Sabtu, 16 November 2013

Be Yours?! DAMN! Ending - Heartbreak Lullaby



Gue pergi, Ndo. Good bye.”

            “Jangann!!” Ando langsung terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin mengalir deras. Mimpi yang sama beberapa minggu ini sejak dia menginap di Villa. Dia melihat Lista tersenyum sedih padanya, mengecup pipinya lembut, lalu mengucapkan kalimat perpisahan dan akhirnya...

            Langkahnya menjauh, menjauh, hingga akhirnya hilang sama sekali.

            Dia merasa hatinya sakit. Sakit ditinggalkan. Dia ingin menemuinya, mengatakan apa yang dipikirannya, tapi dia tak sanggup apabila bertatapan dengannya. Entah kenapa, dia tak tahu.
            Dia melirik ponselnya yang dinonaktifkannya. Yang berisi nomor Lista, yang berisi semua kenangan tentangnya. Terkadang hatinya gatal untuk menekan tombol on, mencari nomor ponselnya kemudian menekan tombol call, dan mengatakan dia disini. Tapi, ketika dia mencobanya, tangannya mendadak gemetar dan dengan  bodohnya, dia mematikan ponselnya dan melepas sim cardnya lalu diletakkannya di atas meja.

            “Gue benar – benar pengecut kayaknya.” Dia mendesah dan melirik pigura kecil di sampingnya. Foto Lista yang sedang tersenyum diam – diam dicetaknya lalu diletakkan di pigura. Kalau rindu melanda hatinya, dia memeluk pigura itu, melupakan cerita masa lalunya yang membuatnya berada disini seperti pengecut yang patut dibasmi.

            Dia menghela napas berat. Sudah beberapa minggu dia berada disini. Di pantai paling ujung di Jawa Barat. Terisolasi, terasing, tak dikenali. Itulah keinginannya. Pengakuan Lista pada malam itu dan ucapan penuh hina dari Dylan yang tampaknya tak puas dihajar Bian itu, membuatnya kalap memberinya pelajaran.

            Dia masuk ke kamar Dylan dan melihat cowok itu merebahkan dirinya di ranjang yang empuk dengan wajah memar sana – sini, hidung yang diplester karna terlihat sedikit bengkok dari samping.. Sepertinya pukulan kakak Lista benar – benar membuat pesona wajahnya sedikit memudar. Dan ketika melihatnya, cowok itu tersenyum jahat.
            “Ngapain lo kesini?”
            “Menurut lo?” Dia mendekati Dylan yang tampak tak terintimidasi dengannya. Yang ada dirinyalah yang berjuang mati – matian dalam hati agar tetap dingin.
            “Gue tau lo pacarnya Tata, eh... Lista maksudnya.” Dia memasang wajah mengejek dan menatapnya, “Lo udah dikasih apa aja ma dia? Mengingat, tuh cewek udah gak suci lagi setelah sama gue. Pastinya lo udah merasakan nikmat tubuh dan wajah cantiknya yang pasrah saat lo sentuh, kan? gue ama teman – teman gue aja sampai saat ini masih terbayang bagaimana enaknya tubuh dia saat...” Ucapannya terhenti ketika sebuah tonjokan melayang ke arah bibirnya dan langsung meneteskan darah.
            “Lo hina Lista segitu kejinya sekali lagi...” Dia mengepalkan tangannya penuh emosi. Tak terima cewek yang mencuri perhatiannya, dihina segitu kejinya oleh cowok yang tega – teganya merebut apa yang paling berharga dalam hidup gadisnya.

            Dylan tak terpengaruh dengan emosi Ando yang terpampang jelas di wajahnya yang mengeras dan tatapan matanya menggelap. Dia dengan santainya mengelap darah yang menetes. Seolah – olah itu adalah saos tomat yang melepoti wajahnya, “Akan apa? Gue tau. Lo pasti marah karna kecolongan gue, kan dalam urusan beginian? Tapi tenang aja, lo masih bisa sentuh tubuh dia yang seksi itu, membuat wajah cantiknya yang menggoda itu pasrah dalam pelukan lo, dan... buat dia tunduk sekali lagi. Kalau sudah tunduk, bilang aja sama gue.” Ekspresi wajahnya berubah kesakitan ketika Ando sekali lagi, menonjok bibirnya hingga dia merasa ada yang lepas dan dia segera mengeluarkannya.

            Kedua giginya, entah di bagian mana, telah tanggal dan berada di tangannya yang berlumur darah.
           
           
            Ando menutup mata ketika dia merasakan ingin membunuh orang itu sekali lagi dan melemparnya ke neraka kalau bisa. Dia menghela napas sekali lagi, mencoba menenangkan kepala dan hatinya lalu melirik jam dinding kamarnya yang masih menunjukkan pukul 3 pagi. Lalu tatapannya beralih ke pigura itu dan memasukkannya dalam laci ketika hatinya serasa berdenyut sakit. Dengan tak tenang, dia mencoba tidur kembali.

♥ ♥

            “Jangaann!! Jangann!! Sakit, sakit...” Lista mengerang kesakitan dalam tidurnya. Kepalanya ditolehkannya ke kiri dan ke kanannya, air matanya menetes deras membasahi pipinya dan tubuhnya melengkung tegang ke atas. Seolah tak tahan menanggung sakit yang menyiksanya.
            Bian, yang sengaja tidur di sofa Lista tanpa sepengetahuan pemilik kamar sejak dia mengungsi tidur ke kamarnya karna mimpi buruk, terbangun dan spontan mendekatinya, duduk disamping sambil mengelus kepalanya dan mencium keningnya lembut.
            “Dek, tenang. Lo Cuma mimpi.” Dia menenangkan Lista yang masih berteriak ketakutan dan menangis. Membuat hatinya sesak seketika dan memori yang ingin dihapusnya, menyeruak keluar. Menyerang mentalnya. Memperburuk keadaan hatinya.

            “Jangan, Dylan. Lo gak boleh lakuin itu ke gue, jangaan... jangaaannn...” Dia dan kakaknya, Erika kaget ketika diam – diam masuk kamarnya karna curiga dengan sifat anehnya beberapa bulan ini setelah pesta prom night itu, terkejut ketika pintu kamar dibuka pelan, mereka melihat Lista, menjerit kesakitan dan wajahnya sarat ketakutan. Dengan panik dia berlari dan mendekati Lista, berusaha membangunkannya.

            Lista langsung terbangun dengan mata melotot dan meloncat turun dari ranjangnya lalu duduk di sudut kamar sambil memeluk kedua lututnya. Tatapan matanya terlihat sangat ketakutan saat menatapnya dan kosong.
            “Lista...” Dia mendekatinya dan tanpa diduga, Lista semakin menjerit ketakutan dan menutup kedua telinganya.
            “Jangan dekatin gue, Dylan! Jangan dekatin gue! Menjauh! Menjauh!”
            Dia merasa hancur saat itu juga. Hancur karna tak dikenal oleh adiknya sendiri. dia dianggap Dylan yang entah apa dilakukannya hingga membuat adiknya berubah total seperti ini. Sepulang dari prom night itu, Lista berubah seketika. Mulai dari memaksanya untuk memanggilnya “Lista” Bukan “Tata”, memotong pendek rambutnya hingga nyaris cepak di sebelah kanan, membuang semua baju yang dianggapnya cewek dan menggantinya menjadi gothic, membakar apa saja yang berhubungan dengan Dylan dengan tatapan tak terbaca, berusaha untuk tomboy dan membuang jauh – jauh sisi manis yang dulu melekat kuat di dirinya, dan tatapan matanya terlihat awas setiap melihat cowok lalu beringsut ketakutan melihat gerombolan cowok asing. Bahkan terkadang dia merasa Lista menjauhinya perlahan. Tak ingin didekati dan mencoba sibuk dengan urusan SMAnya, dunia yang baru dimasukinya beberapa bulan lalu.
            Kakaknya, Erika menyentuh pundaknya lembut saat dia berusaha mendekati Lista yang semakin menjerit ketakutan. Dia menoleh dan melihat kakaknya menggeleng. Dia bisa melihat sorot mata bingungnya itu.
            “Gue aja, dek.” Dengan terpaksa dia mundur dan membiarkan kakaknya memeluk Lista yang dilihatnya butuh penopang.

            Dengan ragu, dia mendekati mereka dan duduk di lantai. Menatap Lista yang masih sesegukan. Tatapan matanya sudah tak kosong lagi. “Lo kenapa, dek? Apa hubungannya dengan Dylan hingga lo seperti ini?”
            Efek nama itu membuat wajahnya pucat pasi. Dan dia melihat perubahan itu. “Elista, ada apa? Cerita sama kakak.” Kakaknya, Erika menangkup kedua tangannya di pipi Lista yang basah karna air mata.

            Awalnya dia menggeleng. Tapi, paksaan lembut kakaknya membuatnya mengaku. Sambil menangis terisak – isak dan mengucapkan berkali – kali agar jangan ditinggalkan dan diceritakan pada orang tuanya, dia menceritakan malam itu. malam prom night yang selama setahun ini disembunyikan rapat olehnya. Dan malam itu jugalah, dia merasa gagal untuk menjadi kakak.

            Lamunan Bian terhenti ketika menatap wajah adiknya yang mulai tenang. Sejak malam pengakuan itu dan dia mengungsi tidur di kamarnya karna mimpi buruk, dia selalu mengutuk dirinya sendiri dan mencoba tidur di sofa seperti maling takut ketahuan di kamar Lista, lalu menenangkannya dengan kalimat lembut dan kecupan ringan di dahi ketika dia mimpi buruk, walau hatinya teriris pedih melihat adiknya kesakitan. Setiap malam hatinya terasa hancur dan dendam yang tertanam semakin menguat setiap melihat adik kesayangannya berteriak ketakutan. Dan dendam itu akhirnya terbalas. Dia tersenyum bangga mengingatnya.
           
            Menghajar Dylan hingga nyaris mati saat dia menginjak perut cowok sialan itu kalau saja kakaknya tak datang dan menariknya menjauh. Dan harus merelakan dirinya dibawa ke kantor polisi karena membuat keonaran dan dua jam kemudian, papahnya langsung pasang badan menyelamatkannya dari tidur dalam jeruji besi bersama beberapa preman kelas teri lainnya.

            Bian menghela napas berat. Dia ingat malam itu. malam disidang kedua orang tuanya pertama kalinya dan papahnya, yang selalu tertawa, menggoda mamanya dan mengejeknya itu, berubah menjadi papah tak dikenalnya. Tatapan hijau toskanya yang hangat itu, berubah menjadi dingin dan menyerangnya dengan perkataan memojokkannya dan mengintimidasi terang - terangan. Dan dia dengan tenang menjawabnya. Dengan tatapan tak kalah dingin dan menentang papahnya sendiri untuk seumur hidupnya.

            Sampai adiknya datang. Lista mendatanginya saat dia bersitegang dengan papahnya dan mamanya yang sibuk menenangkannya agar duduk dengan kepala dingin. Bukannya saling melotot dan berdiri siap menyerang. Dengan isak tangis dan meminta maaf berkali – kali, dia menceritakan malam setahun yang lalu itu kepada orang tuanya. Semuanya. Tanpa ada rahasia sedikitpun.  Membuat mamanya shock dan memeluk adiknya  sambil menangis dan papahnya hanya terdiam sambil menatapnya. Tatapan matanya tak terbaca dan memilih ikut memeluk adiknya yang dipeluk erat mamanya.

            Kalau kedua orang tuanya merasa menyesal dan sedih sekarang, dia merasakannya lebih dari itu. selama 3 tahun dia merasa menyesal karna gagal menjaga adiknya yang berharga, hancur karna melihat adiknya kadang tak mengenalinya setiap mimpi buruk, dan kehilangan sosok Elista yang manis dan manja dengannya.

            “Kenapa lo tinggalin gue, Ndo? Lo udah janji untuk disini dan genggam tangan gue. Bukannya memeluk terus hilang begitu saja. Come back, please.” Igauan Lista menyadarkan lamunannya dan dia terkejut ketika setetes air mata membasahi pipi mulusnya. Dia menghapusnya dan menghela napas berat. Untuk urusan ini, dia tak bisa berbuat apa – apa selain menenangkannya.
           
            “Dia akan kembali untuk lo, dek.” Bia membisikkan harapan di telinganya dan wajah kesedihan itu mulai memudar hingga akhirnya berganti ketenangan.

            Ketika napasnya terlihat teratur, Bian mengecup kening Lista sekali lagi dengan lama dan penuh sayang sebagai seorang kakak, “Maafkan gue, dek yang gagal menjaga lo. tapi gue janji, lo gak akan gue biarkan hancur lagi . gue akan jadi tameng lo, perisai diri lo yang rapuh. Kalo lo tanya kenapa, itu karna gue sayang lo, dek.” Ucapnya pelan dan penuh penyesalan kemudian berdiri tegak dan berjalan ke arah pintu kemudian menutupnya pelan agar Lista tak terbangun dan menyadari kedatangannya.

           
♥ ♥

            Erza terbangun dari tidurnya dan bergerak gelisah. Membuat suaminya, Putra, yang tidur di belakangnya sambil memeluk pinggangnya posesif, terbangun karna gerakannya. “Kenapa, sayang?” Dia menatap istrinya yang menatapnya dengan wajah sedih. Tatapan coklat beningnya yang selalu bersinar itu, kini meredup sedih.
            “Pengakuan Lista buat aku shock, pah.” Dia menghela napas. Orang tua mana yang tak kaget ketika melihat anak gadisnya, yang dilihatnya selama ini baik – baik saja, ternyata menyimpan rahasia yang menyakitkan?

            Putra melepas pelukan pinggangnya dan menyalakan lampu lalu duduk menghadapnya yang masih berbaring. “Aku juga. Serasa gagal menjadi papah yang baik untuk dia.” Putra memandang pigura Lista yang diapit oleh kedua kakaknya waktu masih kecil. “Pantas saja dia berubah semenjak SMP itu menjadi tomboy. Aku awalnya heran kenapa dia berubah sedrastis itu mengingat, dia cewek banget. tapi aku gak nyangka kalau alasan dia berubah itu karna ini. Pantas saja waktu aku bertemu Adel beberapa waktu lalu, dia nitip pesan agar aku jaga Lista lebih erat lagi. Gak taunya...”

            Erza kini merubah posisi menjadi duduk dan bersandar di dinding. Dia menatap suaminya yang masih betah menatap foto ketiga anaknya. “Tatapan dia aku perhatiin kayaknya beda, Pah. Lebih redup. Seperti ... kehilangan.” Erza terdiam ketika kalimat terakhir itu meluncur mulus dari mulutnya. Dia dulu pernah merasakan kehilangan itu, kehilangan hingga membuatnya ingin pergi saja karna tak tahan.
.

            “Aku ada rencana, tapi aku gak tau apa ini berhasil, sayang. Karna semuanya tergantung dia mau atau tidak.” Putra kini menatapnya dan tersenyum miring. Mungkin ini satu – satunya cara.

            “Apa, sayang?”

            “Membawa Lista ke Jerman untuk tinggal dengan mama.” Rencana suaminya membuatnya terdiam.

            Pergi?
           
            “Sampai kapan kau membuatnya seperti melarikan diri?”

            Putra terdiam. itu semuanya terserah Lista. Dia tak tahan melihat kesedihan yang nyata setiap melihat matanya. Bukannya dia tak sayang hingga ingin mengusir Lista sejauh itu, tapi naluri kebapakan yang sangat menyayanginya  tak tahan melihat kesakitan anaknya, membuatnya mengambil keputusan ini.

            “Sampai... dia sanggup untuk kembali kesini lagi, sayang. Sampai waktu menyembuhkan dirinya.”


                                                                        ♥ ♥         


           
            Been lonely since the day. The day you went away.

            Entah sudah berapa kali dia menoleh ke belakang dan melirik kursi kosong itu. Kursi yang dulu ditempati oleh seseorang yang dicintainya tanpa sadar,yang selalu tersenyum setiap dia seperti ini lalu beranjak dari duduknya dan melangkah ke arahnya dan duduk di depan dengan posisi menghadapnya lalu memasang wajah menggoda. Membuatnya tertawa.

            Kenangan itu menusuk perih dalam dirinya. membuatnya tanpa sadar mengambil ponsel yang tersimpan kantong roknya, mencari nomornya kemudian menekan tombol call kesekian kalinya sambil mengucapkan harapan dalam hati agar tersambung. Namun, pil kekecewaan kembali ditelannya bulat – bulat.
            Ponselnya tak aktif selama beberapa minggu ini. Membuatnya ingin menangis saat ini juga.
            Dia menghela napas dan menekan tombol end call dengan berat lalu menutup matanya. Berusaha untuk mengenyahkan sosok yang menerornya kemanapun dia berada. Tapi, dia tak sanggup melakukannya. Terlalu sakit.
           
            “Lis...” pundaknya disentuh lembut membuatnya menoleh. Dia melihat Cindy dan Shabrina, sahabatnya berdiri cemas dibelakangnya. Dan dia tersenyum. “Iya, ada apa?”
            “Lo akhir – akhir ini melamun mulu deh. kenapa?” Shabrina duduk di depannya dan bertopang dagu menatapnya. Lista menatap kosong ke jendela dan melirik lapangan basket yang sedang dikuasai Jayden cs. Biasanya, saat – saat seperti ini dia akan duduk dengan terpaksa di kursi penonton paling depan, berpanas – panas ria hanya untuk menuruti keinginan Ando yang selalu mengancamnya tanpa tanggung - tanggung.
            Lista mendekatkan wajahnya di kaca dan menghembuskan napasnya hingga berembun. Dia menggerakkan jemari tangannya perlahan sambil menutup mata.

            “Sorry.” Kata – kata terakhir Ando sebelum meninggalkannya, terngiang lagi dan membuat air mata yang sedari tadi ditahannya, menetes membasahi pipinya.
            “Gue kangen... lo dimana?”

“semenjak itu, tak pernah kau beri kabar,
tak pernah kau beri aku sesuatu kepastian,
hatiku tak berdaya, oleh apa yang terjadi,

Sanggupkah aku berada disini.

Dimanakah kau ada...
rinduku takkan pernah sirna,
kekasih, ingat aku disini.

tertusuk oleh perih.
menjadi tak pernah ku dapat
namun ku kan selalu merindu.”

*Ratu – Dimana kau ada.

            Cindy langsung menarik Lista ke pelukannya ketika sahabatnya itu semakin terisak. Dia merasakan kesakitan Lista yang sama untuk kedua kalinya.

            Kesakitan ketika Dylan ternyata menipu sahabatnya dan mengambil apa yang berharga dalam dirinya, dan kepergian Ando yang tak disangkanya ketika pengakuan itu meluncur mulus dari mulut sahabatnya.

            “Kenapa dia ninggalin gue, Cind? Apa dia gak bisa terima keadaan gue? Oke, gue sadar diri dari dulu, jauh sebelum gue ketemu dia, gue gak pantas untuk dicintai. Tubuh gue terlalu kotor untuk itu. tapi kenapa, kenapa dia?” Lista menceracau di pelukan Cindy yang mengetat. Membuat sahabatnya harus mendongkakkan wajahnya keatas agar setetes air mata tak membasahi pipinya sekarang.
            “Dia mungkin butuh waktu, Lis.” Bisik Shabrina yang mengelus pundaknya lembut. Dia memang tak selama Cindy bersahabat dengan Lista, tapi cerita sahabatnya beberapa hari yang lalu tentang itu, membuatnya ikut merasakan apa yang dirasakan sahabatnya yang terisak dipelukan Cindy sekarang.

            Lista menatap Shabrina dengan tatapan terluka, “Butuh waktu... mungkin, untuk melupakan gue.” Jawabannya terdengar merenung. Membuat Cindy mengucek matanya berkali – kali agar tak ketahuan menangis dan menatap Lista.
            “Bukan meninggalkan, atau melupakan. Tapi menerima, Lista.”
            Lista menggigit bibirnya kuat dan menggeleng, “Gue gak tau,” dia melepas pelukannya, menghapus air mata yang masih menetes membasahi pipinya, dan menatap jendela yang masih ada bekas wajahnya lalu menuliskan sesuatu dengan jemarinya.

            Fernando Hayman.

            “Lo tau,” Lista terlihat merenung sambil menatap tulisannya dan tersenyum sedih ketika efek nama yang dulu sering dikutuknya itu, sanggup membuatnya begini. Hancur.
            “Gue terkadang menyesal dalam hati, kenapa dulu dengan bodohnya gue mau iyain taruhan kita kalau pada akhirnya, lo buat gue lebih jatuh dari sebelumnya.” Dia tersenyum pedih mendengar ucapannya sendiri.

            “Lo gak tau rasanya jadi gue, Ndo. Ditinggalkan ketika hati sudah terbiasa akan lo. kenapa gak dari dulu – dulu aja lo pergi? biar gue gak sehancur ini. Gue benci lo, Ndo”

Bila rasaku ini rasamu,
sanggupkah engkau, menahan sakit yang
terkhianati cinta yang kau jaga.

coba bayangkan kembali,
betapa hancurnya hati...,
kasih...,

Semua telah terjadi.

*Kerispatih – Bila rasaku ini, rasamu.


♥ ♥

            Jayden bersiul – siul menuju kelasnya, mendadak terhenti ketika melihat seseorang berdiri di samping pintu. seperti mengintip.

            Penasaran dan merasa kenal, Dia menepuk pundak temannya itu hingga membuatnya menoleh, “Kenapa lo disini seperti maling, Karen?”
            Karen kaget dan memberikan isyarat diam pada Jayden yang menatapnya dengan kening berkerut. Tingkah Karen sangat aneh dilihatnya. Seperti sedih.
            “Gue tau Ando dimana,” Ucapan Karen membuat keningnya semakin berkerut. Dia tau Ando dimana? Tau darimana?
            Seolah tau, dia menatapnya dengan tatapan lesu. “Bisa kita ngobrol ditempat lain? ada yang mau gue omongin.” Ucapnya dan Jayden mengangkat bahu lalu mengikutinya dari belakang menuju tempat yang enak untuk bicara.

♥ ♥

            “Gue baru tau, kalau kakak gue ternyata mantannya Lista waktu SMP dan gue gak nyangka, kakak yang gue sayangi, gue banggakan, yang melindungi gue, berubah sebejat itu.” Karen mengatakan itu sambil mengaduk – aduk minumannya dengan tak berselera. Mereka berada di kantin yang kebetulan sepi karna banyak yang masuk kelas dan dia dan Jayden sengaja bolos.
            Jayden mengangguk. Dia tau semuanya dari Ando yang menelponnya saat malam itu dan mengatakan dia berada di Villa dan menyuruhnya agar tak mengatakan ini kepada Lista. Awalnya dia menolak mentah – mentah dan memarahinya, tapi mendengar nada sahabatnya terdengar terluka, dia mengalah dan dengan bodohnya mengikuti kemauan Ando.
           
            Yang dia tak tau sekarang, kenapa Karen bisa tau?

            “Terus? Kakak lo berada dimana sekarang?”
            “Dia udah balik ke Amerika dengan wajah babak belur karna dihajar kakaknya Lista dan Ando. gue awalnya kaget kenapa kakak gue dihajar, setelah gue tau semuanya dari menguping pembicaraan Ando malam itu, gue serasa ditampar, Jay. gue merasa ogah punya kakak seperti dia. Bisa menjaga gue segitu kuatnya, tapi menghancurkan cewek lain tanpa ampun. Dan kalau lo tanya kenapa gue tau Ando dimana,” Dia menatap Jayden yang serius mendengarkannya, “Dia nelpon gue.”

            Ucapan terakhir itu membuat Jayden kaget. “Ando menelpon Karen? Cewek yang mengejarnya mati – matian? Bukannya menelpon Lista yang notabene gadis dicintainya? Dimana kewarasan sahabatnya itu?!” Jayden menyumpah dalam hati bila selesai dari sekolah, dia akan mendatangi sahabat sintingnya itu ke Villa dan menghajarnya agar otaknya kembali ke jalan yang benar.

            Seolah tau apa yang dipikiran Jayden, mau tak mau Karen tersenyum geli. “Gue sudah mengakui perasaan gue sama dia dan ditolak. Awalnya gue gak terima dan berusaha, berusaha untuk merebutnya lagi. Tapi, setelah tau kejadian ini, gue berpikir, mungkin perasaan ini bukan cinta, naksir atau sebagainya, tapi nafsu menggebu – gebu. Toh, kalaupun dia jadi pacar gue, gue belum tentu bisa seperti Lista yang kayaknya menerima apa yang dilakukan Ando. jadi, gue posisiin diri gue sebagai sahabat dan dia menerimanya.”
            “Yakin?” Entah kenapa, Karenina yang terlihat Dewi Perang di matanya, mendadak mundur teratur dan berubah menjadi Dewi Kebijaksanaan.
            “Sangat yakin, Jayden.” Karen menatap Jayden dengan serius.
            “Kapan lo ditelpon dia? Bagaimana suaranya waktu itu?”
           
            “Lelah. Hancur. dari suaranya gue tau gimana dia sekarang, Jay. malam tadi dia nelpon gue dan mengatakan dia berada di Villa suatu pantai entah apa namanya dan sengaja nelpon karna sinyal lagi bagus. Pas gue tanya kenapa dia malah nelpon gue, bukannya nelpon lo atau Lista. Dia jawab lo udah tau dan Lista... dia terdiam dan bilang gak sanggup. Gue sudah memberinya nasihat, sebagai sahabat tentunya,” Jawabnya ketika Jayden menatapnya penuh curiga. Takut kalau dibalik nasihatnya, ada hasutan terselubung. Tapi hatinya benar – benar mantap melepas Ando. “Dia bilang Lista gak usah dikasih tau. Anggap aja gue gak tau keberadaan dia. Gue bilang gak mau, dia memohon, Jay. itu yang gue gak bisa nolak. Gue baru kenal dia, tapi udah tau egonya tinggi dan mendengar dia memohon, membuat gue antara ingin menginjak harga dirinya atau menuruti keinginannya.”

            “Dan kita bodoh karna menurutinya,” Ucap Jayden membuat Karen nyengir.
           
            “Dan setelah itu, dia bilang apalagi?”
            “Dia bilang, jangan hubungi dia dan kalau dia telpon, kasih tau gimana Lista. Gitu aja sih. Setelah itu telpon putus, Jay dan sampai hari ini, gue gak ada kabar.”
            “Sama aja dengan gue.” Jayden berusaha menelpon sahabatnya daritadi sejak dia melihat Lista menangis di jendela. Membuatnya ingin mengomeli sahabatnya dan menyuruhnya balik.
           
            “Gue bingung harus bilang apa dengan Lista, Jay setelah ini. Gue ingin minta maaf karna secara tak langsung gue ikut menyakitinya, tapi gimana caranya? belum lagi perbuatan kakak gue yang gak bisa dimaafkan itu. dan gue antara ingin ngasih tau ke Lista dimana Ando atau hanya diam pura – pura gak peduli.”

            Jayden menatap Karen yang sendu itu dengan serius. “Nanti gue yang ngomong sama Lista. Kalau lo yang ngomong mengingat dia antipati, gue takutnya dia malah lebih hancur, Ren. Lo liat sendiri kan bagaimana dia ditinggal Ando?” Dan Karen mengangguk pelan, “Gue gak bisa bayangin kalau lo kasih tau ke Lista kalau Ando nelpon lo untuk ngasih tau dimana dia sekarang. Sekarang... karna kita berdua tau dimana cowok sialan itu berada,” Jayden memutar bola matanya dan Karen hanya tersenyum. “Bagaimana kalau kita bersekongkol untuk merahasiakannya agar tak ikut terlibat? Bukannya kita cuci tangan, hanya untuk tidak memperkeruh suasana aja.” Jelasnya sambil menunjuk jari kelingkingnya di depan Karen. Meminta saling bertaut.
            Dan Karen menautkan jarinya, “Gue setuju. Mari berdoa untuk sahabat kita yang satu itu agar balik kesini sebelum...” Dia terdiam. merasa ada hawa berbeda. Karen memang dianugerahi bakat untuk bisa merasakan siapa saja yang akan datang, dan yang pergi dari kehidupannya atau kehidupan orang disekitarnya. Dan ketika melihat Lista segitu hancurnya, dia merasakannya.

            “Sebelum apa, Karen?” Jayden bingung melihat Karen wajahnya seperti menerawang.
            “Tidak apa – apa.” Karen menggeleng. Mungkin ini perasaannya saja dan dia berharap,

            Ini memang perasaannya saja.

♥ ♥

            “Kamu kenapa?” Tanya Lyesha ketika melihat pacarnya, Bian terlihat merenung. Dia bingung ketika asyik – asyiknya santai di kostan karna hari ini tak mendapat tugas jaga, pacarnya menelpon dan mengajak jalan suatu tempat. Awalnya ingin menolak karna dia kelelahan berjaga sampai jam 6 pagi tanpa tidur, tapi mendengar suaranya terlihat sedih, dia mengalah dan mengikuti ajakan Bian yang ternyata membawanya ke sebuah restoran di daerah Valley. Restoran yang bisa melihat indahnya kota Bandung sekaligus dinginnya dari atas.
            Bian menatap pacarnya dan tersenyum. “Gak papa. Kamu kedinginan yah? bentar...” Bian melepas sweater kesayangannya dan memberikan ke Lyesha agar tubuh pacarnya itu hangat.
            Lyesha menggeleng dan sedikit terpesona karna selain wajahnya yang tampan di atas rata – rata, senyumnya yang maut, ternyata badannya bagus juga. Dadanya terlihat bidang karna Bian mengenakan kemeja polos dengan lengan digulung sampai siku dan dua kancing paling atas yang terbuka itu , sorot matanya yang tajam serta rambutnya yang diacak – acaknya, membuat wajahnya memerah karna beberapa pikiran konyol datang dan dia menggeleng. Berusaha mengusir dan menolak permintaan Bian. “Gak usah, aku tahan kok. kamu lebih penting dari aku, Bian.”
            “Lyesha...” Bian menatapnya. Membuat Lyesha mengerang dalam hati kenapa tatapan matanya yang melembut itu sanggup membuatnya lumer hingga menjadi air. “Aku gak mau kamu sakit. Ayo pakai. Aku gak papa kok.”
            “Gak, Bian.”

            Bian tersenyum dan berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arahnya dan berdiri di belakangnya, kedua tangannya mengulurkan sweaternya. “Pakai, Lyesha. Aku gak mau kamu sakit.”
            “Tapi...”
            “Ayolah, sayang.” Dia mengatakannya dengan suara menggoda. Membuat wajahnya memerah. “Cewek yang membuatku tergila – gila ternyata keras kepala juga, yah. jadi makin cinta deh.” Godanya sambil mendekatkan sweaternya. Menunggu untuk dikenakan.
            Dan dia menyerah. Dengan wajah memerah malu karna tingkah Bian yang romantis tak kenal tempat itu menjadi tontonan beberapa orang, apalagi beberapa cewek yang melirik pacarnya daritadi dengan wajah terpesona, dia mengenakannya dan anehnya, sweater itu membuatnya hangat.
           
            Bian tersenyum dibuatnya. Dia mendorong tubuh Lyesha ke arahnya dan mengecup puncak kepalanya yang tertutup oleh jilbab. “Makasih, sayang.” Dan Bian dengan tenangnya berjalan kembali ke posisi duduknya. Mengabaikan wajah pacarnya yang memerah malu.
            “Kamu kenapa?” Tanya Lyesha ketika melihat sekali lagi, sinar matanya terlihat sedih walau wajahnya tersenyum manis. Bian yang dikenalnya, yang dicintainya, sinar matanya selalu bahagia dan usil. Bukan yang didepannya sekarang. Seperti menyembunyikan lukanya sendiri.
            Bian menghela napas dan menatap makanan yang baru saja diantar pelayan. Dia menatap Lyesha, “Ayo kita makan, sayang. Aku lapar.”
            “Cerita dulu,” Lyesha memegang tangannya dan membuat Bian tersenyum sedih, “Aku gak bisa sembunyi kayaknya, yah.” Dia menatapnya dan tersenyum lalu mengelus tangan yang memegangnya dan mengecup jarinya satu persatu sambil menatap Lyesha yang memerah malu. “Aku akan cerita, sayang. Tapi sambil makan yah?” Dia mengedipkan matanya dan melepaskan tangan Lyesha darinya.

            Sambil makan, Bian menceritakan semuanya. Menceritakan penyesalannya, emosinya. Tanpa ada yang dia sembunyikan padanya. Dan Lyesha, serius mendengarkan ditemani matahari yang perlahan – lahan mulai menghilang dengan indahnya dari atas sini sambil mengenggam erat tangannya ketika cerita itu menyakitkan untuknya dan memberikan kekuatan agar pacarnya, tak terlalu jatuh dalam penyesalan karna merasa gagal.

♥ ♥
           
            Lista duduk daiam di atas balkonnya sambil memandang bintang – bintang di langit dan tangan yang memegang gitar. Dia bersandar di dinding dengan wajah mendongkak ke atas sambil memetik gitar. Sesekali dia melirik ponselnya dan tersenyum sedih bahwa itu harapan yang sia – sia.

            Cowok itu takkan pernah menelponnya.
            Kenyataan ini membuatnya sedih, sambil memetik gitar, dia menutup matanya.

“Heartbreak Lullaby,

I can almost feel you lying next to me,
Like it used to be,
And its hard to let go,
When there's always something there reminding me,
How things could be,”

        Lista terdiam. wajahnya merenung dan melirik ponselnya lagi. Jangan ditanya bagaimana usahanya melupakan Ando dan menganggapnya tak kenal kalau bisa. tapi dia tak sanggup, setiap dia menutup matanya, bayang – bayang Ando menari dibenaknya. Itu membuatnya terluka.

“I've tried to get you off my mind,
I've tried to play my part,
But everytime I close my eyes,
You're still inside my heart,

Why can't I laugh?
Why must I cry?
Everytime we say good - bye,

Why does it rain,
Here in my heart,
Everyday that we're apart,
Why can't it be,
Just you and me,
What will it take to make you see,
These are the words,

To my Heartbreak Lullaby.”

A*TEENS – Heartbreak Lullaby.


            Tanpa sadar gitarnya basah oleh air mata yang kini menetes membasahi pipinya. Dia menghapus pelan dan menggigit bawah bibirnya sendiri. sesak di dadanya semakin menggila hingga tak menyadari seseorang berdiri di belakangnya dan menyentuh pundaknya. membuatnya menoleh kaget.
            “Kak Rika?” Dia buru – buru menyentuh pipinya. Takut ada air mata colongan yang masih membekas.
            Erika hanya tersenyum sedih melihatnya. Namun ditutupinya agar Lista merasa bahwa dia tak melihat apa – apa. Tak melihat ada bekas air mata di pipi kanannya, tak melihat bahwa matanya memerah karna menangis entah sejak kapan, dan tak melihat ada genangan kecil di lekukan gitar kesayangannya. Dia tutup mata.
            “Gak kedinginan duduk disini, dek? Ntar sakit loh,” Erika duduk disamping Lista dan dia melihat sudut mata adiknya yang melirik ponselnya lalu menghela napas berat dan menatapnya.
            “Gak, kak. Eh, kak Bian mana?” Lista baru sadar bahwa seharian ini, kakak cowoknya tak terlihat sama sekali. Biasanya ada saja suara teriakan frustasi kakaknya yang sedang menyusun skripsi atau tertawa terbahak – bahak tanpa alasan jelas.
            “Biasa.. pacaran dengan Lyesha.”
            Lista hanya tersenyum. Dulu dia seperti ini. Setiap malam minggu jam 7 tepat Ando akan menjemputnya dan mengajaknya pergi. entah membawa Lily atau Cuma berdua naik motor atau naik mobil bila ingin. Mereka pergi kemana saja, entah pasar malam, entah pergi ke Taman, atau malah keliling kota Bandung dan berakhir di salah satu mall untuk makan. Jam 10 malam, dia harus berada dirumah kalau tak ingin papahnya menerornya. Yah, itu biasa saja, pada awalnya. Tapi di saat – saat seperti ini, dia ingin mengulangnya kembali. untuk dirinya sendiri. untuk mengobati hatinya sendiri.
            Melihat Lista terdiam, Erika mendesah, “Kita jalan yuk, dek? Kakak bosan dirumah nih.”
            “Bosan?” Elista yang awalnya menundukkan wajah, mendadak mendongkak, “Kak Mikail mana?”
            “Lagi keluar kota, dek. Kita jalan gimana? Ajak Ravina ama Akina gimana? Gue kangen nih ama kebawelan mereka.”

            “Kakak aja deh. Lista males jalan kak.”
            “Yakin?”
            “Ya...” Lista terdiam ketika ponselnya berdering dengan nada khusus. Dia tau di nomor siapa yang memasang musik Yiruma – Love hurts, tapi apakah...

            “Halo...” Secepat kilat Lista mengangkat ponselnya dengan seluruh tubuh bergetar. Dia merindukannya, sangat hingga rasanya tak ingin kemana – mana.
            “Ando?” Dengan suara bergetar dia menyebut nama si penelpon yang hanya diam membisu. “Ini lo, kan?” Tanyanya ragu. “Please, ngomong apa saja, bicara apa saja! Gue pengen denger suara lo!” Lanjutnya dalam hati.

            Tut... tut... suara telpon terputus membuat Lista menutup matanya dan meletakkan ponselnya ke lantai. Menahan sakit yang merajam hatinya. menahan air mata yang hendak membasahi wajahnya sekali lagi.
            “Elista,” Suara lembut kakaknya, elusan pelan di punggungnya menjanjikan kehangatan, membuatnya langsung memeluknya dan menangis sepuasnya di tubuh kakaknya yang harum. Melepaskan semua kesakitan hatinya.

            “Gue gak tahan lagi, kak Rika. Sumpah. Buat apa gue tinggal disini tapi satu udara dengannya, gue merindukannya setiap malam, kak, gue seperti orang gila menunggunya menelpon, mengatakan dia berada dimana, kak. Itu aja. Apa permintaan gue susah, kak? Apa itu susah?” Dia terisak di pelukan kakaknya yang mengetat. Dia kesal, sakit hati, marah. Kenapa cowok itu menelponnya, tapi pada akhirnya berujung membuat hatinya lebih terluka dari sebelumnya.


            “Kak,” Dia terdiam sejenak. Ingatan ucapan papahnya yang setengah membujuk untuk pindah dari sini terasa menggodanya. Baginya, dia tak ada gunanya disini lagi. Untuk apa? Hatinya sudah terlalu hancur untuk diberi harapan sekali lagi, lalu dihempaskan kasar. Dia tak punya kekuatan untuk membuatnya utuh. Satu – satunya cara adalah,

            Dia harus pergi. meninggalkan semuanya.

            “Gue setuju untuk pindah ke Jerman temanin nenek. Mulai minggu ini.” Ucapnya yakin di tengah pelukan kakaknya yang menegang.

            “Apa?”


            “APA?!” Bian berteriak ketika paginya, adiknya datang dengan mata bengkak seperti menangis semalaman, mendekati orang tuanya dengan wajah yakin dan langsung melempar bom tepat di depannya dengan mengatakan ingin ke Jerman menemani neneknya. Membuatnya tak habis pikir.
           
            Keputusan gila apalagi yang dibuat adiknya ini?
                       
            Papahnya, Putra langsung berhenti makan dan menatap istrinya yang kini menatap Lista. “Kamu yakin dengan keputusan kamu, sayang? Ini bukan keputusan mudah. Kalau kamu pindah, kamu harus mengulang semua pelajaran dari awal, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan berusaha menerima norma barat mereka yang terkadang bentrok dengan disini. Apa kamu siap dengan semuanya, sayang? Apa kamu memikirkan semua konsekuennya? Mama hanya tak ingin kamu salah ambil keputusan lalu menyesal.”

            Lista mengangguk kuat. Dia sudah sangat, sangat yakin dengan keputusannya. Kedatangan Dylan yang berujung menghancurkan semua hidupnya dan membuat Ando pergi meninggalkannya, membuat hatinya lelah untuk menghancurkan diri lagi, dan lagi. Dia ingin istirahat, menyembuhkan hatinya, dan berusaha menjadi dirinya yang dulu. Hanya itu keinginannya. Dan kepergiannya, adalah keputusan terbaik untuk mendapatkan apa yang dia impikan.
            “Lista yakin, ma, pah.”
            “Dek... ini bukan keputusan mudah loh. Gue tau lo gak pernah betah tinggal di Jerman. Jangan tersinggung loh, pah. Nenek sangat konservatif pisan.” Bian buru – buru menambahkan ketika papahnya melirik dengan tatapan tajam. Dia sudah pernah tinggal disana sebulan saat libur semester yang lalu dan buru – buru pulang karna tak tahan batin menghadapi kecerewetan dan kegilaan nenek cantiknya itu.
            “Itu mah alasannya lo aja karna nenek tinggal di pedesaan yang kiri kanan, muka belakang, hanya lapangan kuda dan kebun Anggur yang indah. Lo kan ngayalnya ketemu cewek cantik disana, bukan liat kuda poni berseliweran.” Erika tertawa melihat Bian manyun. Dia sangat menyukai nenek Jennifer, nenek yang paling cantik pernah dilihatnya walau sudah berumur 70 tahun, tatapan matanya yang persis seperti papahnya selalu berpendar ceria setiap menyambut cucu – cucunya, kemudian mengajaknya barbeque di kebun Anggur dan taman Puzzle yang indah di belakang rumah. Udara yang segar, kuda poni kesayangannya, dan keindahan taman membuatnya betah tinggal di sana. Saking betahnya, dia mengiyakan dengan mudahnya ketika neneknya berkata bahwa ingin melihat salah satu cucunya menikah di rumahnya, di tamannya yang indah itu. mengkhayal seperti itu, membuatnya memerah seketika.
            Lista tertawa mendengar pertengkaran kedua kakaknya. Wajah kak Erika yang memerah karna digoda kak Bian, dan senyum menggodanya membuatnya tersenyum. Dia melirik mamanya yang rupanya memperhatikan ekspresinya. dia mengangkat bahu sedih. Hanya mamanya yang tau isi hatinya sekarang setelah dia menangis di pelukan mamanya di tengah malam buta karna tak bisa tidur dan duduk merenung di depan piano. “Kak Bian, gue serius loh pergi ke Jerman. Toh nenek kasian, perlu ditemani. Gue kan cucu yang baik. Gak kayak kakak.”
           
            “Iya, lo itu cucu durhaka, Bian.” Erika menyambung ucapan Lista dengan pedas. Membuat Bian tersedak mendengarnya. “Seganteng gue dibilang cucu durhaka?” Bian menatap kakaknya dengan wajah terluka. “Lo bikin hati gue remuk hingga menjadi butiran debu, kak.”
            “Emang gue peduli?” Jawabnya acuh dan melirik Lista yang tertawa.
            Kedua orang tuanya tertawa mendengar ucapan Bian. papahnya mulai mencairkan suasana dengan melempar ejekan balasan padanya. cowok itu hanya nyengir kuda dan membisiki Lista yang sedang menyuap makanannya, “Kita ngobrol nanti di belakang.”
            Elista hanya mengangguk dan tersenyum. Tanpa melirik kakaknya, Erika memperhatikan mereka dengan kening berkerut.

♥ ♥

            “Melarikan diri?” Bian menyuarakan apa yang dipikirannya ketika mereka selesai sarapan. Dan Lista yang duduk menghadapnya sambil mengelus burung merpati peliharaannya, hanya mengangguk sedih.
            “Gue gak sanggup lagi, kak. Tiap hari, tiap detik, gue melirik ponsel seperti orang gila karna berharap dia menelpon gue, kak. Berharap dia ingat gue. Tapi nyatanya apa?” Dia mendesah dan membiarkan Sparrow, nama burung merpatinya yang dibelikan Ando lepas dan terbang menjauhinya. “Dia tak ada menghubungi gue. Dan kehadiran Dylan, gue gak sanggup kak. Kehadiran Dylan dengan kenangan buruk membuat gue retak kak, tapi kepergian Ando,” Dia terdiam dan menatap kakaknya dengan sedih. “Buat hati gue hancur tanpa sisa, kak. Gue gak sanggup menghancurkan diri sendiri lagi, dan lagi hanya karna harapan semu. Please, kak. Ijinin gue pergi. gue lelah.” Lista menundukkan wajahnya dan membuat Bian berdiri dari ayunannya dan memeluk Lista dengan sayang.
            “Kalau lo pergi, apakah lo bakal balik kesini, Lis?” Tanya Bian pelan sambil menundukkan badannya dan mencium puncak kepala Lista yang kini terisak di pelukannya. Terisak kesakitan hingga membuatnya mengeryit tanpa sadar. Serasa ada yang sakit saat mendengar isakannya itu.

            Hatinya.

            Lista terdiam. dia tak memikirkan dan tak mau memikirkannya. Baginya, dia pulang buat apa? Untuk membuatnya hancur lagi? Tidak. Dia takkan pernah pulang lagi.


            Jerman akan menjadi kotanya terakhir melarikan diri, dan dia akan menetap.

            Selamanya.

            “Gue gak bakal pulang, kak.”

♥ ♥

            “Lo bodoh!” Karen berteriak di ponselnya dengan nada emosi. Dia tak peduli bahwa yang diumpatnya sekarang adalah mantan gebetannya sekarang. “Lo nelpon Lista, kemudian lo matiin hanya karna sudah puas mendengar suaranya? Mati aja lo sana!”
            “Gue gak sengaja.” Ando mendesah. Entah kenapa dia tak punya kekuatan lagi untuk menangkis sumpah serapah Karen di seberang sana. Menyumpahi ketololannya menelpon Lista, lalu saking gugupnya tanpa sadar tangannya menekan tombol end. Dia berusaha menghubungi berkali – kali. tapi telpon itu tidak pernah aktif lagi.

            Sampai hari ini.

            “Kenapa lo nelpon dia, Ndo? Berubah pikiran untuk pulang?” Karen melemah ketika mendengar nada Ando sedih dan tak ada semangat hidup. Dia terlalu terbawa emosi hingga memarahinya tanpa tanggung – tanggung.
            “Gue merindukannya. Tapi gue gak sanggup muncul, Karen.”
            “Tingkah lo seperti ini malah buat dia merasa lo gak bisa menerima keadaan yang sebenernya, Ando. Gue cewek, biar gue pernah jahat begini sama dia, tapi siapapun yang melihat dia nangis kemarin sambil nulis nama lo di jendela kemudian menatapnya seolah – olah lo berharga itu, pasti akan merasakan sakitnya, Ando. saran gue, mending lo pulang. jelasin semuanya kenapa lo pergi, jelasin isi hati lo yang menerima dia apa adanya, sebelum semuanya terlambat, Ando. sebelum lo tak bisa memperbaikinya lagi.”
            Dia terdiam. dalam hati membenarkan setiap ucapan Karen. Dia memang harus pulang. Menjelaskan semuanya. Seharusnya itu yang dilakukannya dari dulu. Tapi entah kenapa, setiap dia memikirkannya, dia tak bisa melakukannya. Dia tak sanggup melihat wajahnya.
            “Ando... lo masih idup, kan?” Suara Karen membuyarkan lamunannya. “Iya, gue masih idup kok.”

            “Ando..” Karen menghela napas. Perasaan itu hadir lagi. “akan ada yang pergi.” Bisiknya dalam hati. “Pulang atau lo akan kehilangan dia.” Selesai berkata begitu, dia memutuskan telponnya. Membuat Ando bingung. Mendadak batinnya tak tenang.

            Pergi?
           
♥ ♥

I feel like our world's been infected
And somehow you left me neglected
We've found our lives been changed

Babe, you lost me.”

*Christina Aguilera – You Lost Me.

            Hari ini dia akan pergi. yah, setelah percakapan dengan kedua orang tuanya dua minggu yang lalu tentang kepindahannya, dia sibuk mengurus paspor dan visanya, surat pindah sekolah, dan tetek bengek lainnya. Sedangkan kedua orang tuanya sibuk mencari SMA terbaik di Jerman untuknya nanti dan dia sudah menjalani serangkaian test lewat situs sekolahnya dan diterima. Kedua temannya baru dia kasih tau kemaren malam setelah pengumuman dia diterima di sekolah itu. hanya mereka berdua yang tau dia pergi.

            Minggu depan dia akan bersekolah disana, memulai hidup barunya sebagai Elista yang baru dan hari ini,

            Dia pergi.

            “Listaaaaa...” Teriakan kakaknya, Erika membuyarkan lamunan. Dia memeriksa  isi koper terakhirnya dan menghela napas. Jujur, dia benci pergi. sangat membencinya. Tapi ...

            Dia harus melakukannya. Demi hatinya.
           
            “Bentar kak. Sebentar lagi.” Lista balas berteriak dan tiba – tiba matanya melirik ponsel yang di atas ranjang. Dia mendesah sedih dan mengambilnya. Dia sengaja mematikannya saat Ando menelponnya lalu memutus secara sepihak disaat harapannya terbang tinggi, dan dia mengaktifkannya lagi beberapa hari kemudian.

            Entah apa yang dilakukannya, dia mencari kontak nama itu, kemudian mengetik sebuah pesan dan akhirnya terkirim.

            Yah, sms terakhir darinya. Dan takkan pernah ada lagi dirinya di hidup cowok itu.
            Begitu juga dirinya.

            Lista mematikan ponselnya, mengambil sim cardnya, dia menutup mata dan mematahnya menjadi dua. Kemudian dibuangnya ke bak sampah dengan tatapan tak terbaca.

            “Good bye, Lullaby.”

♥ ♥

            Ando memutuskan pulang hari ini dan menemui Lista. Dia akan menemui ceweknya dan mengatakan kalau dia mencintainya. dia menerimanya apa adanya dan menyadari ketololannya pergi tanpa pesan.
            Dia mendengar ponselnya bergetar ketika sedang membereskan pakaiannya terakhir di lemari sebelum pulang. Dia mengambilnya, membuka isi pesannya dan langsung berlari keluar Villa, ,mengunci pintunya dengan terburu – buru dan langsung berlari ke mobil. Dia menjalankannya dengan tenaga penuh.

            Tidak, tidak. Lista tak boleh pergi meninggalkannya disaat dia yakin dengan keputusannya.

            “Lo gak boleh pergi, Lista. Lo harus disini. Tak ada lagi yang boleh pergi setelah ini.” Bisik Ando pelan sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan gila – gilaan.


            “Gue mencintai lo, Elista.”

           
            By : Lista my girlfriend (Wannabe).
           
            Ando, di saat lo baca sms gue ini. Mungkin, ini adalah yang terakhir gue sms lo. gue pergi ke Jerman. Sekolah disana, kuliah disana, dan tinggal disana. Kalau lo tanya kapan gue pulang, gue takkan pernah pulang lagi, Ando. gue terima keputusan lo pergi tanpa pamit dalam kehidupan gue, karna gue pun sadar, sebelum bertemu lo, gue tak pantas mendapatkan cinta sekali lagi dengan kondisi seperti ini. Makasih karna dulu lo mau menjadi pacar kontrak gue selama 8 bulan, makasih udah memberikan warna dalam hidup gue, makasih karna lo memberikan apa yang dari dulu gue inginkan, walau semuanya terlambat untuk gue sekarang.

            Sebelum semuanya benar – benar berakhir, boleh, kan gue ngomong satu hal? satu kata yang mungkin, gue gak akan dengar jawabannya dari lo karna mungkin saat itu gue udah berada di atas awan, tapi, biarkan gue mengatakannya. Sekali saja. Agar gue tenang menjalani kehidupan gue yang baru tanpa kehadiran lo lagi.


            Can i say, I love You?

♥ ♥

            Waktu serasa lambat berjalan. Lista sudah tiga jam yang lalu berada disini, di Bandara Soekarno – Hatta di pintu kepergian Luar negeri  untuk menunggu penerbangan ke Jerman dengan transit melalui Malaysia. Kedua orangtua dan kakaknya sudah pergi meninggalkannya. mereka akan menyusulnya minggu depan.

            Dia mendengar suara announcer mengucapkan kode pesawatnya dan dia bergegas menarik kopernya, kakinya melangkah menuju dua penjaga untuk mencheck tiketnya hingga...
            Dia merasa ada yang memanggilnya. Suara itu. suara yang dirindukannya hampir sebulan ini, yang menghilang tanpa jejak dan meninggalkan luka menganga di hatinya, kini terdengar jelas di belakangnya. Memanggil namanya dengan nada suara yang sama, kesakitan yang sama.
           
            Tapi, mungkinkah itu dia? Atau hanya ilusi yang bermain di kepalanya?

            “Elista...” Dia terhenyak ketika suara itu mendekat dan semakin terasa nyata untuknya. Dia  perlahan mundur dari dua penjaga itu. namun tak berani menoleh ke belakang. “Ini gue, Ando.”

♥ ♥

“Just one more times,
one more moment,
to take you in my arms.”
           
            Ando merasakan Lista berhenti di tempat ketika dia memanggilnya. Dia mendekati gadis itu perlahan. Oh Tuhan, dia sangat merindukannya.

            Dan menyesalinya.

            “Elista.. “ perlahan dia menarik lengan Lista tanpa perlawanan dan membawanya ke pelukan. Dia memeluknya erat.
            Suara Announcer itu terdengar lagi. Mengucapkan kode penerbangan dan tujuan perginya. Ando menghela napas dan merasakan air mata Lista membasahi bajunya sekarang.
            Lista menangis di pelukannya. Entah sejak kapan.

            “Jangan pergi, Lis. Gue minta maaf karna pergi malam itu. tapi bukan berarti gue tak terima keadaan lo. gue terima, Lista. Gue terima lo apa adanya. Please, stay here. Don’t leave me.”

            Dia merasakan pelukannya mengendur dan Lista menatapnya dengan mata yang memerah dan air mata yang masih menetes. “Good bye, Ando.”
           
            “Gue mencintai lo, Lista. Apa adanya.” Ando menatapnya dan Lista balas menatapnya dengan senyum yang terlihat pedih.
           
            Good bye, Ando. Jangan tunggu gue. Gue takkan pernah pulang. Makasih untuk semuanya.” Dia tersenyum sedih dan mencium pipinya. Ando bisa merasakan pipi Lista yang basah ketika menciumnya.

            I Love You, Elista.” Dan dia langsung memeluknya kemudian menciumnya. Untuk terakhir kalinya. Sebelum dia sadar bahwa esok harinya, dan hari – hari selanjutnya.

            Dia akan patah hati yang amat sangat karna kehilangannya.

One more chance,
One more kiss,
before i wake to find you go,

One more time,
before i have to face another day

And my heart breaks ...

Again.”

*kenny G ft Chante Moore – One More Times.

♥ ♥

            Seandainya kau tau arti kata “Selamat tinggal” dan “sampai jumpa” itu berbeda, Masihkah kau mengucapkan “selamat tinggal” sedangkan aku berharap kau mengatakan “sampai jumpa”?

“I’m sitting here,
Thinking about,
How i’m gonna do without
You around in my life.”

Ando duduk terdiam di depan piano putihnya. Lista telah pergi. yah, dia menciumnya di Bandara, memeluknya erat, mengatakan tiga kalimat sakti itu, tapi tetap saja,

            Lista pergi meninggalkannya. meninggalkan hatinya yang patah ketika melihat gadis itu menatapnya dalam setelah dia menciumnya dengan seluruh perasaan yang ada dihati, lalu menarik kopernya dan memasuki ruang keberangkatan dan melambaikan tangannya sekali lagi sebelum akhirnya,

            Menghilang dari pandangan matanya.

            Ando mendesah. Hatinya sakit. Yah, sakit. Begini rasanya kehilangan. Begini rasanya ditinggalkan.

            Dan dia tak tau, apakah setelah ini, dia akan masih bisa merasakan perasaan cinta itu atau malah menunggunya pulang.
Show me the meaning of being lonely,
it is the feeling i need to walk with?,
tell me why i can’t be there where you are,

There’s something missing in my heart.”

* Backstreet Boys – show me the meaning.

♥ ♥

            Lista terdiam sambil menatap awan melalui kaca pesawat. Disampingnya, Steven Raveno, sepupu jauh dari pihak papahnya, tertidur pulas di sampingnya. Cowok itu tau kepergiannya ke Jerman dan entah alasan apa, tiba – tiba ijin kuliah sementara dari Universitas terkenal di Malaysia dan menunggunya untuk pergi bersama ke Jerman. Yah, berdua dengan Steven. Yang tau masa lalunya, dan tak mempedulikannya. Bahkan berdiri disampingnya dan menguatkan hatinya.

            Dia teringat dengan Ando. cowok itu menciumnya lama seolah tak ingin berpisah. Seolah ingin menghentikan waktu kalau bisa. dan dia, dengan keras kepalanya, tetap pergi meninggalkannya yang terdiam dan melepaskan pelukannya lalu membiarkannya berjalan masuk ke ruang keberangkatan dan membalas lambaian tangan terakhirnya sebelum dia benar – benar pergi.

            Oh Tuhan... Lista meneteskan air mata ketika teringat ucapan Ando yang mengatakan dia mencintainya, dia menerimanya apa adanya. Seandainya cowok itu tau betapa dia sangat bahagia hingga hampir memeluknya erat. Tapi, dia tak bisa.

            Sama sekali tak bisa. dia butuh diyakinkan.

            “Ando...” Dengan isak pelan tanpa suara dia memanggil namanya. dia melirik Steven yang menggenggam tangan kanannya erat. Wajahnya tetap sangat tampan walau dia tertidur. Seluruh kecantikan mamanya, Jihan Vexia dengan mata biru lautnya yang berpendar indah seperti berlian, dengan sorot mata lembut dan tutur kata halus, dan ketampanan papahnya dengan wajah khas Indonesia yang sekarang menjadi Psikiater terkenal, Nanda Raveno.  ada di setiap sudut wajahnya dan membuatnya sangat tampan hingga mendekati cantik.
            “Kalau gue sanggup, gue akan pulang. Tapi..” Dia terdiam. untuk yang ini. Dia tak berani berharap. Dan dia juga pesimis bisa melakukannya.

            “Maukah lo menunggu gue selama yang gue ingin? Gue janji, kalau lo menunggu gue, gue takkan pernah pergi lagi, Ando. dan...” Dia terdiam. seolah ada yang hendak disampaikannya daritadi.


            “Gue juga mencintai lo, Fernando Hayman.” Jawabnya pelan di dalam pesawat yang membawanya pergi ke Jerman untuk melanjutkan hidupnya. Seperti yang dia inginkan. Dengan Steven yang entah kenapa. Dia merasa akan ikut merubah hidupnya.



THE END.

3 komentar:

  1. keren bangetr kax cerbungnya ,mau banget punya pacar kaya ando

    BalasHapus
  2. Aku berterimakasih karna cerita ini yang pertama kali aku baca tahun 2013 yang bikin aku jadi seneng sama novel sampai saat ini, dan gara gara kemarin buka buka yang diikuti di wattpad ketemu nama kaka jadi flasback terus nyari nyari cerita ini untung masih ada dan tetep terbaik sukaa

    BalasHapus
  3. Udah 4 kali baca ulang dari part1 smpe tamat, tetep mewek

    BalasHapus