Jumat, 15 November 2013

Be Yours?! DAMN! Part 14 - Breakaway



Bayangan Ando mencium pipi Karen, menyambut suapan kue yang di arahkan padanya, dan tertawa bersama sambil membalas mencolek pipinya, membayanginya. Lista mendengar Ando berteriak padanya. Menyuruhnya berhenti lari. Tapi dia tak bisa. hatinya entah kenapa sakit. Serasa ada yang pecah dan jatuh berkeping – keping di sini. Di hatinya.
            “Elista! Please, dengarin gue!” Ando terus saja berteriak memanggilnya. Menyuruhnya berhenti lari. Namun cewek itu serasa menutup telinganya dengan sesuatu tak terlihat olehnya dan terus berlari. Bayangan ketika Lista terperangah dan menjatuhkan apa yang dipegangnya membayanginya. Entah kenapa, dia merasa ikut sakit.
            “Lari kemana dia?” Ando berhenti lari karna kecapekan dan memicingkan mata. Mencari – cari keberadaan Lista di pantai yang sepi dan gelap.
            Ando menengadahkan kepalanya ke atas. Menatap bintang – bintang yang berkerlap – kerlip di langit malam. Dia menutup mata, menghela napas lelah.
            “Elista, lo dimana? Please, sorry...”

♥ ♥

            Karen tak henti – hentinya tersenyum ketika melihat Lista berlari ketika melihatnya bermesraan terang – terangan dengan Ando. bisa dipastikan mereka berantem hebat di luar dan akan putus. Jika hal itu terjadi, Tak sabar rasanya dia mendekatinya lebih keras lagi, memberikan segenap perhatian yang jarang dia berikan pada cowok – cowok lain, dan  membuat cowok itu jatuh dalam pesonanya, kalau perlu dibuat menyesal kenapa memilih Lista.
            Karen melihat ponsel Ando yang berkedip di atas meja. Dia berjalan memutari ranjang dan mengambil ponselnya. Dia melihat foto Lista berdua dengannya yang terpampang jelas di layar utama ponsel Ando. membuatnya menggemeretakkan giginya dengan jengkel. Dan ketika dia hendak menghapusnya, mendadak pintu kamar terbuka dan Karen langsung meletakkan ponselnya di tempat semula dan memasang wajah penuh menyesal. Padahal dalam hati bersorak gembira.
            “Gimana?” Tanyanya ketika Ando masuk lalu duduk di tepi ranjang dengan wajah frustasi. Karen langsung memanfaatkan momen itu dengan ikut duduk disampingnya dan menepuk pelan pundaknya. seolah dia ikut sedih. “Semoga mereka berantem tiap hari, jadi gue bisa kayak gini tiap hari.” Harapnya dalam hati.
            “Gue gak tau dia lari kemana. Gue udah ikutin dia, Cuma tuh anak lari cepat banget. mana gelap lagi! Khawatir gue...” Ando menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia frustasi sekarang.
            “Udahlah... nant ...” Ucapannya terhenti ketika mendengar hujan turun dengan deras. Ando langsung membuka matanya dan melotot ke arahnya.
            “Hujan?”
            “Iya, Ding.. Eh, lo mau kemana, Ndo?” Karen kaget tau – tau cowok itu berdiri dari duduknya, mengambil selimut tebal dan buru – buru keluar kamar.
            “Gue mau nemuin Lista! Kasian dia kedinginan!” Teriaknya dari luar. Dan entah kenapa, balik lagi, “Nanti bantuin gue jelasin sama dia tentang kejadian sebenarnya, Oke?” Ucapnya. Sebelum dia sempat menjawab, Ando menghilang dari balik pintu.

            Karen berdecak kesal sambil menghentakkan kakinya. Wajahnya masam. “Sial! Sial!”

♥ ♥

            Lista mendengar Ando memanggilnya. Namun dia memutuskan tak menoleh. Dia terus dan terus berlari tanpa tau arah. Hingga dia kelelahan dan memutuskan berhenti. Ketika dia menoleh ke belakang, Ando tak lagi mengejarnya. Bahkan suaranya tak terdengar lagi.
            Lista langsung lemas terduduk di hamparan pasir sambil memegang dadanya. Dia merasa sakit sekali. Seperti ditusuk – tusuk oleh ribuan paku tak terlihat. Air matanya tak berhenti membasahi pipinya.
            “Kenapa...” Lista berkata sendiri sambil memegang dadanya. Dia tak tau kenapa perasaannya sakit ketika melihat kejadian itu. Seharusnya dia cuek saja, tak usah peduli. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Dia merasa seperti di khianati secara terang – terangan dimana dia sudah bisa mempercayainya. Menjadikannya sebagai kekuatan, pondasi, dan tiangnya. Namun, hal itu langsung ambruk seketika. Tak bersisa. Dan puing – puingnya, berserakan, menyakitinya.

“perih yang menghujam, di sanubariku.
hancurkan keyakinan, yang menjadi kekuatanku
aku jatuh lagi, sekali lagi jatuh
untuk sekian kali, namun kali ini, aku galau.”

·         Titi DJ – Galau.

            Rintik – rintik hujan mulai membasahi tubuhnya. membuat udara semakin dingin dan dia menggigil. Entah kenapa, Lista membiarkannya saja. Otaknya terlalu mati untuk memerintahkan dia pergi dari sini dan berteduh ke tempat yang menghangatkannya.
            Tiba – tiba, ada sehelai kain tebal melingkupi tubuhnya yang mendingin. Membuat Lista mendongkakkan wajahnya yang daritadi bertelungkup diantara kedua lututnya. Dia melihat Ando duduk di depannya. Menatapnya.
            “Lis..”
            “Seharusnya gue gak usah cemburu liat lo sama Karen. Gue kan bukan pacar lo. gue Cuma PACAR KONTRAK yang bodoh karna terlalu terbawa suasana hingga tak sadar diri ama status sendiri.” Lista menekankan kata “Pacar kontrak” dengan jelas. Membuat batasan yang tak terlihat, namun terasa keberadaannya.
            “Lo gak bodoh, Lis. Gue gak tau kenapa..”
            “Tinggalin gue sendiri, Ndo. Gue gak mau dengar alasan lo.”
           
            “Lis..”
            Lista menatapnya. Dan Ando bisa melihat air mata yang terus menetes membasahi pipinya. Ando menggerakkan tangannya dan menghapus air mata yang terus mengalir, namun ditepisnya, “Pergi.”
            “Gue akan pergi kalau lo juga ikut. Disini hujan, Lista. Nanti lo sakit.”
            “Gue sakit atau tidak, bukan urusan lo, Ando. pergi.”
            “Oh yah?” Ando mulai merasa kesabarannya menipis. Membuatnya menghela napas. Berusaha sabar lebih lama lagi. “Itu akan jadi urusan gue.”
            “Mending lo urusin ulang tahun lo yang tertunda itu dengan KAREN.  Gue gak papa. Udah sana pergi!” Lista mendorong Ando dengan kasar dan menghempaskan selimut tebal yang melingkupi punggungnya ke hamparan pasir dan berdiri. Setengah berlari menembus rintik – rintik yang semakin lebat.
            “ELISTA!” Ando habis kesabaran sudah. Dia menatap Lista yang berlari dan cewek itu menoleh. Kedua matanya memerah karna menangis. Air mata tak henti – hentinya menetes. Sejenak, mereka saling bertatapan, yang satu sesegukan, yang satunya berjalan pelan mendekatinya, menggenggam kedua tangannya, “Gue hanya ingin merayakannya sama lo, Lista. Bukan sama Karen. Dia hanya teman gue.”
            “Teman yang mesra buat lo! Udah, gue mau pergi. jangan ikutin gue, atau...” Lista terdiam. Dia menatap Ando yang masih berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan, “Please, ijinin gue untuk jelasin semuanya.” Namun Lista pura – pura buta dan tak melihat tatapan itu. “Gue akan pergi sampai lo gak bisa temuin gue lagi.” Ucapnya dan bergegas berlari. Meninggalkan Ando yang terdiam.

            Entah kenapa, dia memilih tak mengejarnya. Ada sesuatu dalam hati yang menahannya. Perasaan takut mendengar ancaman itu mengingat Lista tak pernah main – main dengan ucapannya.
           
♥ ♥

            Lista masuk dalam kamar dengan tubuh basah kuyup. Hujan yang lebat membuatnya seperti kucing tercebur di sungai, mata yang sembab tanda dia menangis sepanjang perjalanan. Membuat kedua temannya yang dibangunkan paksa olehnya, mendadak melek.
            “Lo kenapa, Lis?” Tanya Shabrina dengan rambut acak – acakan, duduk di tepi ranjang ketika Lista hanya  menatap mereka dengan tatapan kosong. Napasnya terlihat berat, wajahnya seperti menahan kesakitan.
            “Lo kemana aja jadi kehujanan? Dan lo tad...” Cindy terdiam ketika tau – tau Lista jatuh ke lantai sambil memegang dadanya dan mendadak susah bernapas, asmanya kambuh.
            Cindy berteriak panik dan langsung turun untuk membopong Lista ke ranjang, dibantu oleh Shabrina karna tubuhnya yang mendadak berat dan kaku. Lista terus memegang dadanya, air matanya menetes semakin deras sambil mencoba bernapas. Cindy langsung turun dari ranjang dan membongkar tas Lista, mencari inhaler gadis itu dan mendekatkannya ke hidung Lista. Membantunya bernapas.
            “List.. Gue panggilin Ando yah, bentar.” Namun gerakan Shabrina terhenti ketika Lista mengerang tertahan. Dia menatapnya dan melihat penolakan sangat kuat di mata Lista.
            “Jangan panggil dia.” Ucapnya terbata – bata sambil memegang dadanya yang serasa ingin pecah saking sakitnya. Dia tak bisa bernapas. Inhaler tak cukup membantunya.
             “Tap...”
            Cindy merasakan ada sesuatu yang disimpan Lista dari mereka hingga asmanya kumat. Seingatnya, terakhir Lista kumat adalah saat dia bersama Dylan, hari itu. Membuatnya harus dirawat kerumah sakit saking parahnya. Dan kedua kakaknya, apalagi Bian, geram luar biasa dan hendak menghajarnya kalau tak cepat – cepat ditahannya.
           
             “Gak usah, Shab. Ntar aja.” Cindy membela Lista sambil menggenggam tangan Lista yang sangat dingin itu dan Shabrina pun menurut.

           
            Hampir 15 menit Lista berjuang untuk bernapas normal. Akhirnya dia bisa dan tubuhnya berangsur – angsur tak tegang lagi. Seolah seluruh peredaran darah terhenti dan bertahan di satu titik. Kedua sahabatnya menghela napas lega dan Shabrina langsung memberikan teh hangat yang dipesannya pada Lista yang bersandar di ranjang. Hujan semakin deras saja. “Nih, minum dulu.” Ucapnya dan Lista menurut sambil memegang gelas dengan erat dan merasakan hangatnya membasahi tenggorokannya.
            “Makasih.”
            Shabrina tersenyum. “Lo mau mandi sekarang? Harinya dingin banget nih. Gue takutnya lo sakit, Lis.”
            Lista menggeleng. Dia tak sanggup mandi setelah mengalami asma dan kelelahan yang luar biasa. “Gak usah. Gue mau ganti pakaian aja, terus tidur.” Ucapnya sambil mencoba berdiri, namun kepalanya yang masih pusing membuatnya harus dipapah Cindy yang duduk disampingnya, membantunya berjalan ke arah koper dan mengambilkannya pakaian tidur. Lalu mengarahkannya ke kamar mandi untuk berganti pakaian

            Lista berganti pakaian dengan cepat. Dia keluar dan langsung dipapah Cindy kembali menuju tempat tidur. Entah kenapa, tubuhnya langsung mengurai kelelahan di tempat tidur. Tanpa mengucapkan terima kasih pada mereka yang membantunya, Lista langsung tertidur. Seperti dibius.

            Cindy dan Shabrina memperhatikan Lista yang sedang tidur. Kedatangan sahabatnya dengan wajah sedih dan langsung asma, membayangi mereka. Cindy menyelimuti Lista dan melirik Shabrina. Wajahnya terlihat kebingungan.

            “Kira – kira kenapa yah?” Tanya Cindy dan Shabrina angkat bahu. “Gak tau. Mending kita tanya dia esok pagi aja.” Usulnya sambil merebahkan diri. Sedetik kemudian, dia tertidur. Meninggalkan Cindy yang terdiam menatap Lista yang pulas tertidur. Entah apa yang mendorongnya, Cindy mengambil ponselnya dan mengetik pesan. Sesudah pesan itu terkirim. Dia mencoba tidur disamping Shabrina.

            For : Ando.
            “Lista pingsan, asmanya kumat saat masuk ke kamar. Gue berharap dia begitu bukan karna lo bikin ulah hingga dia begini, Ndo. Gue tau Lista. Kalau sampai asmanya kumat, berarti kesakitan yang ditanggungnya sangat berat hingga tubuhnya drop.”


♥ ♥

            Pagi yang cerah membangunkan Ando dalam tidurnya. Dia tak bisa tidur ketika mendapat pesan dari Cindy tentang kumatnya asma Lista. Dia baru tau gadis itu mempunyai penyakit asma karna dia tak pernah bercerita. Sms Cindy entah kenapa membuatnya tertohok ke dalam jurang penyesalan semakin dalam. Mengingat itu, dia menghela napas berat.
            “Kenapa lo? bangun pagi udah pasang wajah stres.” Jayden yang baru selesai mandi, bertelanjang dada di hadapannya sambil menggaruk kepalanya yang basah. Dia ingat bagaimana Karen, cewek yang terang – terangan mengejar Ando tertidur di kamar mereka karna menunggu sahabat sintingnya yang satu ini pulang. Kalau saja dia tak mengusir Karen secara halus agar balik ke kamarnya, entah apa yang dilihat Ando nanti. Melihat pose tidur Karen yang sangat menggodanya untuk ukuran cowok normal seperti dirinya.
            Ando melirik Jayden yang baru selesai mandi. Berdua dengannya dalam keadaan seperti ini membuatnya merinding. “Udah lo ganti baju sana! Ntar dikira kita habis ngapa – ngapain lagi!” Ucapan Ando membuat Jayden tertawa.
            “Lo ngomong gitu kayak gue udah gak nafsu ama cewek aja. Lo mandi sana! Gue mau ganti pakaian. Ntar lo ngintip lagi.” Balas Jayden membuat Ando melempar bantal besar ke arah sahabatnya yang sibuk mencari pakaian di koper. “Iya bawel!” Ucapnya dan bergegas masuk sebelum Jayden membalasnya.

            Jayden terdiam melihat tingkah sahabatnya itu. Seandainya saja dia dan Dion tidak pergi clubbing kemarin , mungkin mereka akan menghalangi niat Karen untuk memberi ucapan selamat lebih dulu dengan mengajaknya pergi dan membiarkan Lista yang melakukannya. Sempat dilihatnya Ando memandang kado yang dia yakini pemberian Lista, kamera polaroid beserta isi filmnya dipegang erat seolah takut jatuh dan hancur lalu cowok itu menghela napas berat. Seolah beban semakin menghimpit dadanya.

            Lamunan Jayden terhenti ketika Ando keluar dari kamar mandi dengan tatapan mata seolah ada beban. Dia meliriknya tanpa semangat. “Gimana sama Lista? Udah maafan?”
            Ando menghela napas berat. “Boro – boro maafan, yang ada dia asma karna gue. Gue bingung kenapa jadi begini.” Ando menggarukkan kepalanya dan melirik kamera polaroid itu sekali lagi. Napasnya semakin berat saja dan dia duduk di tepi ranjang sambil mengambil kameranya.
            “Gini..., gue mau nanya satu hal sama lo, sekali aja jujur deh, gimana perasaan lo sama Lista dan perasaan lo sama Karen?” Jayden menatap Ando seolah sahabatnya itu pesakitan yang patut disiksa mentalnya. Dia gemas melihat Ando dekat ama Karen, tapi cemburu bila Lista di dekati cowok lain.
            Ando yang asyik memotret kamarnya, terdiam dan merenung. Entah kenapa, pertanyaan itu menohoknya lebih dalam lagi.
           
            “Apa yang gue rasain sama Lista yah?”
           
            “Karen itu gue anggap teman.” Ando menjawab yakin. “Tapi... Kalau Lista,” Dia terdiam. “Jujur, gue gak tau...”
           
            Jayden berkerut kening mendengar jawaban Ando yang terakhir itu. Lalu menghela napas. “Lo anggap Karen teman, tapi tingkah lo kayak pacaran tau! Dan kalau lo gak tau Lista itu siapa buat lo, kenapa lo cemburu liat dia dekat sama gue, sama cowok lain? Gue kadang bingung, kok lo bisa jadi CEO termuda di The Hayman Company, perusahaan terbesar saat ini, tapi bodoh banget untuk urusan kayak gini?!”
            “Gue gak tau, Jayden! Gue hanya gak suka liat Lista dekat sama cowok lain, termasuk lo, gue pengen dia slalu dekat sama gue, gue suka apa yang ada di dirinya, dan berusaha mewujudkannya keinginannya agar liat dia tersenyum. Mungkin gue emang bego dalam urusan begini yah...”
           
            “Lo bukannya bego lagi, tapi dodol! Masbro, lo naksir sama pacar kontrak lo sendiri! Masa lo gak sadar sih perasaan itu?! Oke, gue tau bentar lagi lo akan ngomong, “masa sih gue naksir sama dia? Gak mungkin. Tuh cewek bukan tipe idaman gue.” Tapi... orang bego pun juga tau kalau lo cerita sama mereka, pasti akan dijawab lo suka sama dia! Ngaku aja napa!”
            “Apa yang harus gue akuin kalau gue gak naksir sama dia? Gue yakin mungkin karna gue terlalu dekat sama dia, terlalu membagi apa yang gue rasain selama ini ama dia jadi gue lakuin hal – hal sinting kayak gitu. Udah ... gue mau keluar dulu. Diskusi ditutup.” Ando berdiri dan meletakkan kameranya di tempat semula dengan hati – hati dan berjalan keluar kamar.

            Jayden terdiam melihat kepergian sahabat dodolnya itu. Senyum terukir sangat lebar di wajahnya. Membuatnya terlihat menawan kalau ada yang melihat senyum jenis ini. “Oke deh, karna lo gak ngaku, gue akan paksa lo ngaku, Ando. ckckckk...” Jayden nyengir lebar sambil menggosok – gosokkan tangannya. Rencananya harus sukses.

            Ando menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya. Kepalanya mendongkak ke atas. Menatap langit – langit kamar. Entah kenapa, diskusi dengan Jayden seolah memutar memori tentang kedekatannya dengan Lista beberapa bulan ini. Tawanya, cara dia menatap, memberi perhatian, senyum malu – malu dan wajah memerah ketika digoda, dan ciuman mereka di pantai sebelum akhirnya menjadi seperti ini membuat Ando tersenyum mengingatnya. Hatinya menghangat mengingat kenangan – kenangan manis itu. Dan menumbuhkan tekad agar kejadian itu terulang kembali.

            “Apa benar gue naksir sama dia tanpa gue sadari? Kalau iya, gimana caranya agar gue tau?”
           

♥ ♥

            Lily yang baru saja selesai mandi di lantai bawah dan berpakaian, langsung masuk kamar Bian untuk mengambil ponselnya. Sebenarnya dia ingin jam 12 malam mengucapkan selamat ulang tahun, tapi karna dia tidur di kamar kak Bian malam itu dan diajak nonton film, akhirnya malah tidur pulas sampai – sampai dia tak mendengar alarm ponselnya berbunyi hingga batereinya habis.
            “Kok kak Ando gak bisa ditelpon daritadi sih?!” Lily memajukan mulut tipisnya ketika kakaknya tak bisa dihubungi. Dia mencoba berkali kali namun yang ada malah suara operator sialan itu.
            “Telpon kak Lista ah..” Lily berhenti menelpon Ando dan menekan nomor Lista yang dihapalnya. Ingatan kuat Ando tentang angka – angka njelimet rupanya menurun ke Lily. Hanya beberapa kali lihat nomor seseorang, dia sudah bisa menghapalnya.
            Lily manyun ketika terdengar suara operator bahwa nomor yang dihubunginya sedang tidak aktif. Dia mendengus jengkel sambil melirik ponselnya dan mengguncangnya pelan. Siapa tau rusak. “Kok sama – sama gak bisa ditelpon sih? Janjian matiin ponsel yah?!” Omel Lily membuat Bian yang baru saja masuk kamar dengan rambut basah sehabis mandi dan hanya mengenakan boxer dan baju kaos, terhenti dan menatapnya.
            “Kenapa, gadis cantik? Kok pagi – pagi manyun?” Bian duduk disamping Lily dan mengelus kepalanya dengan sayang.
            “Tadi Lily nelpon kak Ando beberapa kali, gak diangkat. Terus nelpon kak Lista, eh... malah mati kak. Ckckkck... janjian matiin ponsel kali yah kak.”

            Bian terdiam mendengarnya. Seingatnya, Lista tak pernah mematikan ponsel kecuali baterai ponselnya habis. Itupun tak mungkin karna sebelum terjadi, Lista pasti mengisinya terlebih dahulu dan selalu membawa portable charger kemana – mana. Jadi tak ada alasan untuk kehabisan baterai, kecuali...
           
            “Lista kenapa? Pasti ada something nih disana.”
           
            “Kak..” Lily menyentuh tangan kak Bian dan menatap dengan wajah polosnya itu. Membuat Bian yang sudah berpikiran tidak – tidak, sadar dan tersenyum. “Iya, dek?”
            Lily menggeleng. “Lily keluar dulu yah, kak.” Dia tersenyum dan berlari riang keluar. Namun terhenti ketika Bian memanggilnya, “kiss bye nya mana dek?” Tagihnya sambil menunjuk kedua pipinya. Lily nyengir dan berlari ke arahnya, memeluknya erat dan mencium kedua pipinya. “Udah kan, kak?”
            Bian tersenyum. Tatapan mata Lily yang polos itu membuatnya sangat sayang. “Iya, dek. Hati – hati yah.” Ucap Bian sambil mencium pipi kanan Lily yang merona merah dan mencubitnya.
            Lily langsung berlari keluar kamar dengan wajah semerah – merahnya. Membuat Bian terkekeh dan ekspresi wajahnya seketika berubah serius sambil mengambil ponsel di lacinya dan menelpon seseorang.

            “Cind, Lista dimana? Ini kak Bian. lo jangan kasih tau sama Lista kalau gue nelpon lo. habis digorok ntar.” Bian menelpon Cindy sekedar menanyakan kabar adiknya. Entah kenapa, ucapan Lily tentang ponsel Lista mati itu membuatnya gelisah.
            “Lagi di kamar kak. Dia...” Cindy buru – buru menutup mulutnya sebelum ucapan itu keluar dan membuat kakak sahabatnya ini menghamuk. Entahlah, kejadian beberapa tahun lalu membuat Bian, kakak Lista sangat protective pada adiknya sendiri dan beberapa kali menelponnya untuk bertanya tentang Ando.
            “Dia kenapa, dek?” Bian waspada sekarang. Dia merasa ada sesuatu dengan adiknya yang satu ini.
            “Gak papa kak.”
            “Cindy..., ada apa?” Bian menekankan kata “ada apa” dengan sangat kentara dan penuh tuntutan untuk dijawab seakurat mungkin.
           
            “Mampus gue!” Cindy berteriak dalam hati karna jujur, dia juga segan dengan kakaknya Lista yang satu ini. Jahil, suka menggoda, namun bisa berubah menjadi hewan buas yang mengerikan kalau sudah marah besar. Intinya, kalau ada yang ingin cari ribut dengan dirinya atau salah satu saudaranya, lebih baik tidak usah kalau tak ingin tewas atau menjadi setengah hidup.
           
            Dengan berat hati Cindy menceritakan semuanya malam itu. Membuat Bian yang mendengarnya, shock dan mengepal tangannya. Wajahnya penuh emosi. Namun ditahannya sedemikian rupa agar tak kentara.
           
            “Oh.. Thanks yah, Cantik atas kabarnya. Jangan kasih tau Lista kalau kakak kecenya yang satu ini menelpon. Bye,” Bian menutup telponnya dan melempar ponselnya ke ranjang. Wajahnya marah luar biasa, tatapan matanya yang biasanya lembut, penuh kejahilan, berubah menjadi bengis. Senyumnya yang biasa  menggoda berubah menjadi seperti menemukan mangsa dan ingin menelan bulat – bulat.
            “Holy shit! Gue harus cari kak Erika sebelum gue memutuskan terbang ke Bali dan membunuhnya!” Bian menggeram emosi dan keluar kamar sambil membanting pintu dengan keras.


♥ ♥

            Bulu kuduk Erika serasa merinding tanpa sebab dan mendadak hatinya tak tenang ketika dia baru saja pulang dari rumah Ando bersama Lily untuk mengawini Tom, kucing jantan Persianya, yang tersiksa lahir bathin oleh kembarannya sendiri, Bian, dengan kucing kampung punya Lily yang katanya cantik dan mampu memberikan keturunan yang banyak. Mengingat kedua saudaranya yang antikucing itu bakal menghamuk, dia tersenyum geli.
            “Kakak kenapa?” Tanya Lily yang sekarang mengelus Pus, kucingnya yang ditemukan di depan rumah beberapa bulan lalu. Bulunya yang sehalus sutra, warna abu – abu bersih dan matanya yang besar seperti boneka, membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama dan memutuskan memelihara walau kakaknya, menolak habis – habisan.
            “Gak kok.” dia menggeleng dan konsetrasinya buyar ketika ponselnya berbunyi di dalam tas yang dia letakkan di jok belakang.
            “Lily, bisa gak kamu ambilin tas kakak?” Pintanya dan Lily menurut lalu mengambil tasnya, “Lily buka yah tasnya.” Ijinnya dan dia mengangguk lalu mengambil ponsel yang diberi Lily dan mengangkatnya.
            “Haloo..” Dan tanpa jeda, suara penelponnya itu menceritakan dengan penuh emosi yang meluap – luap. Membuat Erika menepikan mobilnya dan tersenyum ke arah Lily yang menatapnya bingung.
            “Bian...” Panggilnya lembut. Di saat seperti ini, ketenangannya memang dibutuhkan untuk menenangkan emosi kembarannya yang cenderung akan membakar siapa saja kalau sudah emosi.
            “Siapa tau mereka ada masalah. Lo gak mungkin seenak udel ikut campur kan? lagipula, Lista udah dewasa, Bian. bukan anak 6 tahun lagi yang harus dibela ketika diganggu. Lo dengarin gue dulu, dek. Jangan membantah!” Suaranya yang tegas membuat Bian di seberang sana, yang sudah siap berangkat, terdiam dan mendengarkan kakaknya.
            “Dia bukan Dylan, Bian. yang nyakitin adek kita ampe hancur lebur. Gue bukannya gak sayang, Cuma... gue hargain dia untuk diam, dan menjadi pendengar yang baik kalau dia ada masalah. Kalau lo ikut campur, takutnya dia gak akan cerita dengan kita lagi. Lo tau adik kita gimana, kan? dan sekarang, lo lagi dimana? Di rumah, kan?”

            Satu jawaban Bian beserta cengiran membuat Erika berteriak frustasi. Membuat Lily harus menutup telinganya rapat – rapat karna suaranya yang sangat emosi bercampur frustasi.
           
            “APA?! Lo sekarang di Biro Tiket?! Ngapain?!”
           
            di seberang sana, Bian menjawabnya dengan cengiran puas. Puas mendengar suara teriakan kakaknya. “Pengen ke Bali. Nyari cewek cantik dan kalau perlu hajar pacar adek kita sampai babak belur.”
           
            “Lo...” Suara Erika tertahan saking emosinya. “Pulang sekarang juga! Atau...”
            “Atau apa, kakak gue yang cantik?”
            “Kita putus hubungan sebagai kembaran! Mau?!”

            “Boleh kok. tapi setelah itu lo jadi pacar gue yah?” Godanya membuat Erika mematikan ponselnya dengan wajah memerah. senjatanya makan tuan.


Î


            Sepagi ini, Lista asyik bercanda dengan Keenan, cowok pelukis yang bersamanya sekarang. Hatinya yang masih sakit, entah kenapa berjalan tanpa arah dan tau – tau sudah berdiri di depan  galeri tempat Keenan melukis dan cowok itu menatapnya penuh senyum di depan pintu. Seolah menunggu kedatangannya. lalu tanpa banyak kata, dia membawanya pergi ke pantai. Meluapkan apa yang ada di hatinya.
           
            “Gimana perasaan lo?” Tanya Keenan yang sekarang menggulung celana jinsnya sampai lutut, bertelanjang kaki, dan menatap Lista yang sekarang berhenti tertawa dan tatapannya kosong sambil duduk dengan memeluk kedua lututnya. Tangannya menari di atas pasir. Entah menulis apa.
           
            Entah kenapa, di saat dia mati ide untuk melukis, Lista datang ke galerinya dengan tatapan mata kosong, seperti kanvas lukisan yang di hadapinya sekarang dan entah kenapa juga, dia langsung berinisiatif mengajak gadis yang sebenarnya memikat hatinya itu untuk pergi ke pantai. Membuang semua perasaan sakit yang bercokol di dada.
            “Masih sakit, Nan. Disini. Seperti ada luka, namun gue gak tau karna apa, tapi sakit banget...” Lista menatap kosong ke arah pantai dan membiarkan Keenan duduk disampingnya. Menatapnya intens. Entah kenapa, dia membiarkan mulutnya menceritakan apa hubungan dia dengan Ando. dari awal sampai sekarang ini. Tak ada yang ditutupinya. Kecuali satu.


            Masa lalunya.


            “Hei..” Keenan menepuk punggungnya lembut ketika dia melihat air mata Lista mengalir deras membasahinya. Sejujurnya, dia ingin menghajar Ando saat ini juga karna membiarkan seorang cewek secantik Lista menangis di depannya yang notabene hanya orang asing yang kebetulan kenal karna lukisannya dibeli.
            Dia sendiri bingung kenapa nama Ando sanggup membuat tanggul pertahanannya jebol. Dia tak bisa menghentikan air mata yang terus – menerus membasahi pipinya, membuat harinya kelabu, hatinya semakin tersayat.
            “Hy, can i hug you? To be your shoulder when you crying on, friend?”  Keenan membuka lengannya ketika dilihat Lista memeluk dirinya sendiri. Menutup luka hatinya dengan caranya sendiri. Dan tak disangka, Lista langsung meresponnya. Memeluknya erat. Membiarkan air mata membasahi baju kaos yang berbau cat minyak.
            “Makasih.” Hanya itu ucapan yang keluar dari cewek itu. Namun entah kenapa, sanggup membuat Keenan mengangguk dan mengelus puncak kepalanya dengan pelan.


            Tanpa disadari keduanya, dari kejauhan, seseorang memfotret adegan – demi adegan dengan kamera yang dibawanya. Wajahnya tersenyum sangat puas melihat hasil fotonya yang sanggup membuat hubungan mereka semakin hancur lebur.

            “Yes. Say good bye with him from now, Lista.”

Î

            “Jay...” Seseorang memanggilnya ketika dia baru keluar dari Villa. Dia menoleh dan tertegun dengan siapa yang memanggilnya tadi.
            Karen, dengan segala pesonanya, keseksian yang sanggup membuatnya susah menelan ludah, berlari ke arahnya dan tersenyum manis.

            “Seandainya dia naksirnya sama gue, bukan sama sohib dodol gue itu, mungkin dia akan jadi pacar gue yang terakhir.”

            “Liat Ando, gak?” Tanyanya sambil melirik Jayden dari atas sampai ujung kakinya. Sahabat gebetannya yang satu ini memang membuatnya tergoda. Namun dalam batas wajar karna dia lebih mengejar Ando.
            Jayden menimbang – nimbang jawaban apa yang harus diberikan pada cewek yang membuatnya tak bisa berpaling ini.  “Dia ada kok di kamar. Kenapa?”
            “Gak...” Karen menggeleng dan tersenyum semakin lebar. “Kemarin, Ando ngajak gue untuk jalan mencari pemandangan gitu untuk dijadikan koleksi fotonya. Mumpung gue pengen hunting juga, yaudah sekalian aja bareng.  Makasih yah.” Ucapnya dan sambil bersinandung, dia berlari masuk ke dalam. Menemukan pujaan hatinya.

            Jayden hanya menggelengkan kepalanya sambil melirik Karen di kejauhan dan bertemu dengan Lista. Matanya yang sembab dan dengan wajah kurang sehat itu, membuatnya khawatir.
            “Lis...” Tegurnya ketika cewek itu hanya lewat di depannya tanpa menyapa.
            Merasa ada yang memanggil, dia menoleh dan melihat Jayden yang menatapnya khawatir. “Eh, kenapa, Jay?”
            “Lo baik – baik aja, kan?” Tanyanya dan Lista mengangguk. “Iya.. gue baik kok.”

            “Semuanya baik. Kecuali satu, hati gue.”


            Jayden tau kalau Lista sedang berbohong padanya. Tatapan matanya seperti cermin hatinya yang sebenarnya kalau gadis itu tidak baik – baik saja. Dan entah kenapa, dia merasa menyesal karna memberitahukan pada Karen dimana Ando.
            “Lis...” Panggilnya. Entah kenapa dia berfirasat lebih baik membawa Lista pergi secepat mungkin dari sini sebelum dia melihat Ando dan Karen yang berpotensi bikin galau.
            Lista hanya menatapnya tanpa semangat. Hampir setengah hari jalan dengan Keenan membuatnya lelah. Namun bukan tidur atau beristirahat yang dia inginkan. Dia ingin pelarian kemana saja untuk menuntaskan kelelahannya ini.

            “Jalan yuk. Ke Kuta. Mau? Dekat kok.” Ajaknya dan entah kenapa, mendengar kata Kuta membuat Lista tersenyum.
            “Dekat? Emangnya kita naik apa?”
            “Lo biasa gak dibonceng naik motor?” Tanyanya dan Lista mengangguk bingung.
            “Disini, ada penyewaan motor. Kita nyewa aja sekalian keliling Bali seharian. Gue tau kok tempat – tempat wisata disini. Selain pantai tentunya. Gimana? Rugiii... lo kalau gak ikut sama cowok seganteng gue.” Godanya membuat Lista tertawa mendengarnya. Jayden yang ramah walau playboy, suka bercanda, usil seperti kakaknya, tidak seperti Ando yang hobi membuatnya naik darah, membuatnya tanpa ragu mengangguk.
            “Ayooo... Sekalian ajarin gue gimana caranya bawa motor yah. gue gak bisa soalnya.” Pintanya membuat Jayden tertawa lalu tersenyum manis.
            “Apa sih yang gak untuk lo, Lista? Yuk...” Ajaknya sambil mengulurkan tangannya. Dan Lista menyambut ulurannya dan mereka berjalan bersama. Saling tertawa. tentu saja.


            Di kejauhan, Ando melihat semuanya dengan geram. Sangat geram sampai – sampai menonjok tembok dengan keras hingga tangannya memerah dan darah mengucur di sela – sela ibu jarinya yang terkepal. entah kenapa, ada perasaan sangat tak rela ketika sahabatnya sendiri, Jayden berjalan sambil berpegangan tangan dengan Lista, pacarnya, hatinya serasa terbakar sampai hangus ketika mereka meninggalkan Villa dengan kendaraan yang disewa mereka dan cewek itu, memeluk pinggang sahabatnya, duduk berdempetan, punggung kokoh bertemu dengan dada. membuat kepalanya pusing karna amarah.
           
            “Kenapa gue menjadi emosi begini?”

            Asyik melamun memikirkan perasaan ganjil yang tengah mengaduk – aduk emosinya, tanpa sadar Karen menemukannya dan menepuk pelan pundaknya. membuatnya menoleh karna kaget.
            “Astaga, Ndo! Tangan lo kenapa?!” Senyuman di wajah Karen berubah histeris ketika melihat darah menetes di sela jemari yang terkepal. Spontan, Karen meraihnya dan membuka kepalan tangan Ando itu. Wajahnya tulus khawatir padanya.
            “Ndo... tangan lo berdarah. Kenapa?”
            “Gak papa.”
            Karen menatapnya dalam. Dia melihat api cemburu masih membara di kedua bola matanya yang hitam kelam itu. Tapi, cemburu dengan siapa?

            “Gu obatin tangan lo. gue bawa obat – obatan kok. ayoooo...” Tanpa ragu, Karen menarik Ando untuk masuk ke dalam dan melangkah ringan menuju kamarnya.

Î

            “Ando ...” Karen menegurnya ketika mereka sudah tiba dikamanya. Karen yang ditinggal Pamela yang gila diving itu merasa beruntung karna hanya mereka berdua di kamar.
            Ando menatap Karen yang berlutut di depannya sambil melilit perban untuk menutupi tangan kirinya yang terluka. Mereka saling bertatapan lama. Tak ada yang berniat saling beranjak dari posisi masing – masing.
            “Makasih, Ren.” Ucapnya untuk memutuskan kontak mata yang dibuatnya. Karen hanya tersenyum lalu berdiri untuk meletakkan kotak obat di kopernya. Lalu mendekati Ando yang masih diam.
            “Kenapa?”
            Ando hanya tersenyum dan Karen yang tau apa sebenarnya masalahnya, dan siapa dalangnya kalau bukan dia sendiri, tersenyum manis.
            “Jalan yuk. Kan lo udah janji kemaren mau ngajak gue untuk hunting. Ayolah...” Rengeknya sambil menarik – narik pelan tangan Ando untuk berdiri dari ranjangnya.
            “Tapi kemana, Ren? Gue gak tau tempat nih. Lagipula, mood gue buruk banget diajak jalan. Ntar yah. gue lagi mumet gimana caranya buat baikan ama dia lagi.”

            mendengar nama Lista disebut – sebut di kamarnya membuatnya jengkel. “Ando...” Ucapnya dengan jengkel tertahan di tenggorokan. “Justru disaat inilah wkatu yang tepat buat lo buat nyari solusi. Gue akan bantu lo untuk jelasin semuanya, tapi.. kita jalan dulu sambil cari ide. Gimana? Pemandangan Bali, Pulau berkumpulnya para Dewa akan sangat mubazir apabila lo liat dari balik jendela kamar doang, Ndo. Lo harus menikmati, merasakan, dan mengabadikannya di setiap bidikan kamera lo.”

            “Mungkin benar juga. Daripada gue suntuk sendiri, mending jalan sama Karen aja.” Ucapnya dalam hati. Menimbang – nimbang.
           
            Tapi...

            “Apa gak papa?”
           
            “Bodo amat dah.”  Putusnya dalam hati. “Oke deh. gue ambil kamera dulu yah.” Ando keluar dari kamar Kare dan menutup kamarnya pelan. Meninggalkan gadis itu yang sekarang jingkrak – jingkrak kesenangan diranjangnya..

            Yes! Yes! Jalan sama Ando! hore!”

            Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan kesenangannya. Dia berdehem dan meloncat dari tempat tidur, mengganti pakaian kaosnya menjadi tank top bewarna putih tulang, terlihat serasi dengan warna kulitnya, celana jins panjang berubah menjadi hot pants  bahan jeans, rambut diikat ke atas dan tas ransel serta kamera Canon model terbaru tergantung sempurna di lehernya. Dengan cepat dia mengenakannya dan setelah itu membuka pintu. Tersenyum melihat Ando di depannya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya berkerut kening.

            Kamera kecil, yang dia tau itu adalah Polaroid. Kamera yang diinginkan cowok itu namun tak sempat dibelinya karna barang yang diincar cowok itu, sudah habis. Tapi dia tak menyangka, kalau barang itu sekarang berada di pegangan cowok itu.

            “Kamera baru, Ndo? Inikan model kamera terbaru yang paling lo ingin, kan?”
            “Iya...” Ando menatapnya dengan sendu. “Ini kamera dari Lista. Entah darimana dia tau gue ngincer banget yang ini dan membelikannya. Gak taunya malah kami ribut begini. Gue seharian gak liat dia. Tuh anak hilang dari pandangan, dari jangkauan.” Ando menatap lesu dengan pikiran mengembara dimana pacarnya seharian ini. Jangan ditanya apa saja usahanya seharian ini. Berdiri di kamar Lista seperti pengawal pribadi hanya untuk menjelaskan yang sebenarnya mengingat cewek itu tak mungkin mengurung seharian di kamar. Karna dia tau rencana gadis itu yang mengatakan hendak keliling Bali. Namun dia tak nyangka, kalau Lista kabur dari penjagaannya dan jalan dengan Jayden. Mengingat hal itu, membuat hatinya terbakar lagi.
           
            Karen yang cemburu melihat kamera dipegang Ando. ingin rasanya tangannya ini merebut kamera itu lalu membuangnya ke tengah pantai hingga tak terlihat lagi. Dia sangat, sangat tak rela apa yang dipegang cowok itu, ada nama Lista di dalamnya. Namun, dia hanya bisa menghela napas untuk menghilangkan jengkelnya.
            Dia melirik Ando yang tatapannya mulai membara. Seperti ada api yang siap membakar siapapun apabila ada yang berani berurusan dengannya. Namun, dia tak mengerti darimana api di matanya itu berasal. “Ando..”
            Kaget, cowok itu menatapnya. Api di matanya perlahan meredup dan menghilang. “Iya...”
           
            “Ayooo...” Tanpa ragu Karen menariknya. Membawa Ando ke tempat yang disukainya dan memberikan apa yang selama ini tak didapatnya dari Lista.



Î



            Bian termenung di cafetaria  rumah sakit sambil melirik suster – suster yang sengaja lalu lalang di depannya. Mencari perhatian. Entahlah, beberapa hari ini, sejak pertemuannya dengan Lhyesha membuatnya rela berada disini, hanya untuk melihat gadis itu, dan dia terlalu malu bertanya pada mamanya tentang suster itu. Takut diledek. Apalagi kalau sampai papahnya tau, waduh...

            Minuman yang dipesannya sudah habis beberapa jam yang lalu. Namun perutnya terlalu kembung untuk memesan lagi. Dia serasa orang bodoh duduk disini tanpa tau apa tujuannya.

            “Mungkin gue pulang aja kali yah,” Dia melirik jam di tangannya dan berdiri dari duduknya dan berjalan ke depan untuk membayar pesanannya. Asyik membayar sambil bercanda dengan penjualnya, entah kenapa, dia melirik ke arah lain dan tatapannya terkunci pada satu titik. Hatinya terasa kecewa.

            Anin, begitu dia memanggil gadis itu, asyik berbicara dengan cowok yang menurutnya kalah ganteng darinya. Namun, bukan itu yang membuatnya kecewa, yang dia kecewakan adalah ketika Anin, cewek itu tersenyum malu – malu sambil mencubit pipi cowok agak gendut itu dengan gemas dan mereka berjalan meninggalkan rumah sakit sambil berpegangan tangan erat. Seperti sepasang kekasih yang sangat mesra. Entah kenapa, hatinya semakin sakit saja melihatnya.

            “Mas Bian, ini kembaliannya.” Suara Ravina, penjual minuman itu membuyarkan lamunannya. Dia tersenyum mengambil kembaliannya, memasang kacamata hitam yang selalu tergantung di bajunya dan mengenakannya, tak ingin Anin tau bahwa dia ada disini.

Î

           

            “Listaaa... kesinii...” Teriakan Jayden membuat Lista yang asyik membuat istana pasir yang entah keberapa menoleh ke arah cowok tampan itu. Dia tersenyum dengan apa yang dibuatnya.

            Tulisan di pasir yang bertuliskan namanya dan Jayden yang ditulis dengan indahnya. Yang dilatari oleh matahari yang terbenam sebentar lagi.


            Tapi...

           
            Kenapa hatinya merasa hambar? Kenapa hatinya berharap nama Jayden itu berubah menjadi nama Ando? dan ada gambar love di tengah nama itu? Lalu mereka berfoto di tengah nama itu dan berpelukan erat.
           
            Harapan macam apa ini?



            Dan... Matahari terbenam sempurna itu...



            Kenapa mengingatkannya dengan ciuman di pantai yang berujung bencana itu?


           
            Apakah dia mengharapkannya? Apakah semua kesakitan yang dirasakannya hari ini karna dia mulai menyukai cowok itu tanpa sadar? Mulai membiarkan perasaan halus itu masuk lewat sela lubang kunci yang menutup rapat hatinya, mengelus dengan lembut kekerasan hatinya hingga akhirnya meluluh dan membiarkan perasaan itu memeluknya, sebelum akhirnya menusuk hatinya dari belakang. darahnya, jangan ditanya. Menggenang di sekitarnya.




            “Tidak..” Dia menggeleng kuat – kuat dengan pemikiran konyol itu. Dia tak mungkin menyukai Ando. cowok playboy tengik, sialan itu. Dia pantas dengan Karen. Serasi dengannya. Tapi...



            Kenapa hatinya tak rela? Kenapa hatinya berteriak, “Bukan dia yang pantas di sisi Ando, tapi gue! Gue yang pantas di samping dia! Bukan wanita jadi – jadian itu!”

            Panggilan Jayden yang semakin dekat membuat lamunannya pecah. Dia menatap sahabat pacar kontraknya ini. Tampan, baik, romantis dan memperhatikannya tanpa perlu dia berucap, mengikuti apa yang dia mau tanpa harus bertengkar seperti yang sering dilakukan Ando, dan tak memaksakan kehendaknya. Semua terserah dirinya.

            Tapi, kenapa dia tak tersentuh? Kenapa dia malah tersentuh dengan perhatian Ando yang sangat dia yakini, itu semata karna sifat playboynya keluar? Bukan perhatian tulus dari hati paling dalam.


            Memikirkan semua ini membuatnya terluka. Membuatnya sadar, tak seharusnya dia marah melihat Ando pelukan dengan Karen, melakukan apa yang dilakukan cowok itu bersamanya dengan Karen. Toh mereka Cuma kontrak, mereka bukan pacar sungguhan. Dan dia tak pantas marah. Memangnya siapa dirinya ini selain cewek bodoh yang tak sadar status kalau dia pacar kontrak Ando untuk setahun ke depan. Dan mereka akan putus apabila waktunya sudah habis.
           
            “Kalau pacar kontrak, kalau semua perhatian selama 6 bulan itu dirasa semu belaka, bagaimana dengan ciuman kemaren itu? Apakah itu termasuk semu? Apakah itu termasuk salah satu paket dalam pacar kontrak mereka? Kalau iya, kenapa rasanya selembut ini? Kenapa rasanya sangat menyenangkan hingga membuatnya terbuai?”

            “Mungkin, itu hanya nafsu. Mungkin, itu karna pengaruh lingkungan romantis hingga membuat orang yang cintanya terlarang pun, akan terbuai dan melakukannya. Seperti gue ini.” Lista menjawab pertanyaan dalam hatinya. Hatinya semakin sakit.

            “Lista...” Jayden sekarang duduk di sampingnya. Menatap Lista yang hanya menatap detik – detik matahari terbenam dengan sempurna ke peraduannya.
             “Bagaimana perasaan lo?” Tanyanya sambil duduk berdua disamping pacar sahabat dodolnya ini. Kadang dia bingung dengan Ando, apa yang di pikiran cowok itu hingga menjerat cewek secantik, kepala batu seperti Lista ini menjadi pacarnya. Tapi... seharian bersama Lista, berjalan bersama, tertawa, saling menggoda dan melirik satu sama lain lalu tertawa lagi, membuatnya tau apa yang membuat Ando tak sadar telah menyukainya.
           
            Sifat keras kepala, pantang disuruh kalah, berusaha mendapatkan sampai dapat, dan hobi menggodanya membuatnya terlihat seperti Ando versi cewek. Tak mengherankan mereka cocok.

            “Capek banget. tapi senang. Makasih yah, Jay.” Dia tak bohong. Jalan – jalan bersama Jayden keliling Bali dengan naik motor sewaan, keluar masuk Pura sekedar mengambil foto, belajar tari tradisional Bali dan memainkan alat musik satu persatu, keliling masuk Galeri lukisan dan membeli beberapa, dengan uang sendiri pastinya,  membuat separuh bebannya terangkat.

            “Senang liat lo bisa tersenyum, Lis.” Ucapnya tulus dan mendadak tangannya gatal hendak merangkul lengan Lista. Namun ditariknya kembali. bagaimanapun juga, dia melihat tanda cap tak terlihat kalau cewek disampingnya ini adalah pacar Ando. yang tak bisa disentuh sembarangan kalau tak ingin kena hajar.

            Lista hanya tersenyum dan mulai mengambil kamera yang tersampir di sampingnya, membidik lensa ke arah matahari terbenam beberapa kali sebelum mengarahkannya ke Jayden yang asyik menghancurkan istana mainannya. Membuatnya menjerit.

            “Jayden! Lo itu yah!!!!” Teriaknya ketika Jayden berdiri dari tempatnya dan menendang istana pasirnya hingga jatuh tak tersisa. Membuatnya geram dan mengejar Jayden yang berlari sambil tertawa.

Î


            Karen tersenyum sangat puas melihat hasil fotonya. Tak sia – sia pergi ke pelosok kampung di Bali paling ujung sekalipun bersama Ando untuk hunting. Banyak pengalaman yang mereka dapatkan, banyak adat – istiadat yang dia tau sekarang. Bahkan dia dan Ando saling membuat tato saat mereka ada di pinggir pantai dan melihat pelukis tato nganggur. Ando membuat tato di pergelangan tangan kanannya dengan tulisan entah apa namanya. namun dilihat dari  bentuknya, terlihat sangat indah sekaligus mistik. Sedangkan dirinya, puas dengan tato bertulisan namanya dalam bahasa Arab di pergelangan tangan kanannya dan gambar bunga yang melingkar hingga terlihat seperti gelang serta di belakang lehernya. Bahkan Ando memujinya dan mengatakan itu sangat seksi. Membuatnya tersenyum senang. Dan mereka tak takut kena sanksi sekolah karna tato ini bersifat bukan permanen.

            Dia melirik Ando yang asyik melihat hasil bidikannya dan sesekali tersenyum. Melihat cowok itu tersenyum membuatnya tanpa sadar ikut tersenyum dan memandang penjual minuman es kelapa yang mengantar pesanan mereka. Es kelapa biji satu buah dengan dua sedotan.

            “Pesanan kita datang, Ndo.” Dia mencoleknya dan cowok itu menghentikan aktifitasnya dan meminum pesanannya. Karen yang melihat itu, juga ikut meminumnya hingga mereka saling bersentuhan lengan dan  tertawa.

            Entah karna mereka baru saja melihat turis asing sepanjang jalan saling berciuman, entah karna suasana sangat romantis dengan saling berbagi es kelapa, ditemani semilir angin yang lembut menerpa mereka yang duduk di tepi pantai, atau karna masalahnya dengan Lista yang membuatnya gila, dia tak menolak ketika Karen semakin mendekat ke arahnya, senyum terlihat menggoda di matanya, dan akhirnya mengecup bibirnya dengan lembut. Pada awalnya, sebelum akhirnya dia membalas respon itu dengan tak kalah nafsunya.


            “Teruskan saja kalian begitu,” Suara bergetar menahan emosi membuat mereka terdiam. Ando menarik bibirnya dari Karen dan menoleh ke belakang. dia shock.

            Elista berada di belakangnya entah sejak kapan, diikuti Jayden yang menatapnya tak percaya. Air mata menetes ketika gadis itu menutup matanya. Kenapa kesakitan

            “Lo memang cowok berengsek, Ando!”

1 komentar:

  1. aku suka bngt hih cerita..udh kepincut dari awal cerita erza-putra dan sampai anak2nya lista-ando

    BalasHapus