Rere selesai menyanyikan lagu terakhirnya
dan tepukan kepuasan terdengar dan senyum para pengunjung cafee. “selesai. It’s time to go home now. yeay!”
Jeritnya dalam hati. Dia membayangkan pulang kerumah jam 11 malam akan disambut
dengan senyum mama yang sekarang pasrah saja anak gadisnya pulang malam. Sambil
bertanya bagaimana perform malam tadi
dan sudah makan atau belum. Bila terlalu capek, segelas air putih dan obat yang
harus diminumnya setiap malam kalau tak ingin kolaps karena terlalu lelah sudah disediakan. Tinggal teguk saja.
Kemudian dia akan masuk kamar dan setengah
tergesa – gesa berganti pakaian show
menjadi daster bulukan lalu melemparkan diri ke ranjang kemudian terlelap
hingga pagi menjelang.
Semua
rutinitas yang selalu ditunggunya.
“Melamun aja.” Tanpa sadar dia cengengesan
sendiri membayangkan semua itu hingga tak menyadari Jayden, pacarnya mengelus
kepalanya dan tersenyum manis disamping. “Melamun apa hayoo?”
“Melamunin siap terjun bebas ke
ranjang dan tidur, Jay. Hahhaha...” Dengannya, dia tak perlu pasang senyum malu
– malu ala ABG baru pacaran. Jayden yang santai membuat hubungan yang mereka
jalani juga santai. Tak perlu panggil sayang,
honey, sweety, beibah, beibeh, atau panggilan aneh lainnya. Just call your name. That’s it. So simple, isn’t?
Jawabannya membuat Jayden tertawa.
Tangannya merangkul pundak dengan sayang. Dia bisa melihat senyum hangat
bercampur geli itu di wajahnya yang blasteran dan lesung pipi yang memikat. Sometimes, i still believing it just a sweet
dream without ending. He is my boyfriend?! WAW!” Batinnya penuh kagum
ketika menyadari, bahwa dia berpacaran dengan pria idamannya.
“Kok ketawa sih? Lucu yah? Wajar
kali aku ngayal begitu. Badan serasa remuk semua karna kuliah dan malamnya aku
udah manggung ampe jam...” Dia melirik jam tangan untuk memastikan. “Jam 11
malam.”
“Gak. Jawabanmu polos amat, Re.
Yaudah, aku antarin pulang atau gimana?”
“Aku bawa mobil kok. Jadi kita ...”
“Aku ikutin kamu sampai rumah. Aku
tau kamu bawa mobil kemanapun pergi, Re.” Dia menambahkan ketika Rere pasang
wajah siap protes. “Tapi kamu cewek dan komplek rumahmu itu sepi. Takut aja
pacarku yang bawel satu ini kenapa – kenapa dijalan. Bagaimana?”
“Tapi... kamu pasti juga capek, kan?
Gak usah deh. Aku bisa beladiri kok. Jadi kalau ada yang berani macam – macam,
tinggal tendang sana – sini. Beres, kan?”
“Gak ada tapi – tapian. Gak ada penolakan.
Oke?” Jayden menatap tegas. Tatapan yang membuat Rere mau tak mau, suka tak
suka mengiyakan walau sepanjang jalan mulutnya mencebik penuh omelan. “Iya deh.
Yuk pulang.”
Dia tersenyum dan merangkul Rere
yang tanpa ragu menyandarkan kepalanya di bahu sambil melingkarkan tangan di
pinggangnya. Sesekali mereka tertawa kemudian Rere melepaskan pelukannya dengan
wajah salting karena digoda Dany dan
Jason, teman Bandnya yang akan bertos ria apabila dia memerah hingga lebih
kepada warna kepiting kebakaran. Bukan direbus.
♥ ♥
Akhirnya dia tiba di depan rumahnya dengan mobi Jayden
mengekori di belakang. Jam di dashbord
mobilnya menunjukkan pukul 11.30 malam. dia memasukkan mobil ke garasi lalu
mematikan mesin, mencabut kunci dan turun sambil menutup pintu dengan pelan.
Dia setengah berlari keluar halaman untuk menghampiri pacarnya yang rela
mengiringi padahal rumahnya lumayan jauh. Ibaratnya, kalau rumah dia di kutub
selatan, maka rumah Jayden di kutub Utara.
“Makasih yah.” Ucapnya tulus ketika
Jayden turun dari mobil dan bersandar. Senyum itu melekat walau wajahnya
kelelahan. Seandainya mereka tak pulang semalam ini, dia akan menyuruhnya masuk
untuk meregangkan otot sejenak. “Sama – sama, Re. Aku pulang dulu, yah.”
Ucapnya dan ia mengangguk. “Hati – hati.”
Ucapan itu membuat pacarnya menoleh
dan mengecup pipinya. “Iya, sayang. Have
a nice dream.” Balasnya dan dia
mundur ketika mesin mobil Jeep Rubicon berwarna putih itu berderu pelan dan
melambaikan tangan ketika mobil itu menghilang dari pandangan.
Sepeninggal Jayden, dia tersenyum
dan bergegas masuk dalam rumahnya dengan kunci rumah serep ditangan.
♥ ♥
“Dimana,
lo?” Dia masih mengendarai mobilnya menuju rumah. Telpon dari Ando, sahabatnya
yang baru saja menemukan pacarnya yang
hilang, Lista dan menjalin hubungan jarak jauh karna gadis itu memilih di
Jerman daripada Indonesia mau tak mau membuat sahabatnya jadi sasaran goda. “on the way to home. Kenapa? Kesepian
yah? gue siap menemani lo kapan saja.” Godanya ketika mobil ia tepikan di
pinggir jalan dan tertawa mendengar Ando mendengus.
“Sialan lo. Eh, Jay.
Selamat yah.” Ucapannya membuat ia bingung. Selamat macam apa? Memangnya dia
mendapatkan apa?
“Lo ngigau yah? Perasaan gue belum melangkah
ke pelaminan deh. Selamat apaan?”
“Loh?” Suara Ando
terdengar heran kemudian dia merasa telpon dijauhkan dari sang pemilik yang
asyik bertanya – lebih tepatnya setengah merayu. Lalu dia merasakan kehadiran
Ando di ponselnya. “Gue skype ama dia sekarang, katanya ...” Ando
menjelaskan secara rinci padanya.
JEGGER!
![]() |
Jayden Boulanger |
Jayden shock berat. Dia tak tau rencana ini
sama sekali. Hal ini membuatnya merasa marah. Tapi tak ingin ditunjukkan.
“Lista tau darimana?”
“Lo kenapa, Jay?” Dia
merasakan perubahan suara sahabatnya. Membuatnya berhati – hati. Jayden justru
lebih mengerikan ketika dia diam. Emosinya menjadi lebih tak terbaca. “Lo gak
tau soal ini?”
Tak ada gunanya
berdusta dengan Ando yang mengetahui semua tentangnya dari mereka SMP. “Iya.
Gue gak tau rencana itu. Tapi bagus deh. Keinginan dia tercapai.” Ucapnya
datar. Membuat Ando mengernyit kening bingung diseberang sana. “Lo yakin?”
“Iya. Ndo, udah dulu
yah. Gue masih di jalan soalnya. Salam buat pacar cantik lo. Bye.” Tanpa mendengarkan balasan dari
Ando, dia langsung menekan end call dan
setengah membanting ponsel ke jok mobil. Pusing kepalanya sekarang dengan
puluhan pertanyaan di kepala.
“Kenapa dia tak dikasih tau? Kalau ini
sebagai kejutan, selamat! Gadis itu sukses membuatnya terkena serangan
jantung!” Jayden menggerutu pelan. Entah kenapa kabar Ando membuatnya berbelok ke
arah Hard Rock Cafee di Jalan
Lembong, Bandung. Mungkin sedikit hentakan musik dan minum membuat kepalanya
yang berasap bisa berkurang.
♥ ♥
![]() |
Rere |
Bagaimana dengan hubungan mereka yang terjalin selama 3 tahun ini?
Long distance? Dia menggeleng. Bukan keputusan
bagus tetap berhubungan dengan jarak membentang di antara mereka. Bukannya dia
tak percaya dengan Jayden dalam berkomitmen, tapi...
Napasnya terasa berat sekarang.
Jayden tak ada mengirimnya sms apakah dia sudah tidur atau malah bergadang.
Membuatnya menatap surat yang ia genggam sampai lecek dan ponsel di ranjang
secara bergantian. Seolah membuat keputusan.
Oh
tuhan...
“Mungkin gue harus tidur.” Putusnya sambil meletakkan surat
itu di meja sampingnya, mematikan lampu tidur dan menarik selimut sambil
berusaha menutup matanya agar tertidur pulas. Tanpa memikirkan apa – apa.
♥ ♥
10
hari setelah surat itu datang, selama itu juga Rere tak menceritakan ke Jayden
tentang rencananya. Dia bingung harus berkata apa. Setiap dia ingin cerita,
wajah Jayden yang akhir – akhir ini terlihat muram itu membuatnya mundur. Dia
tak berani bercerita jika awan mendung menaungi atas kepala pacarnya.
“Jay...” Panggilnya
ketika cowok itu fokus membawa mobilnya membelah jalan raya. Dia tak tau kenapa
Jayden menjemputnya ke rumah, kemudian mengantarkannya ke kampus dan menanyakan
kapan pulang. Dia menjawab karna mungkin, cowok itu hanya ingin tau. Tapi dia
tak menyangka Jayden menjemputnya tepat waktu! Waw!
“Hmm...”
“Kamu aneh deh.”
“Kok aneh?” Dia berkerut kening. Jayden yang ia kenal selama 3 tahun ini akan menatapnya penuh goda dan tersenyum jahil. Bukan seperti ini. Serasa ada yang disembunyikan.
“Kok aneh?” Dia berkerut kening. Jayden yang ia kenal selama 3 tahun ini akan menatapnya penuh goda dan tersenyum jahil. Bukan seperti ini. Serasa ada yang disembunyikan.
“Kamu gak kesambet,
kan?” Ia menuding dan Jayden tertawa. Tatapan matanya beralih dari fokus
menyetir mobil menjadi kearahnya. “Mungkin. Kesambet kamu. Hahahaaa..”
“Fokus, Jayden!”
Melihat Jayden menyetir tanpa melihat ke depan, membuatnya ngeri. Bagaimana
kalau mereka tabrakan? Dia belum sempat membuat cloning diri untuk
menggantikan posisinya di dunia dan mengerjakan semua project dan
rencana di dalam kepalanya.
Jayden mengalihkan
pandangannya dan tersenyum. Terkadang
membuat pacarnya panik dengan cara ia membawa mobil adalah hobinya.
“Kamu malam ini ada
acara, gak?”
“Gak ada sih. Kenapa?”
“Jalan yuk malam ini.”
Dia mengangguk mengiyakan.
“Jam berapa?”
Jayden mengucapkan dan
dia mengingat – ingat sambil bertekad. Malam ini dia harus mengaku.
Terlalu asyik
merangkai kata – kata di kepalanya, tak sadar bahwa mereka sudah tiba di
rumahnya. “Re...”
Dia tergeragap dan
tersenyum salah tingkah. Malu karna ketahuan melamun entah sejak kapan.
Memikirkan apa yang harus dikatakan pada Jayden untuk malam ini membuatnya tak
bisa concentrate. Belum lagi dia bolak – balik mengurus paspor di
Kementerian Luar Negeri yang luar biasa jauh itu agar cepat selesai . “Tuh’kan
melamun lagi. Ada apa?”
“Gg-gak papa, kok.” Jawabnya
terbata – bata dan bergegas turun.
Jayden mengikuti lalu berjalan mengitari mobil dan berdiri di
sampingnya.“Makasih yah, sayang udah nganterin pulang.”
Entah matanya rabun
atau otaknya sibuk melanglang buana, Wajah Jayden terlihat sangat sedih hingga
dia ingin berpaling dan masuk rumah karna tak tahan melihatnya. “Kamu kenapa?
Ada masalah.”
“Gak papa kok. aku
jemput jam 8 malam yah nanti malam?” Jayden menangkupkan kedua tangan di
pipinya. Memaksanya untuk menatap dalam – dalam. “Iya...”
“Will you promise
something for me?”
Pertanyaan
Jayden membuatnya bingung. Janji apa? Namun dia mengiyakan. “As long
as i can, I will.”
“Not
as long as. But sure.”
“What
is it?”
Jayden
tau – tau menurunkan tangan dari menangkup wajahnya dan memegang lengan lalu
menariknya dalam pelukan. Pelukan yang membuat ia kehilangan napas saking
eratnya karna lengan yang melingkari tubuhnya seolah ingin meremukkan ia
perlahan – lahan.
“Whatever happens,
you’ll never, ever leaving me. Darl. Promise?” Bisikan penuh tuntutan akan
janji membuatnya terdiam. ingin separuh hatinya melepas pelukan itu dan
mengatakan dia tak bisa. tapi separuh hati yang lain berdenyut sangat sakit
ketika pemikiran itu datang.
“Oh God... Forgive
me.” Ucapnya putus asa dalam hati. Ia mengelus punggung Jayden perlahan dengan
lembut dan membalas pelukannya.
“I’ll promise that never leaving you.”
♥ ♥
Jam 7 malam. Dia mengulang
seperti kaset rusak. Entahlah, semakin jam kamar berdetak seperti drum dipukul
pelan, semakin dia deg – degan.
Suara klakson mobil terdengar pelan
mengejutkannya. Saking asyik berputar – putar sekeliling ranjang seperti Bumi
berotasi, dia tak sadar bahwa jam menunjukkan pukul 07.15. sudah berapa
menit berlalu?
Buru – buru, dia
mengambil tas selempang dan setengah berlari keluar rumah ntuk menghampirinya.
“Sorry. Telat. Udah lama?”
Dia masuk dalam mobil Jayden sambil memasang sabuk pengaman. Di remang cahaya
mobil yang terpantul dengan tembok rumahnya, dia melihat Jayden memakai kemeja
warna denim dengan celana jins warna senada. Rambutnya dibiarkan acak –
acakan dan parfum beraorma maskulin menyeruak lembut. Menyentuh syaraf – syaraf
penciumannya.
Dan dia semakin terhipnotis ketika
tatapan Jayden menguncinya. Entah karna pengaruh cahaya agak kurang atau
bagaimana, dia tak tau kenapa Cowok di depannya ini membuat bulu kuduk seketika
meremang. Seolah ia disengat listrik dalam skala kecil. “Gak kok. udah siap?”
Ia mengangguk dan Jayden mengalihkan
pandangan lalu menjalankan mobil menuju suatu tempat.
♥ ♥
Dia menyesap minuman Ice Chocolate
perlahan sambil tersenyum puas. Minuman kesukaannya di kala stres melanda
sangat enak. Dia menyukai cafee yang berada di pusat kota Bandung dan
bergaya minimalis. Cafee yang
mempunyai halaman sangat luas ini membuat para pengunjung bisa duduk di halaman
dengan sofa empuk dan meja kecil di depannya sambil menikmati angin malam
berhembus lembut dan suara penyanyi cafee yang melantunkan lagu cinta
bernada mellow. Semuanya terasa pas.
“Eh,” Dia asyik menatap penyanyi
yang baru saja menyanyikan lagu Love You Like a Love Song versi Akustik dan
melihat gitaristnya di belakang penyanyi bertubuh mungil itu. “Itu
Jason, kan?”
Jayden memutar tubuh dan melihat
teman bandnya itu melambaikan tangan ke arah mereka. “Sebentar yah. kamu
tunggu.” Tanpa sempat ia bertanya, Jayden berdiri dari duduknya dan menghampiri
Jason sambil berbicara dengan penyanyinya. Entah apa tau – tau gadis itu
menjauh dan menyerahkan mikrofon dan Jason menyerahkan gitarnya pada Jayden.
Dengan penuh percaya diri cowok itu duduk di depan sambil meletakkan mic di
tiang dan berusaha mem-paskan. Dia hanya bisa terperangah melihat semua itu.
batinnya menebak – nebak apa yang dilakukan Jayden di atas panggung sekarang
dengan semua tatapan mata tertuju padanya.
“Melamun aja lo.” Suara Jason di
belakangnya dan tanpa ragu duduk di kursi Jayden diikuti oleh gadis itu di yang
duduk disampingnya. Membuat ia terlonjak dan memukul pundak cowok itu. “Sialan
lo!”
Jason tertawa dan Monica, penyanyi cafee
itu tersenyum melihat tingkah mereka. “Malam mingguan, Re?”
“Yap. Gak nyangka aja gue ketemu
kalian disini. Hahahaa...”
“Mumpung kosong jadwal dan gue males
di kost-an...” Jason tanpa malu meminum pesanan Jayden yang tak tersentuh.
Membuat Rere melotot namun diabaikannya. “Gue ajak aja si Mon ntuk akustikan
disini. Gataunya ketemu kalian.”
Dia nyengir dan menatap Jayden yang
asyik memainkan gitar kemudian memasuki intro lagu yang sangat ia kenal. Cowok
itu menyanyikan dengan penuh perasaan sambil menatap ke arahnya. Dia tak mendengarkan
Jason berkata apa, Monica yang menyentuh lengannya. Dia terhipnotis oleh
tatapan itu, lirik lagu itu dan permohonan kuat yang dinyanyikan. Membuatnya
mendesah lemah. Dia kalah.
“Round and around, and around, and around we go,
Ohhh now tell me, now tell me, now tell me, now you know.
Not really sure how to feel about it,
Something in the way you move.
Makes me feel like I can't live without you,
It takes me all the way.
Ohhh now tell me, now tell me, now tell me, now you know.
Not really sure how to feel about it,
Something in the way you move.
Makes me feel like I can't live without you,
It takes me all the way.
I
want you to stay.”
Rihanna
– Stay.
Entah bagaimana,
Jayden sudah tau semuanya.
♥ ♥
Dia merasa di area pemakaman kuburan
saking sepinya di dalam mobil. Setelah cowok itu menyanyikan lagu – sambil
menatap dirinya lekat hingga dia tak bisa mengalihkan pandangan ke lain, cowok
itu akhirnya selesai menyanyikan dan berjalan ke sampingnya. Sedangkan Jason
dan Monica menjauh dan mengisi panggung yang kosong dengan lagu mereka bawakan.
Tapi tetap saja tak seindah saat
mereka baru menginjakkan kaki disini.
Lagu yang
dinyanyikan Monica serasa samar – samar ketika cowok itu mengajaknya pulang dan
membayarkan pesanannya. Tanpa kata, tanpa terdengar suara radio atau MP3,
Jayden membawa mobilnya membelah macetnya jalan Dago, Bandung sambil sesekali
melirik beberapa orang berjalan kaki di trotoar dan pedagang kaki lima
menjajakan dagangannya.
“Re...”
“Jay...” Mereka saling memanggil bersamaan dan terdiam lagi. “Kamu dulu.” Jayden mempersilahkan dan dia menggeleng. “Kamu dulu, Jayden. Kayaknya memang ada yang ingin disampaikan, kan?”
“Jay...” Mereka saling memanggil bersamaan dan terdiam lagi. “Kamu dulu.” Jayden mempersilahkan dan dia menggeleng. “Kamu dulu, Jayden. Kayaknya memang ada yang ingin disampaikan, kan?”
“Ladies first talking.”
Ucapan tanpa nada tak ingin dibantah membuatnya menghela napas. “Aku dapat
beasiswa ke Wina, Austria selama 2 atau 4 tahun, Jayden. Maaf kalau aku gak
bilang sama kamu selama ini karna aku sendiri Cuma iseng – iseng kirim aplikasi
dan tak taunya interview kemudian diterima. Dan aku akan berangkat...”
Dia terdiam sambil meremas tangannya sendiri di pangkuannya. “Besok pagi.”
Dia tau Jayden shock. Tapi
tetap saja dia kaget ketika cowok itu mengerem mobil mendadak di depan komplek
rumahnya dan menatap tajam. “Kenapa kamu
baru bilang sekarang, Re?”
“Karna aku bingung bagaimana harus
bilang ini, Jay. aku terlalu sibuk mengurus semuanya sampai – sampai
menyampingkan hal ini.”
“Aku udah tau semuanya, Rere.”
Jayden mendesah lemah dan menghempaskan tubuh ke jok mobil. “Dari Ando. kamu cerita
dengan Lista, kan?”
“Iya. Aku minta saran sama dia.”
“Re...” Jayden terdiam dan menatap
Rere yang lebih fokus menatap kesamping. Melihat apa saja asalkan tak menatap
dirinya. “Bagaimana dengan hubungan kita? Long distance?”
Dia melihat Rere
menghela napas berat. Seolah pertanyaannya membuat beban semakin berat. “Aku
gak sanggup long distance, Jay. aku ingin kita putus.”
Kata putus bertalu – talu seperti
gendang ditabuh berulang kali di dalam kepalanya. Di antara banyak solusi,
kenapa gadis itu harus memilih kata putus sebagai pilihan terakhir?!
“Gak.” Jayden menjawab dingin dan
Rere menghela napas. “Aku gak sanggup komitmen dengan jarak terbentang jutaan
kilometer, Jayden! Aku ingin fokus dengan apa yang ku kejar dari dulu dan tak
ingin apapun menghalangi.”
“Jadi... kamu pikir hubungan kita
selama ini sebagai batu sandungan, gitu?”
“Bukannya begitu!” Tanpa sadar Rere
berteriak. Dia sudah frustasi ditekan secara mental, dan tak ingin ditekan
lagi. “Aku tak pernah anggap hubungan kita ini sebagai batu sandungan, Jayden.
Tapi ini sudah menjadi keinginanku selama ini. Aku tak mau menjalani secara
berdampingan karna pasti aku takkan bisa fokus. aku harus memilih salah satu, and
that’s my choice.”
“Dan putus sebagai pilihan terbaik,
gitu? Bagus banget pilihannya.” Nada Jayden terdengar menyindir telak. “Aku tak
mau, Re. Sudah cukup dulu aku kehilangan, jangan sampai kehilangan untuk kedua
kalinya karna kamu pergi. aku janji takkan mengganggu konsentrasi kamu selama
disana. Bagaimana?”
Nada suara Jayden sangat memohon
membuat hatinya serasa ditonjok kuat. Dia merasa jahat apabila menolak. Tapi
dia memang tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Dia tak bisa memendam
rindu ketika mereka terpisah jauh, dan canggihnya teknologi pun ia sangat
menyangsikan bisa mengikis rindu yang akan ia alami nanti. “Gak, Jayden.
Maafkan aku tapi ini memang keputusan yang sudah kubuat lama. Please,
Jayden.”
“Kamu milih beasiswa itu daripada
pertahanin hubungan kita, Re? Kamu gak niat perjuangin?” Nada penuh tuduhan ia
terima dengan mata terpejam kuat. Hatinya teriris sakit. “Andai aku bisa
memilih keduanya, aku akan pertahanin. Tapi percayalah, ini keputusan terbaik
untuk kita, Jayden.”
“Untukmu! Bukan untuk kita, Re!”
“Oke...” Dia terdiam. “Ini keputusan
terbaik untukku yang nantinya akan terbaik ntuk kita juga. Makasih udah
nganterin aku pulang.” Dia langsung membuka mobil dan berniat turun. Namun
mobil terkunci otomatis dan ia ditarik dalam pelukan yang sangat erat. Tanpa
bisa mencegah, sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. melumatnya seolah besok
takkan bisa lagi disentuh, menyicipi seluruh sudut mulutnya dengan lidah yang
menginvasi telak. Tanpa sadar ia mengerang menuntut lebih dan mengetatkan
pelukan sambil melingkarkan lengan dengan kuat di leher Jayden. Dia terlalu
terbuai hingga tak ingin terlepas sentuhan memabukkan ini.
“Kamu janji gak akan tinggalin aku,
Re.” Bisikan Jayden tepat di depan bibirnya membuat ia spontan menggeleng dan
melepaskan rangkulan di lehernya. Bibirnya serasa panas sekarang. “Maafkan aku.
Makasih atas semuanya, Jayden.” Dia mengecup pipi Jayden dan bibir tipis yang
baru saja menyentuhnya gila – gilaan itu, membuka kunci otomatis di pintu mobil
Jayden dan bergegas turun tanpa menoleh ke belakang lagi.
Entah dia tak tau harus bersyukur
atau menangis sepuasnya karena Jayden tak mengejar. Ketika dia tiba di rumah,
dia langsung masuk kamar tanpa mengiyakan pertanyaan pembantunya dan mengunci
pintu lalu duduk bersandar dengan air mata menetes deras di pipinya. Dia
mengelus bibir yang mulai terasa agak mendingin itu. namun sensasinya masih
terasa hingga saat ini.
“Sorry. But believe me, this is
the best way for us.”
♥ ♥
Semua terasa deja vu baginya.
Pergi Ke Bandara Soekarno – Hatta, Tanggerang dengan taksi karena kedua orang
tuanya sudah berangkat lebih dulu ke Wina. Dia
melangkah ke terminal penerbangan luar negeri untuk menunggu dua jam
keberangkatan selama 19 jam menggunakan pesawat Garuda Indonesia untuk transit
ke Dubai selama 16 jam sebelum akhirnya ia terbang lagi 3 jam menuju Wina,
Austria yang sekarang mengalami musim dingin.
Ia menghela napas. Semua koper sudah
dia masukkan ke bagasi tadi waktu check – in dan sekarang ia ingin duduk santai di suatu lounge
sambil mendengarkan lagu sebelum boarding. Ia tersenyum dengan
pemikiran itu dan melangkah riang sambil mengambil kacamata hitam di tas
selempangnya untuk menutupi kedua mata yang membengkak ada lingkaran hitam
seperti panda akibat menangis semalaman hingga baru tidur jam 3 pagi. Itupun
tak nyenyak.
Seseorang menepuk pelan pundaknya.
membuat ia terlonjak kaget dan menoleh. Ando tersenyum di belakangnya. Dengan
baju kaos POLO putih dan lensa bening untuk menyingkirkan kacamata serta rambut
setengah acak – acakan dan basah. Mau tak mau ia terpesona dengan pacar Lista
yang satu ini. “Hai, Ndo. dengan siapa?” Dia tak bohong. Hatinya berharap bahwa
Jayden akan dibelakang cowok sempurna itu dengan senyum khasnya. Namun dia
harus menelan pil pahit kalau cowok itu datang sendiri.
Seolah tau, Ando tersenyum dan
memasukkan tangannya ke saku celana. “Gue sendiri aja. Pasti lo bingung ‘kan
kenapa gue disini?” Tanyanya dan ia mengangguk. “Gue jemput Lista yang bakal
tiba 2 jam lagi dan gataunya ketemu lo.”
“Dia pulang?”
“Yap. Untuk seminggu sih karena ia
lagi cuti. Hehe...” Dia melihat cowok didepannya ini tersenyum ketika
membicarakan Lista. cinta mati rupanya.
“Bagaimana kalau kita sambil duduk
disitu?” Dia menunjuk sebuah lounge mewah dan Ando mengangguk tanpa ragu
sambil merangkul pundaknya. dan ia tak keberatan.
♥ ♥
“Lo putus sama Jayden kemaren?” Tanyanya dan
ia mengangguk. Tak ada gunanya berbohong dengan seorang Fernando Hayman kalau
urusan seperti ini. Belum lagi cowok ini adalah sahabat mantan pacarnya.
Ah.. betapa menyakitkannya setiap
dia menyebutkan kata ‘mantan’. Karena hatinya sendiri tak sudi menggunakan kata
itu.
“Dia marah kenapa
harus putus kalau bisa longdis, Ando. gue gak bisa jalanin hubungan
jarak jauh kayak lo ama Lista lakuin sekarang. Bukannya gue gak percaya ama
Jayden. Tapi gue takut gak sanggup menahan semuanya dan mengganggu apa yang gue
inginkan selama ini. Kuliah musik adalah impian gue sejak dulu. Lo boleh bilang
gue gila, ambisi berlebihan atau gimana, tapi gue tipe fokus pada satu masalah
dan rela melepaskan semuanya yang berpotensi bikin buyar konsetrasi.
Termasuk...” Dia menghela napas. Hatinya tak sanggup mengatakan. Tapi ini
memang prinsip hidup yang ia pegang selama ini. “Termasuk hubungan ini. Dan gue
wajarin aja kalau Jayden gak terima.”
“Re...” Ando menatap cewek yang
membuat sahabatnya gila dan mabuk untuk pertama kali dirumahnya. Membuat dia
setengah diusir Lily, keponakannya. “Lo gak ada niat ntuk pertahanin hubungan
ini? Mencoba seperti apa yang gue dan Lista lakuin? Longdis ga seburuk
yang lo pikirin, Re.”
Air mata menetes di pipinya.
Seandainya dia bisa, dia yakin, dia takkan memutuskan hubungan ini. Tapi... ini
batas kemampuannya.Dia tak sanggup. “Gak, Ndo. andaikan gue bisa, gue pasti
lakuin apa yang lo jalainin sekarang. Toh teknologi maju sekarang. Tapi gue
bukan tipe cewek yang bisa melampiaskan emosi ke hal lain, Ndo. kalau gue
lakuin itu, hati gue gak puas dan itu mengganggu. Gue takut ketika gue kangen
dengan dia, atau apalah gitu, gue gak bisa mewujudkannya. Egois, kan?” Dia
tersenyum miris dan mengambil tisu ntuk menghapus air mata sambil meminum chocolate
mlkshakenya.
Terdengar suara announcer
mengucapkan kode penerbangannya. Dia bergegas mengambil tiket ntuk mencocokkan
dan tersenyum. “Kayaknya gue harus pergi, Ndo. salamin ntuk Lista yah. maaf gue
gak bisa ketemu dia. Dan...” Dia terdiam lalu berusaha tersenyum. “Jayden. Gue
minta maaf karna mutusin dia mendadak secara sepihak dengan alasan konyol. Tapi
sampaikan salam ini ama dia, gue akan pulang dan kalau memang jodoh, pasti
bersatu. Kayak lo ama Lista.” Dia melepas kacamata hitamnya mengambil tisu
untuk menghapus air mata dan Ando melihat bahwa bukan Jayden saja yang
menderita hingga mabuk dan hangover berat di rumahnya, tapi cewek di
depannya ini juga. Sorot mata sedih yang disembunyikan ini salah satunya. “Gue
akan sampaikan kok. tenang aja. Mau gue antarin ampe pintu penerbangan?”
“Gak usah.” Dia memasang lagi
kacamatanya dan mengambil novel karya Dan Brown terbaru di genggaman serta tas
selempang kecil. “Makasih yah udah temanin gue.”
“Sama – sama.” Ando membuka lengan
dan dia langsung memeluknya. Pelukan antar teman. “Take care, Rere.”
“You too. Ando.
wish someday we’ll be meet again.”
“I’ll be waiting
that sweetest moment we meet again, girl.” Rere melepas pelukannya dan
tersenyum. “Bye.” Dia melangkah keluar lounge dan setengah
berlari menuju pintu penerbangan ketika suara announcer terdengar lagi. Seolah meneriakinya.
Ando angkat bahu menatap kepergian
mantan pacar sahabatnya itu sambil menyesap kopi yang belum disentuh karna
fokus mendengar cerita Rere. Dia mengambil ponselnya dan megirim sms pada
seseorang lalu memutuskan menelpon Jayden yang nada suaranya terdengar sangat
berat seperti habis bangun tidur. “She’s gone, now. Jayden.”
“I know.” Bahkan dengan suara beratpun, nada
kesedihan mengental. “Lo masih di bandara?”
“Iya. Lista belum nyampe soalnya.
Mungkin sebentar lagi.” Ucapnya sambil melirik layar TV di depannya yang
menampilkan jadwal kedatangan dan dia ingat kode pesawat yang ditumpangi
pacarnya itu. “Kenapa, Jay?”
“Gue bisa merasakan bagaimana
sakitnya lo ditinggal Lista, Ndo. rasanya lo masih hidup tapi jiwa lo mati. Hiperbola
banget yah gue.” Dia mendengar tawa miris di balik telpon. “Lo mungkin butuh
tidur lagi, Jay. tenang aja. Rumah gue gratis kok ntuk jadi pelarian patah hati
lo.”
“Maybe..”
“Jay... I don’t know. But i believe,
really believing that. Someday she’ll be come to you.”
“I hope so.” Dan telpon langsung dimatikan tanpa
ada ucapan selamat tinggal atau tetek bengek sapaan basi. Membuatnya berdecak
jengkel namun memaklumi. Orang galau terkadang melakukan hal diluar nalar.
Seperti dirinya dulu.
Asyik membaca koran sambil menikmati
segelas kopi yang baru saja dia pesan kembali, tak menyadari seorang wanita
cantik masuk lounge dengan menarik koper kecil di tangan kanannya,
rambut coklat panjang ikal tersampir di sebelah kanan dan long dress berwarna
cerah membuat senyumnya semakin cantik ketika waiters memberi sapaan dan
dengan langkah anggun, dia duduk di depannya dan menarik pelan koran itu. dia
tersenyum lebar ketika cowok itu tersenyum padanya. Seolah penerbangan selama
19 jam dari Jerman terbayar lunas ketika melihat wajah yang sangat ia rindukan.
“Hai.”
♥
♥
Jayden termenung di piano putih yang berada di
ruang keluarga Ando. kepalanya sudah agak enakan membuatnya memutuskan untuk
mandi agar segar dan turun ke bawah lalu matanya tertuju pada piano dan tanpa
sadar berjalan kearahnya. Seolah terhipnotis.
“She’s
gone now.” Ucapan itu bagai kaset rusak diputar berulang kali walau dia tak
ingin mendengarnya. Entahlah. Dia kacau sekarang. Seperti separuh hatinya
tercabut kasar darinya dan dibawa pergi. itu menyakitkan. Sangat hingga rsanya
dia memilih ingin mati saja daripada hidup dengan perasaan yang membuatnya
ingin terjun bebas.
Tangannya
menekan tuts – tuts piano pelan lalu memainkan sebuah lagu yang cocok dengan
isi hatinya. dalam waktu sekejap, ruangan sepi itu terdengar permainan piano
Yiruma – When the love falls mengalun merdu namun menyakitkan bagi siapa saja
yang mendengarkan.
♥
♥
2 tahun kemudian.
I’ll come
back. When you call me, no need to say goodbye.
Undangan pernikahan Ando dan Lista
tergeletak di atas meja kerjanya. Yah, dia kini mempunyai perusahaan
rekaman terbesar di Indonesia yang menerbitkan beberapa penyanyi baru dan
berbakat dengan suara unik. Jayden memutar tubuhnya dari membelakangi meja
kerjanya menjadi ke depan dan tersenyum.
Dia melirik beberapa dokumen yang
belum dibubuhi tanda tangan dan beberapa kontrak kerja lainnya. Kepalanya entah
kenapa tak ingin diajak kompromi saat ini. Mungkin dia masih terpengaruh pesta
lajang besar – besaran yang diadakan Ando di rumahnya. Untung saja mempelai
wanita, Lista tak mencak – mencak dan menyeret Ando keluar rumah dengan
menjewer telinganya ketika melihat beberapa botol anggur dan wine.
Dia memutuskan keluar ruangan dan
berkelilng studio rekaman untuk mendengarkan secara gratispenyanyi yang
melakukan record di ruangan khusus.
“andai
engkau tau.
betapa ku mencinta,
selalu menjadikanmu,
betapa ku mencinta,
selalu menjadikanmu,
isi dalam doaku.”
Dia tersentak mendengar lagu ini
dilantunkan secara magis oleh seorang penyanyi baru. Lagu yang membuatnya
serasa terlempar ke masa 2 tahun yang lalu. Masa dimana seorang gadis
meninggalkannya demi mimpi. Selama itu gadis itu tak menghubunginya, dan dia
juga tak ada niat untuk menghubungi walau jalan terbuka lebar. Entahlah.
“Jika aku, bukan jalanmu.
ku berhenti mengharapkanmu.
jika aku, memang tercipta untukmu.
ku kan memilikimu.
Jodoh pasti bertemu.”
ku berhenti mengharapkanmu.
jika aku, memang tercipta untukmu.
ku kan memilikimu.
Jodoh pasti bertemu.”
*Afgansyah Reza – Jodoh pasti bertemu.
Jayden menghela
napas dan menyandarkan tubuh ke dinding sambil menatap penyanyi itu menyanyi
dengan sepenuh hati. Kening berkerut setiap mencapai nada tinggi dan mata
terpejam bahkan ada senyum setiap akhir lagu romantis atau mendesah sedih
apabila liriknya terdengar menyakitkan. Semua kombinasi penyanyi didepannya ini
seperti menampilkan wanita itu. ah... bagaimana kabarnya sekarang? tidakkah
wanita itu tau kalau setiap sel di tubuhnya selalu merindu akannya?
Dia memutuskan
pergi ketika penyanyi itu sudah selesai dan terdengar tepukan puas oleh para band
yang mengiring. Dia ikut bertepuk tangan dan tersenyum sambil mengacungkan
jempol ketika penyanyi itu kaget ketika menoleh ke samping dan menunduk sopan
lalu melangkah pergi dengan dirangkul beberapa temannya untuk keluar ruangan.
Dia memutuskan ikut keluar karna
baru ingat ada meeting menunggu di lantai 5. Dia berbalik badan
melangkah menuju pintu dan membuka gerendelnya.
“It started out as a feeling.
Which then grew into a hope.
Which then turned into a quiet thought.
Which then turned into a quiet word.
And then that word grew louder and louder.
‘Til it was a battle cry.
Gerakan tangannya seakan terhenti
ketika mendengar lantunan lagu yang dinyanyikan penyanyi selanjutnya. Bukan
lagunya yang membuat ia terdiam seperti patung, bukan itu...
Tapi...
Suaranya.
Dia menoleh cepat ke belakang untuk
memastikan telinganya tak error dan ...
Penyanyi itu!
Wanita yang sama,
suara yang sama dan semua kombinasi yang selalu dia rindukan. Kini berada tak
jauh dari 5 meter darinya dan terhalang sebuah kaca besar. Tuhan.. betapa
dia merindukannya. Merindukan dia yang sedang menutup mata dengan telinga
tertutup headset dan fokus menyanyikannya.
“I’ll come back.
When you call me.
No need to say goodbye.”
Mata wanita itu
terbuka dan refleks menatapnya. Shock terlihat jelas dari wajahnya. membuat Jayden tersenyum
dan langsung berlari keluar ruangan kemudian masuk di ruang rekaman dan
memeluknya.
Dia tak peduli bahwa semua kru
diruangan ini menatapnya heran. Seorang Jayden Boulanger memeluk penyanyi baru
yang hanya beberapa menit dikenalnya.
Rere tersenyum dan membalas
pelukannya. Dia sangat merindukan pria yang memeluk erat dirinya seolah ratusan
tahun terpisah.
“Please...Please, say
something,Re. Yakinin aku ini bukan mimpi kesekian kalinya. Makes me believe
this is real.”
Dia tertawa pelan dan dengan suara berbisik, berkata..
“I’m real now. Jayden.”
“Promise me... you’ll never, ever
leaving me like this again, Re.”
Dia tersenyum. Tuhan... betapa dia mencintai pria yang
dipelukannya sekarang. Pelukan yang selalu dirindukannya ketika sepi
melanda. Terkadang hatinya gatal ntuk menghubungi Jayden sekedar menanyakan
kabar dan menuntaskan kerinduan yang menngila. Tapi dia tak sanggup.
Entahlah... membuatnya memilih fokus kuliah cepat agar bisa pulang ke Indonesia
dan bertemu dengannya.
“You can keep my words, Jayden. I
vow that never, ever leaving again.”
Jayden melepas pelukannya dan menatap lekat kearahnya.
Wajah yang tersenyum itu seolah menggelitik hatinya. tanpa ragu, tak peduli sikon,
dia mendekatkan tubuh ke arahnya dan menciumnya tepat dihadapan semua orang.
Rere kaget bukan kepalang. Bibirnya
terbungkam oleh sentuhan Jayden yang lembut. Dia membalas ciumannya dan membuat
orang – orang disekitar mereka bersorak bahagia. Dia tak mempedulikan dan
merangkul leher Jayden erat. Seolah tak ingin terlepas.
“I love you.”
♥
♥
2 Bulan kemudian.
“Rereeeeeee...”
Lista setengah berlari dengan gaun pengantin disingsing hingga lutut agar tak
menyapu pasir pantai lalu menghampiri dan meloncat ke pelukannya. Membuat ia
kaget dan merespon pelukan si pengantin wanita. “Kangen ama gue, Lis?”
Lista
melepas pelukannya dan tersenyum bahagia. Senyuman khas pengantin wanita yang
menikah dengan pria pujaannya. Gaun pengantin putih sangat indah melekat ditubuhnya,
hiasan bintang – bintang melingkar di atas kepalanya. Rambut ikal panjangnya
berhembus lembut. “Banget, Re. Kapan kamu pulang dari Wina?” Tanyanya dan baru
sadar bahwa mereka tak berdua saja. ada Jayden tersenyum jahil disamping Rere.
“Lo cantik, Lista.”
“Makasih,
Jayden.” Dia tersenyum dan merasakan rangkulan lembut di pinggangnya dan ia
menoleh. Ando berada disampingnya dan menyalami Jayden. “Halo, bro.”
Rere
tersenyum dan menatap Lista. “Dua bulan yang lalu gue pulang, Lis. Soalnya ada
yang manggil – manggil sih. Jadi terpaksa ngepak koper deh. padahal gue betah
disana. Ada cowok – cowok ganteng. Haduh...” Dia meringis ketika cubitan pelan
di pinggangnya. Dia menoleh sambil tersenyum jahil ketika Jayden memelototinya.
Lista
nyengir kuda melihatnya. “Iya... pria – pria Austria memang HOT, Re. Aku punya
teman disitu dan jujur yah, memang ganteng sekali! Tatapan matanya itu loh...
aduh...” Lista memasang wajah penuh terpesona membuat Ando mencubit lengannya.
“Sayang... masa kamu muji pria lain di depan suamimu, sih?”
“Kan
sesekali gak papa, Ndo.” dia mengedipkan mata dan tertawa ketika pria yang 3
jam lalu sah menjadi suaminya.
Tiba
– tiba, muncul ide di kepalanya. “Re... karena kamu disini, nyanyi dong.”
Dia
kaget dengan ajakan Lista dan melirik panggung kecil di tengah para tamu
undangan yang semuanya tak beralas kaki. Hembusan angin pantai yang tenang dan
menyejukkan, pasir putih yang menyelimuti kakinya, membuat ia ingin seperti ini
juga suatu hari nanti.
“Wani
piro?”
Lista langsung mendengus jengkel dan
menarik Rere ke arah panggung yang tak jauh jaraknya dari mereka berdiri. Dia
melihat Lily, keponakan Ando mengenakan gaun putih tanpa lengan dan rambut
panjangnya menutupi. Senyum cantiknya tersungging lebar ketika melihatnya.
“Hai, kak Lista.”
“Halo sayang. Kamu nyari Ando?” dan
dia mengangguk. “Tuh dia.” Tunjuknya pada Ando yang asyik mengobrol dengannya
sambil melirik wanita yang ia tarik sekarang. “Samperin gih.”
“Iya kakak cantik...” Ucapnya tanpa
ragu mengecup pipinya lalu setengah berlari ke arah Ando.
“Lis... serius nih gue nyanyi tanpa
bayaran?”
“Sejak kapan lo jadi mata duitan,
Re?” Lista mendengus jengkel dan menariknya untuk naik ke atas panggung sambil menyodorkan
mikrofon. “Lo gak mau bahagiain teman lo yang baru saja menikah, Re?”
Dia tertawa lalu berjalan ke arah keyboardist
sambil membisiki lagu yang akan dinyanyikan. Kemudian ia menghampirinya.
“Daripada lo disini kayak patung cantik liat gue nyanyi, mending samperin suami
lo sana dan dansa ama dia. Gue ada lagu pas ntuk kalian berdua.” Dia setengah
mendorong Lista turun dari panggung yang tersenyum dan sekarang setengah
berlari menghampiri suaminya yang berbisik-entah apa. Namun membuat Lista
tersenyum bahagia.
Lagu Shania Twain – From this moment
ia nyanyikan sepenuh hati sambil melirik Lista yang masih berdansa dengan Ando yang sesekali
mencium keningnya. Ah.. betapa bahagianya dia melihat pasangan itu.
Entah sejak kapan, tau – tau Jayden berdiri di
belakangnya dan tersenyum manis. Membuat ia yang masih menyanyi merangkul
pundaknya. hingga...
Dia terhenti. Jayden tau – tau
berlutut di depannya dan tersenyum manis. Senyum yang membuatnya terdiam. panik
karena semua pasang mata melihatnya, dia memegang lengan Jayden dan setengah
menariknya, “Jay, apa yang kamu lakuin? Berdiri, berdiri. Jangan malu – maluin
dong.”
Dia tak menghiraukan ucapan setengah
panik itu. malah menikmati sambil merogoh kantong jasnya dan mengeluarkan kotak
kecil beludru biru dan membuka tepat dihadapannya. Dia mendengar suara
tertahan. “Astagaa.. astagaa... Are you kidding me, Jayden?”
Dia menggeleng dan tersenyum. “Of
course not, Darl. Will you marry me?”
Dia shock. Lebih dari mendapatkan beasiswa
kuliah di kampus impian, lebih dari bertemu lagi dengan Jayden dua bulan yang
lalu, lebih dari mendapatkan job pertamanya waktuu SMA di cafee yang
sering menjadi tongkrongannya. Dia tak menyangka bakal dilamar di pernikahan
sahabatnya sendiri! astagaaa....
Tak bisa berkata – kata karena
suaranya menghilang, dia mengangguk “Yes. Of course i will, Jayden. Of
course!” Dan langsung merangkul erat. Seolah tak ingin dilepas dan
terlepas.
Semua para undangan bertepuk tangan
dan bersiul senang. Ando tersenyum kearah Lista yang bertepuk tangan riang
ketika temannya bertepuk tangan di atas panggung seusai lamaran. Mata mereka
bertatapan. “Akhirnya...”
Epilog.
18 tahun
kemudian.
![]() |
Evangeline Fransesca Boulanger. |
“Evaa...”
Teriakan Fio, sahabatnya ketika ia baru saja tiba di rumah tante Lista bersama
kedua orang tuanya, membuat ia tersenyum dan bergegas menghampirinya.
“Kapan
lo datang dari Bali?”
Evangeline
hanya tersenyum dan mengibaskan rambut panjang hitamnya dan tersenyum manis.
Membuat kedua lesung pipinya terlihat memikat. “Baru sejam yang lalu gue nyampe
disini.”
Fio
nyengir dan setengah menariknya ke tengah taman. Tempat keponakan – keponakan
mereka super ganteng berkumpul. “Ayooooo... mereka nungguin lo! secara lo kan
yang paling jarang muncul.”
“Gue
sibuk sih soalnya. Hahahaa...” Dia tertawa ketika saudara jauhnya itu mencebik
kesal.
“Itu
Eva?” Tanya Sebastian Pradipta dengan tatapan hijau toskanya yang berpendar
jahil, rambut tebal hitam mengkilat mengenai kerah bajunya, menunjuk gadis yang
ditarik Fio.
![]() |
Fransisco Boulanger |
“Mana?”
Fransisco Boulanger ikut melirik dan mengangguk. Kegantengan papahnya, Mikail
Boulanger menurun 100% tanpa cela. Dengan penuh terpesona ia mengangguk dan
melirik Edric Hayman, si pemilik rumah yang hanya fokus membaca saja. dengan
kesal ia menarik novel dari tangan Edric dan menyelipkannya di balik punggung.
Membuat cowok itu mendelik tajam . “Apaan lo sih, Frans? Balikin!”
“Lo
baca mulu deh. apa gunanya kami dan pesta yang diadain kedua ortu lo kalau gak
dinikmati? Sambil cuci mata, Edric gak ada dosanya kok.” Fransisco menunjuk
beberapa cewek cantik yang bergerombol seperti lebah dengan tatapan jelas –
jelas kearah mereka bertiga. Namun Edric acuh tak acuh. “Gue gak peduli.”
![]() |
Fiorenca Mellody Hayman. |
“Hai..”
Tau – tau Fio muncul di depan mereka dan melirik Edric yang hanya menatapnya
sambil lalu. “Hai... kalian pasti kenal ‘kan...”
“Evangeline
Fransesca.” Dia tersenyum yakin dan menyalami Sebastian dan Fransisco. Bahkan
Tian sambil mencium punggung tangannya. “We know you, beauty.”
“Except
one.” Mereka melirik Edric yang menatap ke arah lain. membuat gadis itu
tersenyum dan menyodorkan tangan ke arah Edric. “Hai. Gue Evan...”
Ucapannya
terputus ketika Edric tau – tau berdiri dan menatap tangan yang terulur di
depannya. Dia mengabaikan. “I know you like their too. Sesca. So, Jangan
perkenalin diri seolah kita gak satu pohon keluarga!” Ucapan telak ditambah
tatapan mata hitam kelam yang semakin menajam, seharusnya buat ia mengkeret
ketakutan. Namun seolah terbiasa, dia hanya tersenyum. “Gue kira lo butuh
perkenalan diri lagi mengingat no reaction like your twin.”
![]() |
Edric Hayman. |
“Waw!”
Tian buru – buru menyela ketika aura panas menyelimuti Fio yang tak terima
dengan ucapan Edric menyerang Evangeline terang – terangan. “Eva, tante Rere
ama Om Jayden mana?”
Eva
mengalihkan pandangan dari Edric yang melengos tak peduli dan fokus menatap ke
arah lain. hatinya terlalu kebal menghadapi ucapan sepupu jauhnya itu. “Tuh
mereka.” Tunjuknya ke arah orang tua Fio dan Edric sedang mengobrol dengan
orang tuanya.
“Lo
mau kemana, Ric?” Tanya Fransisco ketika tau – tau keponakan sablengnya ngelonyor
pergi tanpa pamit pada mereka. “Minum.” Jawab Edric singkat tanpa menoleh.
“Tuhan...”
Fio menghela napas dan mengacungkan tinju pada kakaknya yang kini mengobrol
dengan segerombolan cewek penyamun berwajah menor itu. tak habis pikir dia
dimana kakaknya itu meletakkan otak dan moral. “Gue boleh bunuh orang, gak?”
“Seandainya
boleh, gue bakal bawa busur ama panah trus gue jadiin tuh kepala Edric sasaran
panah gue. Gila 18 tahun umur dia, makin pedes aja omongannya.” Eva bicara
santai tanpa nada emosi sambil menyesap minumannya yang ia ambil dari atas
meja. Membuat Tian dan Fransisco merangkul pundaknya dan Fio. “Hahahahahaha...
tahan banting aja lo ama dia, Fio, Eva.”
“Gue
cuek aja. Udah dulu yah, pengen kesitu tuh.” Dia menunjuk panggung kecil dengan
keyboard nganggur. Menunggu siapa saja yang memainkan sebuah lagu.
Dengan sekali anggukan, Eva melangkah anggun meninggalkan mereka dan melewati
Edric yang menatapnya tajam. Dia tak peduli.
“Bentar...”
Fio terdiam ketika baru sadar sesuatu dan menatap mereka berdua. “Kalian kenal
Eva darimana?”
“Oh
tuhan...” erang Fransisco sambil menatap Tian yang hanya angkat bahu sambil
menatap Eva yang menyanyikan sebuah lagu dan semua tamu menatap ke arahnya.
“Kadang gue setuju supaya lo ama Edric test DNA aja. Mengingat kapasitas otak
lo berbeda jauh ama Edric, siapapun akan meragukan lo kembaran dia, Fio.”
“Sialan
lo, kak! Gue serius nih! Kalian kenal Eva darimana jadi sok akrab?”
“Tian...”
Dia mencolek cowok yang hanya tersenyum geli. Membuat lesung di pipinya semakin
memikat. Ditambah warisan warna mata papahnya, Bian Pradipta dan welcome
dengan semua cewek serta murah senyum. Membuat ia semakin digilai. “Lo jelasin
deh ama keponakan kita tersayang ini sebelum darah gue naik nih.”
“Evangeline
Fransesca Boulanger. Dia itu anaknya Om Jayden dan tante Rere yang kebetulan
adik tiri dari istri keduanya papah Fransisco ama Lea. Jelas, cantik?”
Fio
terdiam mencerna semua informasi dan nyengir lebar. Seolah baru ingat. Membuat
siapapun yang melihat cengirannya itu, takkan tega mengomel. Kecuali Edric.
Tentu saja. cowok satu itu tak menerima toleransi kesalahan apapun. “Gue lupa.”
“Apa
sih yang lo ingat dari seorang Fiorenca Mellody Hayman? Gue nanya satu hal, lo
bener – bener anak tante Elista, kan? bukan anak yang tertukar ‘kan?”
“Sialan
lo kak Tian!” Dia meninju lengan Tian yang tertawa puas membuatnya marah.
“Yaiya dong! lo liat mata gue nih. Mirip kan ama nyokap tercinta?” Dia menunjuk
matanya yang berbeda warna kiri dan kanannya. Membuat mereka berdua mengangguk.
Ciri khas Fio yang membuat mereka tak perlu test DNA lagi kalau suatu saat
status anak satu ini diragukan karna tingkahnya yang melenceng.
“Pengen
Edric punya pacar gak?” Usulan Tian tiba – tiba membuat Fio dan Frans menoleh
kearah saudaranya yang punya ide kadang rada – rada. Sama seperti Om Bian.
“Emang
ada cewek mau ama dia? Gue aja sebagai saudara kembarnya aja ga yakin dia punya
pacar dengan sikapnya nyebelin tujuh turunan itu.”
![]() |
Sebastian Pradipta |
Tian
nyengir kuda dan tersenyum. “Gue punya ide. Begini.. bagaimana kalau kita
bertiga bikin taruhan ntuk jodohin Edric dengan cewek yang menurut kalian pas
imbangin sifatnya ama kalau bisa, buat dia gak cuek lagi ama lo?” Ucapnya
sambil menatap Fio yang berpikir keras. “Cewek mana yang mau hatinya
ditumbalin, kak?”
“Bukan
ditumbalin. Tapi diumpan.” Jawab Frans setengah melantur. Membuat Fio
mendengus. “Apa bedanya coba, kak?”
Tian
mengabaikan mereka. “Masing – masing dari kalian cari 1 atau 2 cewek yang kira
– kira pas deh ntuk Edric. Bagaimana?”
Lama
mereka berpikir. Akhirnya Fio tersenyum setengah hati mengiyakan. Kadang dia
berpikir apakah kembarannya ini mempunyai kelainan orientasi seksual sehingga
ketus ama cewek, biasa aja ama cowok. Dan ini saat yang tepat ia membuktikan
pemikiran geniusnya. “Boleh deh. gue calonin Eva sebagai cewek kak Edric.
Gimana?”
“Cuma
Eva doang? Gak ada yang lain?”
“Gue
mikir dulu deh. tapi, boleh kan gue kasih tau ama mereka tentang ide kita ini?
Yaaa.. jaga – jaga aja biar ga terlalu berharap banget ama si manusia patung es
dari kutub selatan itu.” Dengusnya jengkel ketika Edric menatapnya dingin.
“Boleh
juga ide lo, Fio. Tumben cerdas.” Ucapan jahil Frans membuatnya jengkel.
“Sialan lo, kak.”
“Gue
calonin ...” Tian terdiam kemudian menatap mereka berdua yang serius
menatapnya. Membuat senyumnya muncul. Dia paling, paling suka membuat orang
lain penasaran. “Gue calonin Kimberly Raveno. Anaknya tante Karen ama Om
Steven. Pasti seru tuh.”
![]() |
Kimberly Vexia Raveno. |
“Ngeri
amat kandidat lo, Tian. Cuma Kim yang lo calonin nih?” Frans geleng – geleng.
Dia pernah dekat dengan Kim dan harus mengakui pesona tak terbantahkan dari
sepupu jauhnya itu. “Sebenarnya ada lagi sih. Ntar gue pikir dulu. Ahhaha...
kalau lo, Frans?”
“Gue
pilih yang kalem aja deh. kandidat kalian berdua bikin gue merinding. Eva
dengan ketenangan hadapin Edric dan Kim dengan pesona ama otak tajam dan
tingkahnya itu loh. Buset deh. andai gue gak ingat siapa dia, udah tuh anak
jadi cewek gue walau dua bulan kemudian bakalan didepak. Hahahaa... lo ingat
Annisa? Anaknya tante Dini ama Om Dimas? Sahabat bokap lo?”
“Ingat
kok. Nisa mah lembut banget. saking lembutnya, Cuma orang sinting doang bikin
dia nangis.” Ucapnya dan mereka mengangguk mengiyakan.
“Jadi...
sepakat nih dengan rencana kak Tian?” Tanya Fio dan mereka berdua mengangguk
dengan senyum manis. “Tentu aja. Gue gak sabar liat Edric bakalan bertekuk
lutut dengan salah satu kandidat kita dan bilang ‘Guys, ini pacar gue,
blabla....’ pasti seru deh.” Ucap Tian dengan nada puas. Tak sabar dia
berdiskusi dengan Kim di Jerman sana ntuk soal ini dan menyuruhnya sekolah
disini saja.
“Lo
gimana, Frans?”
“Gue
Oke aja sambil cari satu kandidat lagi. Gimana?”
Mereka
bertiga tersenyum sambil menatap Edric yang ngobrol dengan seseorang. Tak
sengaja tatapan mereka bersirobok dengan tatapan tajam Edric. Membuat mereka
terkikik geli dan berpaling. “Sip deh. minggu depan kita harus kasih tau
kandidat satunya ntuk Edric. No deadline for that mission. Pokoknya
kalau si cewek nyerah, berarti selesai. Oke?
“Oke
deh.”
Edric
menatap mereka bertiga dengan tatapan bingung dan tersenyum miring lalu menatap
ke arah lain. “dasar gila.”
Oke guys. Ada
yang berminat jadi kandidat mereka bertiga ntuk jadi pacarnya Edric? :D Aku
serius loh. Hahahaa... akhirnya nemu juga ide Twins War setelah nulis ini.
Hahahaa.. akhirnya aku bisa lanjutin deh. pertanyaan sekarang, siapa yang
dipilih Edric? Evangeline dengan sifat santainya menghadapi “serangan” Edric
yang membabi buta, atau Kimberly, cewek yang mempunyai sejuta pesona
membahayakan warisan tante Karenina, atau Annisa, gadis kalem dan tutur kata
manis namun agak nyelekit itu yang bikin siapa saja gak bisa omelin dia karna
kelembutannya? Atau malah, kalian? ;)
Stay with me
Promise me you're never gonna leave
Stay with me yeah
Lets try to be the best that we can be
Take our time
Promise me you're never gonna leave
Stay with me yeah
Lets try to be the best that we can be
Take our time
Read more at http://www.lyrics.com/stay-with-me-lyrics-colbie-caillat.html#XZpQF7A64frKrq7X.99
Stay with me
Promise me you're never gonna leave
Stay with me yeah
Lets try to be the best that we can be
Take our time
Read more at http://www.lyrics.com/stay-with-me-lyrics-colbie-caillat.html#XZpQF7A64frKrq7X.99
Promise me you're never gonna leave
Stay with me yeah
Lets try to be the best that we can be
Take our time
Read more at http://www.lyrics.com/stay-with-me-lyrics-colbie-caillat.html#XZpQF7A64frKrq7X.99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar