Sabtu, 16 November 2013

Be Yours?! DAMN! Special Part - All This Love



Bian – Lyesha.

            “Hai...” Bian terhenyak dibuatnya. Di depannya sekarang berdiri sosok anggun Jasmine dengan gaun putih yang indah dan wajah cantiknya bersinar lembut. Tatapan matanya bersinar riang. “Masih ingat sama aku, kan Bian?” Tanyanya sambil terselip nada geli karna melihatnya hanya melongo. Tak bereaksi.
            “Aku selalu ingat sama kamu, Jasmine.”  Ucapan Bian membuatnya tersenyum manis. Senyum yang sanggup membuat Bian tertegun. Senyum yang perlahan dilupakannya karna sosoknya terganti oleh Lyesha. Yah, mengingat itu membuatnya miris seketika.
           
            Tanpa sadar dia melanggar sumpahnya sendiri. Melupakan Jasmine.

            “Aku juga. Tapi aku liat kamu sudah bahagia, Bian. aku senang liatnya.”
            “Kamu memperhatikan aku?”
            “Kamu kira apa? Aku memperhatikan semua tingkah laku orang yang aku cintai,” Dia melirik Bian yang tersenyum, membuatnya menghangat. “dari atas sini dan senang karna kepergianku rupanya bisa kamu terima, Bian.”
            “Kata siapa? Aku ambruk waktu kamu pergi, Jasmine,” Dan dia mengangguk mengiyakan. Hatinya dulu pedih karna melihat cowok yang dicintainya, merenungi kepergiannya sedangkan dia hanya bisa melihat dari atas sini tanpa bisa berbuat apa – apa. Yang hanya bisa dia lakukan hanyalah berdoa, dan berdoa agar cowok yang dicintainya ini, menemukan melati hatinya.
            “Tapi sekarang gak, kan? aku senang kamu bisa berbahagia, Bian. meski bukan aku yang membahagiakanmu. Meski bukan aku yang selalu kamu peluk, meski bukan aku ...” Dia terdiam ketika Bian membungkamnya dengan pelukan yang hangat. seperti dulu. Dan dia dengan senang hati membalas pelukannya dengan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Bian dan mengelus punggungnya pelan.
            “Bagiku,” Bian melepas pelukannya dan tersenyum, “Kamu tetaplah Jasmine yang aku cinta sampai saat ini.”
            Jasmine tersenyum dan memeluknya lagi dengan erat. “Berjanjilah kau akan bahagia meski bukan aku yang membahagiakanmu, Bian.”

            “Aku mencintaimu, sayang.”

            Bian terbangun dengan peluh menetes di wajahnya. mimpi itu hadir lagi. Jasmine mengunjunginya lagi. Bukan sekali – dua kali dia bermimpi begini, tapi setiap malam.
            Dia duduk dan menatap pigura kecil di samping yang berisi foto tentang dirinya dan Lyesha sedang tersenyum. Dia mengambil foto itu dan mengelus wajah Lyesha. Dia tak bisa bohong walau 6 tahun mereka berpacaran dan kedua orang tua masing – masing sudah tau,
           
            Bahwa dia masih melihat Lyesha seperti dia melihat Jasmine.
           
            Kenyataan ini membuatnya frustasi. Tuhan tau betapa kuat usahanya untuk melihat wanita itu adalah Lyesha, bukan wujud Jasmine di dalam tubuh wanita itu sedetik saja. tapi tetap saja, Kemiripan wajah dan sorot matanya yang lembut sanggup membuat semua usahanya sia – sia.

            Kalau sudah begini, gimana? lo pernah bilang sama gue jangan sampai terpengaruh masa lalu, tapi kenapa ucapan lo itu jadi kayak jeruk makan jeruk, kak? Pertanyaan penuh sindiran  selalu dilontarkan Lista, adiknya yang sedang “melarikan diri” ke Jerman untuk kuliah Kedokteran spesialis Psikologi, bersama Steven yang seenak jidat pindah dari Malaysia, mengikuti jejak adiknya untuk kuliah dan tinggal bersebelahan apartemen dengannya, terngiang lagi di telinganya setiap dia menceritakan mimpinya itu. haruskah dia melarikan diri seperti adik kesayangannya itu?
            “Gue bakal digorok kak Rika.” Dia tersenyum miris. Kakaknya yang sekarang menjadi Nyonya Boulanger dua bulan lalu dengan menggelar pesta pernikahan konsep garden party di taman super luas di rumah Mikail yang sukses menjadi aktor favorit di negaranya, Perancis dan sekarang mereka menikmati bulan madu super romantis di Kepulauan Maladewa untuk membuat keponakan yang lucu. Apabila kakaknya tau soal ini, habislah dia akan dikutuk habis – habisan.

            Lama dia terdiam dan melirik jam dinding di kamar yang menunjukkan pukul 3 subuh. Biasanya jam segini Lyesha akan menelponnya sekedar mengingatkan untuk shalat tahajud. Tapi ntahlah, dia sedang tak ingin mendengar nama pacarnya itu untuk sementara waktu dan memilih berkutat di pekerjaannya sebagai dokter muda spesialis Jantung di sebuah rumah sakit ternama di kota Bandung.

            “Mungkin, gue butuh waktu untuk yakinin semuanya sebelum terlambat untuk mundur.”

♥ ♥

            Lyesha melepas mukenanya setelah selesai shalat malam dan melipatnya rapi lalu meletakkannya di sajadah kemudian menggulungnya dan diletakkanya di tempat khusus. Dia melirik ponselnya dan mengambilnya, menekan nomor Bian dan call, namun yang ada malah suara operator sialan itu.
            Hal ini membuat keningnya berkerut.
            Tidak biasanya Bian mematikan ponselnya setiap tidur. Dia tau semua perilaku Bian dari waras hingga nyeleneh. Setiap pukul 3 pagi dia akan menelponnya untuk mengingatkan shalat malam. Kalaupun Bian terlalu lelah, dia pasti takkan mengangkat telponnya. Tapi kali ini, ponselnya mati.

            Mungkin baterai ponselnya drop dan lupa ngecharge.” Kata hatinya menenangkannya. Kesibukan Bian, pacarnya, yang sangat dimakluminya mengingat dia sekarang menjadi dokter muda spesialis Jantung di sebuah rumah sakit ternama yang jauh dari jangkauan pengaruh papahnya yang kebetulan Direktur Utama dan juga dokter Anak, Putra Pradipta,  yang mempunyai segudang koneksi untuk pacar kesayangannya itu. salah satu sifat yang sangat disukainya.
            Lyesha terdiam dan melirik pigura di meja riasnya yang berisi foto dirinya tersenyum dengan Bian disampingnya. Dia mengambilnya dan mengelus dengan sayang. Betapa dia mencintai pasangan hatinya itu. betapa dia meyakini bahwa Bian datang untuk mengisi hatinya, memberi separuh hatinya yang hilang karena dibawa Raya, tunangannya yang berharga karena meninggal saat kecelakan mobil untuk menemaninya disana. Meninggalkannya yang hancur berkeping – keping.

            Tapi itu dulu. Dan sekarang dia melangkah maju. Meninggalkan masa lalunya dengan senyum dan menghadapi masa sekarang dengan penuh suka cita bersama orang yang dicintainya.

            Mengingat wajah Bian membuatnya tersenyum manis. Hingga matanya tak bisa dibawa kompromi dan dia melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul 4 subuh. Dia punya waktu dua jam untuk bangun pukul 6 pagi untuk berangkat ke rumah sakit. Mengingat rutinitasnya itu, dia meletakkan fotonya di samping tempat tidur, melepas ikatan di rambut hitam panjangnya, dan merebahkan diri di ranjang sambil menatap atap – atap rumah. Dengan pelan, dia menutup mata dan mulai tertidur sambil tersenyum.

♥ ♥


Erika – Mikail.

            Erika mengerang nikmat dalam bangunnya. Dia menatap sekeliling kamarnya yang berdinding kayu dengan pandangan langsung ke arah laut biru. Dia berdiri pelan agar suaminya, Mikail tak terbangun dan mengambil kemeja suaminya lalu mengenakannya untuk menutupi tubuhnya yang hanya berbalut lingerie super seksi agar tak memancing mata usil dan berjalan untuk menikmati semilir angin laut yang menerpa wajahnya.
            Dia menatap ke sekeliling dan duduk di Gazebo yang memberikannya pemandangan  lautan biru tanpa ujung. Bulan madunya akan berakhir 3 hari lagi setelah cuti selama  3 minggu untuk melarikan diri ke surga Dunia, Pulau Maladewa.
            Dia tersenyum tanpa sadar. Tak menyangka sudah dua bulan dia menikah dengan Mikail dan nama belakangnya berubah menjadi Boulanger. Celetukan papahnya saat dia menikah di Paris tentang munculnya anggota kecil membuatnya tersipu malu. dia tau godaan papahnya yang terlalu menjurus itu.
            Dan Lista. Ah, adik kesayangannya itu sekarang terlihat sangat bahagia saat menghadiri pernikahannya di Perancis. Wajahnya bersinar ceria dan memeluk erat penuh rindu. Dan dia melihat Steven Raveno, Sepupu jauhnya itu, tersenyum di belakang Lista lalu menatap dirinya dalam sampai Bian menghampiri dan mengajak cowok itu mengobrol.
           
            Apa mereka berpacaran?” Ratusan kali dia bertanya pada Lista setiap mereka ber- skype-an ria. Dan ratusan kali juga adiknya merespon dengan cekikikan dan menyuruhnya fokus membuat keponakan saja, kalau perlu kembar agar hidupnya seru. Membuatnya gatal untuk menutup mulut tipis adiknya itu yang tertawa.
           
            “Disini kamu rupanya,” Suara serak seksi ala Vino G. Bastian  itu terdengar di telinganya dan kedua tangannya melingkat di pinggang. Memberi pelukan hangat di tengah sinar matahari yang menerpa.
            “Iyaa...” Dia menoleh ke  belakang dan melihat suami tampannya, sedang tersenyum manis dengan bertelanjang dada yang menyentuh punggungnya. melihat itu membuatnya nyengir lebar. “Kayaknya kamu kehilangan pakaian yah, sayang.”
            “Iya... pakaianku dicuri dan...” Tatapan matanya berubah menjadi penuh goda. “Aku menemukan pencuri yang sangat, sangat cantik. Membuatku ingin membawanya ke dalam kamar saat ini juga dan menghukumnya seharian agar dia tak kabur lagi.” Wajah Erika langsung merona padam ketika tau maksud ucapannya. Membuatnya terkekeh dan mengelus pipi yang merona itu dengan sayang dan tatapan sensual. “Tak mampu berjalan lagi kalau bisa.” Tambahnya lagi membuat sebuah cubitan melayang di pinggangnya.
            “Kamu...” Ucapannya terhenti ketika bibirnya disentuh oleh bibir suaminya sendiri. yang dicintainya, dan mencintainya. dengan penuh sayang dia melingkarkan tangannya di leher dan membiarkan dirinya digendong masuk kamar oleh suaminya tercinta.

♥ ♥

Rere – Jayden.
           
            Rere menggaruk kepala frustasi sambil melirik list lagu yang harus dinyanyikannya malam ini. 20 lagu dalam satu malam tanpa jeda? Well, dia menuntut pembayaran lebih kalau begini ceritanya.
            Dia menghampiri anggota bandnya mayoritas cowok semua itu sedang nongkrong di sudut cafee favorit mereka yang bernuansa country  dan dia langsung duduk di samping Jason, bassist, tanpa ragu dan melempar list lagu sialan itu di tengah – tengah mereka. Matanya melirik satu – persatu. Meminta penjelasan. “20 lagu, guys? Serius nih tanpa jeda?”
            Jason angkat suara. “Lo gak sanggup, Re? Tumben.”
            “Bukannya begitu. Gue sih sanggup aja asal duet atau ada jeda beberapa menit gitu. Ini list susah semua lagunya. Kalau tanpa jeda nyanyinya, lo semua mau gue kolaps kehabisan napas?”
            “Kan gue bisa beri napas buatan, Re kalau lo kolaps. Tenang saja. Napas gue harum kok.” Suara Dani, Gitaris bandnya yang terkikik geli. membuatnya tertawa. “Gue kasih tau Medina kalau lo berani – berani cium gue.”
            “Eh...” Jason seolah teringat sesuatu berhenti memetik gitarnya lalu melirik Dani dan Rere bergantian. “Gue udah nemu keyboardist yang baru untuk band kita. Cowok dan permainannya, jangan ditanya deh! bagus!” Jason menunjukkan kedua jempolnya kearah mereka dengan wajah kagum. Membuat Rere bingung. Diantara mereka bertiga, Cuma Jason yang intuisi musiknya di atas rata – rata. Dia bisa menilai seseorang berbakat atau tidaknya dari mendengar permainannya dan mengkritik tepat sasaran. Apabila Jason mengatakan orang itu bagus, maka permainannya memang sempurna.
            “Siapa?” Rere tak tahan untuk tak bertanya. Dan Jason dengan senyumnya melirik pintu cafee yang baru saja terbuka. Seketika matanya melotot shock.
           
            Jayden masuk ke dalam cafee, melirik lalu berjalan menghampiri dan tersenyum manis kemudian dengan pintar dia duduk manis tepat di hadapannya.
           
            “Dia keyboardist yang gue maksud, Re. Pacar lo sendiri.” Senyum jahil Jason mengembang. Membuatnya semakin menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia malu.
            “Dan lo gak usah khawatir bila suatu saat kolaps kehabisan napas, Re. Ada pacar lo yang siap sedia memberikan napas buatan. Iya gak, Jay?” Canda Dani yang langsung bertos ria dengan Jason dan membuatnya diserang Rere dengan cubitan sadis di pinggang. Wajahnya sangat, sangat merona malu hingga ingin mencemplungkan diri ke sungai saja kalau bisa.
            “Yap. Setiap hari kolaps pun gue oke – oke aja. Asal nyium pacar sendiri.” Jayden tertawa melihat cewek yang baru dipacarinya dua bulan lalu itu semakin merona malu. dia sangat menyukai saat – saat itu. dan ingin mempertahankannya. “bagaimana kalau kita latihan sekarang?”
            “Bagaimana...” Dani mengangkat tangan menyerah kearah Rere yang meliriknya. “Kalau kalian berdua yang latihan dulu dan kami menonton? Itung – itung vokalis kita yang satu ini perlu beradaptasi dengan anggota barunya.” Dia tertawa terbahak – bahak melihat temannya itu sekarang lebih memilih memainkan es batu di gelas daripada menatap pacarnya.
            “Boleh tuh. Ayoo Re, latihan sono 20 lagu buat manggung ntar malam.” Jason mendorong pelan Rere agar berdiri dari duduknya. Dia melirik sinis ke arah Jason yang memasang wajah tanpa dosa dan berdiri dari duduknya, hampir saja tersandung kursi kalau saja Jayden tak mengikuti dari belakang, dan memegang pinggangnya. Sentuhan kecil yang membuat seribu semut merah serasa menari – nari di dalam perutnya.
            “Ayo, sayang. Hati – hati jalannya.” Jayden berbisik di belakangnya dengan tangan melingkar di pinggang. Membuatnya serasa dipeluk dari belakang. “Lepas, Jay. malu.” Ucapnya pelan membuat Jayden terkekeh geli dan melepas pelukannya, lalu memilih merangkul tangan Rere dan membawanya ke panggung sebelum gadis itu tersandung lagi.

            Jason dan Dany tersenyum melihat Rere yang baru kali ini, salting di depan panggung. Seperti orang yang baru bisa menyanyi depan orang banyak. Padahal sahabatnya yang satu itu mempunyai jam tinggi sebagai penyanyi. “Ayooo Re, satu lagu.” Teriak Jason membuat Rere meliriknya sinis dan mengacungkan tinju. Membuat mereka tertawa puas.

            “Sompret nih bocah! Awas lo, Jason. Gue sumpelin tuh mulut pake gitar!” gerutunya dalam hati.
            Omelannya berhenti ketika suara keyboard memainkan satu lagu yang membuatnya terdiam. satu lagu yang mengawali pertemuan mereka, satu lagu itu juga menyatukan mereka dua bulan lalu di tengah hujan deras. Dia melirik Jayden yang tersenyum menatapnya dan jari – jarinya menari menekan tuts. Dia mengambil micnya, dan mulai menyanyikan satu lagu yang selalu mereka nyanyikan berdua.
           
My love is true.
there’s a long way to go,
there’s a long day to know.

My love is true,
I love you just as you,
And please, don’t be gonna somebody new.”

            Rere melirik ke belakang dan melihat Jayden tersenyum manis padanya. Kedua lesung pipinya yang dalam memikatnya dan tatapan mata abu – abunya yang dia sukai dari dulu. Dia membalas senyumannya dan tak menyangka,

            Bahwa dia berduet dengan Jayden yang menyanyi di belakangnya sekarang. Dia sangat menyukai suara cowok itu ketika bernyanyi. membuatnya tersenyum tanpa sadar dan melirik kedua temannya yang hanya mengacungkan jempol.

Hey, hey, baby,
you look so hard to show it,
That your love so beautiful,
let make a wish two both of us,
that will walk together,
And i want it forever.”

            Rere mendekati Jayden dan menyanyi di sampingnya sambil merangkul pundaknya. ketika tatapan mereka bertemu, Jayden mendekatkan kepalanya ke samping dan berbisik.

            “Lain kali kita sering - sering duet begini yah, sayang.”
            “Boleh. Asal bayarannya banyak. Hahahahaa...” Tawa kecil Rere membuat Jayden mencubit pipinya gemas dan mengecup lembut. Sukses membuat pengunjung kafe tersenyum dan bertepuk tangan heboh, termasuk kedua sahabatnya sekarang yang bertos – ria sekali lagi.
            “Kamu...” Ucapannya terhenti ketika Jayden meliriknya lalu tepat menyanyikan lagu itu tepat di hadapannya.
           
“It is a long time since i first met you,
I’m laughing remember all that you’ve done,
there’s a bird is singing on the tree,
I’m so happy that i love you with no wonder,
and i promise never break away.”

            Dan dia mengikuti dengan sepenuh hati. Dengan semua perasaan yang ada sejak bertemu cowok yang dia rangkul sekarang.

My love is true.
there’s a long way to go,
there’s a long day to know.

My love is true,
I love you just as you,
And please, don’t be gonna somebody new.”

*Bara Band – My love is true.

♥ ♥


Karen.

            Karen setengah berlari masuk dalam kantornya. Dia tak boleh terlambat atau pagi harinya akan diawali keributan antara dia dengan bos sekaligus sahabatnya, Fernando Hayman, habis – habisan. Yah, kalau urusan pekerjaan, Sahabat galaunya satu itu memasang wajah dia adalah Direktur Utama The Hayman Company yang paling susah ditemui dan dirinya adalah sekretaris pribadi yang sibuk mengangkat telpon dan membuat janji klien – klien bisnis sahabatnya itu sekaligus menghalau beberapa wanita kelebihan hormon yang mendekati bos tampannya itu.
           
            Yah, kalau diingat – ingat beberapa tahun lalu, dia termasuk beberapa cewek kelebihan hormon itu. menggoda Ando dengan segala pesona dan harus mengaku kalah karna suatu alasan.

            Kakaknya.
           
            Karen melangkah masuk dalam lift dengan anggun dan wajah seksinya yang semakin menggoda untuk dilirik, dan menekan tombol 16. Lantai paling atas tempat dia dan Ando bekerja dan dipisahkan sekat tipis.

            Yah hanya berdua.
           
            Seandainya dia masih termasuk golongan wanita labil kelebihan hormon yang mengejar Ando, maka sudah dari dulu dia akan menggodanya dengan seluruh pesona agar Ando takluk. Tapi, dia takkan melakukannya. Ando adalah sahabatnya. Itu saja.
           
            Lagipula sahabatnya itu masih menunggu seseorang yang tak tau kapan pulang.

            Dia mendesah berat menyadari bahwa 6 tahun berlalu, Ando masih menunggu Lista yang bahkan dirinya sendiri sangsi apakah cewek itu mau menginjakkan kaki ke Indonesia atau mencari pengganti sahabatnya di Jerman sana. Yah, sahabatnya satu itu terlalu mencintai Lista, mantan pacar kakaknya yang dengan tega menghancurkan tanpa ampun.
            Pintu lift terbuka membuat khayalan Karen buyar. Dia merapikan baju kerjanya yang berwarna merah dengan rok 10 cm di atas lutut, sepatu hak 5cm, rambutnya yang ikal tergerai dan senyumnya yang cantik serta wajah dan sorot matanya seksi itu, semakin menyempurnakan penampilannya hari ini. Dengan senang dia melangkah keluar lift sambil menjinjing tasnya ketika melihat Ando, bos galaknya itu tak terlihat.

            “Telat 10 menit. Kemana aja lo?” Baru saja Karen duduk dengan tenang karna tak melihatnya. Tau – tau Ando sudah berdiri di depannya dengan kening berkerut. Wajahnya yang semakin tampan di umurnya yang 24 tahun, senyum yang sekarang jarang dimunculkannya setelah hari itu, tatapan mata hitam kelam semakin tajam walau sudah terbingkai kacamata, badannya yang tinggi dan gagah saat mengenakan jas hitam dengan dasi dan kemeja yang mahal, serta pesona direktur muda yang sukses memancar kuat dalam dirinya. menutupi aroma patah hati yang hanya dirinya dan sahabat – sahabatnya saja yang tau.
            “Macet di jalan, Ndo.” Karen membuka komputernya dan mulai mengetik laporan – laporan yang menggunung di mejanya. Mengabaikan Ando yang menatapnya intens sekarang.
            “Ehm...” Deheman Ando yang meletakkan kedua tangannya di atas meja sebagai penopang tubuhnya. membuat Karen menoleh ke arahnya, “Apa?”
            “Kita di kantor loh, Karen.”
            Sadar dimana letak kesalahannya, Karen nyengir. “Lo duluan yang panggil sebutan lo – gue. Jangan salahin gue kalau ikut – ikutan.  Kan gue ikutin bos.” Karen menatapnya dengan tatapan menggoda dan berdiri. “Oke, Pak Fernando Hayman, CEO The Hayman Company, CEO termuda sepanjang dunia perbisnisan karna sudah membawa usahanya ke luar negeri dalam umur 21 tahun. Umur yang terlalu muda untuk memimpin sebuah perusahaan besar beserta anak – anaknya yang lain. yang digilai semua wanita labil hingga merepotkan asisten pribadinya untuk mengusir mereka semua.  Baik secara halus, atau terpaksa merubah diri menjadi singa betina kebakaran jenggot.” Ucapnya panjang lebar membuat Ando tertawa.
            “Gak usah segitunya juga nyebutin karier gue. Hahaha... dan setau  gue, Singa gak punya jenggot untuk dibakar, Ren.”
            “Tuh, kan! pake lo – gue lagi! Gue bilang juga...” Ucapannya terhenti ketika Ando mulai berdehem lagi. Membuatnya manyun. “Iya, Pak Fernando Hayman. Maafkan sekretaris pribadimu ini yang lancang karena berbicara seolah saling kenal lama.” Ucapnya sambil mencebik. Membuat Ando nyengir lebar. Cengiran yang membuat Karen tersenyum.
           
            Setidaknya sahabatnya yang satu ini tau bagaimana caranya bahagia dalam hal kecil.

            Melihat beberapa karyawan dan direksi sudah masuk dan menyapa mereka berdua, Ando langsung berdehem sekali lagi dan menatap Karen tajam. “Kamu hari ini ikut saya ke Rapat Direksi.” Begitu saja perintah Ando yang berubah menjadi bos super dingin pada karyawan, tapi kalau sudah tersenyum, dijamin karyawan disini akan bergosip heboh dibalik kubikel atau toilet cewek.

            “Baik Pak Ando saya akan siapkan berkas – berkasnya.” Kadang Karen tertawa sendiri dalam hati bahwa statusnya dibawah Ando sekarang. Tapi dia kagum dengannya yang tau dimana bisa menunjukkan bahwa dia atasan, dan dimana dia menempatkan diri sebagai sahabatnya dan lupakan ego bossy.

            Ando mengangguk dan berjalan ke arah ruangannya. Dan beberapa kali Karen melihatnya dia tersenyum tipis ketika beberapa karyawannya menyapa sebelum badan tegap itu menghilang dibalik pintu dan tenggelam dengan pekerjaannya.

♥ ♥

I’ll Remember you.

            Ando menatap foto Lista yang ada di meja kerjanya. Foto mereka terakhir saat di Bali sebelum semuanya menjadi seperti ini. 6 tahun berlalu, namun dia masih saja mengingat setiap detik bersama Lista yang kadang marah hingga dia harusmembujuknya, bersabar ekstra untuk tak ikut keras kepala, walau lebih banyak gagalnya daripada suksesnya kalau sudah seperti ini. Tapi, setelah 8 bulan dia menjalaninya sebagai pacar bohongan, hubungan inilah yang dicarinya. Bukan hubungan dia mendominasi dan cewek mengekor, tapi sama – sama punya pendapat walau akhirnya bertengkar.
            Ando melepas kacamatanya dan membuka laci kerjanya lalu mengambil kamera pemberian Lista saat dia ulang tahun. Bahkan, disaat gadis itu berulang tahun pun dia tak sempat memberikan apa – apa karna Lista keburu lari ke Jerman. Bahkan di saat inipun, dia merasa digantung oleh pernyataan cintanya yang tak dibalas.

            “Lo serius nunggu dia, Ndo? Bukannya gue menghasut lo yah, tapi lo harus  ingat, Lista gak tau kapan pulang. kedua kakaknya saja tak tau apa rencana dia di Jerman selain melarikan diri, bagaimana kalau dia tak balik lagi, atau sekali pulang, dia bawa pasangannya untuk menikah disini? Kalau sudah begini, gimana hati lo, Ndo?” Ucapan Karen yang lumayan menyentil itu dibenarkan dalam hati. Kalau sudah begini, bagaimana nasib hatinya? ikhlas Lista bahagia walau bukan dirinya yang melakukan?
           
            Dia tersenyum sinis memikirkan kemungkinan itu. Tidak.

            Dia tidak ikhlas.

            Ando meletakkan kamera polaroid itu dengan hati – hati di lacinya lalu berjalan ke arah jendela yang menampilkan kota Bandung dari atas sini. Tempatnya berpijak sekarang. Pelarian akan patah hati ditinggalkan Lista membuatnya seperti orang gila sekarang. Bekerja siang – malam sampai lupa makan kalau saja Lily, keponakannya yang sekarang berumur 13 tahun, tidak mengomel bahkan menyuapinya makan walau marah – marah tak jelas dan bibir tipisnya manyun. Membuatnya tertawa.

            “Kira – kira dia ingat gak sama gue?”  Hatinya kadang bertanya dikala sepi menerpa. Membuatnya kadang menjawab dengan angkat bahu atau memilih menyibukkan diri. Tapi, ketika minggu lalu dia bertemu dengan Jayden di sebuah Cafee dan melihat pacar sahabatnya, Rere menyanyikan sebuah lagu dengan suaranya yang khas, membuatnya terdiam. lagu itu adalah cermin pertanyaan hatinya yang menggantung. Meminta jawaban melalui waktu yang entah sampai kapan akan ditunggunya agar dia mendapatkannya.

I will remember you,
 Will you remember me?,
 Don't let your life pass you by,
 Weep not for the memories.”

*Sarah McLachlan – I will remember.


            Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Ando. dia melirik pintu dan melihat Karen berdiri sambil memegang berkas – berkas. Senyum menggodanya ketika melihatnya tak jua hilang meski mereka bersahabat. Sepertinya itu sudah menjadi ciri khas seorang Karenina.
            “Ayoo.. Ando. Lo kesambet baru tau rasa.” Karen kadang lupa, atau pura – pura lupa statusnya apabila mereka berdua saja di dalam ruangan. Dia tak mempermasalahkan sbenarnya, Cuma dia tak ingin karyawan mendengar lalu menyimpulkan aneh – aneh tentang dirinya dan Karen.

            “Sebentar.” Ando mengambil kacamatanya yang tergeletak di meja dan melangkah keluar diikuti Karen di belakang.


♥ ♥

Bian – Lyesha.

            Lyesha menunggu dengan tak sabar di cafee tempat mereka bertemu. Dia tau Bian sangat sibuk saat ini, dan dirinya pun juga sibuk. tapi dia ingin kejelasan. Dia tak tahan lagi.

            Bian mendadak menjauh tanpa alasan.

            Oke, mungkin ini berlebihan sekarang. Tapi dia sama sekali tak tau kenapa. Terlalu mendadak. Tanpa kesalahan, tanpa alasan, tau – tau menjauh perlahan. Dimulai dari jarang menelpon, kalaupun menelpon, itupun lebih sekedar basa – basi. Kalau urusan kirim pesan, jangan ditanya lagi.
            Tak ada lagi pesan – pesan manis yang selalu muncul diponselnya.

            Lyesha menghela napas berat dan melirik pintu kafe terbuka pelan. Dia melihat Bian masuk dengan kemeja putihnya yang digulung sampai siku, jalannya yang santai ketika melangkah ke arahnya dan tersenyum. Tapi dia tau,

            Senyum itu tak sampai ke matanya. Hanya pemanis di bibir semata.

            “Sudah lama?” Bian duduk di depannya dan menatap dirinya yang menggeleng. “Ada apa, Lyesha?”
           
            “Aku yang seharusnya bertanya, Bian. kamu yang kenapa? Tau – tau menghilang tanpa alasan. Aku bingung.” Dia menghela napas dan menatap Bian yang hanya menatap buku menu dan memilih memesan pesanannya ketika waiter datang dan menyerahkan bukunya. Lalu menatap dirinya kembali.

            “Tak ada yang salah, Lyesha. Aku yang salah.” Jawaban dan wajah penyesalan Bian membuatnya bingung.

            Salah? Salah dalam artian apa?

            “Bian,” Dia menyentuh tangan pacarnya dan mengelusnya lembut. “Kenapa? Kamu mau cerita?”

            Bian menghela napas. Dia menatap Lyesha dan memegang tangannya. “Aku ... entahlah. Akhir – akhir ini bertemu Jasmine di mimpi. Mengingatnya seperti melihatmu, Lyesha. Tapi ...” Ucapan Bian terhenti ketika Lyesha spontan menarik tangannya dan menatapnya seolah terluka
            “Ketika melihatku, kau seperti melihat Jasmine, begitu?” Suara Lyesha terdengar dingin sekarang. “Aku kira kamu sudah bisa melihat diriku seperti Lyesha. Bukan melihatku karna mirip Jasmine, mantan pacarmu yang kulihat lewat foto. Kamu tau, Bian, bersamamu selama 6 tahun, aku sudah melupakan sosok Raya yang bahkan lebih lama dari kamu. Tapi kenapa, kamu gak bisa lihat aku sebagai Lyesha? Apa artinya hubungan 6 tahun ini kalau kamu Cuma lihat aku pengganti Jasmine? Sedangkan aku melihat kamu sebagai Bian, bukan sebagai siapa – siapa!” Dia menarik tangannya ketika Bian menyentuhnya lagi. Hatinya sakit luar biasa.

            Dia melihat Bian selama ini sebagai dirinya sendiri. dia sendiripun pernah memimpikan Raya, Cuma dia anggap sebagai kenangan indah yang tak pantas untuk diungkitnya kembali karna dia harus melanjutkan hidup. Tapi kenapa Bian tak bisa? kenapa?

           
            Lalu, apa artinya hubungan selama ini kalau dia dilihat karna mirip seseorang yang sudah mati? Bukan sebagai dirinya yang hidup, dan bernapas di dunia ini?

            “Bian ...” Dia menggigit bibirnya dan menahan mati – matian agar tak menangis di depannya. “Mungkin, tidak seharusnya kita berhubungan lama seperti ini kalau kamu ternyata menganggap aku pengganti doang.” Lyesha masih menatap Bian yang terdiam. dalam hati dia menunggu kalimat yang keluar dari mulutnya. Tapi yang ada dia hanya bungkam. Membuat hatinya semakin sakit. “Aku pergi dulu.” Dia berdiri dari duduknya dan berjalan melewati Bian, namun tangannya ditarik pelan. “Lyesha, aku ...”

            “Gak usah ngomong. Kamu gak tau aku sakit disini, Bian.” Dia menunjuk dadanya dengan mata berlinang. “Pengakuan kamu itu seperti membuatku merasa terbodohi selama 6 tahun! Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, aku melihat kamu apadanya, bukan seperti pengganti siapa – siapa! Tapi...” Dia terdiam dan merasakan air mata menetes sekarang membasahi wajahnya. dia tak peduli. Biar saja Bian melihatnya menangis sekarang.

            Kenapa kamu tak bisa melihat itu seperti aku melihatmu, Bian?”

♥ ♥

            Kenapa kamu tak bisa melihat itu seperti aku melihatmu, Bian?” Ucapan itu terngiang lagi dan serasa menonjok hatinya. tatapan mata Lyesha, air mata yang menetes dan akhirnya cewek itu pergi meninggalkannya tanpa membiarkan dirinya bicara sepatah katapun. Membuatnya lesu sampai pulang kerumah.  

            Suara tanda ada panggilan berbunyi nyaring di laptopnya. Dia membuka skype dan melihat Lista, adiknya menelpon. Dia mencocokkan jam di kamarnya yang menunjukkan pukul 08.00 malam dan di Jerman dia yakin pukul 12 siang. Di musim dingin sekarang, siang atau malam takkan ada bedanya di Jerman. Dia menekan tombol call dan melihat adik cantiknya, Lista, dengan rambut terurai panjang berwarna coklat kayu yang berpendar cantik apabila terkena sinar matahari,  sedang mengenakan syal berwarna hijau yang melilit hangat lehernya, jaket tebal melindungi tubuhnya, dan senyum manis yang  disukainya, pernah hilang karna masalah itu, kini hadir lagi menghiasi wajahnya. rupanya keputusan melarikan diri tak buruk juga.

            “Ada apa, Lis, nelpon? Kangen sama kakak ganteng lo ini?” Ucapannya membuat Lista mencibir. Dan dia tertawa terbahak – bahak. “Gue baru baca email lo, kak soal Lyesha. Ckckck... lo bilang dia mirip Jasmine tepat dihadapannya? Hebat..” Entah prihatin atau mengejek, Lista malah bertepuk tangan dan membuat Bian gemas ingin mencubit pipi adiknya yang bersemu merah itu.

            “Ngeledek, dek?” Dia melirik adiknya yang tersenyum manis sambil melirik jendela apartemennya, lalu menatap kearahnya kembali. “Gak kok kak. Gue bingung aja isi hati lo itu.”
            “Gue juga, dek.” Bian tertunduk lesu. “Gue berusaha menganggap di depan gue adalah Lyesha dan meyakini dalam hati kalau Jasmine sudah tersenyum di alam sana. Tapi ntah kenapa, gue gak bisa lakuin itu. dan parahnya lagi, kehadiran Jasmine di mimpi gue memperburuk keadaan. Gue jadi merasa bersalah.”

            “Kak...” dia melihat Lista menatap dirinya serius sekarang.  Adiknya yang menderita penyakit Heterochromina Iridium,  penyakit genetik yang membuat kedua warna bola matanya berbeda. Warna hijau di mata Lista sebelah kiri lebih pudar daripada sebelah kanannya yang lebih menonjol. Dan dia baru menyadari sekarang setelah melihat lebih dekat, ada lingkaran coklat terang, seperti warna mata mamanya, melingkar di kedua bola mata Lista, seolah melindungi warna hijau yang indah itu. “Dek, gue baru sadar kalau warna mata mama melingkar di bola mata lo. cantik.”
           
            “Gue udah dari dulu sadar kak kalau mata gue aneh sendiri.” Lista tertawa dan keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu. “Begini, kak. Coba lo ingat – ingat momen dimana lo liat kak Lyesha sebagai dirinya sendiri. bukan sebagai pengganti Jasmine. Gue tau kak lo pasti memiliki kenangan itu. ingat kenapa lo mengajak kak Lyesha berpacaran, apakah karna dia mirip kak Jasmine, atau karna hal lain. mungkin lo Cuma kaget, kak dengan kehadiran kak Jasmine di mimpi lo, makanya menjadi seperti ini.” dan Bian mengangguk membenarkan. Di mimpinya sendiri, Jasmine tak memasang wajah kecewa karna tau dia menemukan penggantinya, malah tersenyum bahagia.

            “Gue seperti melanggar janji sendiri, Lis.”
            “Gak , kak. Lo pantas bahagia. Gue yakin andaikan kak Jasmine bisa ngomong sekarang, dia akan menyuruh lo melanggar janji yang dibuat sendiri itu untuk bersama kak Lyesha. Dia hanya ingin lo bahagia, kak. Meski bukan dirinya yang membahagiakan lo.”

            “Kenapa omongan lo jadi mirip dengan Jasmine, Lis?”

            Lista sejenak terdiam. Diketuknya jari diatas meja. Matanya berkedip kemudian tersenyum miring. “Seharusnya gue bilang ini dari dulu, kak.” Dia tertunduk dan meneruskan ucapannya tanpa menatap kakaknya, “Kak Jasmine dulu pernah bilang ama gue dan kak Rika di malam dia meninggal itu, kalau seandainya dia pergi suatu saat nanti, dia ingin kakak menemukan pengganti dirinya dan bahagia lebih dari kakak bahagia dengan dirinya. dia merasa umurnya tak lama lagi waktu itu. Dia mencintai kakak, ingin bersama kakak, tapi waktu tak mengijinkan dan dia ikhlas, kak. Dia hanya ingin kakak bahagia, dengan siapapun orangnya. Asal orang itu kakak cintai. Dan ketika kakak mengenalkan kak Lyesha sama gue dan kak Erika, kakak gak tau gimana senangnya hati kami karna melihat kakak tersenyum seperti dulu. Dan gue yakin, kak Jasmine pasti akan tersenyum diatas sana kak. Bukan sedih.” Penjelasan Lista panjang lebar membuatnya terdiam.

            Aku bahagia bisa mencintai wanita berhati malaikat sepertimu, Jasmine.”
           
            “Kak...” Merasakan tak ada jawaban, dia mendongkakkan wajahnya dan melihat kakaknya terdiam. “say something, brother.

            Bian tersenyum melihat adiknya menatap cemas. “Iya, dek. Makasih udah memberikan gue pencerahan kesekian kalinya. Gue tau apa yang harus gue lakuin. Thanks, dek.”

            Lista tersenyum mendengarnya. “anytime. Kak.”
            “Lis...”
            “Iyaa...”

            “Kapan pulang?”

            Pertanyaan itu membuat Lista terdiam. kapan pulang? Dia sendiripun tak tau kapan pulang. Hatinya kadang ingin kembali, tapi raganya tak sanggup menginjakkan kaki kesana.
           
            Dan tak sanggup bertemu dengannya.

            “Gue masih betah disini, kak. Ada Steven yang menemani gue dan kadang nginap disini. Jadi bikin kerasaan.”
            “Steven menginap di apartemen lo?!” Teriakan Bian shock dijawab anggukan oleh Lista. “Kenapa? Dia kan punya apartemen yang bersebelahan dengan lo, dek!”

            “Dia pengen temanin gue, kak. Karna gue kadang kesepian, yaudah gue iyain aja. Dan sekarang dia tidur tuh di kamar.”
            “Kalian gak ...” Bian menatapnya curiga. Dan Lista tertawa melihat tatapan kakaknya itu. “Ya gak dong kak! Kami gak kayak orang barat lainnya yang tidur satu kamar tanpa ikatan. Tapi... pernah sih dia tidur dikamar gue waktu itu dan...”

            “Dan apa, Elista?” Bian menyipitkan matanya curiga. Kalau sampai terjadi sesuatu tak diinginkan, dia akan terbang ke Jerman saat ini juga dan minta penjelasan oleh Steven. Biar keluarganya multi bangsa dalam segala hal, tapi dirinya menjunjung tinggi adat ketimuran.

            “Dan gak terjadi apa – apa, kak. Kami Cuma tidur berdua, besok pagi saling melirik dan tertawa bersama. Gak terjadi seperti yang lo pikirin, kak. Percaya deh.” Lista tertawa melihat wajah serius kakaknya itu. seperti wajah papahnya yang selalu tegak dan melirik tajam  bila mendengar hal tak beres.

            “Elista...” Dia menatap adiknya itu dengan sayang. “Kalau lo gak jujur dengan kak Rika itu gak papa, tapi setidaknya lo bisa jujur sama gue. Lo pacaran dengan Steven? Sepupu jauh kita yang kebetulan anak tante Jihan, mantan pacar papah kita?”

            Lista terkikik geli mendengar nada interogasi kakaknya itu. dia mengedipkan mata. “Menurut kakak?” Dia bertanya balik dan tertawa terbahak – bahak melihat kakaknya mengacak rambut frustasi. “Mana gue tau, Elista! Makanya gue nanya lo!”

            “Dia memang ada nyatain cinta sama gue, kak. Tapi...” Dia berhenti tertawa dan tersenyum. Membuat Bian bingung melihat senyum adiknya itu.

            Kenapa terlihat sedih?

            Gue gak bisa menerimanya. Gue bilang kalau di Indonesia, ada yang menunggu meski gue bilang gak usah. Dan dia bilang sama gue, kalau orang yang menunggu itu melupakan gue dan menemukan penggantinya, apa yang gue lakuin? Gue jawab aja, mungkin menghilang lagi sambil berdoa semoga hati gue bisa terbuka seperti dia yang membuka hatinya untuk wanita lain. dan dia bilang, akan menunggu hari itu, kak.” Terdengar nada getir ketika Lista mengucapkannya. Membuat Bian serasa ingin kesana saat ini juga untuk mengelus rambutnya dan memeluk erat.
           
            “Kak, udah dulu, yah. Lista mau kuliah dulu nih. Salam buat mama dan papah, yah.” Lista memutuskan untuk berhenti, tapi ucapan kakaknya membuatnya terhenti.

            Gue ketemu Ando kemarin.” Ucapan itu membuatnya beku. Ingin rasanya dia memborbardir kakaknya dengan pertanyaan. Menanyakan kabar seseorang yang kadang dipanggilnya dalam tidur lelapnya dan membuatnya terbangun dengan napas terengah – engah.
            Dia merindukannya. Bahkan ketika di alam mimpi.

            “Dia sekarang menjadi CEO tersukses dan termuda di dunia bisnis. umur 24 tahun sudah memegang semua perusahaan keluarganya dengan luar biasa, tapi gue lihat dia tak bahagia. Dia menanyakan kabar lo.”

            “Terus, kak? Lista berusaha biasa saja. Tapi hatinya serasa ingin berteriak untuk bertanya lebih.
           
            Apakah dia baik – baik saja, kak? Apakah saat itu dia menggandeng cewek lain dan bilang itu pacarnya? Pertanyaan terakhir hatinya itu membuatnya seperti diiris – iris.

            Dia tak sanggup menerima jawaban itu.

            “Gue bilang lo baik – baik saja dan sedang mengambil kuliah jurusan Psikologi di Jerman. Dia seperti ingin bertanya banyak, tapi kemudian dia bilang nitip salam sama lo dan berlalu pergi. gitu doang.”

            “Oh... kalau lo ketemu dia, kak, bilang aja gue nitip salam.”
            “Kenapa gak lo sendiri yang nyamperin salam itu?” Lista mendengar bunyi bip di list chat skype – nya, dia membukanya dan seketika terdiam.

            Kakaknya mengirim alamat email Ando.
           
            “Kak...”
            “Itu  e- mail Ando. gue yang minta kemaren dan bilang kalau – kalau lo pengen hubungin, dia dengan semangat langsung memberikan alamatnya. Lis, kalau lo sayang dengan dia, pulang. Waktu melarikan diri sudah habis. Dia menunggu lo, lo menunggu dia. Tapi tak ada yang memulainya. Gue tanya sama lo, dek. Sampai kapan berada di Jerman? Sampai lo dan dia menjadi kakek – nenek tanpa pasangan?”  Lista tersenyum mendengar pertanyaan kakaknya dan dengan berat hati, menghapus alamat email Ando.

            Dia tak sanggup memulainya. Dia sudah terlalu nyaman dengan semua ini walau kadang, tak bisa membohongi hatinya kadang merindu. kalau sudah begitu, dia akan memutar semua video tentang kebersamaan mereka di Bali saat masih sekolah dulu yang dibawanya, berulang kali dan membiarkan dirinya menangis kemudian dipeluk erat oleh Steven, cowok yang tulus mencintainya, tapi dia tak bisa mencintai balik.
           
            “Sampai ada suatu kejadian dimana gue harus pulang ke Indonesia, kak.”
           
            Jawaban adiknya membuat Bian tersenyum. “Gue akan menantikan hari itu, dek. Udah dulu yah, lo mau kuliah, kan?” Tanyanya dan Lista menjawab, “Iya, kak. Gue end call yah. bye.” Lista langsung menekan tombol end ketika wajah kakaknya tak terlihat lagi lalu menatap foto mereka yang sedang tersenyum saat berada di Bali, di tengah pantai Lovina bersama lumba – lumba yang mengelilingi mereka. Membuatnya tersenyum ketika teringat kejadian itu dan mengelus fotonya dengan sayang.

            “Gue kangen lo, Ando.”
             

♥ ♥

          Lyesha terdiam ketika sebuah pesan masuk saat dia masih bekerja. Pesan pertama kalinya setelah hampir dua bulan mereka tak berhubungan sama sekali sejak pengakuan itu. dan kini, Bian ada disini, di rumah sakit dan menunggunya di tempat biasa.

            Tempat dimana dulu mereka saling menjalin cerita sebelum akhirnya menjadi simpul yang kuat, bila dilihat dari luar. Tapi rapuh di dalam.

            Lyesha mendesah dan memutuskan nanti saja menemuinya. Toh, dia masih ada urusan yang tak bisa ditinggalkan sebagai perawat.

♥ ♥

            Bian tak tahan lagi menunggu selama dua jam tanpa kepastian di cafetaria tempat dia bertemu dengan Lyesha. Dia memutuskan masuk ke dalam Rumah sakit, melangkahkan kaki ke Poli kandungan dengan tenang, dan melihat Lyesha sedang tertawa dengan temannya di ruang informasi. Ketika gadis itu melihatnya tanpa sengaja, dia terdiam dan berbicara sesuatu pada temannya lalu menghampiri dirinya.
            “Kita kemana?” Tanya Lyesha berdiri di sampingnya sekarang. Tapi tak menatapnya.
            Bian langsung menggenggam tangannya erat ketika dirasa ada penolakan. “Ikut aku.” Ucapnya tegas khas Dokter tak ingin dibantah. Membuat Lyesha mencebik dan mengikuti kemana Bian membawanya.

♥ ♥

            Kau bukan pengganti siapa – siapa, dan takkan pernah menggantikan siapa – siapa.
           
            Ucapan Bian membuatnya terdiam. tatapan penuh sorot minta maaf membuatnya hampir luruh kalau saja tak ingat bagaimana perasaanya yang sakit ketika mendengar dia dibandingkan dengan mantan pacarnya yang sudah di alam sana.
            “Kamu udah pernah bilang begitu, Bian. dan itu tak terbukti. Kamu anggap aku Jasmine, aku tak pernah anggap kamu siapa – siapa. Apa arti semua hubungan ini kalau dari awal aku dianggap pengganti?” Suaranya terdengar serak ketika mengucapkan itu. dan dirinya berusaha menahan air matanya agar tak membasahi kedua pipinya dan semua pengunjung cafee tak kebingungan karnanya.
            Bian menghela napas berat. Bingung bagaimana meyakinkan Lyesha sekali lagi. “Lyesha... Dulu, memang aku menganggapmu sebagai Jasmine.” Dan dia terdiam ketika Lyesha semakin menundukkan kepalanya. “Tapi, semakin lama kita mengenal, aku baru sadar kalau kamu bukan Jasmine. Kamu adalah kamu. Yang kadang ceroboh, kadang badmood sendiri tanpa alasan, dan pikiran kamu suka ngelantur kemana – mana bila banyak kerjaan. dan aku mencintai semua itu, Lyesha. Aku minta maaf kalau ini terlambat. Tapi, 6 tahun aku bersama kamu, dan 2 bulan tak berhubungan karna masalah ini, aku sadar. Aku tak bisa lebih lama lagi untuk kehilangan kamu dengan semua sifat yang aku kenal. Adikku, Lista, pernah bilang, Jika kamu mencintai seseorang, lalu kalian hidup bersama dan kemudian, kamu mencintai orang lain. maka tinggalkanlah seseorang itu dan pilihlah orang yang kau cinta. Karna jika kau mencintai orang pertama, kau takkan jatuh cinta dengan orang kedua. Itu yang aku rasain sekarang. Aku mencintai Jasmine sampai dia mati, dan aku bertemu denganmu lalu memilhmu. Artinya...
            Aku serius dengan perasaanku dan tak melihatmu sebagai pengganti, Lyesha. Takkan pernah lagi.”

            Lyesha mendongkakkan wajahnya dan melihat Bian. mencari keseriusan di mata hijau toska yang sangat dicintainya itu. matanya berpendar tajam dan serius. Tanda ucapan tak main – main. Membuatnya terdiam. “Kamu serius dengan semua ucapanmu, Bian? aku gak mau sakit dua kali karna masalah yang sama. Kalau kamu tak yakin dengan semuanya, mending...” Dia terdiam. hatinya meneriakkan satu solusi bagus. Tapi berpotensi menghancurkan diri hingga berkeping – keping.

            “Kita akhiri saja semuanya, Bian.

            Dia melihat cowok itu menghela napas lalu berdiri dari duduknya, berjalan ke arahnya pelan dan...

            Berlutut di depannya! Di hadapan semua pengunjung cafee!
           
            “Bian.. bian, apa yang kamu lakukan? Berdiri, berdiri..” Dia kelabakan dan berdiri sambil menarik Bian untuk menghentikan aksi konyolnya yang mengundang tatapan penuh tau oleh semua pengunjung cafee.
            Bian tersenyum melihat wajah pacarnya memerah. well, kalau dia tak bisa diyakinkan dengan kata – kata, mungkin tindakan cukup ampuh.

            Bian mengeluarkan sesuatu dari celananya dan membuka kotak beludru biru yang sangat indah itu tepat di hadapan Lyesha yang menutup mulutnya dan melotot ke arahnya ketika melihat isi dari kotak itu.
            “Lyesha... kalau aku tak yakin dengan semua yang aku ucapin, aku takkan melakukan hal ini. Lyesha Anindya,” Dia menatap gadis itu yang hampir menangis karna perlakuan romantisnya. Well, saran papahnya untuk urusan seperti ini ternyata sangat manjur.

“Hari ini sayang,
Sangat penting bagiku,
Kau jawaban yang aku cari,
Kisah hari ini kan kubagi denganmu,

Dengarlah sayang kali ini,
Permintaanku padamu.”

            “Maukah kau menikah denganku? Menjadi wanita yang pertama kali ku lihat di saat ku terbangun, dan menjadi wanita terakhir sebelum ku bermimpi indah di malam hari? Menjadi Nyonya Pradipta ku seorang? Untuk seumur hidup?”

“Dan dengarlah sayangku,
Aku mohon kau menikah denganku,
Ya.. hiduplah denganku,
Berbagi kisah hidup berdua.”

*Glen Fredly – kisah romantis
            Lyesha shock mendengar ucapan romantis dari Bian. cowok yang dicintainya, yang akan selalu dicintainya, dan mencintainya. dan dengan sangat yakin, menghapus semua keraguan di hati, dia tersenyum lebar dengan air mata membasahi pipinya dan mengangguk.

            “Aku mau, Bian.”

“Cause every time before it's been like maybe yes and maybe no,
I can't live without it, I can't let it go,
Ooh what did I get myself into?
You make we wanna say ...,
 I do.”

*colbie Calliat – I do.

            Bian berdiri dari posisinya, mengeluarkan cincin turun – temurun dari keluarga papahnya dan memasangkannya dengan penuh cinta ke jari manis Lyesha yang menatapnya,  lalu mengecup bibirnya. Untuk pertama kalinya selama 6 tahun ini. Dan dia mendengar semua pengunjung cafee  saat itu bertepuk tangan meriah ke arah mereka.


            “Aku mencintaimu, Lyesha Anindya. Sebagai dirimu.


Elista.

            Dia bernyanyi sendiri di apartemennya yang lumayan besar untuk ditinggal sendiri. sekarang musim panas menerpa kota Jerman dengan indah setelah musim dingin yang begitu menggigit tulang hingga dia hiportemia untuk kesekian kali dan membuat Steven, dengan senang hati tinggal diapartemennya untuk sementara.

            Steven. Yah, cowok itu memang mencintainya. tapi dia tidak bisa. tidak bisa membalasnya.
            Terdengar suara pintu diketuk pelan. Membuat Lista meletakkan gelasnya di meja makan, mengikat rambut panjangnya dengan asal, dan berjalan ke arah pintu dengan senang.
            Pasti kak Erika datang.” Dia tersenyum membayangkan kakaknya, Erika akan  berdiri dimuka pintu bersama Mikail, suaminya dan Fransisco Boulanger di, Keponakan lucunya yang berada digendongan kakaknya, yang baru berumur 3 bulan. Tatapan mata coklat terang polos setiap melihatnya, pipinya yang tembam kemerahan membuatnya gemas untuk mencubit dan badannya yang montok sangat berat untuk digendong. Tapi dia menyukainya. Dan kakaknya, jangan ditanya. Semakin cantik saja setelah menikah dan mempunyai anak. Matanya berpendar bahagia setiap melihat suaminya terkadang membuatnya iri. Namun berhasil ditepisnya.

            Toh dia sudah bahagia dengan apa yang dipilihnya.

            Pintu terbuka dan dia melihat bukan kakaknya yang disini, tapi Steven. Dengan baju kaos hitamnya dan membuat dadanya semakin bidang, celana jins panjang, rambut pirang acak – acakan dan tatapan mata biru yang membiusnya serta lesung di kedua pipinya. Membuatnya terpesona mengagumi kegantengan sepupu jauhnya itu.

            “Eh, Stev. Masuk.” Dia mempersilahkan cowok itu masuk dan menutup pintu. tatapannya berkerut ketika cowok itu meletakkan sesuatu di atas meja.

            Seperti undangan
           
            “Undangan cantik. Siapa lagi keluarga kamu yang menikah, Stev?” Dia tersenyum sambil membuka undangan berbungkus sampul berwarna emas dan merah itu. terlihat mahal.
            “Salah satu keluarga Palleazzo, Lis.” Dia tersenyum ketika Lista terpaku melihat undangan itu.

            Foto undangan pernikahan kakaknya dan Lyesha yang tersenyum sambil memandang satu sama lain dengan mesra. Membuatnya tersenyum dan melihat dimana lokasi pernikahan itu.

            Seketika dia terdiam ketika membacanya.

            “Pernikahannya akan diadakan di indonesia, Lista. 3 bulan lagi. Kamu pulang, atau...” Dia terdiam ketika melihat Lista hanya diam menatapnya. Tatapannya tak terbaca

            Atau disini saja?”

            Bukan masalah uang yang akan dikeluarkannya untuk pulang. Tidak. Bukan masalah itu.
            Tapi ini masalah hatinya.

            “Pulang?”



            Oke, semuanya... selamat menunggu. J


           
           
                       


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar