Sabtu, 16 November 2013

Cerpen - The Call.




            Rere selesai menyanyikan lagu terakhirnya dan tepukan kepuasan terdengar dan senyum para pengunjung cafee. “selesai. It’s time to go home now. yeay!” Jeritnya dalam hati. Dia membayangkan pulang kerumah jam 11 malam akan disambut dengan senyum mama yang sekarang pasrah saja anak gadisnya pulang malam. Sambil bertanya bagaimana perform malam tadi dan sudah makan atau belum. Bila terlalu capek, segelas air putih dan obat yang harus diminumnya setiap malam kalau tak ingin kolaps karena terlalu lelah sudah disediakan. Tinggal teguk saja. Kemudian dia akan masuk kamar  dan setengah tergesa – gesa berganti pakaian show menjadi daster bulukan lalu melemparkan diri ke ranjang kemudian terlelap hingga pagi menjelang.

            Semua rutinitas yang selalu ditunggunya.

            “Melamun aja.” Tanpa sadar dia cengengesan sendiri membayangkan semua itu hingga tak menyadari Jayden, pacarnya mengelus kepalanya dan tersenyum manis disamping. “Melamun apa hayoo?”
            “Melamunin siap terjun bebas ke ranjang dan tidur, Jay. Hahhaha...” Dengannya, dia tak perlu pasang senyum malu – malu ala ABG baru pacaran. Jayden yang santai membuat hubungan yang mereka jalani juga santai. Tak perlu panggil sayang, honey, sweety, beibah, beibeh, atau panggilan aneh lainnya. Just call your name. That’s it. So simple, isn’t?

            Jawabannya membuat Jayden tertawa. Tangannya merangkul pundak dengan sayang. Dia bisa melihat senyum hangat bercampur geli itu di wajahnya yang blasteran dan lesung pipi yang memikat. Sometimes, i still believing it just a sweet dream without ending. He is my boyfriend?! WAW!” Batinnya penuh kagum ketika menyadari, bahwa dia berpacaran dengan pria idamannya.
            “Kok ketawa sih? Lucu yah? Wajar kali aku ngayal begitu. Badan serasa remuk semua karna kuliah dan malamnya aku udah manggung ampe jam...” Dia melirik jam tangan untuk memastikan. “Jam 11 malam.”
            “Gak. Jawabanmu polos amat, Re. Yaudah, aku antarin pulang atau gimana?”
            “Aku bawa mobil kok. Jadi kita ...”

            “Aku ikutin kamu sampai rumah. Aku tau kamu bawa mobil kemanapun pergi, Re.” Dia menambahkan ketika Rere pasang wajah siap protes. “Tapi kamu cewek dan komplek rumahmu itu sepi. Takut aja pacarku yang bawel satu ini kenapa – kenapa dijalan. Bagaimana?”
            “Tapi... kamu pasti juga capek, kan? Gak usah deh. Aku bisa beladiri kok. Jadi kalau ada yang berani macam – macam, tinggal tendang sana – sini. Beres, kan?”
            “Gak ada tapi – tapian. Gak ada penolakan. Oke?” Jayden menatap tegas. Tatapan yang membuat Rere mau tak mau, suka tak suka mengiyakan walau sepanjang jalan mulutnya mencebik penuh omelan. “Iya deh. Yuk pulang.”

            Dia tersenyum dan merangkul Rere yang tanpa ragu menyandarkan kepalanya di bahu sambil melingkarkan tangan di pinggangnya. Sesekali mereka tertawa kemudian Rere melepaskan pelukannya dengan wajah salting karena digoda Dany dan Jason, teman Bandnya yang akan bertos ria apabila dia memerah hingga lebih kepada warna kepiting kebakaran. Bukan direbus.

♥ ♥

            Akhirnya  dia tiba di depan rumahnya dengan mobi Jayden mengekori di belakang. Jam di dashbord mobilnya menunjukkan pukul 11.30 malam. dia memasukkan mobil ke garasi lalu mematikan mesin, mencabut kunci dan turun sambil menutup pintu dengan pelan. Dia setengah berlari keluar halaman untuk menghampiri pacarnya yang rela mengiringi padahal rumahnya lumayan jauh. Ibaratnya, kalau rumah dia di kutub selatan, maka rumah Jayden di kutub Utara.
           
            “Makasih yah.” Ucapnya tulus ketika Jayden turun dari mobil dan bersandar. Senyum itu melekat walau wajahnya kelelahan. Seandainya mereka tak pulang semalam ini, dia akan menyuruhnya masuk untuk meregangkan otot sejenak. “Sama – sama, Re. Aku pulang dulu, yah.” Ucapnya dan ia mengangguk. “Hati – hati.”

            Ucapan itu membuat pacarnya menoleh dan mengecup pipinya. “Iya, sayang. Have a nice dream.”  Balasnya dan dia mundur ketika mesin mobil Jeep Rubicon berwarna putih itu berderu pelan dan melambaikan tangan ketika mobil itu menghilang dari pandangan.

            Sepeninggal Jayden, dia tersenyum dan bergegas masuk dalam rumahnya dengan kunci rumah serep ditangan.

♥ ♥

          “Dimana, lo?” Dia masih mengendarai mobilnya menuju rumah. Telpon dari Ando, sahabatnya yang baru saja  menemukan pacarnya yang hilang, Lista dan menjalin hubungan jarak jauh karna gadis itu memilih di Jerman daripada Indonesia mau tak mau membuat sahabatnya jadi sasaran goda. “on the way to home. Kenapa? Kesepian yah? gue siap menemani lo kapan saja.” Godanya ketika mobil ia tepikan di pinggir jalan dan tertawa mendengar Ando mendengus.
            “Sialan lo. Eh, Jay. Selamat yah.” Ucapannya membuat ia bingung. Selamat macam apa? Memangnya dia mendapatkan apa?
            “Lo ngigau yah? Perasaan gue belum melangkah ke pelaminan deh. Selamat apaan?”
            “Loh?” Suara Ando terdengar heran kemudian dia merasa telpon dijauhkan dari sang pemilik yang asyik bertanya – lebih tepatnya setengah merayu. Lalu dia merasakan kehadiran Ando di ponselnya. “Gue skype ama dia sekarang, katanya ...” Ando menjelaskan secara rinci padanya.
           
            JEGGER!
           
Jayden Boulanger
            Jayden shock berat. Dia tak tau rencana ini sama sekali. Hal ini membuatnya merasa marah. Tapi tak ingin ditunjukkan. “Lista tau darimana?”
            “Lo kenapa, Jay?” Dia merasakan perubahan suara sahabatnya. Membuatnya berhati – hati. Jayden justru lebih mengerikan ketika dia diam. Emosinya menjadi lebih tak terbaca. “Lo gak tau soal ini?”
            Tak ada gunanya berdusta dengan Ando yang mengetahui semua tentangnya dari mereka SMP. “Iya. Gue gak tau rencana itu. Tapi bagus deh. Keinginan dia tercapai.” Ucapnya datar. Membuat Ando mengernyit kening bingung diseberang sana. “Lo yakin?”
            “Iya. Ndo, udah dulu yah. Gue masih di jalan soalnya. Salam buat pacar cantik lo. Bye.” Tanpa mendengarkan balasan dari Ando, dia langsung menekan end call dan setengah membanting ponsel ke jok mobil. Pusing kepalanya sekarang dengan puluhan pertanyaan di kepala.
           
            “Kenapa dia tak dikasih tau? Kalau ini sebagai kejutan, selamat! Gadis itu sukses membuatnya terkena serangan jantung!” Jayden menggerutu pelan. Entah kenapa kabar Ando membuatnya berbelok ke arah Hard Rock Cafee di Jalan Lembong, Bandung. Mungkin sedikit hentakan musik dan minum membuat kepalanya yang berasap bisa berkurang.

♥ ♥

       
Rere
  
Rere memandang kertas itu berulang kali. Seminggu yang lalu dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah musik di Wina, Austria selama 4 tahun. Kuliah yang diinginkan ada di depan mata. Tapi satu masalahnya. Jayden tak tak tau soal ini dan dia bingung bagaimana bilang serta...

            Bagaimana dengan hubungan mereka yang terjalin selama 3 tahun ini?

            Long distance? Dia menggeleng. Bukan keputusan bagus tetap berhubungan dengan jarak membentang di antara mereka. Bukannya dia tak percaya dengan Jayden dalam berkomitmen, tapi...

            Napasnya terasa berat sekarang. Jayden tak ada mengirimnya sms apakah dia sudah tidur atau malah bergadang. Membuatnya menatap surat yang ia genggam sampai lecek dan ponsel di ranjang secara bergantian. Seolah membuat keputusan.

            Oh tuhan...
           
“Mungkin gue harus tidur.” Putusnya sambil meletakkan surat itu di meja sampingnya, mematikan lampu tidur dan menarik selimut sambil berusaha menutup matanya agar tertidur pulas. Tanpa memikirkan apa – apa.

♥ ♥

          10 hari setelah surat itu datang, selama itu juga Rere tak menceritakan ke Jayden tentang rencananya. Dia bingung harus berkata apa. Setiap dia ingin cerita, wajah Jayden yang akhir – akhir ini terlihat muram itu membuatnya mundur. Dia tak berani bercerita jika awan mendung menaungi atas kepala pacarnya.
            “Jay...” Panggilnya ketika cowok itu fokus membawa mobilnya membelah jalan raya. Dia tak tau kenapa Jayden menjemputnya ke rumah, kemudian mengantarkannya ke kampus dan menanyakan kapan pulang. Dia menjawab karna mungkin, cowok itu hanya ingin tau. Tapi dia tak menyangka Jayden menjemputnya tepat waktu! Waw!
            “Hmm...”
            “Kamu aneh deh.”
            “Kok aneh?” Dia berkerut kening. Jayden yang ia kenal selama 3 tahun ini akan menatapnya penuh goda dan tersenyum jahil. Bukan seperti ini. Serasa ada yang disembunyikan.

            “Kamu gak kesambet, kan?” Ia menuding dan Jayden tertawa. Tatapan matanya beralih dari fokus menyetir mobil menjadi kearahnya. “Mungkin. Kesambet kamu. Hahahaaa..”
            “Fokus, Jayden!” Melihat Jayden menyetir tanpa melihat ke depan, membuatnya ngeri. Bagaimana kalau mereka tabrakan? Dia belum sempat membuat cloning diri untuk menggantikan posisinya di dunia dan mengerjakan semua project dan rencana di dalam kepalanya.
           
            Jayden mengalihkan pandangannya dan tersenyum. Terkadang  membuat pacarnya panik dengan cara ia membawa mobil adalah hobinya.     
            “Kamu malam ini ada acara, gak?”
            “Gak ada sih. Kenapa?”
            “Jalan yuk malam ini.”
            Dia mengangguk mengiyakan. “Jam berapa?”
            Jayden mengucapkan dan dia mengingat – ingat sambil bertekad. Malam ini dia harus mengaku.
           
            Terlalu asyik merangkai kata – kata di kepalanya, tak sadar bahwa mereka sudah tiba di rumahnya. “Re...”
            Dia tergeragap dan tersenyum salah tingkah. Malu karna ketahuan melamun entah sejak kapan. Memikirkan apa yang harus dikatakan pada Jayden untuk malam ini membuatnya tak bisa concentrate. Belum lagi dia bolak – balik mengurus paspor di Kementerian Luar Negeri yang luar biasa jauh itu agar cepat selesai . “Tuh’kan melamun lagi. Ada apa?”
            “Gg-gak papa, kok.” Jawabnya terbata – bata dan bergegas turun.  Jayden mengikuti lalu berjalan mengitari mobil dan berdiri di sampingnya.“Makasih yah, sayang udah nganterin pulang.”
            Entah matanya rabun atau otaknya sibuk melanglang buana, Wajah Jayden terlihat sangat sedih hingga dia ingin berpaling dan masuk rumah karna tak tahan melihatnya. “Kamu kenapa? Ada masalah.”

            “Gak papa kok. aku jemput jam 8 malam yah nanti malam?” Jayden menangkupkan kedua tangan di pipinya. Memaksanya untuk menatap dalam – dalam. “Iya...”
            Will you promise something for me?”
            Pertanyaan Jayden membuatnya bingung. Janji apa? Namun dia mengiyakan. “As long as i can, I will.”
            “Not as long as. But sure.”
            “What is it?”
            Jayden tau – tau menurunkan tangan dari menangkup wajahnya dan memegang lengan lalu menariknya dalam pelukan. Pelukan yang membuat ia kehilangan napas saking eratnya karna lengan yang melingkari tubuhnya seolah ingin meremukkan ia perlahan – lahan.

            “Whatever happens, you’ll never, ever leaving me. Darl. Promise?” Bisikan penuh tuntutan akan janji membuatnya terdiam. ingin separuh hatinya melepas pelukan itu dan mengatakan dia tak bisa. tapi separuh hati yang lain berdenyut sangat sakit ketika pemikiran itu datang.
           
            “Oh God... Forgive me.” Ucapnya putus asa dalam hati. Ia mengelus punggung Jayden perlahan dengan lembut dan membalas pelukannya.

             I’ll promise that never leaving you.”


♥ ♥

            Jam 7 malam. Dia mengulang seperti kaset rusak. Entahlah, semakin jam kamar berdetak seperti drum dipukul pelan, semakin dia deg – degan.
            Suara klakson mobil terdengar pelan mengejutkannya. Saking asyik berputar – putar sekeliling ranjang seperti Bumi berotasi, dia tak sadar bahwa jam menunjukkan pukul 07.15. sudah berapa menit berlalu?
            Buru – buru, dia mengambil tas selempang dan setengah berlari keluar rumah ntuk menghampirinya.

            “Sorry. Telat. Udah lama?” Dia masuk dalam mobil Jayden sambil memasang sabuk pengaman. Di remang cahaya mobil yang terpantul dengan tembok rumahnya, dia melihat Jayden memakai kemeja warna denim dengan celana jins warna senada. Rambutnya dibiarkan acak – acakan dan parfum beraorma maskulin menyeruak lembut. Menyentuh syaraf – syaraf penciumannya.

            Dan dia semakin terhipnotis ketika tatapan Jayden menguncinya. Entah karna pengaruh cahaya agak kurang atau bagaimana, dia tak tau kenapa Cowok di depannya ini membuat bulu kuduk seketika meremang. Seolah ia disengat listrik dalam skala kecil. “Gak kok. udah siap?”

            Ia mengangguk dan Jayden mengalihkan pandangan lalu menjalankan mobil menuju suatu tempat.

♥ ♥

            Dia menyesap minuman Ice Chocolate perlahan sambil tersenyum puas. Minuman kesukaannya di kala stres melanda sangat enak. Dia menyukai cafee yang berada di pusat kota Bandung dan bergaya minimalis. Cafee  yang mempunyai halaman sangat luas ini membuat para pengunjung bisa duduk di halaman dengan sofa empuk dan meja kecil di depannya sambil menikmati angin malam berhembus lembut dan suara penyanyi cafee yang melantunkan lagu cinta bernada mellow. Semuanya terasa pas.

            “Eh,” Dia asyik menatap penyanyi yang baru saja menyanyikan lagu Love You Like a Love Song versi Akustik dan melihat gitaristnya di belakang penyanyi bertubuh mungil itu. “Itu Jason, kan?”
            Jayden memutar tubuh dan melihat teman bandnya itu melambaikan tangan ke arah mereka. “Sebentar yah. kamu tunggu.” Tanpa sempat ia bertanya, Jayden berdiri dari duduknya dan menghampiri Jason sambil berbicara dengan penyanyinya. Entah apa tau – tau gadis itu menjauh dan menyerahkan mikrofon dan Jason menyerahkan gitarnya pada Jayden. Dengan penuh percaya diri cowok itu duduk di depan sambil meletakkan mic di tiang dan berusaha mem-paskan. Dia hanya bisa terperangah melihat semua itu. batinnya menebak – nebak apa yang dilakukan Jayden di atas panggung sekarang dengan semua tatapan mata tertuju padanya.

            “Melamun aja lo.” Suara Jason di belakangnya dan tanpa ragu duduk di kursi Jayden diikuti oleh gadis itu di yang duduk disampingnya. Membuat ia terlonjak dan memukul pundak cowok itu. “Sialan lo!”
            Jason tertawa dan Monica, penyanyi cafee itu tersenyum melihat tingkah mereka. “Malam mingguan, Re?”
            “Yap. Gak nyangka aja gue ketemu kalian disini. Hahahaa...”
            “Mumpung kosong jadwal dan gue males di kost-an...” Jason tanpa malu meminum pesanan Jayden yang tak tersentuh. Membuat Rere melotot namun diabaikannya. “Gue ajak aja si Mon ntuk akustikan disini. Gataunya ketemu kalian.”

            Dia nyengir dan menatap Jayden yang asyik memainkan gitar kemudian memasuki intro lagu yang sangat ia kenal. Cowok itu menyanyikan dengan penuh perasaan sambil menatap ke arahnya. Dia tak mendengarkan Jason berkata apa, Monica yang menyentuh lengannya. Dia terhipnotis oleh tatapan itu, lirik lagu itu dan permohonan kuat yang dinyanyikan. Membuatnya mendesah lemah. Dia kalah.

Round and around, and around, and around we go,
Ohhh now tell me, now tell me, now tell me, now you know.

Not really sure how to feel about it,
Something in the way you move.
Makes me feel like I can't live without you,
It takes me all the way.

I want you to stay.”

Rihanna – Stay.

            Entah bagaimana, Jayden sudah tau semuanya.

♥ ♥

            Dia merasa di area pemakaman kuburan saking sepinya di dalam mobil. Setelah cowok itu menyanyikan lagu – sambil menatap dirinya lekat hingga dia tak bisa mengalihkan pandangan ke lain, cowok itu akhirnya selesai menyanyikan dan berjalan ke sampingnya. Sedangkan Jason dan Monica menjauh dan mengisi panggung yang kosong dengan lagu mereka bawakan.

            Tapi tetap saja tak seindah saat mereka baru menginjakkan kaki disini.

            Lagu yang dinyanyikan Monica serasa samar – samar ketika cowok itu mengajaknya pulang dan membayarkan pesanannya. Tanpa kata, tanpa terdengar suara radio atau MP3, Jayden membawa mobilnya membelah macetnya jalan Dago, Bandung sambil sesekali melirik beberapa orang berjalan kaki di trotoar dan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya.

            “Re...”
            “Jay...” Mereka saling memanggil bersamaan dan terdiam lagi. “Kamu dulu.” Jayden mempersilahkan dan dia menggeleng. “Kamu dulu, Jayden. Kayaknya memang ada yang ingin disampaikan, kan?”
            Ladies first talking.” Ucapan tanpa nada tak ingin dibantah membuatnya menghela napas. “Aku dapat beasiswa ke Wina, Austria selama 2 atau 4 tahun, Jayden. Maaf kalau aku gak bilang sama kamu selama ini karna aku sendiri Cuma iseng – iseng kirim aplikasi dan tak taunya interview kemudian diterima. Dan aku akan berangkat...” Dia terdiam sambil meremas tangannya sendiri di pangkuannya. “Besok pagi.”

            Dia tau Jayden shock. Tapi tetap saja dia kaget ketika cowok itu mengerem mobil mendadak di depan komplek rumahnya  dan menatap tajam. “Kenapa kamu baru bilang sekarang, Re?”
            “Karna aku bingung bagaimana harus bilang ini, Jay. aku terlalu sibuk mengurus semuanya sampai – sampai menyampingkan hal ini.”

            “Aku udah tau semuanya, Rere.” Jayden mendesah lemah dan menghempaskan tubuh ke jok mobil. “Dari Ando. kamu cerita dengan Lista, kan?”
            “Iya. Aku minta saran sama dia.”
            “Re...” Jayden terdiam dan menatap Rere yang lebih fokus menatap kesamping. Melihat apa saja asalkan tak menatap dirinya. “Bagaimana dengan hubungan kita? Long distance?”
            Dia melihat Rere menghela napas berat. Seolah pertanyaannya membuat beban semakin berat. “Aku gak sanggup long distance, Jay. aku ingin kita putus.”

            Kata putus bertalu – talu seperti gendang ditabuh berulang kali di dalam kepalanya. Di antara banyak solusi, kenapa gadis itu harus memilih kata putus sebagai pilihan terakhir?!         
            “Gak.” Jayden menjawab dingin dan Rere menghela napas. “Aku gak sanggup komitmen dengan jarak terbentang jutaan kilometer, Jayden! Aku ingin fokus dengan apa yang ku kejar dari dulu dan tak ingin apapun menghalangi.”
            “Jadi... kamu pikir hubungan kita selama ini sebagai batu sandungan, gitu?”

            “Bukannya begitu!” Tanpa sadar Rere berteriak. Dia sudah frustasi ditekan secara mental, dan tak ingin ditekan lagi. “Aku tak pernah anggap hubungan kita ini sebagai batu sandungan, Jayden. Tapi ini sudah menjadi keinginanku selama ini. Aku tak mau menjalani secara berdampingan karna pasti aku takkan bisa fokus. aku harus memilih salah satu, and that’s my choice.”
            “Dan putus sebagai pilihan terbaik, gitu? Bagus banget pilihannya.” Nada Jayden terdengar menyindir telak. “Aku tak mau, Re. Sudah cukup dulu aku kehilangan, jangan sampai kehilangan untuk kedua kalinya karna kamu pergi. aku janji takkan mengganggu konsentrasi kamu selama disana. Bagaimana?”

            Nada suara Jayden sangat memohon membuat hatinya serasa ditonjok kuat. Dia merasa jahat apabila menolak. Tapi dia memang tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Dia tak bisa memendam rindu ketika mereka terpisah jauh, dan canggihnya teknologi pun ia sangat menyangsikan bisa mengikis rindu yang akan ia alami nanti. “Gak, Jayden. Maafkan aku tapi ini memang keputusan yang sudah kubuat lama. Please, Jayden.”

            “Kamu milih beasiswa itu daripada pertahanin hubungan kita, Re? Kamu gak niat perjuangin?” Nada penuh tuduhan ia terima dengan mata terpejam kuat. Hatinya teriris sakit. “Andai aku bisa memilih keduanya, aku akan pertahanin. Tapi percayalah, ini keputusan terbaik untuk kita, Jayden.”
            “Untukmu! Bukan untuk kita, Re!”
            “Oke...” Dia terdiam. “Ini keputusan terbaik untukku yang nantinya akan terbaik ntuk kita juga. Makasih udah nganterin aku pulang.” Dia langsung membuka mobil dan berniat turun. Namun mobil terkunci otomatis dan ia ditarik dalam pelukan yang sangat erat. Tanpa bisa mencegah, sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. melumatnya seolah besok takkan bisa lagi disentuh, menyicipi seluruh sudut mulutnya dengan lidah yang menginvasi telak. Tanpa sadar ia mengerang menuntut lebih dan mengetatkan pelukan sambil melingkarkan lengan dengan kuat di leher Jayden. Dia terlalu terbuai hingga tak ingin terlepas sentuhan memabukkan ini.
            “Kamu janji gak akan tinggalin aku, Re.” Bisikan Jayden tepat di depan bibirnya membuat ia spontan menggeleng dan melepaskan rangkulan di lehernya. Bibirnya serasa panas sekarang. “Maafkan aku. Makasih atas semuanya, Jayden.” Dia mengecup pipi Jayden dan bibir tipis yang baru saja menyentuhnya gila – gilaan itu, membuka kunci otomatis di pintu mobil Jayden dan bergegas turun tanpa menoleh ke belakang lagi.

            Entah dia tak tau harus bersyukur atau menangis sepuasnya karena Jayden tak mengejar. Ketika dia tiba di rumah, dia langsung masuk kamar tanpa mengiyakan pertanyaan pembantunya dan mengunci pintu lalu duduk bersandar dengan air mata menetes deras di pipinya. Dia mengelus bibir yang mulai terasa agak mendingin itu. namun sensasinya masih terasa hingga saat ini.

            Sorry. But believe me, this is the best way for us.”

♥ ♥

            Semua terasa deja vu baginya. Pergi Ke Bandara Soekarno – Hatta, Tanggerang dengan taksi karena kedua orang tuanya sudah berangkat lebih dulu ke Wina. Dia  melangkah ke terminal penerbangan luar negeri untuk menunggu dua jam keberangkatan selama 19 jam menggunakan pesawat Garuda Indonesia untuk transit ke Dubai selama 16 jam sebelum akhirnya ia terbang lagi 3 jam menuju Wina, Austria yang sekarang mengalami musim dingin.

            Ia menghela napas. Semua koper sudah dia masukkan ke bagasi tadi waktu check – in  dan sekarang ia ingin duduk santai di suatu lounge sambil mendengarkan lagu sebelum boarding. Ia tersenyum dengan pemikiran itu dan melangkah riang sambil mengambil kacamata hitam di tas selempangnya untuk menutupi kedua mata yang membengkak ada lingkaran hitam seperti panda akibat menangis semalaman hingga baru tidur jam 3 pagi. Itupun tak nyenyak.
            Seseorang menepuk pelan pundaknya. membuat ia terlonjak kaget dan menoleh. Ando tersenyum di belakangnya. Dengan baju kaos POLO putih dan lensa bening untuk menyingkirkan kacamata serta rambut setengah acak – acakan dan basah. Mau tak mau ia terpesona dengan pacar Lista yang satu ini. “Hai, Ndo. dengan siapa?” Dia tak bohong. Hatinya berharap bahwa Jayden akan dibelakang cowok sempurna itu dengan senyum khasnya. Namun dia harus menelan pil pahit kalau cowok itu datang sendiri.

            Seolah tau, Ando tersenyum dan memasukkan tangannya ke saku celana. “Gue sendiri aja. Pasti lo bingung ‘kan kenapa gue disini?” Tanyanya dan ia mengangguk. “Gue jemput Lista yang bakal tiba 2 jam lagi dan gataunya ketemu lo.”
            “Dia pulang?”
            “Yap. Untuk seminggu sih karena ia lagi cuti. Hehe...” Dia melihat cowok didepannya ini tersenyum ketika membicarakan Lista. cinta mati rupanya.
            “Bagaimana kalau kita sambil duduk disitu?” Dia menunjuk sebuah lounge mewah dan Ando mengangguk tanpa ragu sambil merangkul pundaknya. dan ia tak keberatan.

♥ ♥

            “Lo putus sama Jayden kemaren?” Tanyanya dan ia mengangguk. Tak ada gunanya berbohong dengan seorang Fernando Hayman kalau urusan seperti ini. Belum lagi cowok ini adalah sahabat mantan pacarnya.
           
            Ah.. betapa menyakitkannya setiap dia menyebutkan kata ‘mantan’. Karena hatinya sendiri tak sudi menggunakan kata itu.

            “Dia marah kenapa harus putus kalau bisa longdis, Ando. gue gak bisa jalanin hubungan jarak jauh kayak lo ama Lista lakuin sekarang. Bukannya gue gak percaya ama Jayden. Tapi gue takut gak sanggup menahan semuanya dan mengganggu apa yang gue inginkan selama ini. Kuliah musik adalah impian gue sejak dulu. Lo boleh bilang gue gila, ambisi berlebihan atau gimana, tapi gue tipe fokus pada satu masalah dan rela melepaskan semuanya yang berpotensi bikin buyar konsetrasi. Termasuk...” Dia menghela napas. Hatinya tak sanggup mengatakan. Tapi ini memang prinsip hidup yang ia pegang selama ini. “Termasuk hubungan ini. Dan gue wajarin aja kalau Jayden gak terima.”

            “Re...” Ando menatap cewek yang membuat sahabatnya gila dan mabuk untuk pertama kali dirumahnya. Membuat dia setengah diusir Lily, keponakannya. “Lo gak ada niat ntuk pertahanin hubungan ini? Mencoba seperti apa yang gue dan Lista lakuin? Longdis ga seburuk yang lo pikirin, Re.”
            Air mata menetes di pipinya. Seandainya dia bisa, dia yakin, dia takkan memutuskan hubungan ini. Tapi... ini batas kemampuannya.Dia tak sanggup. “Gak, Ndo. andaikan gue bisa, gue pasti lakuin apa yang lo jalainin sekarang. Toh teknologi maju sekarang. Tapi gue bukan tipe cewek yang bisa melampiaskan emosi ke hal lain, Ndo. kalau gue lakuin itu, hati gue gak puas dan itu mengganggu. Gue takut ketika gue kangen dengan dia, atau apalah gitu, gue gak bisa mewujudkannya. Egois, kan?” Dia tersenyum miris dan mengambil tisu ntuk menghapus air mata sambil meminum chocolate mlkshakenya.

            Terdengar suara announcer mengucapkan kode penerbangannya. Dia bergegas mengambil tiket ntuk mencocokkan dan tersenyum. “Kayaknya gue harus pergi, Ndo. salamin ntuk Lista yah. maaf gue gak bisa ketemu dia. Dan...” Dia terdiam lalu berusaha tersenyum. “Jayden. Gue minta maaf karna mutusin dia mendadak secara sepihak dengan alasan konyol. Tapi sampaikan salam ini ama dia, gue akan pulang dan kalau memang jodoh, pasti bersatu. Kayak lo ama Lista.” Dia melepas kacamata hitamnya mengambil tisu untuk menghapus air mata dan Ando melihat bahwa bukan Jayden saja yang menderita hingga mabuk dan hangover berat di rumahnya, tapi cewek di depannya ini juga. Sorot mata sedih yang disembunyikan ini salah satunya. “Gue akan sampaikan kok. tenang aja. Mau gue antarin ampe pintu penerbangan?”
            “Gak usah.” Dia memasang lagi kacamatanya dan mengambil novel karya Dan Brown terbaru di genggaman serta tas selempang kecil. “Makasih yah udah temanin gue.”

            “Sama – sama.” Ando membuka lengan dan dia langsung memeluknya. Pelukan antar teman. “Take care, Rere.”
            “You too. Ando. wish someday we’ll be meet again.”
            “I’ll be waiting that sweetest moment we meet again, girl.” Rere melepas pelukannya dan tersenyum. “Bye.” Dia melangkah keluar lounge dan setengah berlari menuju pintu penerbangan ketika suara announcer terdengar lagi. Seolah meneriakinya.


            Ando angkat bahu menatap kepergian mantan pacar sahabatnya itu sambil menyesap kopi yang belum disentuh karna fokus mendengar cerita Rere. Dia mengambil ponselnya dan megirim sms pada seseorang lalu memutuskan menelpon Jayden yang nada suaranya terdengar sangat berat seperti habis bangun tidur. “She’s gone, now. Jayden.”
            “I know.” Bahkan dengan suara beratpun, nada kesedihan mengental. “Lo masih di bandara?”
            “Iya. Lista belum nyampe soalnya. Mungkin sebentar lagi.” Ucapnya sambil melirik layar TV di depannya yang menampilkan jadwal kedatangan dan dia ingat kode pesawat yang ditumpangi pacarnya itu. “Kenapa, Jay?”           
            “Gue bisa merasakan bagaimana sakitnya lo ditinggal Lista, Ndo. rasanya lo masih hidup tapi jiwa lo mati. Hiperbola banget yah gue.” Dia mendengar tawa miris di balik telpon. “Lo mungkin butuh tidur lagi, Jay. tenang aja. Rumah gue gratis kok ntuk jadi pelarian patah hati lo.”
            Maybe..”
            “Jay... I don’t know. But i believe, really believing that. Someday she’ll be come to you.”
            “I hope so.” Dan telpon langsung dimatikan tanpa ada ucapan selamat tinggal atau tetek bengek sapaan basi. Membuatnya berdecak jengkel namun memaklumi. Orang galau terkadang melakukan hal diluar nalar. Seperti dirinya dulu.

            Asyik membaca koran sambil menikmati segelas kopi yang baru saja dia pesan kembali, tak menyadari seorang wanita cantik masuk lounge dengan menarik koper kecil di tangan kanannya, rambut coklat panjang ikal tersampir di sebelah kanan dan long dress berwarna cerah membuat senyumnya semakin cantik ketika waiters memberi sapaan dan dengan langkah anggun, dia duduk di depannya dan menarik pelan koran itu. dia tersenyum lebar ketika cowok itu tersenyum padanya. Seolah penerbangan selama 19 jam dari Jerman terbayar lunas ketika melihat wajah yang sangat ia rindukan.

            “Hai.”
           
♥ ♥

            Jayden termenung di piano putih yang berada di ruang keluarga Ando. kepalanya sudah agak enakan membuatnya memutuskan untuk mandi agar segar dan turun ke bawah lalu matanya tertuju pada piano dan tanpa sadar berjalan kearahnya. Seolah terhipnotis.

            “She’s gone now.” Ucapan itu bagai kaset rusak diputar berulang kali walau dia tak ingin mendengarnya. Entahlah. Dia kacau sekarang. Seperti separuh hatinya tercabut kasar darinya dan dibawa pergi. itu menyakitkan. Sangat hingga rsanya dia memilih ingin mati saja daripada hidup dengan perasaan yang membuatnya ingin terjun bebas.

            Tangannya menekan tuts – tuts piano pelan lalu memainkan sebuah lagu yang cocok dengan isi hatinya. dalam waktu sekejap, ruangan sepi itu terdengar permainan piano Yiruma – When the love falls mengalun merdu namun menyakitkan bagi siapa saja yang mendengarkan.

♥ ♥

           
            2 tahun kemudian.

            I’ll come back. When you call me, no need to say goodbye.

           
            Undangan pernikahan Ando dan Lista tergeletak di atas meja kerjanya. Yah, dia kini mempunyai perusahaan rekaman terbesar di Indonesia yang menerbitkan beberapa penyanyi baru dan berbakat dengan suara unik. Jayden memutar tubuhnya dari membelakangi meja kerjanya menjadi ke depan dan tersenyum.

            Dia melirik beberapa dokumen yang belum dibubuhi tanda tangan dan beberapa kontrak kerja lainnya. Kepalanya entah kenapa tak ingin diajak kompromi saat ini. Mungkin dia masih terpengaruh pesta lajang besar – besaran yang diadakan Ando di rumahnya. Untung saja mempelai wanita, Lista tak mencak – mencak dan menyeret Ando keluar rumah dengan menjewer telinganya ketika melihat beberapa botol anggur dan wine.
             
            Dia memutuskan keluar ruangan dan berkelilng studio rekaman untuk mendengarkan secara gratispenyanyi yang melakukan record di ruangan khusus.

andai engkau tau.
betapa ku mencinta,
selalu menjadikanmu,
 isi dalam doaku.”

            Dia tersentak mendengar lagu ini dilantunkan secara magis oleh seorang penyanyi baru. Lagu yang membuatnya serasa terlempar ke masa 2 tahun yang lalu. Masa dimana seorang gadis meninggalkannya demi mimpi. Selama itu gadis itu tak menghubunginya, dan dia juga tak ada niat untuk menghubungi walau jalan terbuka lebar. Entahlah.

“Jika aku, bukan jalanmu.
ku berhenti mengharapkanmu.
jika aku, memang tercipta untukmu.
ku kan memilikimu.

Jodoh pasti bertemu.”

*Afgansyah Reza – Jodoh pasti bertemu.

            Jayden menghela napas dan menyandarkan tubuh ke dinding sambil menatap penyanyi itu menyanyi dengan sepenuh hati. Kening berkerut setiap mencapai nada tinggi dan mata terpejam bahkan ada senyum setiap akhir lagu romantis atau mendesah sedih apabila liriknya terdengar menyakitkan. Semua kombinasi penyanyi didepannya ini seperti menampilkan wanita itu. ah... bagaimana kabarnya sekarang? tidakkah wanita itu tau kalau setiap sel di tubuhnya selalu merindu akannya?

            Dia memutuskan pergi ketika penyanyi itu sudah selesai dan terdengar tepukan puas oleh para band yang mengiring. Dia ikut bertepuk tangan dan tersenyum sambil mengacungkan jempol ketika penyanyi itu kaget ketika menoleh ke samping dan menunduk sopan lalu melangkah pergi dengan dirangkul beberapa temannya untuk keluar ruangan.
            Dia memutuskan ikut keluar karna baru ingat ada meeting menunggu di lantai 5. Dia berbalik badan melangkah menuju pintu dan membuka gerendelnya.

“It started out as a feeling.
Which then grew into a hope.
Which then turned into a quiet thought.
Which then turned into a quiet word.
And then that word grew louder and louder.
‘Til it was a battle cry.


            Gerakan tangannya seakan terhenti ketika mendengar lantunan lagu yang dinyanyikan penyanyi selanjutnya. Bukan lagunya yang membuat ia terdiam seperti patung, bukan itu...

            Tapi...

            Suaranya.

            Dia menoleh cepat ke belakang untuk memastikan telinganya tak error dan ...

            Penyanyi itu!
           
            Wanita yang sama, suara yang sama dan semua kombinasi yang selalu dia rindukan. Kini berada tak jauh dari 5 meter darinya dan terhalang sebuah kaca besar. Tuhan.. betapa dia merindukannya. Merindukan dia yang sedang menutup mata dengan telinga tertutup headset dan fokus menyanyikannya.
           
“I’ll come back.
When you call me.
No need to say goodbye.”

            Mata wanita itu terbuka dan refleks menatapnya. Shock terlihat jelas dari wajahnya. membuat Jayden tersenyum dan langsung berlari keluar ruangan kemudian masuk di ruang rekaman dan memeluknya.

            Dia tak peduli bahwa semua kru diruangan ini menatapnya heran. Seorang Jayden Boulanger memeluk penyanyi baru yang hanya beberapa menit dikenalnya.

            Rere tersenyum dan membalas pelukannya. Dia sangat merindukan pria yang memeluk erat dirinya seolah ratusan tahun terpisah.
            “Please...Please, say something,Re. Yakinin aku ini bukan mimpi kesekian kalinya. Makes me believe this is real.”
           
            Dia tertawa pelan dan dengan suara berbisik, berkata..

            “I’m real now. Jayden.”
            “Promise me... you’ll never, ever leaving me like this again, Re.”

            Dia tersenyum. Tuhan...  betapa dia mencintai pria yang dipelukannya sekarang. Pelukan yang selalu dirindukannya ketika sepi melanda. Terkadang hatinya gatal ntuk menghubungi Jayden sekedar menanyakan kabar dan menuntaskan kerinduan yang menngila. Tapi dia tak sanggup. Entahlah... membuatnya memilih fokus kuliah cepat agar bisa pulang ke Indonesia dan bertemu dengannya.

            “You can keep my words, Jayden. I vow that never, ever leaving again.”

            Jayden melepas pelukannya dan menatap lekat kearahnya. Wajah yang tersenyum itu seolah menggelitik hatinya. tanpa ragu, tak peduli sikon, dia mendekatkan tubuh ke arahnya dan menciumnya tepat dihadapan semua orang.

            Rere kaget bukan kepalang. Bibirnya terbungkam oleh sentuhan Jayden yang lembut. Dia membalas ciumannya dan membuat orang – orang disekitar mereka bersorak bahagia. Dia tak mempedulikan dan merangkul leher Jayden erat. Seolah tak ingin terlepas.

            “I love you.”

♥ ♥

2 Bulan kemudian.

            “Rereeeeeee...” Lista setengah berlari dengan gaun pengantin disingsing hingga lutut agar tak menyapu pasir pantai lalu menghampiri dan meloncat ke pelukannya. Membuat ia kaget dan merespon pelukan si pengantin wanita. “Kangen ama gue, Lis?”

            Lista melepas pelukannya dan tersenyum bahagia. Senyuman khas pengantin wanita yang menikah dengan pria pujaannya. Gaun pengantin putih sangat indah melekat ditubuhnya, hiasan bintang – bintang melingkar di atas kepalanya. Rambut ikal panjangnya berhembus lembut. “Banget, Re. Kapan kamu pulang dari Wina?” Tanyanya dan baru sadar bahwa mereka tak berdua saja. ada Jayden tersenyum jahil disamping Rere. “Lo cantik, Lista.”
            “Makasih, Jayden.” Dia tersenyum dan merasakan rangkulan lembut di pinggangnya dan ia menoleh. Ando berada disampingnya dan menyalami Jayden. “Halo, bro.”
            Rere tersenyum dan menatap Lista. “Dua bulan yang lalu gue pulang, Lis. Soalnya ada yang manggil – manggil sih. Jadi terpaksa ngepak koper deh. padahal gue betah disana. Ada cowok – cowok ganteng. Haduh...” Dia meringis ketika cubitan pelan di pinggangnya. Dia menoleh sambil tersenyum jahil ketika Jayden memelototinya.

            Lista nyengir kuda melihatnya. “Iya... pria – pria Austria memang HOT, Re. Aku punya teman disitu dan jujur yah, memang ganteng sekali! Tatapan matanya itu loh... aduh...” Lista memasang wajah penuh terpesona membuat Ando mencubit lengannya. “Sayang... masa kamu muji pria lain di depan suamimu, sih?”
            “Kan sesekali gak papa, Ndo.” dia mengedipkan mata dan tertawa ketika pria yang 3 jam lalu sah menjadi suaminya.
            Tiba – tiba, muncul ide di kepalanya. “Re... karena kamu disini, nyanyi dong.”
            Dia kaget dengan ajakan Lista dan melirik panggung kecil di tengah para tamu undangan yang semuanya tak beralas kaki. Hembusan angin pantai yang tenang dan menyejukkan, pasir putih yang menyelimuti kakinya, membuat ia ingin seperti ini juga suatu hari nanti.

            Wani piro?”
                Lista langsung mendengus jengkel dan menarik Rere ke arah panggung yang tak jauh jaraknya dari mereka berdiri. Dia melihat Lily, keponakan Ando mengenakan gaun putih tanpa lengan dan rambut panjangnya menutupi. Senyum cantiknya tersungging lebar ketika melihatnya. “Hai, kak Lista.”
            “Halo sayang. Kamu nyari Ando?” dan dia mengangguk. “Tuh dia.” Tunjuknya pada Ando yang asyik mengobrol dengannya sambil melirik wanita yang ia tarik sekarang. “Samperin gih.”
            “Iya kakak cantik...” Ucapnya tanpa ragu mengecup pipinya lalu setengah berlari ke arah Ando.


            “Lis... serius nih gue nyanyi tanpa bayaran?”
            “Sejak kapan lo jadi mata duitan, Re?” Lista mendengus jengkel dan menariknya untuk naik ke atas panggung sambil menyodorkan mikrofon. “Lo gak mau bahagiain teman lo yang baru saja menikah, Re?”
            Dia tertawa lalu berjalan ke arah keyboardist sambil membisiki lagu yang akan dinyanyikan. Kemudian ia menghampirinya. “Daripada lo disini kayak patung cantik liat gue nyanyi, mending samperin suami lo sana dan dansa ama dia. Gue ada lagu pas ntuk kalian berdua.” Dia setengah mendorong Lista turun dari panggung yang tersenyum dan sekarang setengah berlari menghampiri suaminya yang berbisik-entah apa. Namun membuat Lista tersenyum bahagia.

            Lagu Shania Twain – From this moment ia nyanyikan sepenuh hati sambil melirik Lista yang  masih berdansa dengan Ando yang sesekali mencium keningnya. Ah.. betapa bahagianya dia melihat pasangan itu.

            Entah sejak kapan, tau – tau Jayden berdiri di belakangnya dan tersenyum manis. Membuat ia yang masih menyanyi merangkul pundaknya. hingga...

            Dia terhenti. Jayden tau – tau berlutut di depannya dan tersenyum manis. Senyum yang membuatnya terdiam. panik karena semua pasang mata melihatnya, dia memegang lengan Jayden dan setengah menariknya, “Jay, apa yang kamu lakuin? Berdiri, berdiri. Jangan malu – maluin dong.”
            Dia tak menghiraukan ucapan setengah panik itu. malah menikmati sambil merogoh kantong jasnya dan mengeluarkan kotak kecil beludru biru dan membuka tepat dihadapannya. Dia mendengar suara tertahan. “Astagaa.. astagaa... Are you kidding me, Jayden?”
            Dia menggeleng dan tersenyum. “Of course not, Darl. Will you marry me?”

            Dia shock. Lebih dari mendapatkan beasiswa kuliah di kampus impian, lebih dari bertemu lagi dengan Jayden dua bulan yang lalu, lebih dari mendapatkan job pertamanya waktuu SMA di cafee yang sering menjadi tongkrongannya. Dia tak menyangka bakal dilamar di pernikahan sahabatnya sendiri! astagaaa....

            Tak bisa berkata – kata karena suaranya menghilang, dia mengangguk “Yes. Of course i will, Jayden. Of course!” Dan langsung merangkul erat. Seolah tak ingin dilepas dan terlepas.

            Semua para undangan bertepuk tangan dan bersiul senang. Ando tersenyum kearah Lista yang bertepuk tangan riang ketika temannya bertepuk tangan di atas panggung seusai lamaran. Mata mereka bertatapan. “Akhirnya...”





Epilog.

18 tahun kemudian.

Evangeline Fransesca Boulanger.
            “Evaa...” Teriakan Fio, sahabatnya ketika ia baru saja tiba di rumah tante Lista bersama kedua orang tuanya, membuat ia tersenyum dan bergegas menghampirinya.
            “Kapan lo datang dari Bali?”
            Evangeline hanya tersenyum dan mengibaskan rambut panjang hitamnya dan tersenyum manis. Membuat kedua lesung pipinya terlihat memikat. “Baru sejam yang lalu gue nyampe disini.”

            Fio nyengir dan setengah menariknya ke tengah taman. Tempat keponakan – keponakan mereka super ganteng berkumpul. “Ayooooo... mereka nungguin lo! secara lo kan yang paling jarang muncul.”
            “Gue sibuk sih soalnya. Hahahaa...” Dia tertawa ketika saudara jauhnya itu mencebik kesal.


  “Itu Eva?” Tanya Sebastian Pradipta dengan tatapan hijau toskanya yang berpendar jahil, rambut tebal hitam mengkilat mengenai kerah bajunya, menunjuk gadis yang ditarik Fio.
Fransisco Boulanger
            “Mana?” Fransisco Boulanger ikut melirik dan mengangguk. Kegantengan papahnya, Mikail Boulanger menurun 100% tanpa cela. Dengan penuh terpesona ia mengangguk dan melirik Edric Hayman, si pemilik rumah yang hanya fokus membaca saja. dengan kesal ia menarik novel dari tangan Edric dan menyelipkannya di balik punggung. Membuat cowok itu mendelik tajam . “Apaan lo sih, Frans? Balikin!”
            “Lo baca mulu deh. apa gunanya kami dan pesta yang diadain kedua ortu lo kalau gak dinikmati? Sambil cuci mata, Edric gak ada dosanya kok.” Fransisco menunjuk beberapa cewek cantik yang bergerombol seperti lebah dengan tatapan jelas – jelas kearah mereka bertiga. Namun Edric acuh tak acuh. “Gue gak peduli.”



Fiorenca Mellody Hayman.
            “Hai..” Tau – tau Fio muncul di depan mereka dan melirik Edric yang hanya menatapnya sambil lalu. “Hai... kalian pasti kenal ‘kan...”
            “Evangeline Fransesca.” Dia tersenyum yakin dan menyalami Sebastian dan Fransisco. Bahkan Tian sambil mencium punggung tangannya. “We know you, beauty.”

            Except one.” Mereka melirik Edric yang menatap ke arah lain. membuat gadis itu tersenyum dan menyodorkan tangan ke arah Edric. “Hai. Gue Evan...” 
            Ucapannya terputus ketika Edric tau – tau berdiri dan menatap tangan yang terulur di depannya. Dia mengabaikan. “I know you like their too. Sesca. So, Jangan perkenalin diri seolah kita gak satu pohon keluarga!” Ucapan telak ditambah tatapan mata hitam kelam yang semakin menajam, seharusnya buat ia mengkeret ketakutan. Namun seolah terbiasa, dia hanya tersenyum. “Gue kira lo butuh perkenalan diri lagi mengingat no reaction like your twin.”
       
Edric Hayman.
    
Edric menatap Fio yang hanya mencebik kesal dan melotot. Seolah – olah menyuruhnya ntuk sopan santun sekali saja pada cewek. Namun ia mengabaikannya. “We are twins, but different. Physically and reaction for others. also..” Dia menunjuk kepalanya. Seolah mengatakan dengan tegas perbedaan mereka yang paling kental itu.”Jadi jangan lo pikir karna kami kembar, gue harus heboh nyambut kedatangan lo kayak kucing dikasih makanan mewah ama majikan.”
            “Waw!” Tian buru – buru menyela ketika aura panas menyelimuti Fio yang tak terima dengan ucapan Edric menyerang Evangeline terang – terangan. “Eva, tante Rere ama Om Jayden mana?”
            Eva mengalihkan pandangan dari Edric yang melengos tak peduli dan fokus menatap ke arah lain. hatinya terlalu kebal menghadapi ucapan sepupu jauhnya itu. “Tuh mereka.” Tunjuknya ke arah orang tua Fio dan Edric sedang mengobrol dengan orang tuanya.
           
            “Lo mau kemana, Ric?” Tanya Fransisco ketika tau – tau keponakan sablengnya ngelonyor pergi tanpa pamit pada mereka. “Minum.” Jawab Edric singkat tanpa menoleh.


            Tuhan...” Fio menghela napas dan mengacungkan tinju pada kakaknya yang kini mengobrol dengan segerombolan cewek penyamun berwajah menor itu. tak habis pikir dia dimana kakaknya itu meletakkan otak dan moral. “Gue boleh bunuh orang, gak?”
            “Seandainya boleh, gue bakal bawa busur ama panah trus gue jadiin tuh kepala Edric sasaran panah gue. Gila 18 tahun umur dia, makin pedes aja omongannya.” Eva bicara santai tanpa nada emosi sambil menyesap minumannya yang ia ambil dari atas meja. Membuat Tian dan Fransisco merangkul pundaknya dan Fio. “Hahahahahaha... tahan banting aja lo ama dia, Fio, Eva.”
            “Gue cuek aja. Udah dulu yah, pengen kesitu tuh.” Dia menunjuk panggung kecil dengan keyboard nganggur. Menunggu siapa saja yang memainkan sebuah lagu. Dengan sekali anggukan, Eva melangkah anggun meninggalkan mereka dan melewati Edric yang menatapnya tajam. Dia tak peduli.

            “Bentar...” Fio terdiam ketika baru sadar sesuatu dan menatap mereka berdua. “Kalian kenal Eva darimana?”
            Oh tuhan...” erang Fransisco sambil menatap Tian yang hanya angkat bahu sambil menatap Eva yang menyanyikan sebuah lagu dan semua tamu menatap ke arahnya. “Kadang gue setuju supaya lo ama Edric test DNA aja. Mengingat kapasitas otak lo berbeda jauh ama Edric, siapapun akan meragukan lo kembaran dia, Fio.”
            “Sialan lo, kak! Gue serius nih! Kalian kenal Eva darimana jadi sok akrab?”
            “Tian...” Dia mencolek cowok yang hanya tersenyum geli. Membuat lesung di pipinya semakin memikat. Ditambah warisan warna mata papahnya, Bian Pradipta dan welcome dengan semua cewek serta murah senyum. Membuat ia semakin digilai. “Lo jelasin deh ama keponakan kita tersayang ini sebelum darah gue naik nih.”
            “Evangeline Fransesca Boulanger. Dia itu anaknya Om Jayden dan tante Rere yang kebetulan adik tiri dari istri keduanya papah Fransisco ama Lea. Jelas, cantik?”

            Fio terdiam mencerna semua informasi dan nyengir lebar. Seolah baru ingat. Membuat siapapun yang melihat cengirannya itu, takkan tega mengomel. Kecuali Edric. Tentu saja. cowok satu itu tak menerima toleransi kesalahan apapun. “Gue lupa.”
            “Apa sih yang lo ingat dari seorang Fiorenca Mellody Hayman? Gue nanya satu hal, lo bener – bener anak tante Elista, kan? bukan anak yang tertukar ‘kan?”
            “Sialan lo kak Tian!” Dia meninju lengan Tian yang tertawa puas membuatnya marah. “Yaiya dong! lo liat mata gue nih. Mirip kan ama nyokap tercinta?” Dia menunjuk matanya yang berbeda warna kiri dan kanannya. Membuat mereka berdua mengangguk. Ciri khas Fio yang membuat mereka tak perlu test DNA lagi kalau suatu saat status anak satu ini diragukan karna tingkahnya yang melenceng.
            “Pengen Edric punya pacar gak?” Usulan Tian tiba – tiba membuat Fio dan Frans menoleh kearah saudaranya yang punya ide kadang rada – rada. Sama seperti Om Bian.
            “Emang ada cewek mau ama dia? Gue aja sebagai saudara kembarnya aja ga yakin dia punya pacar dengan sikapnya nyebelin tujuh turunan itu.”

Sebastian Pradipta
            Tian nyengir kuda dan tersenyum. “Gue punya ide. Begini.. bagaimana kalau kita bertiga bikin taruhan ntuk jodohin Edric dengan cewek yang menurut kalian pas imbangin sifatnya ama kalau bisa, buat dia gak cuek lagi ama lo?” Ucapnya sambil menatap Fio yang berpikir keras. “Cewek mana yang mau hatinya ditumbalin, kak?”
            “Bukan ditumbalin. Tapi diumpan.” Jawab Frans setengah melantur. Membuat Fio mendengus. “Apa bedanya coba, kak?”
            Tian mengabaikan mereka. “Masing – masing dari kalian cari 1 atau 2 cewek yang kira – kira pas deh ntuk Edric. Bagaimana?”
            Lama mereka berpikir. Akhirnya Fio tersenyum setengah hati mengiyakan. Kadang dia berpikir apakah kembarannya ini mempunyai kelainan orientasi seksual sehingga ketus ama cewek, biasa aja ama cowok. Dan ini saat yang tepat ia membuktikan pemikiran geniusnya. “Boleh deh. gue calonin Eva sebagai cewek kak Edric. Gimana?”
            “Cuma Eva doang? Gak ada yang lain?”       
            “Gue mikir dulu deh. tapi, boleh kan gue kasih tau ama mereka tentang ide kita ini? Yaaa.. jaga – jaga aja biar ga terlalu berharap banget ama si manusia patung es dari kutub selatan itu.” Dengusnya jengkel ketika Edric menatapnya dingin.
            “Boleh juga ide lo, Fio. Tumben cerdas.” Ucapan jahil Frans membuatnya jengkel. “Sialan lo, kak.”
            “Gue calonin ...” Tian terdiam kemudian menatap mereka berdua yang serius menatapnya. Membuat senyumnya muncul. Dia paling, paling suka membuat orang lain penasaran. “Gue calonin Kimberly Raveno. Anaknya tante Karen ama Om Steven. Pasti seru tuh.”
     
Kimberly Vexia Raveno.
      
“Kim maksud kakak?” Dia menelan ludah. Kimberly Vexia Raveno, anaknya tante Karen yang cantik luar biasa dengan wajah seksi dan mata biru berbinar indah seperti berlian. Warisan dari Om Steven. Tingkahnya yang membuat para cowok bertekuk lutut dengan kecantikan seksi dari wajahnya, tutur katanya yang cerdas dan berbahaya itu dan tingkahnya yang spontan bila mengincar cowok idaman, khas mamanya, membuat Fio mau tak mau ngeri sendiri membayangkan.

            “Ngeri amat kandidat lo, Tian. Cuma Kim yang lo calonin nih?” Frans geleng – geleng. Dia pernah dekat dengan Kim dan harus mengakui pesona tak terbantahkan dari sepupu jauhnya itu. “Sebenarnya ada lagi sih. Ntar gue pikir dulu. Ahhaha... kalau lo, Frans?”
            “Gue pilih yang kalem aja deh. kandidat kalian berdua bikin gue merinding. Eva dengan ketenangan hadapin Edric dan Kim dengan pesona ama otak tajam dan tingkahnya itu loh. Buset deh. andai gue gak ingat siapa dia, udah tuh anak jadi cewek gue walau dua bulan kemudian bakalan didepak. Hahahaa... lo ingat Annisa? Anaknya tante Dini ama Om Dimas? Sahabat bokap lo?”
            “Ingat kok. Nisa mah lembut banget. saking lembutnya, Cuma orang sinting doang bikin dia nangis.” Ucapnya dan mereka mengangguk mengiyakan.
           
            “Jadi... sepakat nih dengan rencana kak Tian?” Tanya Fio dan mereka berdua mengangguk dengan senyum manis. “Tentu aja. Gue gak sabar liat Edric bakalan bertekuk lutut dengan salah satu kandidat kita dan bilang ‘Guys, ini pacar gue, blabla....’ pasti seru deh.” Ucap Tian dengan nada puas. Tak sabar dia berdiskusi dengan Kim di Jerman sana ntuk soal ini dan menyuruhnya sekolah disini saja.
            “Lo gimana, Frans?”
            “Gue Oke aja sambil cari satu kandidat lagi. Gimana?”

            Mereka bertiga tersenyum sambil menatap Edric yang ngobrol dengan seseorang. Tak sengaja tatapan mereka bersirobok dengan tatapan tajam Edric. Membuat mereka terkikik geli dan berpaling. “Sip deh. minggu depan kita harus kasih tau kandidat satunya ntuk Edric. No deadline for that mission. Pokoknya kalau si cewek nyerah, berarti selesai. Oke?

            “Oke deh.”

            Edric menatap mereka bertiga dengan tatapan bingung dan tersenyum miring lalu menatap ke arah lain. “dasar gila.”

           

Oke guys. Ada yang berminat jadi kandidat mereka bertiga ntuk jadi pacarnya Edric? :D Aku serius loh. Hahahaa... akhirnya nemu juga ide Twins War setelah nulis ini. Hahahaa.. akhirnya aku bisa lanjutin deh. pertanyaan sekarang, siapa yang dipilih Edric? Evangeline dengan sifat santainya menghadapi “serangan” Edric yang membabi buta, atau Kimberly, cewek yang mempunyai sejuta pesona membahayakan warisan tante Karenina, atau Annisa, gadis kalem dan tutur kata manis namun agak nyelekit itu yang bikin siapa saja gak bisa omelin dia karna kelembutannya? Atau malah, kalian? ;)
           

Stay with me
Promise me you're never gonna leave
Stay with me yeah
Lets try to be the best that we can be
Take our time
Read more at http://www.lyrics.com/stay-with-me-lyrics-colbie-caillat.html#XZpQF7A64frKrq7X.99
Stay with me
Promise me you're never gonna leave
Stay with me yeah
Lets try to be the best that we can be
Take our time
Read more at http://www.lyrics.com/stay-with-me-lyrics-colbie-caillat.html#XZpQF7A64frKrq7X.99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar