu beresiko bikin wajah ganteng gue hancur.” Aku hanya mencibir walau
dalam hati menyetujuinya. Dia memang ganteng. Wajahnya mengingatkan pada
penyanyi kesukaanku, Afgan. Dengan suara baritonnya yang seksi, Jari – jarinya yang
juga seksi saat memetik gitar, dan romantis dalam menciptakan lagu. Untuknya
atau untuk kami. Kata – kata setiap liriknya membuatku tersentuh dan berharap
di antara sekian banyak lagu yang diciptakannya, ada sedikit tentangku.
Seekor Cicak
tau – tau mendarat di pahaku. Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan
menjerit ketakutan. Dia hanya tertawa dan mengambil cicak yang ternyata hanya
mainan. Membuatku merengut. “Lo!” Dan dia semakin tertawa. “Siapa suruh
melamun? Udah sana. Mandi terus temanin gue ke cafe bentar sebelum ke
kampus. Gue mau latihan bentar buat ntar malam.”
“Ntar
malam ada apa emangnya? Tampil lagi?”
“Malam
kan ada acara amal dan gue main Gitar akustik. Datang yah.” Dia menatap penuh
harap dan aku tanpa ragu mengangguk.
“Apa sih yang gak buat lo, Yudh? Udah sana! Gue mau mandi! Lo gak mungkin disini kan nungguin gue?”
Tiba –
tiba, seringai menggoda hadir di wajahnya. Terlihat semakin... Ganteng. “ Bisa
kok. kalau lo yang nyuruh gue disini. Dengan senang hati gue turutin. Siapa sih
yang gak bisa nurutin permintaan sahabat cantik gue satu ini?” Dengan enteng
dia mencolek daguku dan bisa dipastikan, wajahku langsung merona.
“Yudhaaaaa...”
Aku berteriak keras ntuk menghapus wajah malu. dan dia tertawa sambil keluar
dari kamarku dan menutup pintu.
Sepeninggalnya.
Aku langsung lari ke lemari baju, menyiapkan pakaian terbaik untuk bersamanya.
Setelah selesai, aku langsung mandi secepat dan seharum mungkin.
♥ ♥
“Terlalu
banyak perbedaan. Sehingga aku hanya bisa berlindung di balik kata sahabat.
Tapi, sampai kapan aku mampu bertahan, sayang?”
Gue gak
nyangka waktu bertamu di rumahnya, langsung berhadapan langsung dengan
nyokapnya, Men! Oh God! Gue kagok melihat kecantikan nyokapnya yang
memang 100% ada di diri Erika. Sahabat sekaligus cewek yang membuat gue sampai
saat ini berusaha menolak perjodohan konyol yang dibuat oleh keluarga gue hanya
karna ingin mengikuti tradisi konyol yang sudah ada jaman Siti Nurbaya itu. Dan
gue korbannya. Disuruh menikah dengan cewek yang hanya keluarga besar gue
kenal, tapi gue buta sama sekali.
“Eh
Yudha.. ayo masuk. Erika sedang tidur. Kamu bangunin aja di kamarnya.” Suara
mamanya membuyarkan lamunan dan gue langsung Shock!
Membangunkannya?
Di kamar? Gue? Gak salah?
Seolah
tau kebimbangan gue, nyokapnya tersenyum. “Gak papa kok. siapa tau kalau kamu
bangunin, dia mau. Tadi sudah tante bangunin tapi dia gak bangun – bangun.”
Jelasnya. “Gak papa, tante? Yudha cowok loh.” Gue mencoba meyakinkan pikiran
nyokapnya yang agak WAW di telinga gue dan sekali lagi, senyuman Erika terlihat
di wajah nyokapnya. “Tante juga tau kamu cowok. Yang tante khawatirin malah
kalau kamu banci. Kan susah mengingat dia anti sama banci. Kamu bangunin yah.”
Pintanya dan dengan bloon gue mengangguk. Penuh semangat malah. “Ok
tante. Kamar Rika dimana?”
Dengan
santainya tante gue menunjuk kamar Rika di lantai dua dan gue langsung menuju
kesana dengan deg – degan seperti mau nyodorin skripsi dengan judul mengapa
kodok dilahirkan kembar kepada dosen killer.
Gue masuk
ke kamarnya hati – hati dan melihat dia tidur sambil memeluk guling dan
wajahnya, Tuhan... sangat damai sekali. Seperti melihat bidadari sedang
tertidur. Gue sanggup berada disini selamanya hanya untuk melihatnya tertidur.
Tapi, gue
kaget ketika dia memanggil nama gue disela tidurnya. Mimpikah gue? “Yudhaaa...”
Dia memanggil lagi dengan suara lembutnya. Membuat gue ingin menyahut
panggilannya dengan kata “Iya sayang...” tapi, itu gak mungkin, kan? jadi,
dengan berat hati gue berbisik memanggil namanya dengan setulus hati. Segenap
perasaan yang gue miliki untuk bidadari yang sedang terlelap ini. Dia
menggeliat dan berbalik sambil menutup telinganya dengan bantal. Membuat gue
tersenyum dan dengan penuh sayang gue gelitiki kakinya. Dia pun berbalik ke
arah gue dan matanya yang coklat itu melotot kaget ketika gue di sampinngnya.
“Yudha?” Gue bisa merasakan nada pertanyaan dan kaget kenapa gue ada disini
sekarang.
Rambut
panjangnya yang biasanya rapi, selalu dihiasi pita – pita, kini acak – acakan
khas bangun tidur, baju piama lusuhnya melekat di tubuhnya, dan wajah cantiknya
yang kaget itu membuat gue terbius untuk beberapa saat.
Sebelum
dia sadar karna gue terlalu terpesona, gue berdehem kecil. ““Lo gue telpon gak
ngangkat. Yaudah, gue kesini. Dan nyokap lo nyuruh gue masuk aja ke kamar lo.
ckckckc... percaya amat nyokap lo ma gue.” Sambil berkata begitu, gue
memutuskan berkeliling di kamarnya dan melihat alat musik Biola, alat musik
yang sangat gue sukai dan dia menyukainya juga serta Tom di dalam kandang yang
sudah besar. Well, sebenarnya hanya akal – akalan gue saja ntuk
beralasan gue alergi bulu kucing parah dan menyerahkan Tom padanya. Sebenarnya
gue sengaja membelikannya kucing mengingat waktu gue ajak ke petshop matanya
tak lepas dari Tom dan membuat gue rela membelikannya Cuma – Cuma. Tapi, dia
menolak dan mengusulkan ntuk patungan saja. Ingin rasanya gue bilang gak usah,
tapi takut radar curiganya mendadak On, gue akhirnya mengiyakan dengan senang
hati walau dalam hati merutuk habis – habisan.
Dia
menjawab dengan candaan pula dan gue respon dengan acungan jempol. Dan dia
menjawabnya lagi hingga gue memutuskan untuk menggodanya. Membuatnya mencibir.
Salah satu kesukaan gue dalam dirinya.
Melihat
dia melamun, gue mengeluarkan cicak mainan yang sengaja gue selipin di kantong
dan gue lempar ke arahnya. Membuatnya langsung meloncat bangun dan berteriak
ketakutan. Gue tertawa melihatnya dan mengambil cicak itu. Sedangkan dia,
menatap gue penuh emosi. “Lo!” Teriaknya dengan jari menunjuk ke wajah gue. Gue
semakin tertawa melihatnya. Bahkan disaat emosi pun, dia sangat cantik dimata
gue.
“Siapa
suruh melamun? Udah sana. Mandi terus temanin gue ke cafe bentar sebelum
ke kampus. Gue mau latihan bentar buat ntar malam.”
“Ntar
malam ada apa emangnya? Tampil lagi?” dia bertanya dan gue mengerang. Tuhan...
kenapa dia lupa dengan acara penting gue?!
“Malam
kan ada acara amal dan gue akan mainin gitar akustik. Datang yah.” Ingin rasanya gue meloncat ntuk
memeluknya ketika dia mengangguk senang.
“Apa sih yang gak buat lo, Yudh? Udah sana! Gue mau mandi! Lo gak mungkin disini kan nungguin gue?” Gue semakin ingin terbang mendengarnya berkata seperti itu dan sebagai responnya, gue menggodanya.
“Apa sih yang gak buat lo, Yudh? Udah sana! Gue mau mandi! Lo gak mungkin disini kan nungguin gue?” Gue semakin ingin terbang mendengarnya berkata seperti itu dan sebagai responnya, gue menggodanya.
“Bisa kok.
kalau lo yang nyuruh gue disini. Dengan senang hati gue turutin. Siapa sih yang
gak bisa nurutin permintaan sahabat cantik gue satu ini?” Gue mencolek dagu
lancipnya. Satu mimpi gue terwujud hari ini untuk menyentuh wajah mulusnya
setelah 2 tahun ini gue hanya puas memandangnya dekat tanpa bisa gue sentuh.
Seperti biasa, wajahnya langsung merona malu.
“Yudhaaaaa...”
Dia berteriak dan melemparkan bantal ke arah gue. Gue dengan gesit langsung
menghindar dan keluar kamarnya dengan senyum. Hati gue dipenuhi bahagia saat
ini.
Di bawah,
gue melihat Bian, salah satu teman akrab gue di kampus,sekutu di lapangan
Basket serta mentor gue dalam bermusik, khususnya gitar mengingat dia sangat
berbakat selain menggoda cewek dan juga kembaran Erika. Seandainya gue gak tau
Bian kembarannya, mungkin gue akan bunuh diri melihat kedekatan mereka di
kampus yang mengalahkan pasangan paling romantis sekalipun. Dengan mantap gue
menyapanya dari atas dan bergegas turun ke bawah.
♥ ♥
“Salahkah diriku ini ,apabila rasa ini, ada dihatiku
kau memang sahabatku, kau memang teman baikku
Dan aku, jatuh cinta padamu.”
kau memang sahabatku, kau memang teman baikku
Dan aku, jatuh cinta padamu.”
Aku
turun dengan hati deg – degan. Dengan rok panjang bewarna peach yang
menyelimuti kakiku, baju berlengan pendek dan wedges berhak rendah
mengingat dosen mata kuliah ku hari hari ini tak menginginkan mahasiswinya
dibalut celana Jins super kentat dan baju kaos. Dengan mantap menuruni anak
tangga dan berjalan anggun seperti Cinderella dan melihat Yudha asyik memetik
gitar dan Bian mengiringinya dengan piano di ruang keluarga.
Entah
apa, dia melihatku ke atas dan tersenyum lalu melanjutkan permainannya. namun
tidak dengan Bian, dia mengikuti tatapan Yudha dan melihatku. Seringai godanya
muncul. “Cantik banget lo kak hari ini. Beneran deh! kalah Ibu Pur kalo liat
penampilan lo! iya kan, Yudh?” Dengan tenangnya dia meminta pendapat pada Yudha
yang kini juga menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lalu tersenyum.
“Iyaa... kakak lo cantik banget. Andai gue gak sahabatan, udah gue pacarin
kali.” Jawabannya membuatku kaget.
Bian tak
kalah kagetnya. Dia tau aku menyukai Yudha dari dulu. Dan wajah keterkejutannya
langsung hilang. “Well, kaka gue gitu loh. Jangankan lo, Yudh. Andai Kak
Rika bukan kakak gue, udah gue pacarin kali yah. Dia cewek paling cantik yang
pernah gue lihat. Saking cantiknya, matipun gue rela asal demi dia.” Bian
mengedipkan matanya. Membuatku merona.
“Apa –
apaan sih lo!” Aku menyerangnya dan dia tertawa. “Yuk, Yudh. Bisa gila lo dekat
dengan Bian. dia penyebar virus!” Spontan, aku menarik lengannya menjauh dari
piano. Membuat kami saling bertatapan dan melepas pegangannya segera. Aku bisa
merasakan panas di wajahku semakin meningkat. Mengalahkan orang demam tinggi.
“Virus
cinta kak.” Bian menjawab enteng.
“Virus
patah hati!” Aku tak kalah sinisnya. Sudah banyak temanku menjadi korban patah
hatinya karna dia terlalu mengumbar pesona. Dan dia menganggap enteng dengan
peringatanku dan semakin menjadi – jadi.
Yudha
tertawa melihat pertengkaran kami. Lalu dia mencolek pundakku. “Yuk, Rika.”
Ajaknya dan aku keluar dari rumah dan berjalan beriringan dengannya.
“Ok...
selamat tinggal pasangan kekasih yang berbunga – bunga , eh... pasangan sahabat
yang setia maksudnya,” Entah sengaja atau tidak, Bian mengucapkan itu dan
memainkan sebuah lagu That Somebody Was You – Tony Braxton, penyanyi favoritku
dan menyanyikannya sepenuh hati. Dalam hati aku menyumpahi perilaku Bian dan
meneruskan langkahku keluar tanpa memberi balasan.
Yudha
hanya menoleh ke arah Bian dan tersenyum. Lalu dia merangkul lenganku seolah –
olah mengiyakan apa perkataan Bian. bisa didengar, adik sablengku semakin
nyaring bernyanyi sampai keluar rumah.
♥ ♥
Well, gue
kaget luar biasa dengan apa yang dikatakan Bian waktu kami keluar bareng. Selamat
jalan, pasangan kekasih? Ckckck... tapi, harus diakui, cukup membuat gue
langsung terdiam dan berhenti. Gue menatap Erika yang menurut gue sangat cantik
hari ini. Dengan rok panjang, bajunya yang pendek dengan bahan halus, dan
rambutnya yang terurai. Dia sama shocknya dengan gue. Tapi, dia
mengendalikannya dan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Gue,
menoleh ke arah Bian yang asyik saja menyanyikan lagu yang jujur, juga kesukaan
gue. Bian sadar dengan tatapan gue, mengedipkan mata dan gue membalasnya dengan
senyum lalu menggandeng lengan kakaknya. Dia semakin semangat bernyanyi.
“Well,
Kita bawa mobil sendiri – sendiri kan?” Pertanyaan Erika membuat gue terhenti.
“Gak...
kita bareng ke kampus. Terus gue antar balik kerumah. Gimana?”
Please,
say yes. Say you want it.
Tanpa
disangka, dia mengangguk dan tersenyum ke arah gue. “Ok deh. udah lama gak bareng
lo ke kampus.” Jawabnya dan dengan semangat ’45, gue langsung setengah berlari
ke mobil dan membukakan pintu depan ntuknya dengan gaya seperti dia seorang
Ratu. Membuatnya tertawa. “Konyol lo, Yudh.” Ucapnya dan masuk. Setelah itu,
baru gue berlari masuk ke dalam mobil dan menjalankannya. Meninggalkan rumah.
Lama di
perjalanan kami habiskan dengan saling berdiskusi. Kecantikan dan kepintaran
serta care membuat gue semakin menyukainya. Banyak yang mengincar
sahabat gue yang satu ini. Bahkan terang – terangan banyak yang minta dicomblangin lewat gue. Bisa
dibayangkan, dengan halus gue menolak permintaan mereka bahkan gue gagalkan
dengan secara halus setiap usaha mereka. Ok, itu licik. Tapi gue gak bisa
terima kalau dia jadian sama cowok lain yang tak sesuai dengan apa yang dia
punya. Bidadari gue, pantas mendapatkan yang terbaik. Walaupun gue kadang
berharap, yang terbaik itu adalah gue.
“Yudh...”
Panggilannya membuyarkan lamunan. “Apa?”
“Kayaknya
lo kelewatan deh,” Dia menunjuk Cafe yang menjadi tempat tujuan menjadi
kelewatan karna gue melamun. Dengan segera, gue memutar mobil ke arah kanan dan
belok ke kiri untuk masuk ke halaman Cafe.
“Gue suka
cafe disini,” Pujinya dan gue tersenyum. “Gue juga. Adem.” Ingin rasanya saat
berkata begitu, gue menoleh ke arahnya dan tersenyum. Tapi, dengan berat hati
gue memilih untuk puas menatap ke arah depan Cafe yang memang mengundang untuk
masuk.
“Yuk...”
Dia melangkah riang masuk ke cafe dan tersenyum kepada beberapa orang yang
dikenalnya dan bercanda. Gue puas mengiringi berjalan di belakang. Tangannya
yang terayun kesana – kemari, ingin rasanya gue tangkap terus gue gandeng.
Tapi, gue hanya bisa menolak ajakan hati gue itu dengan sedih dan sebagai
gantinya, gue merangkul pundaknya dan masuk ke dalam.
♥ ♥
Hampir
setengah jam aku ada disini. Menemani Yudha yang asyik memainkan gitarnya di
depan. Dan aku memutuskan duduk paling pojok sambil mengeluarkan buku bacaan
yang belum selesai ku baca dan terhanyut dengan kisahnya. Perilaku Yudha hari
ini membuatku heran. Rangkulan di pundakku, senyumnya yang lebih sering, dan
tatapan matanya, entahlah... semua terlihat tidak biasa. Membuatku...
Tiba –
tiba, ponselku bernyanyi. membuat lamunanku terhenti dan memutuskan
mengangkatnya. “Halo...”
Suara
Siska, salah satu sahabatku yang entah kenapa, akhir – akhir ini selalu
mendekati Yudha. “Lo dimana, Rika?”
“Gue di cafe
sama Yudha. Temanin dia bentar.” Aku yakin, terdengar desahan kecewa dari suara
serak – serak seksi yang menelponku sekarang ini.
“Gak...
tapi lo ke kampus kan?
“Yap.
Sama Yudha. Mungkin bentar lagi kami ke kampus. Nunggu Yudha selesai ma
urusannya. Kenapa, Sis?”
“gak
kok.” Ada jeda sebentar. Lalu suara Siska terdengar lagi. “Rika... lo sama
Yudha kan?” Dan aku mengangguk walau dia tak melihat. Sempat mataku dan Yudha
saling bertatapan, lalu kami melempar senyum. “Gue titip salam yah sama Yudha.
Sekalian, ada yang mau gue omongin sama lo. Bubye, Riri sayang... Siska
memanggil nama panggilanku yang lain dan memutuskan telpon dengan riang. Hatiku
entah kenapa sakit sendiri.
Menyampaikan
salam Siska pada Yudha? Sanggupkah?
“Hai...”
Yudha duduk di depanku dan dengan sengaknya meminum pesananku dengan enteng.
Tanpa menyadari tatapan mataku ke arah sedotan bekas bibirnya. Apabila aku
meminumnya lagi, apakah kami berciuman secara tak langsung? Pikiran itu
langsung kusingkirkan secepat mungkin.
“Kenapa
lo?” Tanyanya melihatku menepuk pipi sendiri.
“Tadi
Siska nelpon. Dia bilang salam cinta dan sayang untuk lo. cieee... sahabat gue
laku juga ternyata.” Aku memutuskan menyampaikan pesan Siska dan sedikit
menambah – nambahi agar Yudha salting.
“Oh...”
Hanya itu respon Yudha dan tertawa melihatku melongo. “Udah biasa banyak cewek
yang kirim salam sama gue. Bukan Cuma Siska doang. Yuk.” Dia langsung menarikku
untuk keluar cafe.
“Gue
belum bayar minuman, Yudh.” Aku mencoba berhenti, namun Yudha semakin menarikku
sambil melirik jam tangannya.
“Kita
telat kalau gak cepat, Rika. Udah gue bayarin saat lo telponan, ayooo..” Aku
termangu mendengarnya dan buru – buru mengikuti langkahnya yang semakin cepat
menuju mobil.
♥ ♥
Siska
nitip salam sama gue? Well, itu bukan berita baru lagi mengingat dia
adalah salah satu kandidat calon tunangan gue karna kedua orang tuanya dekat
dengan ortu gue dan kami cocok untuk disatukan secara tradisi konyol itu. Tapi,
gue gak nyangka dia menitip salam lewat Erika. Ahhh.. seandainya Erika tau.
Gue
langsung menjawab datar menanggapi salamnya dan dia melongo. Dengan cepat gue
memberikan alasan kalau sebelum dia, banyak yang nitip salam sama gue lewat
yang lain. Jadi salam Siska biasa aja di mata gue. Baru dia percaya. Padahal
sebenarnya gue tak ingin membahasnya.
Dengan
cepat gue menariknya keluar cafe dengan alasan kami mau terlambat. Memang itu
bukan alasan karna waktu sudah menunjukkan pukul 11 pagi. Jalan raya tak bisa
diprediksi dan gue gak mau mengambil resiko terlambat ke kampus mengingat dosen
hari ini killer luar biasa.
“Tapi gue
belum bayar, Yudh.” Teriaknya sempat membuat langkah gue terhenti dan dia
menarik tangannya. Hati gue langsung merasa ada yang lepas ketika dia melakukan
itu.
“Udah gue
bayarin waktu lo telponan sama Siska.” Dia hanya terdiam dan seolah hendak
mengatakan sesuatu. Namun tak jadi dan memutuskan untuk mengikuti gue menuju
mobil setengah berlari.
Sepanjang
perjalanan, dia memuji permainan gitar gue dan menyukai musiknya. Well, gue memainkan depeape – One. Salah satu band
gitar akustik kesukaan gue dan ntah kenapa, gue suka memainkannya apabila Rika
ada disekitar gue. Bahkan, ide – ide ntuk membuat lagu pun semuanya karna dia
ada. Mungkin benar kata pepatah, cinta membuat apa yang ngadat menjadi ngalir
bagai air mengalir. Seperti gue alami sekarang.
“Yudh...”
Dia memanggilnya dan gue merespon dengan menoleh. “Iyaa...”
“Pernah
suka sama sahabat sendiri gak?” DEG! Pertanyaan ini kenapa harus keluar
sekarang?
“Gak kok.
kenapa?” Gue menarik napas dan menjawab dengan nada tenang. Walau dalam hati,
gue gugup.
Gue
melihat ekspresi wajahnya terlihat berpikir. “Kalau misalnya lo sayang sama
sahabat lo sejak lama, terus ada cowok yang nitip salam ntuk sahabat lo, apa
yang lo lakuin? Lo kasih tau atau lo diemin? Pura – pura gak ada yang ngasih
salam ke sahabat lo itu?”
“Gue
diemin dan gue bilang ma tuh cowok kalo sahabat gue udah punya pacar! Yaitu gue
sendiri!” Gue menjawab lantang dalam hati. Dengan sedikit berdehem untuk
menyamarkan emosi, gue menjawab “Yaa gue kasih taulah. Kalau perlu gue dorong
sahabat gue itu ntuk pacaran sama teman gue. Itung – itung jadi mak comblang.
Hahahhaa... kenapa, Rik?” Gue menjawab dengan tertawa. tapi jujur, hati gue
sakit, MEN!
“Gak...” Rika hanya tersenyum menjawabnya. Pikirannya ke arah lain. Entah kenapa, gue takut.
“Gak...” Rika hanya tersenyum menjawabnya. Pikirannya ke arah lain. Entah kenapa, gue takut.
“Jangan
sampai lo comblangin gue sama Siska atau cewek lain, Rika! Karna hanya lo, yang
gue inginkan.”
♥ ♥
“Pernah
suka sama sahabat sendiri gak?”
Bodoh!
Kenapa gue nanya pertanyaan sinting macam ini?!” Aku
merutuk dalam hati.
Takut – takut,
aku meliriknya. Eskpresi wajahnya datar. “Gak
kok. kenapa?” Entah kenapa, aku berharap dia menjawab “iya, kenapa?”
Tapi aku sadar, itu akan membuatku bertanya – tanya. Siapa?
Sudah
kepalang basah. Nyebur aja sekalian. Itu prinsipku “Kalau misalnya lo sayang
sama sahabat lo sejak lama, terus ada cowok yang nitip salam ntuk sahabat lo,
apa yang lo lakuin? Lo kasih tau atau lo diemin? Pura – pura gak ada yang
ngasih salam ke sahabat lo itu?”
please, jawab apa saja. Apa saja.
“Yaa gue kasih taulah. Kalau perlu gue dorong
sahabat gue itu ntuk pacaran sama teman gue. Itung – itung jadi mak comblang.
Hahahhaa... kenapa, Rik?” Dia menjawab sambil tertawa. Oh Tuhan... kenapa aku
sakit begini?
“ Gak
papa.” Hanya itu jawabku dan memutuskan “melarikan diri” dengan melihat sisi
jalan yang penuh dengan kendaraan. Aku melamun. Apa jadinya kalau aku,
sahabatnya, mencomblangkannya dengan Siska atau cewek lain sedangkan aku suka
dengannya? Sanggupkah aku? Kuatkah aku?
“Kenapa
sih, Rika? Lo aneh deh.” Dia bertanya sekali lagi dan melirik spion kirinya
untuk ancang – ancang berbelok ke arah kampus kami.
“Gak...
gue mikir aja untuk comblangin lo dengan Siska.” Aku keceplosan dan responnya
tak terduga. Dia terdiam dan menatapku ketika mobil sudah terparkir sempurna.
“Maka gue
akan menolaknya sebelum lo mempunyai usul itu, Rika. Gue gak suka dicomblangin.
Lo tau kan?” Dia menjawab dengan nada tegas dan wajah kami sangat berdekatan.
Hampir saja hidung kami bersentuhan. Aku mengangguk sambil menahan napas.
Tiba –
tiba, Siska mendekati mobil Yudha. Dia langsung mundur dan tersenyum. Dan aku
bersyukur karnanya.“Tuh sahabat lo nungguin. Samperin deh.” Dia membukakan
pintu dan aku langsung turun. “Ok deh. ntar gue pulang mungkin sama Bian aja.
Soalnya aja janji mau jalan sebentar. Gak papa kan?” Aku sempat berpikir dia
marah dengan rencana dadakanku dengan Bian, namun dia hanya tersenyum. “Oke
deh. asal lo ingat aja malam ada janji sama gue.” Dia mengingatkan. Dan aku
memberikan senyum terbaikku. “Gue gak bakal lupa kok. see ya.” Aku
keluar dari mobilnya dan Siska langsung merangkulku. Sempat kulihat, Siska
tersenyum ke arah Yudha yang masih dalam mobil sebelum kami meninggalkan
mobilnya. Hatiku mendadak sakit lagi melihatnya.
♥ ♥
“gue
mikir aja untuk comblangin lo dengan Siska.” Dia menjawab tanpa beban. Hati
gue serasa ditimpuk batu ribuan ton ketika bibirnya yang selalu senyum itu
mengucapkan kalimat sesakit itu ke gue.
Gue
terdiam. Dan memutuskan untuk menjawab dengan jarak kami yang sangat, sangat
dekat. Nyaris saja menciumnya kalau tangan kiri gue berpegangan dengan bantalan
kursinya. Gue mengucapkan penolakan dengan SANGAT JELAS. Dan dia mengangguk
mengiyakan dengan wajah gugupnya. Tuhan.. dia sangat mempesona dilihat dari
dekat. Pantas saja Bian tak pernah bosan bilang ma gue kalau kakaknya lebih
seperti bidadari nyasar ke Bumi dan menjadi keluarganya daripada manusia normal. Untuk hal ini, gue sangat
setuju.
Gue
langsung mundur ketika melihat Siska datang dan tersenyum ke gue sebelum
melirik Rika. Dengan berat hati gue menyuruhnya ntuk keluar dan dia bilang
ingin pulang dengan Bian saja karna ada janji. Sebenarnya gue kecewa, tapi...
gue langsung ingat malam ini dia akan ada di acara gue, dengan semangat gue
mengingatkannya tentang itu dan dia tersenyum lalu keluar dari mobil gue dan
berpelukan dengan Siska sebelum menghilang dari pandangan.
“Tuhan...”
Gue berdoa dalam hati. Mengucapkan harapan dan sebuah janji tulus untuk
bidadari gue yang satu ini. “Jika umur gue panjang, ijinkanlah untuk gue
mengatakan kalau gue mencintainya di atas perbedaan. Dan apabila dia juga
mencintai gue, gue bersumpah, akan mempertahankannya. Walaupun,” Gue terdiam.
Dengan yakin gue mengucapkan. “Gue harus melawan keluarga besar untuk memiliki
seutuhnya. Ini janji gue, Tuhan. Bantu gue.”
“Bersamamu, ku lewati, lebih dari seribu
malam
bersamamu, yang ku mau, namun kenyataan yang tak sejalan.”
bersamamu, yang ku mau, namun kenyataan yang tak sejalan.”
*Gleen Fredly – Sekali ini saja.
♥ ♥
“Tuhan...
sanggupkah aku menanggungnya?”
“Gue mau
cerita, Rika!! AAAA... GUE TUNANGAN!” Siska menjerit riang ketika
mengucapkan hal itu sambil memamerkan cincin di jermari lentiknya. Aku
menatapnya penuh sukacita. Sahabatku, akhirnya menemukan belahan hatinya.
Tuhan... kapan aku seperti dia? Tersenyum bangga sekaligus malu – malu sambil memamerkan cincin tanda
dia terikat dengan pujaan hatinya?
“Tunangan
sama siapa lo? Ciiee... ada yang mau married sekarang nih.” Godaku dan
wajah imutnya memerah. Siapa yang tak menyukainya? Wajahnya yang imut, suaranya
yang serak – serak seksi membuat Bian menggodanya setiap bertemu. Dan dia yang
tau reputasi kembaranku, hanya tersenyum malu – malu kucing karan termakan
rayuannya.
“Gue
dijodohin sebenarnya. Dan lo tau?! Cowok yang dijodohin sama gue itu adalah
cowok yang gue suka! Yudha! Gue dijodohin sama dia oleh keluarga besar kami!
WAW! Bumi memang sempit banget yah?! Bisa – bisanya...” Siska terus
mencerocos panjang lebar tentang sempitnya Bumi mengalahkan daun kelor karna di
jodohkan dengan pujaan hatinya. Tanpa menyadari, hatiku hancur berkeping –
keping seperti Guci dari tanah liat dibanting dari ketinggian yang sangat
tinggi. Pecah tak tersisa.
“Yudha?
Tunangan dengan Siska? Sahabat gue sendiri? Bagaimana bisaaa?!” Tanpa
sadar, aku mengucapkannya setengah berteriak. Suaraku seperti meminta keadilan
daripada shock bahagia mendengar sahabat sendiri bertunangan dengan
sahabatnya juga. Dan Siska yang rupanya tak menyadari itu, semakin tersenyum.
Hatiku semakin teriris.
“Keluarga
gue sama dia sudah lama kenalan. Dan secara tradisi serta sisilah keluarga, kami
cocok. Dan hal itu pulalah kami diwajibkan menikah ketika umur pria 22 tahun.
Yudha sekarang 22 tahun kan?” Dan aku mengangguk lemas. Aku berbeda 2 tahun
darinya karna cowok itu pernah 2 tahun tertinggal kelas bukan karna bodoh, tapi
2 kali mengikuti pertukaran pelajar selama setahun waktu kelas 2 SMP dan
setahunnya saat dia kelas 2 SMA.
“Dan kami
sedang merencanakan pernikahan ini. Keluarga besar dialah yang menyerahkan
cincin ini karna Yudha gak tau soal ini sama sekali. Dan malam ini, gue yang
berniat memberitahunya. AAAAA... Erika... bagaimana bisa gue menikah dengan
cowok yang gue mimpikan tiap malam? Bagaimana bisa ternyata dari orok, gue
dijodohkan dengan dia? Terima kasih nenek moyang yang membuat tradisi macam
ini!” Dia histeris sambil melantur dan memelukku erat. Tanpa mengabaikan yang
lain melihat kami di sudut taman dengan tatapan terganggu karna teriakan Siska.
Dan
bagaimana bisa, sahabat yang gue cintai sepenuh hati, yang selalu gue sebut
namanya dalam mimpi, beberapa bulan lagi akan menjadi milik lo? Bagaimana bisa?
Tuhan... gue ambruk.
“Mungkin,
2 atau 3 bulan nanti, gue akan menikah. Erika... doakan gue semoga langgeng
yah.”
“Lo benar
– benar mencintai Yudha kan?” Aku mengumpulkan segenap keberanian untuk bertanya. Dan Siska melepas pelukanku
dan mengangguk penuh semangat. Aku lemas.
“Tentu
saja! Gue sangat mencintainya! Lebih dari siapapun, Rika. Yudha, my
soulmate.” Dia mengucapkan penuh syahdu pada kalimat terakhir. Seperti doa
yang dia ucapkan ntuk dikabulkan. Aku hampir saja menangis. Namun ku tahan.
“Semoga
lo bahagia dengan Yudha. Kalian pasangan serasi kok.” Aku mengucapkan penuh
susah payah. Berulangkali mengernyit ketika setiap kata yang kuucap,
menyayatkan luka di hati sangat dalam dan perih luar biasa. Memancing air mata.
“Gue tau. Terimakasih, Erika.” Dia memelukku sekali lagi dan aku membalasnya.
Tuhan.. aku butuh pegangan.
“Siska...
lo masuk gak hari ini?” Dia melepas pelukannya dan tersenyum. “ Tentu saja.
Kenapa?”
Mendadak,
aku gak sanggup kuliah hari ini. Aku memutuskan untuk bolos hari ini. “Gue gak
enak badan nih. Kepala gue muter mulu dari tadi sebenarnya. Gue mau pulang aja
sama Bian. bisa nitip tugas gak?” Gue menatap penuh memohon dan dia mengangguk
penuh semangat.
“Tentu
saja. Mana tugas lo?” Dan aku langsung menyerahkannya. “Hati – hati yah. Semoga
cepat sembuh, Rika. Sahabat gue.” Aku tersenyum dan memberikan cipika – cipiki
khas kami dan dia langsung melambaikan tangan ketika aku berjalan menjauh
meninggalkannya yang masih saja tersenyum sambil memandang cincin tunangannya
yang mungkin beberapa bulan lagi akan berubah menjadi cincin pernikahan.
Merasa
sudah jauh darinya, aku langsung bersandar di sebuah tembok dan mengambil
ponsel di tas dan menelpon. “Bian.. lo dimana?” runtuh pertahananku ketika mendengar
suara adikku panik mendengar ku menangis. “Gue
ingin pulang, Bian... Gue ambruk... please... gue tunggu di taman. Ok?”
Tak
sampai 5 menit, aku melihat mobil sedan Bian berhenti dan aku langsung masuk
lalu memeluknya erat. Menumpahkan kesakitanku yang amat sangat. Yang tak
sanggup ku tanggung. Dan Bian, membantuku berdiri tegak dengan pelukannya yang
hangat. Seperti yang biasa dia lakukan apabila aku, atau Lista sedang down.
“Lo mau
kita pergi kemana, kak?” Dia menyerahkan tisu dan aku mengambilnya ntuk
menghapus air mata yang masih membanjiri wajahku.
“Kemana
saja.” Hanya itu jawabku.
“Oke deh
kak. Tenang... menangis aja kalo lo masih sakit.” Dan aku mengangguk lalu
melepas pelukan. Membiarkan dia menjalankan mobilnya dan membawaku ke suatu
tempat yang biasa kami kunjungi bila sedang sakit sendiri.
♥ ♥
“Gue
mencintainya, dek. Diatas perbedaan. Di atas nama persahabatan. Tapi kenapa,
dia dijodohkan dengan Siska? Sahabat gue sendiri? Gue gak bisa terima hal itu,
sakit Bian, sakit... Ya Allah..” Aku terduduk di pasir putih di sebuah pantai
yang sangat sepi, dengan air mata terus menetes membasahi wajah dan rokku kini.
Bian yang awalnya berdiri, langsung duduk dan memelukku erat. Seolah ingin
mentransfer kesakitan yang kurasa agar dapat dia rasakan juga.
“Apa yang
harus gue lakuin dek apabila bertemu dengannya? Malam ini, gue janji akan
bertemu dengannya di cafe ntuk temanin dia. Gue gak sanggup, hati gue hancur...
Bian... tolong gue...” Aku memukul dadanya pelan di pelukannya. Air mataku
membasahi kemejanya.
“Kuatlah,
kak. Gue yakin, sangat yakin lo kuat. Lo teguh.” Hanya itu yang diucapkan Bian
padaku. Dan aku menggeleng. Tak menyetujui ucapannya.
“Yang
jelas, lo lebih beruntung kak karna dia masih hidup walau tak bisa lo miliki
hatinya, daripada lo bisa memiliki hati dan jiwanya, tapi raganya sudah
terkubur di tanah. Lo tak bisa memeluknya apabila lo rindu, senyum wajahnya tak
bisa lo lihat lagi.” Bian melanjutkannya dengan suara merenung. Membuatku
seketika teringat dengan Jasmine. Yah,,, melati yang bisa dia genggam, dia
miliki, namun sebentar saja karna waktu ingin memiliki seutuhnya.
“Gue
mending ikhlas kalau dia mati dek.”
“Lo gak
akan bisa bayangin sakitnya, kak. Sudah ada korbannya. Dipisahkan secara paksa
karna maut.”
“Bian...”
Aku memanggilnya. “Gue mencintainya, dan gue harap, cinta gue, bisa buat tegar menghadapi ini.” Aku mengucapkan
dengan yakin. Berharap besar sekali agar mampu menghadapinya.
Bian
tersenyum melihat ketegaranku. “Gue yakin lo mampu kak. Cinta kadang tak harus
memiliki. Ada kalanya kita harus ikhlas bahwa, orang yang kita cintai akan
berbahagia meski bukan kita yang membuatnya bahagia.”
“Ntuk
saat ini, gue setuju dengan ucapan lo, dek. Thanks.” Ucapku penuh terima
kasih.
“anytime.”
♥ ♥
“Karna
ku sanggup, walau ku tak mau,berdiri sendiri tanpamu.”
“Tuhaaaannn...
dimana Erikaa...” Gue hampir gila karna dia belum datang juga. Padahal gue
sudah booking tempat duduk paling depan khusus untuknya. Jam sudah
menunjukkan pukul 8 malam. Seharusnya dia sudah ada di depan gue. Tapi,
jangankan ada, gue aja gak tau dia ada dimana! Telpon gak aktif, gue ingin
menelpon Bian, tapi gak ingin kecurigaannya mencuat seketika. Mengingat radar
curiga terhadap sesuatu sama tingginya dengan Erika.
“Bro...
“ Sonny, pemain drum menepuk pelan pundak gue. Isyarat acara hendak
dimulai.
“Bentar
lagi, oke?” Gue menjawab dengan emosi ditahan sedemikian rupa. gue pusing
sekarang dengan banyak kejadian yang hampir membuat gue ingin terjun bebas
untuk bunuh diri. Pertama, Siska dengan bangga mengatakan kalau dia tunangan
gue sekarang dan pernikahan sedang disiapkan dari sekarang, ketika gue nelpon
nyokap sambil marah – marah karna tak dikasih tau dan terlalu mendadak, gue
langsung diomelin dan dianggap gak mengerti perasaan orang tua sendiri yang
sudah lama mendamba cucu dan memutuskan pernikahan dini adalah jalan terbaik.
Mengingat gue dan Siska saling kenal, semakin klop. Semakin mati gue.
Kedua,
Erika terancam tak datang bahkan dia tak ada saat kuliah! Oh Tuhan... Bidadari
gue lagi dimana?
Lutut gue hampir saja meleleh seperti
bongkahan es mencair ketika Erika datang dengan gayanya sendiri. Rambut
dikuncir dua, baju kaos dan celana jis serta wedges. Senyumnya ketika
melihat gue membuat beberapa pengunjung, apalagi cowok, berbisik – bisik penuh
kagum. Bahkan ada niat tersirat ingin mengajak kenalan, dengan cepat, gue
mendekat dan menghampirinya.
“Gue kira
lo gak datang.” dan dia tersenyum. “sorry. Macet tadi di jalan.”
Apa lo tau gue hampir aja membakar cafe ini
hidup – hidup karna gelisah setengah mati menunggu lo, Erikaaaa?! Gue menunggu
lo, sayang. Bidadari gue yang berharga.
“Kok
mata lo bengkak? Habis nangis?” Entah kenapa, pulasan make – up kali ini tak
bisa menyamarkan kalau dia habis menangis hebat.
Gue bisa
melihat dia gelagapan menjawab. “Gak. Efek kurang tidur kali.” dia menjawabnya
dengan senyum. Menyamarkan bengkak di matanya.
Gue
mengangguk dan dengan pelan merangkul pundaknya untuk membawanya ke tempat yang
sudah gue sediakan. Khusus untuknya.
♥ ♥
Sebenarnya
sudah setengah jam yang lalu aku ada di cafe ini. Tapi aku memilih menyiapkan
mental dengan berada di mobil, menangis sepuasnya, lalu menemuinya dan pasang
wajah biasa – biasa saja. Dengan lancarnya aku menyalahkan kemacetan sebagai
faktor utamanya. Dan untungnya dia percaya.
Aku tak
menyangka bahwa dia menyadari bengkaknya mataku. Padahal aku sudah
menyamarkannya sehalus mungkin. Dengan spontan ku jawab bahwa hal ini terjadi
karna kurang tidur. Thanks for God, he believe it.
Dengan
santai dia merangkulku menuju Tempat utama! Tempat dimana aku puas
memandanginya bermain gitar! Tuhan... bagaimana caraku untuk menghilangkan
perasaan ini sedangkan dia membuka pintu seluas – luasnya untuk bisa kudekati?
Dia
tersenyum padaku lalu memetikkan senarnya dengan lembut. Penuh perasaan. Aku
menutup mata, menghayati setiap petikannya. Dan pikiran gilaku muncul, aku
ingin menjadi gitarnya yang dipetiknya saat ini. Berada di pelukan lengannya
yang hangat walau hanya sementara saja.
“ i sit out in crowded
close my eyes, dream you’ll mine
but you don’t know, you don’t even know that
i’m there
i wish that i was in your arms
like that, spanish guitar.
you will played me through that night
till the dawn
all night long.. i’ll be your song.”
close my eyes, dream you’ll mine
but you don’t know, you don’t even know that
i’m there
i wish that i was in your arms
like that, spanish guitar.
you will played me through that night
till the dawn
all night long.. i’ll be your song.”
*Tony Braxton – Spanish Guitar.
Tak
terasa, waktu menunjukkan pukul 09.30 malam. Acara sudah selesai. Aku bersiap –
siap pulang karna cafe mulai terlihat sepi. Namun dia menahanku.
“Hai...
gimana?”
“bagus
seperti biasa.” Aku memuji permainan gitarnya dan dia tersenyum mendengarnya.
“Selamat
yah.” Ucapku kemudian. Keningnya mengerut. “Selamat apa selamat karna permainan
gue atau selamat karna banyak yang
beramal hari ini?” Dia menggodaku. Dan aku menggeleng.
“Selamat
karna lo sudah tunangan sama Siska. Gue udah tau. Dia cerita sama gue pas di
kampus tadi. Well, sebentar lagi
lo akan menikah kan? selamat yah.” Aku mengucapkannya dengan tenang. Berusaha
menghilangkan rasa sakit yang semakin menderaku.
Dia
terdiam mendengarnya. Matanya melotot. Tanpa bisa dicegah, dia meraih
pinggangku agar dekat dengannya dan menciumku! Dia mencium bibirku dengan
lembut dan penuh perasaan! Oh Tuhan...
“Jangan
ucapkan hal itu, Erika.” Bisiknya di depan bibirku. Pelukan semakin erat di
pinggangku. “Aku mencintaimu.”
♥ ♥
Well,
ini kegilaan gue yang kesekian kalinya! Gue menciumnya! Yudha Prasetya, mencium
sahabatnya sendiri, Erika Lestari Pradipta karna tak ingin mendengar ucapan
selamat pernikahan darinya. Tapi, memang inilah sekarang. Gue gak sanggup
mendengar dia mengucapkan dengan tenang sedangkan gue sama sekali gak
berbahagia. Secara spontan, gue menarik pinggangnya dan menciumnya penuh dengan
perasaan sayang yang gue miliki. Gue mencintainya, sangat.
Dia kaget
mendengar pengakuan gue yang blak – blakan. Dia mendorong pelan dan menggeleng.
“Gak bisa, Yudha. Lo tunangan sahabat gue. Gue...”
“Tapi...
lo cinta kan sama gue?” Gue memaksanya dan memegang lengannya pelan. Tuhan,
ingin rasanya gue peluk erat sampai tak bernapas agar gadis itu tau betapa
dalamnya perasaan gue.
“Tapi,
terlalu banyak perbedaan di antara kita. Gue gak sanggup. Akan banyak yang
menentang,Yudh.” Jelasnya dan dia meneteskan air matanya. Bidadari gue yang
beharga, meneteskan air matanya di depan gue. Membuat gue serasa bajingan.
“Gue akan
menentangnya. Kalau perlu gue akan melawan keluarga besar ntuk mengatakan gue
gak cinta dengannya. Gue hanya cinta sama lo, Erika. Sejak dulu. Sejak kita
memutuskan ntuk bersahabat. Lo hanya katakan iya, dan gue akan lakuin
semuanya.”
Gue
serasa tercabik – cabik ketika dia menggeleng pelan. Namun sarat ketegasan di
matanya yang masih meneteskan air mata. “Gak, Yudha. Keluarga besar lo adalah
segalanya. Gue gak bisa membuat lo menjauh dari hal itu hanya karna perasaan lo
ke gue. Bagaimana kalo suatu saat kita berpisah? Dan orang tua lo terlanjur
sakit hati dan gak mau menerima lo? lo mau mengadu kemana? Bagaimana orang tua
gue juga gak setuju dengan hubungan kita, Yudh? Pertimbangan kita sangat
banyak. Gue gak sanggup menjalaninya.”
“Tapi lo
mencintai gue, kan?”
Just
say yes. And i’ll be against the world. For you.
“Sorry,
Yudha, gue harus pergi. Goodbye.” Dia tak menjawab pertanyaan gue. Dia
memutuskan meninggalkan gue dalam kegelapan. dan gue hanya bisa memandang sendu
ketika mobilnya meninggalkan cafe.
♥ ♥
Ingin
aku menjawab “ya”. Tapi, akan banyak hati yang terluka. Dan aku tak sanggup
menanggungnya. Mengertilah, sayangku. Inilah jalan terbaik.
Aku
menangis sepanjang jalan menuju rumah. Ciumannya, pengakuannya, penolakanku,
wajah sedihnya ketika aku memutuskan pergi tanpa memberi jawaban, menari – nari
di otakku. Tuhan... salahkah aku menolaknya? Jika aku mengiyakan, aku tak
sanggup menanggung banyak kesedihan dan kemarahan yang akan menyerang hubungan
kami bertubi – tubi. Jika aku mengiyakan, sanggupkah aku menjaga hubungan kami
sampai akhir? Bagaimana kalau kami berpisah dan dia sudah terlanjur diusir dari
keluarganya? Sanggupkah aku membiarkannya? Tidak, aku tak sanggup.
“Biarlah
kita yang sakit daripada semuanya sakit karna hubungan yang akan kita jalani,
Yudha. Mengertilah.” Aku berdoa dengan tulus ketika mobilku sudah masuk
parkiran. Aku menatap ponselku yang bergetar dan menampilkan namanya. Ku tekan
tombol reject dan memutuskan dalam hati untuk menghapus bayangannya yang
sudah terlanjur kuat di hati.
“Bukan ku tak yakini cinta di hatimu
namun ku tak mampu hadapi semua ini
biarkanlah semua berlalu, tanpa harus kita ingkari
Cinta yang, dulu pernah, terjalin indah di hati kita.”
namun ku tak mampu hadapi semua ini
biarkanlah semua berlalu, tanpa harus kita ingkari
Cinta yang, dulu pernah, terjalin indah di hati kita.”
*Audi – Kita takkan bersatu.*
♥ ♥
Sudah 2
bulan setelah kejadian itu gue gak pernah ketemu Erika lagi. Dia sengaja
menghilang dari gue setiap selesai kuliah. Gue mencoba mendekat, tapi Siska
seperti cacing kepanasan mendekati gue, merangkul, dan dengan manja bergelayut
di lengan gue dan semangat 45’ ntuk menceritakan daftar tetek bengek
pernikahan. Dan gue menolaknya dengan tegas ajakannya hari ini ntuk mengajak
gue fitting baju pernikahan.
“Gue gak
bisa, Siska. Ada urusan hari ini. Gak papa kan?” Gue bisa melihat kekecewaan
yang sangat dalam di matanya yang besar itu. Tapi apa daya, gue tak
mencintainya.
“Yasudah.
Aku bisa sendiri kok. tapi besok – besok bisa kan?” Dia bertanya penuh harap.
“Gue gak
janji. Duluan yah, bye.” Gue langsung berlari meninggalkannya ketika melihat
sekelebat bayang Erika, gadis yang sangat gue cintai itu, lewat tak jauh dari
hadapan. Dan gue meninggalkan Siska yang terdiam.
“Erika..”
Gue memanggilnya setelah hampir dekat dan dia terdiam. Namun tak menoleh.
Gue
mendekatinya dan melihat dia tak sendiri. Ada Bian yang tersenyum melihat
kehadiran gue. “Gue tinggal dulu yah kak. Kayaknya Yudha mau ngomong sesuatu
sama lo.” Ucapnya dengan nada riang seolah tak tau apa – apa. Gue tersenyum.
Senang dia memutuskan untuk netral.
Gue
melihat Rika memegang lengan dan menggelengkan kepalanya. Namun, Bian berbisik entah apa, tapi Erika hanya menunduk
dan Bian mengacak rambut panjangnya lalu berjalan dan menepuk pundak gue pelan.
“Jagain kakak gue yah.”
“Sip.
Thanks.”
“Anytime.”
“Erika?”
Gue mendekatinya dan dia menatap ke arah gue. Tersenyum seperti biasa. Walau
gue bisa lihat masih ada keterpaksaan.
“Bisa
kita ngomong sebentar? Gak disini. Tentang hubungan kita.” Gue melanjutkan dan
dia mengangguk pelan. Dengan lembut, gue merangkul tangan lembutnya itu dan mengajaknya
keluar.
♥ ♥
Langkahku
seakan membeku ketika dia memanggilku. Aku mengerang. Tuhan.. tak bisakah aku
ditinggalkan sendirian? Aku berusaha memendam perasaan rinduku yang membuncah
setiap ingin bertemu dengannya. Dan kenapa Kau memunculkannya?! Menggagalkan
semua upayaku?!
Bian,
seolah tau, dia tersenyum. “Yudha manggil tuh. Tengok gih. Kasian..”
Aku diam
saja. Membuatnya memutuskan untuk menoleh dan tersenyum ketika Yudha mendekat
ke arah kami. Jantungku semakin berdetak tak keruan. “Gue tinggal dulu yah kak.
Kayaknya Yudha mau ngomong sesuatu sama lo.” Dengan santainya dia berkata
begitu dan lekas ku pegang lengannya ketika dia hendak pergi. Menggeleng lemah.
Menolak usulnya.
Tapi,
ucapannya membuatku harus brani maju. “Sampai kapan lo rapuh kak? Lari bukan
solusi. Hadapi kak walau esoknya lo lebih hancur dari ini. Daripada lo
menghindar, akan buat lo lebih hancur lagi karna tak mendapatkan apa – apa.”
Aku
mengangguk. Menyetujui ucapannya. Dan Bian mengacak rambutku, berjalan ke
arahnya dan menepuk pundak sambil berkata sesuatu entah apa. Namun aku bisa
merasakan tatapan Yudha melembut ke arahku.
Sekali
lagi dia memanggilku dan mendekat. Mengajakku pergi dari sini. Dan aku seperti
kerbau dicocol hidung, mengikutinya. Membiarkannya merangkul tanganku.
--
“Rika...
lo sayang kan sama gue? Jawab dengan jujur, Rika. Gue gak mau seumur hidup gue
akan tersiksa karna lo tak menjawab.” Gue memohon dengan sangat di sebuah taman
yang jauh dari keramaian. Salah satu tempat untuk inspirasi gue mencari ide
dalam membuat lagu.
Dia hanya
diam dan menundukkan badan untuk mengambil kerikil dan melempar ke danau yang
tenang itu. Dan itupun dilakukannya berkali – kali. membuat gue hampir
frustasi. Tapi gue menunggunya.
“Gue,
sayang sama lo, Yudha. Sama kayak lo. tapi... gue gak bisa terima lo. gue gak
bisa senang – senang berhubungan dengan lo sedangkan banyak yang akan sakit
karna kita. Jadi, gue pikir, gue pikir...” Sebelum dia menyelesaikan ucapannya,
gue langsung memeluknya. Membiarkannya menangis dipelukan gue.
“Gue
pikir lebih baik kita berdua yang terluka selamanya atau semua orang yang kita
sayang akan sakit, Yudh. Gue gak sanggup menerima kesakitan banyak orang.
Apalagi, Siska. Dia mencintai lo. sama kayak gue. Dan gue tau rasanya.” Gue
mengelus rambut panjangnya perlahan.
Inikah
perbedaan? Kalau perbedaan ada, kenapa kami bisa menemukan kecocokan untuk
bersatu? Dan kenapa perbedaan itu pulalah yang memaksa kami ntuk berpisah?
Sungguh dunia tak adil.
“Erika...
maukah lo menuruti permintaan gue hari ini? Untuk hari ini saja, please.
Untuk kebahagiaan kita. Sebagai kenangan kita apabila salah satu dari kita
merindu, jadi kenangan itu bisa kita tarik perlahan dan rasakan cinta itu, lalu
kita simpan lagi untuk dikenang. Maukah?”
“Apa,
Yudha?”
“Jadilah
pacar gue untuk hari ini saja. Untuk detik ini saja, setelah itu. Kita bebas.
Gue menikah dengan Siska. Gue ikutin kemauan lo.” Permintaan gue membuatnya
melepas dari pelukan gue dan menatap heran.
“please...”
Dia
mengangguk pelan dan gue langsung memeluknya. Gue akan catat dalam sejarah
hidup gue selamanya, bahwa gue akhirnya bisa memilikinya, walau dalam sehari.
Tapi, itu sama aja gue seperti bersamanya selamanya.
♥ ♥
“Kau tau hari apa yang menyakitkan,
sayang? Hari dimana aku kembali pada dunia nyata dan berhadapan bahwa kita
memang tak ditakdirkan bersama.”
“Apa,
Yudha?”
“Jadilah
pacar gue untuk hari ini saja. Untuk detik ini saja, setelah itu. Kita bebas.
Gue menikah dengan Siska. Gue ikutin kemauan lo.” Permintaan Yudha membuat gue
tersentak kaget dan melepas pelukannya. Tuhan... apa yang harus aku jawab?
Tawaran itu sangat menggoda. Walaupun sehari, itu sama saja seperti membalas 2
tahunku menunggunya.
“please...”
Dia memohon dengan sangat. Apa yang bisa ku lakukan?
Aku pun
mengangguk dan membiarkan tubuh hangat itu memelukku erat. Aku akan menyimpan
aroma dan hangat tubuhnya itu dalam hati. Agar apabila aku merindukan
sentuhannya, aromanya, aku bisa menarik kenangan ini bersamaku dan menyelimuti
hatiku yang merindu. Lalu ku simpan kembali ntuk menjadi kenangan.
“Kita
pergi kemana, sayang? Sebelum kereta Kuda berubah menjadi Labu, sebelum
Cinderella menjadi Upik Abu, sebelum kita kembali ke dunia nyata, kemana kita
akan menghabiskan waktu?” Dia berbisik di telingaku dengan lembut. Aku tersenyum
mendengarnya.
“Kemana
saja sayang sebelum semua yang kau sebutkan itu terjadi. Lekaslah bergegas.”
“Dengan
senang hati, sayang.” Dia menjawab mesra ucapanku dan perlahan, menggendongku
untuk ke mobil. Seperti yang sering dilakukan papahku pada mama setiap mereka
bermesraan menuju kamar. Wajahku memerah seketika.
“Kenapa?”
Dia bingung melihat wajahku yang memerah tanpa sebab. Dan aku mencium pipinya
yang hangat ketika dia menurunkanku tepat di samping mobil.
“Gak
papa.” Jawabku dan langsung masuk mobilnya. Diikuti dia yang tersenyum ketika
masuk mobil dan menjalankannya.
Sepanjang
perjalanan, tanganku digenggamnya erat. Seolah kami tak terpisahkan. Menghargai
setiap detik yang terbuang untuk bersama sebelum kembali ke dunia nyata.
Sepanjang
hari kami bersama, mulai dari ke Dufan, ke pantai, ke cafe favorit kami, ke
tempat karaoke, dan banyak tempat yang kami kunjungi bersama dan tangan kami
tak lepas. Selalu bergandengan.
Hingga
akhirnya, jam menunjukkan pukul 09.00 malam. Sudah saatnya aku pulang. Takut
kedua orang tuaku khawatir. Bian pun menelponku menanyakan keberadaanku. Ketika
ku menjawab sedang bersama Yudha, aku bisa merasakan dia tersenyum dan
menyuruhku hati – hati.
“Erika...”
Kami berada di sebuah taman yang indah dekat kompleks rumahku. Dia duduk di
sampingku dan tersenyum manis.
“Makasih
untuk segalanya. Untuk hari yang indah ini.”
Aku
mengangguk. Akupun sama bahagianya sampai tak ingin menghadapi hari esok. Hari
dimana kami akan biasa – biasa saja. Tak ada ikatan apapun.
“Aku
boleh gak menitip sesuatu yang sangat penting ini padamu?” Dia bertanya dan
akupun mengangguk
Dia
meletakkan tanganku di tangannya. Dan menatapku dalam. “Sayang, bolehkah aku
menitipkan hati yang suci ini padamu? Biarlah ragaku yang mati secara emosi ini
menjadi miliknya. Tapi hati dan jiwaku, hanya kau yang pantas memilikinya.”
“Yudha...”
Aku berusaha melepas genggamannya. Tapi dia semakin mengeras.
“Aku
menitipkan hatiku, padamu, Erika. Aku tak mencintainya. Aku akan menjadi
manusia tanpa hati, tanpa jiwa di pelaminan nanti. Tapi, aku tak ingin hatiku
juga ikut mati, maka aku menitipkannya padamu. Please...”
Aku
tak tau harus berkata apa. Tanpa dia tau, aku menjaga hari ini sebagai kenangan
yang paling indah dan dia menitipkan hatinya padaku? Sungguh, aku tak yakin
apakah bisa.
“Kau akan
menyakiti Siska, Yudha. Dia mencintaimu sepenuh hati.”
“Aku juga
sakit, Erika. Aku mencintaimu, kau juga, tapi kita tak bisa bersama. Itu
kenyataan yang sangat menyakitkan.”
Aku
langsung ambruk di pelukannya. “Aku tak ingin kehilanganmu, tak ingin
kehilangan hari ini. Aku ingin hari ini berubah selamanya.” Dan menangis di
pelukannya sekali lagi.
“Seandainya
bisa, pasti ku lakukan. Jagalah hatiku, Erika. Hanya itu yang ku pinta.”
“Aku akan
menjaganya bersama kenangan hari ini, Yudha.” Aku menjawabnya penuh terisak.
“Terima
kasih. Aku mencintaimu,”
“Aku
mencintaimu sejak dulu hingga sekarang.”
“Never gonna
forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
Leaving you, the hardest day of my life
The hardest day of my life.”
When loving you is my finest hour
Leaving you, the hardest day of my life
The hardest day of my life.”
The Corrs –
The hardest day.
♥ ♥
“Love of my life, my soulmate, You're my best friend
Part of me like breathing ,Now half of me is left.”
Gue
memeluknya erat. Mendengar dia mencintai gue, dia menginginkan hari ini berubah
menjadi selamanya, membuat hati gue terasa tersayat – sayat. Dan dia mau
menjaga hati gue pun sudah syukur. Mungkin memang benar, lebih baik kami berdua
yang sakit daripada semua yang kami sayangi sakit. Ah... dia memang benar –
benar Bidadari. Membiarkan diri kami sakit daripada orang lain yang tak
mengenalnya, namun berhubungan dengan kami ikut terluka.
“Bagaimana
kalau kita pulang?” Sungguh gue tak ingin dia pulang. Tapi apa mau dikata,
waktu menunjukkan harus pulang.
Dia
mengangguk dan melepas pelukannya. Gue mendongkakkan wajahnya dan menghapus air
mata yang terus menetes. Tangannya gemetar.
Entah apa
yang merasukinya, dia memeluk gue lebih erat. Isakannya lebih sakit dari
sebelumnya. Membuat gue khawatir takut asmanya kambuh. Mengingat dia mempunyai
riwayat asma.
“Syuutt..
Erika.. udah. Kita akan menyimpan hari ini sebagai kenangan terindah kita.
Kalau waktunya ada, perbedaan pasti akan menghilang seiring waktu berjalan.”Gue
menenangkannya.
“Aku gak
sanggup menghadapi esok, Yudha.”
“Akupun
begitu. Tapi... kita kuat, Oke? Tersenyumlah, Bidadariku. Jangan menangis.” Gue
memintanya dan dia mengangguk lalu menghapus air matanya sendiri dan melepas
pelukanku.
“Aku
takkan menangis lagi, see? Aku akan tersenyum paling lebar di saat
pernikahanmu, Yudha.” Gue melihat senyum dimatanya yang terluka itu.
“Dan aku
akan menanti senyumanmu itu, Erika.” Dan kami berdua tersenyum bersama. Saling
menggenngam tangan erat untuk terakhir kalinya.
“Yuk...”
Kini dia berdiri dan berjalan menuju mobil gue. Dan gue pun mengikutinya.
♥ ♥
Kami diam
tanpa kata setelah dia mengantarkanku di depan rumah. Jam menunjukkan pukul
09.30 malam. Papah dan mamaku sedang lembur. Jadi takkan tau anak gadis yang
paling tua ini pulang larut malam dengan mata bengkak seolah menghabiskan air
mata berliter – liter.
“Sampai
besok.” Ucapku. Namun tak jua aku keluar dari mobilku. Tanganku hanya memegang
pintunya tanpa berniat membuka.
“Erika...”
Panggilnya dan aku menoleh. Terkejut tau – tau bibirnya kini memeluk bibirku
dengan penuh hangat. Napas kami saling berbaur. Tanganku spontan memeluk
lehernya dan tangannya memeluk pinggangku. tak berniat melepaskan.
Ponselnya
berdering. Membuat kami dengan enggan melepas . Aku melihat sekilas siapa yang
menelpon dan membuat hatiku mendadak teriris. Siska menelponnya.
“Angkat
saja.” Ucapku namun dia menggeleng. Dan aku pun tak memaksanya.
“Makasih...
atas semuanya.” Ucapku. “Dan juga hatimu.” lanjutku dalam hati.
“Sama –
sama. Take care, Angel.” Dia memanggilku angel? Oh Tuhan, aku
merasa air mataku ini akan keluar lagi.
“Kamu
juga.” Aku langsung keluar dari mobil dan melambaikan tangan ketika mobilnya
pergi meninggalkan rumahku.
Melihat
kepergiannya, air mataku langsung menetes dan aku menghapusnya sebelum seluruh
penghuni rumah ribut melihat mataku bengkak.
♥ ♥
Aku masuk kamar dengan langkah gontai.
Untunglah hari ini Bik Surti tidak cerewet ketika melihat mataku yang memerah.
dia hanya tersenyum dan menawarkan apakah aku mau minum coklat panas. Aku
menggeleng perlahan dan memutuskan masuk kamar.
Di kamar, aku melihat sebuah undangan
di meja belajar. Dengan kening berkerut aku mengambil dan membacanya.
Lututku seperti kehilangan
kekuatannya. Air mataku semakin menetes deras tak tercegah. Hatiku seperti disayat
oleh pisau yang sangat tajam.
Undangan Pernikahan Yudha dan Siska
yang akan di adakan minggu ini. 3 hari lagi.
Tuhan... sanggupkah aku?
♥ ♥
“Bian...
lo datang gak ke pernikahan Yudha?” Tanyaku ketika termenung memandang undangan
pernikahannya. Foto prawedding mereka sangat indah. Tapi, ekspresi Yudha
terlihat kosong. Seperti patung peraga yang didandani sangat tampan. Kontras
dengan Siska yang tersenyum bahagia. Bahkan tatapan matanya penuh cinta.
Membuat batinku teriris.
“Gue
ngikut kalo lo mau.” Jawabnya santai sambil menekan tuts – tuts piano dengan
lembut lalu menyanyikan sebuah lagu yang tak ku kenal.
“Gue
datang gak yah?”
“Bukannya
lo janji ntuk datang ke pernikahan dia dan memberikan senyum paling lebar
ntuknya? Bian mengingatkan janji 3 hari yang lalu ku ucapkan padanya. Aku
tersenyum miris.
“Entah
kenapa, gue gak sanggup melihatnya berdiri di pelaminan.”
“Kak...
tunjukin kalo lo kuat. Lo tegar. Gue ada disamping lo, kak.”
Aku
berpikir lama. Kemudian aku mengangguk “Ok. gue siap – siap dulu yah. Thanks
dek.” Ucapku tulus dan bergegas berlari ke kamar.
Aku
mendengar Bian melanjutkan permainannya dan lagunya sungguh membuatku tenang.
♥ ♥
Bolehkah
aku mendoakan kebahagiaanmu?
Gue
celingak – celinguk di kursi pelaminan. Kini, gue dan Siska resmi menjadi
pasangan suami – istri. Gue menyebut janji pernikahan dengan wajah datar. Hati
gue mati. Makna dari setiap janji yang gue ucap serasa seperti angin lalu.
Erika
mana?
“Kamu
cari siapa sayang?” Dia berbisik penuh lembut dan sensual. Tapi, gue tak
bergetar untuk membalas bisikannya mesra seperti pengantin baru.
“Erika.”
Gue bisa merasakan dia menghela napas kecewa. Merasa diabaikan namun menerima
sifat gue.
Gue
menyalami tamu – tamu sekedarnya saja. Terkadang membalas lelucon ketika
bersalaman dengan teman – teman kuliah atau masa kecil gue. Ekspresi wajah gue tetap datar sampai gue
menyalami tangan yang sangat lembut dan gue kenal. Gue mendongkak dan Jantung gue serasa lepas ketika Erika,
mengenakan gaun panjang bewarna putih gading dan rambutnya dihiasi jepit besar
berbentuk bunga, menyalami gue dan tersenyum manis. Diiringi Bian dan Lista,
adiknya yang tomboy itu di belakang dan asyik berbicara dengan Siska.
“Aku kira
kamu gak akan datang.” Gue langsung memeluknya erat. Bodoh amat para tamu
memperhatikan kami.
“Aku
sudah janji, kan akan tersenyum paling lebar di pelaminanmu? Semoga kamu
berbahagia dengan Siska, Yudha. Dia istrimu dan aku masa lalumu. Lupakanlah.”
Bisiknya membekukan gue. Dan dia melepasnya lalu tersenyum dan berjalan
melewatiku.
“Erika...”
Gue memanggilnya sebelum dia menuruni tangga dan menoleh.
“Aku
mencintaimu dan jagalah hatiku.” Gue bergumam pelan dan bisa gue pastikan, Bian
dan Lista yang lewat di depan gue setelah kami saling menyalami, terhenti. Dia
hanya tersenyum manis ke arah gue tanpa membalas dan menuruni tangga dengan
anggun.
3 bulan
kemudian...
Aku duduk
di pemakaman dan menaburkan bunga – bunga di makamnya. Aku mengelus nisannya
yang bertuliskan “Yudha Prasetya” dengan lembut.
Yah...
dia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Meninggal dalam genggaman tanganku.
Masih ingat dalam bayangan, ketika dia mengucapkan cinta padaku saat dia
menikah dan aku hanya tersenyum tanpa meresponnya. Padahal hatiku saat itu
berteriak ingin membalas ucapannya bahwa aku juga mencintainya dan menjaga hati
yang dia titipkan padaku.
Tapi,
semua itu hilang ketika Siska, menelpon di hari itu dan menangis histeris
sambil berkata bahwa Yudha kecelakaan hebat di jalan Tol karna melamun saat
membawa mobil dan membuatnya ditabrak truk. Dan dia menelponku karna Yudha
sadar dan hanya memanggil namaku saja. Padahal Siska ada disampingnya. Tanpa
ragu aku langsung pergi ke rumah sakit untuk menjenguknya.
Sesampai
disana, aku langsung masuk dalam ruangan UGD dan miris melihatnya menderita
dalam luka sekujur tubuhnya. napasnya semakin susah dan aku berdiri di
sampingnya, mengelus rambutnya dan berbisik bahwa ku disampingnya.
Dia
membuka mata dan menatapku lalu menggenggam tanganku dan berkata “Erika,
bolehkah aku menitip hatiku selamanya? Jagalah hatiku seperti kamu menjaga
milikmu sendiri. Bila suatu hari nanti ada yang akan menggantikan posisi di
hatimu dan dia memang terbaik ntukmu, maka dekatilah. Karna, dialah
penggantiku. Dan kamu takkan pernah menangis lagi.” Sambil berkata begitu, dia
menghapus air mataku yang membasahi wajahnya dan tersenyum.
“Tersenyumlah
bidadariku. Aku ingin pergi dengan membawa senyummu di alam sana. Bukan membawa
air mata kesedihanmu.”
Aku
menghapus air mata yang terus membasahi wajahku dan tersenyum seperti
permintaannya. Dia membalas senyumku dan merangkul tanganku erat. Aku
melihatnya dia menutup mata dengan senyum di wajahnya. Rangkulan tangannya
melemah, alat pencatat detak jantung itu menunjukkan garis lurus. Dia pergi...
meninggalkanku.
Dan hari
itu semuanya terungkap. Siska menceritakan padaku semuanya bahwa Yudha, sudah
menceritakan semua perasaannya dengannya dan dia pernah melihat lagu – lagu
ciptaaan Yudha semuanya tertulis perasaannya padaku. Dan dia selama itu juga
berusaha mengubah haluan hati Yudha yang berlayar ke arahku menjadi ke arahnya.
Tapi dia tak bergeming. Tak tergoda.
“Yudha...”
Aku mengelus nisan itu dengan penuh sayang. Air mata membasahi tanah merah yang
kini menjadi tempat istirahatnya. “Mungkin, aku dapat membaca maksud Tuhan
memisahkan kita dengan cara ini. Karna, hanya cara inilah kita takkan saling
tersakiti lagi. Kau tak sakit lagi karna harus bersama seseorang yang tak kau
cintai selamanya, dan aku, bisa bangkit dari hal ini. Semoga kamu baik – baik
saja, Yudha. Aku mencintaimu.” Selesai berkata begitu, aku berdiri dan
menghapus air mata.
Tiba –
tiba ada yang jatuh dari atas kepalaku. Aku menggapainya. Ternyata Bunga
Kamboja putih yang menaungi makamnya jatuh di atas kepalaku. Bunga kesukaan
Yudha. Aku tersenyum sambil memegang
bunga itu dan menatap nisan itu sekali lagi. “Makasih atas bunganya, Yudha.”
Aku memegang bunga itu dan melangkah menjauh meninggalkan makamnya.
“Bawalah pergi cintaku
Ajak kemana yang kau mau,
jadikan temanmu yang paling kau cinta
Disini ku pun begitu, terus cintaimu di hidupku
di dalam hatiku, sampai waktu mempertemukan, kita nanti”
Ajak kemana yang kau mau,
jadikan temanmu yang paling kau cinta
Disini ku pun begitu, terus cintaimu di hidupku
di dalam hatiku, sampai waktu mempertemukan, kita nanti”
*Afgan – Bawalah cintaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar