Bayangan
Ando mencium pipi Karen, menyambut suapan kue yang di arahkan padanya, dan
tertawa bersama sambil membalas mencolek pipinya, membayanginya. Lista
mendengar Ando berteriak padanya. Menyuruhnya berhenti lari. Tapi dia tak bisa.
hatinya entah kenapa sakit. Serasa ada yang pecah dan jatuh berkeping – keping
di sini. Di hatinya.
“Elista! Please, dengarin
gue!” Ando terus saja berteriak memanggilnya. Menyuruhnya berhenti lari. Namun
cewek itu serasa menutup telinganya dengan sesuatu tak terlihat olehnya dan terus
berlari. Bayangan ketika Lista terperangah dan menjatuhkan apa yang dipegangnya
membayanginya. Entah kenapa, dia merasa ikut sakit.
“Lari kemana dia?” Ando berhenti
lari karna kecapekan dan memicingkan mata. Mencari – cari keberadaan Lista di
pantai yang sepi dan gelap.
Ando menengadahkan kepalanya ke
atas. Menatap bintang – bintang yang berkerlap – kerlip di langit malam. Dia
menutup mata, menghela napas lelah.
“Elista, lo dimana? Please,
sorry...”
♥
♥
Karen tak henti – hentinya tersenyum ketika
melihat Lista berlari ketika melihatnya bermesraan terang – terangan dengan
Ando. bisa dipastikan mereka berantem hebat di luar dan akan putus. Jika hal
itu terjadi, Tak sabar rasanya dia mendekatinya lebih keras lagi, memberikan
segenap perhatian yang jarang dia berikan pada cowok – cowok lain, dan membuat cowok itu jatuh dalam pesonanya, kalau
perlu dibuat menyesal kenapa memilih Lista.
Karen
melihat ponsel Ando yang berkedip di atas meja. Dia berjalan memutari ranjang
dan mengambil ponselnya. Dia melihat foto Lista berdua dengannya yang
terpampang jelas di layar utama ponsel Ando. membuatnya menggemeretakkan
giginya dengan jengkel. Dan ketika dia hendak menghapusnya, mendadak pintu
kamar terbuka dan Karen langsung meletakkan ponselnya di tempat semula dan
memasang wajah penuh menyesal. Padahal dalam hati bersorak gembira.
“Gimana?”
Tanyanya ketika Ando masuk lalu duduk di tepi ranjang dengan wajah frustasi.
Karen langsung memanfaatkan momen itu dengan ikut duduk disampingnya dan
menepuk pelan pundaknya. seolah dia ikut sedih. “Semoga mereka berantem tiap
hari, jadi gue bisa kayak gini tiap hari.” Harapnya dalam hati.
“Gue
gak tau dia lari kemana. Gue udah ikutin dia, Cuma tuh anak lari cepat banget.
mana gelap lagi! Khawatir gue...” Ando menutup wajah dengan kedua tangannya.
Dia frustasi sekarang.
“Udahlah...
nant ...” Ucapannya terhenti ketika mendengar hujan turun dengan deras. Ando
langsung membuka matanya dan melotot ke arahnya.
“Hujan?”
“Iya,
Ding.. Eh, lo mau kemana, Ndo?” Karen kaget tau – tau cowok itu berdiri dari
duduknya, mengambil selimut tebal dan buru – buru keluar kamar.
“Gue
mau nemuin Lista! Kasian dia kedinginan!” Teriaknya dari luar. Dan entah
kenapa, balik lagi, “Nanti bantuin gue jelasin sama dia tentang kejadian
sebenarnya, Oke?” Ucapnya. Sebelum dia sempat menjawab, Ando menghilang dari
balik pintu.
Karen
berdecak kesal sambil menghentakkan kakinya. Wajahnya masam. “Sial! Sial!”
♥
♥
Lista
mendengar Ando memanggilnya. Namun dia memutuskan tak menoleh. Dia terus dan
terus berlari tanpa tau arah. Hingga dia kelelahan dan memutuskan berhenti.
Ketika dia menoleh ke belakang, Ando tak lagi mengejarnya. Bahkan suaranya tak
terdengar lagi.
Lista
langsung lemas terduduk di hamparan pasir sambil memegang dadanya. Dia merasa
sakit sekali. Seperti ditusuk – tusuk oleh ribuan paku tak terlihat. Air
matanya tak berhenti membasahi pipinya.
“Kenapa...”
Lista berkata sendiri sambil memegang dadanya. Dia tak tau kenapa perasaannya
sakit ketika melihat kejadian itu. Seharusnya dia cuek saja, tak usah peduli.
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Dia merasa seperti di khianati secara
terang – terangan dimana dia sudah bisa mempercayainya. Menjadikannya sebagai
kekuatan, pondasi, dan tiangnya. Namun, hal itu langsung ambruk seketika. Tak
bersisa. Dan puing – puingnya, berserakan, menyakitinya.
“perih yang
menghujam, di sanubariku.
hancurkan keyakinan, yang menjadi kekuatanku
aku jatuh lagi, sekali lagi jatuh
untuk sekian kali, namun kali ini, aku galau.”
hancurkan keyakinan, yang menjadi kekuatanku
aku jatuh lagi, sekali lagi jatuh
untuk sekian kali, namun kali ini, aku galau.”
·
Titi DJ –
Galau.
Rintik
– rintik hujan mulai membasahi tubuhnya. membuat udara semakin dingin dan dia
menggigil. Entah kenapa, Lista membiarkannya saja. Otaknya terlalu mati untuk
memerintahkan dia pergi dari sini dan berteduh ke tempat yang menghangatkannya.
Tiba
– tiba, ada sehelai kain tebal melingkupi tubuhnya yang mendingin. Membuat
Lista mendongkakkan wajahnya yang daritadi bertelungkup diantara kedua
lututnya. Dia melihat Ando duduk di depannya. Menatapnya.
“Lis..”
“Seharusnya
gue gak usah cemburu liat lo sama Karen. Gue kan bukan pacar lo. gue Cuma PACAR
KONTRAK yang bodoh karna terlalu terbawa suasana hingga tak sadar diri ama
status sendiri.” Lista menekankan kata “Pacar kontrak” dengan jelas. Membuat
batasan yang tak terlihat, namun terasa keberadaannya.
“Lo
gak bodoh, Lis. Gue gak tau kenapa..”
“Tinggalin
gue sendiri, Ndo. Gue gak mau dengar alasan lo.”
“Lis..”
Lista
menatapnya. Dan Ando bisa melihat air mata yang terus menetes membasahi
pipinya. Ando menggerakkan tangannya dan menghapus air mata yang terus
mengalir, namun ditepisnya, “Pergi.”
“Gue
akan pergi kalau lo juga ikut. Disini hujan, Lista. Nanti lo sakit.”
“Gue
sakit atau tidak, bukan urusan lo, Ando. pergi.”
“Oh
yah?” Ando mulai merasa kesabarannya menipis. Membuatnya menghela napas.
Berusaha sabar lebih lama lagi. “Itu akan jadi urusan gue.”
“Mending
lo urusin ulang tahun lo yang tertunda itu dengan KAREN. Gue gak papa. Udah sana pergi!” Lista
mendorong Ando dengan kasar dan menghempaskan selimut tebal yang melingkupi
punggungnya ke hamparan pasir dan berdiri. Setengah berlari menembus rintik –
rintik yang semakin lebat.
“ELISTA!”
Ando habis kesabaran sudah. Dia menatap Lista yang berlari dan cewek itu
menoleh. Kedua matanya memerah karna menangis. Air mata tak henti – hentinya
menetes. Sejenak, mereka saling bertatapan, yang satu sesegukan, yang satunya
berjalan pelan mendekatinya, menggenggam kedua tangannya, “Gue hanya ingin
merayakannya sama lo, Lista. Bukan sama Karen. Dia hanya teman gue.”
“Teman
yang mesra buat lo! Udah, gue mau pergi. jangan ikutin gue, atau...” Lista
terdiam. Dia menatap Ando yang masih berdiri di depannya, menatapnya dengan
tatapan, “Please, ijinin gue untuk jelasin semuanya.” Namun Lista pura –
pura buta dan tak melihat tatapan itu. “Gue akan pergi sampai lo gak bisa
temuin gue lagi.” Ucapnya dan bergegas berlari. Meninggalkan Ando yang terdiam.
Entah
kenapa, dia memilih tak mengejarnya. Ada sesuatu dalam hati yang menahannya.
Perasaan takut mendengar ancaman itu mengingat Lista tak pernah main – main
dengan ucapannya.
♥
♥
Lista masuk dalam kamar dengan tubuh basah
kuyup. Hujan yang lebat membuatnya seperti kucing tercebur di sungai, mata yang
sembab tanda dia menangis sepanjang perjalanan. Membuat kedua temannya yang
dibangunkan paksa olehnya, mendadak melek.
“Lo
kenapa, Lis?” Tanya Shabrina dengan rambut acak – acakan, duduk di tepi ranjang
ketika Lista hanya menatap mereka dengan
tatapan kosong. Napasnya terlihat berat, wajahnya seperti menahan kesakitan.
“Lo
kemana aja jadi kehujanan? Dan lo tad...” Cindy terdiam ketika tau – tau Lista
jatuh ke lantai sambil memegang dadanya dan mendadak susah bernapas, asmanya
kambuh.
Cindy
berteriak panik dan langsung turun untuk membopong Lista ke ranjang, dibantu
oleh Shabrina karna tubuhnya yang mendadak berat dan kaku. Lista terus memegang
dadanya, air matanya menetes semakin deras sambil mencoba bernapas. Cindy
langsung turun dari ranjang dan membongkar tas Lista, mencari inhaler gadis
itu dan mendekatkannya ke hidung Lista. Membantunya bernapas.
“List..
Gue panggilin Ando yah, bentar.” Namun gerakan Shabrina terhenti ketika Lista
mengerang tertahan. Dia menatapnya dan melihat penolakan sangat kuat di mata
Lista.
“Jangan panggil dia.” Ucapnya terbata – bata sambil memegang dadanya yang serasa ingin pecah saking sakitnya. Dia tak bisa bernapas. Inhaler tak cukup membantunya.
“Jangan panggil dia.” Ucapnya terbata – bata sambil memegang dadanya yang serasa ingin pecah saking sakitnya. Dia tak bisa bernapas. Inhaler tak cukup membantunya.
“Tap...”
Cindy
merasakan ada sesuatu yang disimpan Lista dari mereka hingga asmanya kumat.
Seingatnya, terakhir Lista kumat adalah saat dia bersama Dylan, hari itu.
Membuatnya harus dirawat kerumah sakit saking parahnya. Dan kedua kakaknya,
apalagi Bian, geram luar biasa dan hendak menghajarnya kalau tak cepat – cepat
ditahannya.
“Gak usah, Shab. Ntar aja.” Cindy membela
Lista sambil menggenggam tangan Lista yang sangat dingin itu dan Shabrina pun
menurut.
Hampir
15 menit Lista berjuang untuk bernapas normal. Akhirnya dia bisa dan tubuhnya
berangsur – angsur tak tegang lagi. Seolah seluruh peredaran darah terhenti dan
bertahan di satu titik. Kedua sahabatnya menghela napas lega dan Shabrina
langsung memberikan teh hangat yang dipesannya pada Lista yang bersandar di
ranjang. Hujan semakin deras saja. “Nih, minum dulu.” Ucapnya dan Lista menurut
sambil memegang gelas dengan erat dan merasakan hangatnya membasahi
tenggorokannya.
“Makasih.”
Shabrina
tersenyum. “Lo mau mandi sekarang? Harinya dingin banget nih. Gue takutnya lo
sakit, Lis.”
Lista
menggeleng. Dia tak sanggup mandi setelah mengalami asma dan kelelahan yang
luar biasa. “Gak usah. Gue mau ganti pakaian aja, terus tidur.” Ucapnya sambil
mencoba berdiri, namun kepalanya yang masih pusing membuatnya harus dipapah
Cindy yang duduk disampingnya, membantunya berjalan ke arah koper dan
mengambilkannya pakaian tidur. Lalu mengarahkannya ke kamar mandi untuk
berganti pakaian
Lista
berganti pakaian dengan cepat. Dia keluar dan langsung dipapah Cindy kembali menuju
tempat tidur. Entah kenapa, tubuhnya langsung mengurai kelelahan di tempat
tidur. Tanpa mengucapkan terima kasih pada mereka yang membantunya, Lista
langsung tertidur. Seperti dibius.
Cindy
dan Shabrina memperhatikan Lista yang sedang tidur. Kedatangan sahabatnya
dengan wajah sedih dan langsung asma, membayangi mereka. Cindy menyelimuti
Lista dan melirik Shabrina. Wajahnya terlihat kebingungan.
“Kira
– kira kenapa yah?” Tanya Cindy dan Shabrina angkat bahu. “Gak tau. Mending
kita tanya dia esok pagi aja.” Usulnya sambil merebahkan diri. Sedetik
kemudian, dia tertidur. Meninggalkan Cindy yang terdiam menatap Lista yang
pulas tertidur. Entah apa yang mendorongnya, Cindy mengambil ponselnya dan
mengetik pesan. Sesudah pesan itu terkirim. Dia mencoba tidur disamping
Shabrina.
For
: Ando.
“Lista pingsan, asmanya kumat saat
masuk ke kamar. Gue berharap dia begitu bukan karna lo bikin ulah hingga dia
begini, Ndo. Gue tau Lista. Kalau sampai asmanya kumat, berarti kesakitan yang
ditanggungnya sangat berat hingga tubuhnya drop.”
♥
♥
Pagi yang cerah membangunkan Ando dalam
tidurnya. Dia tak bisa tidur ketika mendapat pesan dari Cindy tentang kumatnya
asma Lista. Dia baru tau gadis itu mempunyai penyakit asma karna dia tak pernah
bercerita. Sms Cindy entah kenapa membuatnya tertohok ke dalam jurang
penyesalan semakin dalam. Mengingat itu, dia menghela napas berat.
“Kenapa
lo? bangun pagi udah pasang wajah stres.” Jayden yang baru selesai mandi,
bertelanjang dada di hadapannya sambil menggaruk kepalanya yang basah. Dia
ingat bagaimana Karen, cewek yang terang – terangan mengejar Ando tertidur di
kamar mereka karna menunggu sahabat sintingnya yang satu ini pulang. Kalau saja
dia tak mengusir Karen secara halus agar balik ke kamarnya, entah apa yang
dilihat Ando nanti. Melihat pose tidur Karen yang sangat menggodanya untuk
ukuran cowok normal seperti dirinya.
Ando
melirik Jayden yang baru selesai mandi. Berdua dengannya dalam keadaan seperti
ini membuatnya merinding. “Udah lo ganti baju sana! Ntar dikira kita habis
ngapa – ngapain lagi!” Ucapan Ando membuat Jayden tertawa.
“Lo
ngomong gitu kayak gue udah gak nafsu ama cewek aja. Lo mandi sana! Gue mau ganti
pakaian. Ntar lo ngintip lagi.” Balas Jayden membuat Ando melempar bantal besar
ke arah sahabatnya yang sibuk mencari pakaian di koper. “Iya bawel!” Ucapnya
dan bergegas masuk sebelum Jayden membalasnya.
Jayden
terdiam melihat tingkah sahabatnya itu. Seandainya saja dia dan Dion tidak
pergi clubbing kemarin , mungkin mereka akan menghalangi niat Karen
untuk memberi ucapan selamat lebih dulu dengan mengajaknya pergi dan membiarkan
Lista yang melakukannya. Sempat dilihatnya Ando memandang kado yang dia yakini
pemberian Lista, kamera polaroid beserta isi filmnya dipegang erat seolah takut
jatuh dan hancur lalu cowok itu menghela napas berat. Seolah beban semakin
menghimpit dadanya.
Lamunan
Jayden terhenti ketika Ando keluar dari kamar mandi dengan tatapan mata seolah
ada beban. Dia meliriknya tanpa semangat. “Gimana sama Lista? Udah maafan?”
Ando
menghela napas berat. “Boro – boro maafan, yang ada dia asma karna gue. Gue bingung
kenapa jadi begini.” Ando menggarukkan kepalanya dan melirik kamera polaroid
itu sekali lagi. Napasnya semakin berat saja dan dia duduk di tepi ranjang
sambil mengambil kameranya.
“Gini...,
gue mau nanya satu hal sama lo, sekali aja jujur deh, gimana perasaan lo sama
Lista dan perasaan lo sama Karen?” Jayden menatap Ando seolah sahabatnya itu
pesakitan yang patut disiksa mentalnya. Dia gemas melihat Ando dekat ama Karen,
tapi cemburu bila Lista di dekati cowok lain.
Ando
yang asyik memotret kamarnya, terdiam dan merenung. Entah kenapa, pertanyaan
itu menohoknya lebih dalam lagi.
“Apa
yang gue rasain sama Lista yah?”
“Karen
itu gue anggap teman.” Ando menjawab yakin. “Tapi... Kalau Lista,” Dia terdiam.
“Jujur, gue gak tau...”
Jayden
berkerut kening mendengar jawaban Ando yang terakhir itu. Lalu menghela napas.
“Lo anggap Karen teman, tapi tingkah lo kayak pacaran tau! Dan kalau lo gak tau
Lista itu siapa buat lo, kenapa lo cemburu liat dia dekat sama gue, sama cowok
lain? Gue kadang bingung, kok lo bisa jadi CEO termuda di The Hayman Company, perusahaan
terbesar saat ini, tapi bodoh banget untuk urusan kayak gini?!”
“Gue
gak tau, Jayden! Gue hanya gak suka liat Lista dekat sama cowok lain, termasuk
lo, gue pengen dia slalu dekat sama gue, gue suka apa yang ada di dirinya, dan
berusaha mewujudkannya keinginannya agar liat dia tersenyum. Mungkin gue emang
bego dalam urusan begini yah...”
“Lo
bukannya bego lagi, tapi dodol! Masbro, lo naksir sama pacar kontrak lo
sendiri! Masa lo gak sadar sih perasaan itu?! Oke, gue tau bentar lagi lo akan
ngomong, “masa sih gue naksir sama dia? Gak mungkin. Tuh cewek bukan tipe
idaman gue.” Tapi... orang bego pun juga tau kalau lo cerita sama mereka,
pasti akan dijawab lo suka sama dia! Ngaku aja napa!”
“Apa
yang harus gue akuin kalau gue gak naksir sama dia? Gue yakin mungkin karna gue
terlalu dekat sama dia, terlalu membagi apa yang gue rasain selama ini ama dia
jadi gue lakuin hal – hal sinting kayak gitu. Udah ... gue mau keluar dulu.
Diskusi ditutup.” Ando berdiri dan meletakkan kameranya di tempat semula dengan
hati – hati dan berjalan keluar kamar.
Jayden
terdiam melihat kepergian sahabat dodolnya itu. Senyum terukir sangat lebar di
wajahnya. Membuatnya terlihat menawan kalau ada yang melihat senyum jenis ini.
“Oke deh, karna lo gak ngaku, gue akan paksa lo ngaku, Ando. ckckckk...” Jayden
nyengir lebar sambil menggosok – gosokkan tangannya. Rencananya harus sukses.
Ando
menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya. Kepalanya mendongkak ke atas. Menatap
langit – langit kamar. Entah kenapa, diskusi dengan Jayden seolah memutar
memori tentang kedekatannya dengan Lista beberapa bulan ini. Tawanya, cara dia
menatap, memberi perhatian, senyum malu – malu dan wajah memerah ketika digoda,
dan ciuman mereka di pantai sebelum akhirnya menjadi seperti ini membuat Ando
tersenyum mengingatnya. Hatinya menghangat mengingat kenangan – kenangan manis
itu. Dan menumbuhkan tekad agar kejadian itu terulang kembali.
“Apa
benar gue naksir sama dia tanpa gue sadari? Kalau iya, gimana caranya agar gue
tau?”
♥
♥
Lily yang baru saja selesai mandi di lantai
bawah dan berpakaian, langsung masuk kamar Bian untuk mengambil ponselnya.
Sebenarnya dia ingin jam 12 malam mengucapkan selamat ulang tahun, tapi karna
dia tidur di kamar kak Bian malam itu dan diajak nonton film, akhirnya malah
tidur pulas sampai – sampai dia tak mendengar alarm ponselnya berbunyi hingga
batereinya habis.
“Kok
kak Ando gak bisa ditelpon daritadi sih?!” Lily memajukan mulut tipisnya ketika
kakaknya tak bisa dihubungi. Dia mencoba berkali kali namun yang ada malah
suara operator sialan itu.
“Telpon
kak Lista ah..” Lily berhenti menelpon Ando dan menekan nomor Lista yang
dihapalnya. Ingatan kuat Ando tentang angka – angka njelimet rupanya
menurun ke Lily. Hanya beberapa kali lihat nomor seseorang, dia sudah bisa
menghapalnya.
Lily
manyun ketika terdengar suara operator bahwa nomor yang dihubunginya sedang
tidak aktif. Dia mendengus jengkel sambil melirik ponselnya dan mengguncangnya
pelan. Siapa tau rusak. “Kok sama – sama gak bisa ditelpon sih? Janjian matiin
ponsel yah?!” Omel Lily membuat Bian yang baru saja masuk kamar dengan rambut
basah sehabis mandi dan hanya mengenakan boxer dan baju kaos, terhenti dan
menatapnya.
“Kenapa,
gadis cantik? Kok pagi – pagi manyun?” Bian duduk disamping Lily dan mengelus
kepalanya dengan sayang.
“Tadi
Lily nelpon kak Ando beberapa kali, gak diangkat. Terus nelpon kak Lista, eh...
malah mati kak. Ckckkck... janjian matiin ponsel kali yah kak.”
Bian
terdiam mendengarnya. Seingatnya, Lista tak pernah mematikan ponsel kecuali
baterai ponselnya habis. Itupun tak mungkin karna sebelum terjadi, Lista pasti
mengisinya terlebih dahulu dan selalu membawa portable charger kemana –
mana. Jadi tak ada alasan untuk kehabisan baterai, kecuali...
“Lista
kenapa? Pasti ada something nih disana.”
“Kak..”
Lily menyentuh tangan kak Bian dan menatap dengan wajah polosnya itu. Membuat
Bian yang sudah berpikiran tidak – tidak, sadar dan tersenyum. “Iya, dek?”
Lily
menggeleng. “Lily keluar dulu yah, kak.” Dia tersenyum dan berlari riang
keluar. Namun terhenti ketika Bian memanggilnya, “kiss bye nya mana
dek?” Tagihnya sambil menunjuk kedua pipinya. Lily nyengir dan berlari ke
arahnya, memeluknya erat dan mencium kedua pipinya. “Udah kan, kak?”
Bian
tersenyum. Tatapan mata Lily yang polos itu membuatnya sangat sayang. “Iya,
dek. Hati – hati yah.” Ucap Bian sambil mencium pipi kanan Lily yang merona
merah dan mencubitnya.
Lily
langsung berlari keluar kamar dengan wajah semerah – merahnya. Membuat Bian
terkekeh dan ekspresi wajahnya seketika berubah serius sambil mengambil ponsel
di lacinya dan menelpon seseorang.
“Cind,
Lista dimana? Ini kak Bian. lo jangan kasih tau sama Lista kalau gue nelpon lo.
habis digorok ntar.” Bian menelpon Cindy sekedar menanyakan kabar adiknya.
Entah kenapa, ucapan Lily tentang ponsel Lista mati itu membuatnya gelisah.
“Lagi
di kamar kak. Dia...” Cindy buru – buru menutup mulutnya sebelum ucapan itu
keluar dan membuat kakak sahabatnya ini menghamuk. Entahlah, kejadian beberapa
tahun lalu membuat Bian, kakak Lista sangat protective pada adiknya
sendiri dan beberapa kali menelponnya untuk bertanya tentang Ando.
“Dia
kenapa, dek?” Bian waspada sekarang. Dia merasa ada sesuatu dengan adiknya yang
satu ini.
“Gak
papa kak.”
“Cindy...,
ada apa?” Bian menekankan kata “ada apa” dengan sangat kentara dan penuh
tuntutan untuk dijawab seakurat mungkin.
“Mampus gue!” Cindy berteriak dalam hati karna jujur, dia
juga segan dengan kakaknya Lista yang satu ini. Jahil, suka menggoda, namun
bisa berubah menjadi hewan buas yang mengerikan kalau sudah marah besar.
Intinya, kalau ada yang ingin cari ribut dengan dirinya atau salah satu
saudaranya, lebih baik tidak usah kalau tak ingin tewas atau menjadi setengah
hidup.
Dengan
berat hati Cindy menceritakan semuanya malam itu. Membuat Bian yang
mendengarnya, shock dan mengepal tangannya. Wajahnya penuh emosi. Namun
ditahannya sedemikian rupa agar tak kentara.
“Oh..
Thanks yah, Cantik atas kabarnya. Jangan kasih tau Lista kalau kakak
kecenya yang satu ini menelpon. Bye,” Bian menutup telponnya dan
melempar ponselnya ke ranjang. Wajahnya marah luar biasa, tatapan matanya yang
biasanya lembut, penuh kejahilan, berubah menjadi bengis. Senyumnya yang biasa menggoda berubah menjadi seperti menemukan
mangsa dan ingin menelan bulat – bulat.
“Holy
shit! Gue harus cari kak Erika sebelum gue memutuskan terbang ke Bali dan
membunuhnya!” Bian menggeram emosi dan keluar kamar sambil membanting pintu
dengan keras.
♥
♥
Bulu
kuduk Erika serasa merinding tanpa sebab dan mendadak hatinya tak tenang ketika
dia baru saja pulang dari rumah Ando bersama Lily untuk mengawini Tom, kucing
jantan Persianya, yang tersiksa lahir bathin oleh kembarannya sendiri, Bian, dengan
kucing kampung punya Lily yang katanya cantik dan mampu memberikan keturunan
yang banyak. Mengingat kedua saudaranya yang antikucing itu bakal menghamuk,
dia tersenyum geli.
“Kakak
kenapa?” Tanya Lily yang sekarang mengelus Pus, kucingnya yang ditemukan di
depan rumah beberapa bulan lalu. Bulunya yang sehalus sutra, warna abu – abu
bersih dan matanya yang besar seperti boneka, membuatnya jatuh cinta pada
pandangan pertama dan memutuskan memelihara walau kakaknya, menolak habis –
habisan.
“Gak
kok.” dia menggeleng dan konsetrasinya buyar ketika ponselnya berbunyi di dalam
tas yang dia letakkan di jok belakang.
“Lily,
bisa gak kamu ambilin tas kakak?” Pintanya dan Lily menurut lalu mengambil
tasnya, “Lily buka yah tasnya.” Ijinnya dan dia mengangguk lalu mengambil
ponsel yang diberi Lily dan mengangkatnya.
“Haloo..”
Dan tanpa jeda, suara penelponnya itu menceritakan dengan penuh emosi yang
meluap – luap. Membuat Erika menepikan mobilnya dan tersenyum ke arah Lily yang
menatapnya bingung.
“Bian...”
Panggilnya lembut. Di saat seperti ini, ketenangannya memang dibutuhkan untuk
menenangkan emosi kembarannya yang cenderung akan membakar siapa saja kalau
sudah emosi.
“Siapa
tau mereka ada masalah. Lo gak mungkin seenak udel ikut campur kan? lagipula,
Lista udah dewasa, Bian. bukan anak 6 tahun lagi yang harus dibela ketika
diganggu. Lo dengarin gue dulu, dek. Jangan membantah!” Suaranya yang tegas
membuat Bian di seberang sana, yang sudah siap berangkat, terdiam dan
mendengarkan kakaknya.
“Dia
bukan Dylan, Bian. yang nyakitin adek kita ampe hancur lebur. Gue bukannya gak
sayang, Cuma... gue hargain dia untuk diam, dan menjadi pendengar yang baik
kalau dia ada masalah. Kalau lo ikut campur, takutnya dia gak akan cerita
dengan kita lagi. Lo tau adik kita gimana, kan? dan sekarang, lo lagi dimana?
Di rumah, kan?”
Satu
jawaban Bian beserta cengiran membuat Erika berteriak frustasi. Membuat Lily
harus menutup telinganya rapat – rapat karna suaranya yang sangat emosi
bercampur frustasi.
“APA?!
Lo sekarang di Biro Tiket?! Ngapain?!”
di
seberang sana, Bian menjawabnya dengan cengiran puas. Puas mendengar suara
teriakan kakaknya. “Pengen ke Bali. Nyari cewek cantik dan kalau perlu hajar
pacar adek kita sampai babak belur.”
“Lo...”
Suara Erika tertahan saking emosinya. “Pulang sekarang juga! Atau...”
“Atau
apa, kakak gue yang cantik?”
“Kita
putus hubungan sebagai kembaran! Mau?!”
“Boleh
kok. tapi setelah itu lo jadi pacar gue yah?” Godanya membuat Erika mematikan
ponselnya dengan wajah memerah. senjatanya makan tuan.
♥Î♥
Sepagi
ini, Lista asyik bercanda dengan Keenan, cowok pelukis yang bersamanya
sekarang. Hatinya yang masih sakit, entah kenapa berjalan tanpa arah dan tau –
tau sudah berdiri di depan galeri tempat
Keenan melukis dan cowok itu menatapnya penuh senyum di depan pintu. Seolah
menunggu kedatangannya. lalu tanpa banyak kata, dia membawanya pergi ke pantai.
Meluapkan apa yang ada di hatinya.
“Gimana
perasaan lo?” Tanya Keenan yang sekarang menggulung celana jinsnya
sampai lutut, bertelanjang kaki, dan menatap Lista yang sekarang berhenti
tertawa dan tatapannya kosong sambil duduk dengan memeluk kedua lututnya.
Tangannya menari di atas pasir. Entah menulis apa.
Entah
kenapa, di saat dia mati ide untuk melukis, Lista datang ke galerinya dengan
tatapan mata kosong, seperti kanvas lukisan yang di hadapinya sekarang dan
entah kenapa juga, dia langsung berinisiatif mengajak gadis yang sebenarnya
memikat hatinya itu untuk pergi ke pantai. Membuang semua perasaan sakit yang
bercokol di dada.
“Masih
sakit, Nan. Disini. Seperti ada luka, namun gue gak tau karna apa, tapi sakit
banget...” Lista menatap kosong ke arah pantai dan membiarkan Keenan duduk
disampingnya. Menatapnya intens. Entah kenapa, dia membiarkan mulutnya
menceritakan apa hubungan dia dengan Ando. dari awal sampai sekarang ini. Tak
ada yang ditutupinya. Kecuali satu.
Masa
lalunya.
“Hei..”
Keenan menepuk punggungnya lembut ketika dia melihat air mata Lista mengalir
deras membasahinya. Sejujurnya, dia ingin menghajar Ando saat ini juga karna
membiarkan seorang cewek secantik Lista menangis di depannya yang notabene
hanya orang asing yang kebetulan kenal karna lukisannya dibeli.
Dia
sendiri bingung kenapa nama Ando sanggup membuat tanggul pertahanannya jebol.
Dia tak bisa menghentikan air mata yang terus – menerus membasahi pipinya,
membuat harinya kelabu, hatinya semakin tersayat.
“Hy,
can i hug you? To be your shoulder when you crying on, friend?” Keenan membuka lengannya ketika dilihat Lista
memeluk dirinya sendiri. Menutup luka hatinya dengan caranya sendiri. Dan tak
disangka, Lista langsung meresponnya. Memeluknya erat. Membiarkan air mata
membasahi baju kaos yang berbau cat minyak.
“Makasih.”
Hanya itu ucapan yang keluar dari cewek itu. Namun entah kenapa, sanggup
membuat Keenan mengangguk dan mengelus puncak kepalanya dengan pelan.
Tanpa
disadari keduanya, dari kejauhan, seseorang memfotret adegan – demi adegan
dengan kamera yang dibawanya. Wajahnya tersenyum sangat puas melihat hasil
fotonya yang sanggup membuat hubungan mereka semakin hancur lebur.
“Yes.
Say good bye with him from now, Lista.”
♥
Î
♥
“Jay...” Seseorang memanggilnya ketika dia
baru keluar dari Villa. Dia menoleh dan tertegun dengan siapa yang memanggilnya
tadi.
Karen,
dengan segala pesonanya, keseksian yang sanggup membuatnya susah menelan ludah,
berlari ke arahnya dan tersenyum manis.
“Seandainya
dia naksirnya sama gue, bukan sama sohib dodol gue itu, mungkin dia akan jadi
pacar gue yang terakhir.”
“Liat
Ando, gak?” Tanyanya sambil melirik Jayden dari atas sampai ujung kakinya.
Sahabat gebetannya yang satu ini memang membuatnya tergoda. Namun dalam batas
wajar karna dia lebih mengejar Ando.
Jayden
menimbang – nimbang jawaban apa yang harus diberikan pada cewek yang membuatnya
tak bisa berpaling ini. “Dia ada kok di
kamar. Kenapa?”
“Gak...”
Karen menggeleng dan tersenyum semakin lebar. “Kemarin, Ando ngajak gue untuk
jalan mencari pemandangan gitu untuk dijadikan koleksi fotonya. Mumpung gue
pengen hunting juga, yaudah sekalian aja bareng. Makasih yah.” Ucapnya dan sambil bersinandung,
dia berlari masuk ke dalam. Menemukan pujaan hatinya.
Jayden
hanya menggelengkan kepalanya sambil melirik Karen di kejauhan dan bertemu
dengan Lista. Matanya yang sembab dan dengan wajah kurang sehat itu, membuatnya
khawatir.
“Lis...” Tegurnya ketika cewek itu hanya lewat di depannya tanpa menyapa.
“Lis...” Tegurnya ketika cewek itu hanya lewat di depannya tanpa menyapa.
Merasa
ada yang memanggil, dia menoleh dan melihat Jayden yang menatapnya khawatir.
“Eh, kenapa, Jay?”
“Lo
baik – baik aja, kan?” Tanyanya dan Lista mengangguk. “Iya.. gue baik kok.”
“Semuanya
baik. Kecuali satu, hati gue.”
Jayden
tau kalau Lista sedang berbohong padanya. Tatapan matanya seperti cermin
hatinya yang sebenarnya kalau gadis itu tidak baik – baik saja. Dan entah
kenapa, dia merasa menyesal karna memberitahukan pada Karen dimana Ando.
“Lis...”
Panggilnya. Entah kenapa dia berfirasat lebih baik membawa Lista pergi secepat
mungkin dari sini sebelum dia melihat Ando dan Karen yang berpotensi bikin
galau.
Lista
hanya menatapnya tanpa semangat. Hampir setengah hari jalan dengan Keenan
membuatnya lelah. Namun bukan tidur atau beristirahat yang dia inginkan. Dia ingin
pelarian kemana saja untuk menuntaskan kelelahannya ini.
“Jalan
yuk. Ke Kuta. Mau? Dekat kok.” Ajaknya dan entah kenapa, mendengar kata Kuta
membuat Lista tersenyum.
“Dekat?
Emangnya kita naik apa?”
“Lo
biasa gak dibonceng naik motor?” Tanyanya dan Lista mengangguk bingung.
“Disini,
ada penyewaan motor. Kita nyewa aja sekalian keliling Bali seharian. Gue tau
kok tempat – tempat wisata disini. Selain pantai tentunya. Gimana? Rugiii... lo
kalau gak ikut sama cowok seganteng gue.” Godanya membuat Lista tertawa
mendengarnya. Jayden yang ramah walau playboy, suka bercanda, usil
seperti kakaknya, tidak seperti Ando yang hobi membuatnya naik darah,
membuatnya tanpa ragu mengangguk.
“Ayooo...
Sekalian ajarin gue gimana caranya bawa motor yah. gue gak bisa soalnya.”
Pintanya membuat Jayden tertawa lalu tersenyum manis.
“Apa
sih yang gak untuk lo, Lista? Yuk...” Ajaknya sambil mengulurkan tangannya. Dan
Lista menyambut ulurannya dan mereka berjalan bersama. Saling tertawa. tentu
saja.
Di
kejauhan, Ando melihat semuanya dengan geram. Sangat geram sampai – sampai
menonjok tembok dengan keras hingga tangannya memerah dan darah mengucur di
sela – sela ibu jarinya yang terkepal. entah kenapa, ada perasaan sangat tak
rela ketika sahabatnya sendiri, Jayden berjalan sambil berpegangan tangan
dengan Lista, pacarnya, hatinya serasa terbakar sampai hangus ketika mereka
meninggalkan Villa dengan kendaraan yang disewa mereka dan cewek itu, memeluk
pinggang sahabatnya, duduk berdempetan, punggung kokoh bertemu dengan dada.
membuat kepalanya pusing karna amarah.
“Kenapa gue menjadi emosi begini?”
Asyik
melamun memikirkan perasaan ganjil yang tengah mengaduk – aduk emosinya, tanpa
sadar Karen menemukannya dan menepuk pelan pundaknya. membuatnya menoleh karna
kaget.
“Astaga,
Ndo! Tangan lo kenapa?!” Senyuman di wajah Karen berubah histeris ketika
melihat darah menetes di sela jemari yang terkepal. Spontan, Karen meraihnya
dan membuka kepalan tangan Ando itu. Wajahnya tulus khawatir padanya.
“Ndo...
tangan lo berdarah. Kenapa?”
“Gak
papa.”
Karen
menatapnya dalam. Dia melihat api cemburu masih membara di kedua bola matanya
yang hitam kelam itu. Tapi, cemburu dengan siapa?
“Gu
obatin tangan lo. gue bawa obat – obatan kok. ayoooo...” Tanpa ragu, Karen
menarik Ando untuk masuk ke dalam dan melangkah ringan menuju kamarnya.
♥
Î ♥
“Ando ...” Karen menegurnya ketika mereka
sudah tiba dikamanya. Karen yang ditinggal Pamela yang gila diving itu
merasa beruntung karna hanya mereka berdua di kamar.
Ando
menatap Karen yang berlutut di depannya sambil melilit perban untuk menutupi
tangan kirinya yang terluka. Mereka saling bertatapan lama. Tak ada yang
berniat saling beranjak dari posisi masing – masing.
“Makasih,
Ren.” Ucapnya untuk memutuskan kontak mata yang dibuatnya. Karen hanya
tersenyum lalu berdiri untuk meletakkan kotak obat di kopernya. Lalu mendekati
Ando yang masih diam.
“Kenapa?”
Ando
hanya tersenyum dan Karen yang tau apa sebenarnya masalahnya, dan siapa
dalangnya kalau bukan dia sendiri, tersenyum manis.
“Jalan
yuk. Kan lo udah janji kemaren mau ngajak gue untuk hunting. Ayolah...”
Rengeknya sambil menarik – narik pelan tangan Ando untuk berdiri dari
ranjangnya.
“Tapi
kemana, Ren? Gue gak tau tempat nih. Lagipula, mood gue buruk banget
diajak jalan. Ntar yah. gue lagi mumet gimana caranya buat baikan ama dia
lagi.”
mendengar
nama Lista disebut – sebut di kamarnya membuatnya jengkel. “Ando...” Ucapnya
dengan jengkel tertahan di tenggorokan. “Justru disaat inilah wkatu yang tepat
buat lo buat nyari solusi. Gue akan bantu lo untuk jelasin semuanya, tapi..
kita jalan dulu sambil cari ide. Gimana? Pemandangan Bali, Pulau berkumpulnya
para Dewa akan sangat mubazir apabila lo liat dari balik jendela kamar doang,
Ndo. Lo harus menikmati, merasakan, dan mengabadikannya di setiap bidikan
kamera lo.”
“Mungkin
benar juga. Daripada gue suntuk sendiri, mending jalan sama Karen aja.”
Ucapnya dalam hati. Menimbang – nimbang.
Tapi...
“Apa
gak papa?”
“Bodo amat dah.”
Putusnya dalam hati. “Oke deh. gue ambil kamera dulu yah.” Ando keluar
dari kamar Kare dan menutup kamarnya pelan. Meninggalkan gadis itu yang
sekarang jingkrak – jingkrak kesenangan diranjangnya..
“Yes!
Yes! Jalan sama Ando! hore!”
Suara
ketukan pelan di pintu membuyarkan kesenangannya. Dia berdehem dan meloncat
dari tempat tidur, mengganti pakaian kaosnya menjadi tank top bewarna
putih tulang, terlihat serasi dengan warna kulitnya, celana jins panjang
berubah menjadi hot pants bahan jeans,
rambut diikat ke atas dan tas ransel serta kamera Canon model terbaru
tergantung sempurna di lehernya. Dengan cepat dia mengenakannya dan setelah itu
membuka pintu. Tersenyum melihat Ando di depannya. Namun, ada sesuatu yang
membuatnya berkerut kening.
Kamera
kecil, yang dia tau itu adalah Polaroid. Kamera yang diinginkan cowok itu namun
tak sempat dibelinya karna barang yang diincar cowok itu, sudah habis. Tapi dia
tak menyangka, kalau barang itu sekarang berada di pegangan cowok itu.
“Kamera
baru, Ndo? Inikan model kamera terbaru yang paling lo ingin, kan?”
“Iya...”
Ando menatapnya dengan sendu. “Ini kamera dari Lista. Entah darimana dia tau
gue ngincer banget yang ini dan membelikannya. Gak taunya malah kami ribut
begini. Gue seharian gak liat dia. Tuh anak hilang dari pandangan, dari
jangkauan.” Ando menatap lesu dengan pikiran mengembara dimana pacarnya
seharian ini. Jangan ditanya apa saja usahanya seharian ini. Berdiri di kamar
Lista seperti pengawal pribadi hanya untuk menjelaskan yang sebenarnya
mengingat cewek itu tak mungkin mengurung seharian di kamar. Karna dia tau
rencana gadis itu yang mengatakan hendak keliling Bali. Namun dia tak nyangka,
kalau Lista kabur dari penjagaannya dan jalan dengan Jayden. Mengingat hal itu,
membuat hatinya terbakar lagi.
Karen
yang cemburu melihat kamera dipegang Ando. ingin rasanya tangannya ini merebut
kamera itu lalu membuangnya ke tengah pantai hingga tak terlihat lagi. Dia sangat,
sangat tak rela apa yang dipegang cowok itu, ada nama Lista di dalamnya. Namun,
dia hanya bisa menghela napas untuk menghilangkan jengkelnya.
Dia
melirik Ando yang tatapannya mulai membara. Seperti ada api yang siap membakar
siapapun apabila ada yang berani berurusan dengannya. Namun, dia tak mengerti
darimana api di matanya itu berasal. “Ando..”
Kaget,
cowok itu menatapnya. Api di matanya perlahan meredup dan menghilang. “Iya...”
“Ayooo...”
Tanpa ragu Karen menariknya. Membawa Ando ke tempat yang disukainya dan
memberikan apa yang selama ini tak didapatnya dari Lista.
♥
Î ♥
Bian termenung di cafetaria rumah sakit sambil melirik suster – suster
yang sengaja lalu lalang di depannya. Mencari perhatian. Entahlah, beberapa
hari ini, sejak pertemuannya dengan Lhyesha membuatnya rela berada disini,
hanya untuk melihat gadis itu, dan dia terlalu malu bertanya pada mamanya
tentang suster itu. Takut diledek. Apalagi kalau sampai papahnya tau, waduh...
Minuman
yang dipesannya sudah habis beberapa jam yang lalu. Namun perutnya terlalu
kembung untuk memesan lagi. Dia serasa orang bodoh duduk disini tanpa tau apa tujuannya.
“Mungkin
gue pulang aja kali yah,” Dia melirik jam di tangannya dan berdiri dari
duduknya dan berjalan ke depan untuk membayar pesanannya. Asyik membayar sambil
bercanda dengan penjualnya, entah kenapa, dia melirik ke arah lain dan
tatapannya terkunci pada satu titik. Hatinya terasa kecewa.
Anin,
begitu dia memanggil gadis itu, asyik berbicara dengan cowok yang menurutnya
kalah ganteng darinya. Namun, bukan itu yang membuatnya kecewa, yang dia
kecewakan adalah ketika Anin, cewek itu tersenyum malu – malu sambil mencubit
pipi cowok agak gendut itu dengan gemas dan mereka berjalan meninggalkan rumah
sakit sambil berpegangan tangan erat. Seperti sepasang kekasih yang sangat
mesra. Entah kenapa, hatinya semakin sakit saja melihatnya.
“Mas
Bian, ini kembaliannya.” Suara Ravina, penjual minuman itu membuyarkan
lamunannya. Dia tersenyum mengambil kembaliannya, memasang kacamata hitam yang
selalu tergantung di bajunya dan mengenakannya, tak ingin Anin tau bahwa dia
ada disini.
♥
Î ♥
“Listaaa... kesinii...” Teriakan Jayden
membuat Lista yang asyik membuat istana pasir yang entah keberapa menoleh ke
arah cowok tampan itu. Dia tersenyum dengan apa yang dibuatnya.
Tulisan
di pasir yang bertuliskan namanya dan Jayden yang ditulis dengan indahnya. Yang
dilatari oleh matahari yang terbenam sebentar lagi.
Tapi...
Kenapa
hatinya merasa hambar? Kenapa hatinya berharap nama Jayden itu berubah menjadi
nama Ando? dan ada gambar love di tengah nama itu? Lalu mereka berfoto
di tengah nama itu dan berpelukan erat.
Harapan
macam apa ini?
Dan...
Matahari terbenam sempurna itu...
Kenapa
mengingatkannya dengan ciuman di pantai yang berujung bencana itu?
Apakah dia mengharapkannya? Apakah semua kesakitan yang dirasakannya hari ini karna dia mulai menyukai cowok itu tanpa sadar? Mulai membiarkan perasaan halus itu masuk lewat sela lubang kunci yang menutup rapat hatinya, mengelus dengan lembut kekerasan hatinya hingga akhirnya meluluh dan membiarkan perasaan itu memeluknya, sebelum akhirnya menusuk hatinya dari belakang. darahnya, jangan ditanya. Menggenang di sekitarnya.
“Tidak..”
Dia menggeleng kuat – kuat dengan pemikiran konyol itu. Dia tak mungkin
menyukai Ando. cowok playboy tengik, sialan itu. Dia pantas dengan
Karen. Serasi dengannya. Tapi...
Kenapa
hatinya tak rela? Kenapa hatinya berteriak, “Bukan dia yang pantas di sisi
Ando, tapi gue! Gue yang pantas di samping dia! Bukan wanita jadi – jadian
itu!”
Panggilan
Jayden yang semakin dekat membuat lamunannya pecah. Dia menatap sahabat pacar
kontraknya ini. Tampan, baik, romantis dan memperhatikannya tanpa perlu dia
berucap, mengikuti apa yang dia mau tanpa harus bertengkar seperti yang sering
dilakukan Ando, dan tak memaksakan kehendaknya. Semua terserah dirinya.
Tapi,
kenapa dia tak tersentuh? Kenapa dia malah tersentuh dengan perhatian Ando yang
sangat dia yakini, itu semata karna sifat playboynya keluar? Bukan
perhatian tulus dari hati paling dalam.
Memikirkan
semua ini membuatnya terluka. Membuatnya sadar, tak seharusnya dia marah
melihat Ando pelukan dengan Karen, melakukan apa yang dilakukan cowok itu
bersamanya dengan Karen. Toh mereka Cuma kontrak, mereka bukan pacar sungguhan.
Dan dia tak pantas marah. Memangnya siapa dirinya ini selain cewek bodoh yang
tak sadar status kalau dia pacar kontrak Ando untuk setahun ke depan. Dan
mereka akan putus apabila waktunya sudah habis.
“Kalau pacar kontrak, kalau semua
perhatian selama 6 bulan itu dirasa semu belaka, bagaimana dengan ciuman
kemaren itu? Apakah itu termasuk semu? Apakah itu termasuk salah satu paket
dalam pacar kontrak mereka? Kalau iya, kenapa rasanya selembut ini? Kenapa
rasanya sangat menyenangkan hingga membuatnya terbuai?”
“Mungkin, itu hanya nafsu. Mungkin,
itu karna pengaruh lingkungan romantis hingga membuat orang yang cintanya
terlarang pun, akan terbuai dan melakukannya. Seperti gue ini.” Lista menjawab pertanyaan dalam hatinya. Hatinya
semakin sakit.
“Lista...”
Jayden sekarang duduk di sampingnya. Menatap Lista yang hanya menatap detik –
detik matahari terbenam dengan sempurna ke peraduannya.
“Bagaimana perasaan lo?” Tanyanya sambil duduk
berdua disamping pacar sahabat dodolnya ini. Kadang dia bingung dengan Ando,
apa yang di pikiran cowok itu hingga menjerat cewek secantik, kepala batu
seperti Lista ini menjadi pacarnya. Tapi... seharian bersama Lista, berjalan
bersama, tertawa, saling menggoda dan melirik satu sama lain lalu tertawa lagi,
membuatnya tau apa yang membuat Ando tak sadar telah menyukainya.
Sifat
keras kepala, pantang disuruh kalah, berusaha mendapatkan sampai dapat, dan
hobi menggodanya membuatnya terlihat seperti Ando versi cewek. Tak mengherankan
mereka cocok.
“Capek
banget. tapi senang. Makasih yah, Jay.” Dia tak bohong. Jalan – jalan bersama
Jayden keliling Bali dengan naik motor sewaan, keluar masuk Pura sekedar
mengambil foto, belajar tari tradisional Bali dan memainkan alat musik satu
persatu, keliling masuk Galeri lukisan dan membeli beberapa, dengan uang sendiri
pastinya, membuat separuh bebannya
terangkat.
“Senang
liat lo bisa tersenyum, Lis.” Ucapnya tulus dan mendadak tangannya gatal hendak
merangkul lengan Lista. Namun ditariknya kembali. bagaimanapun juga, dia
melihat tanda cap tak terlihat kalau cewek disampingnya ini adalah pacar Ando.
yang tak bisa disentuh sembarangan kalau tak ingin kena hajar.
Lista
hanya tersenyum dan mulai mengambil kamera yang tersampir di sampingnya,
membidik lensa ke arah matahari terbenam beberapa kali sebelum mengarahkannya
ke Jayden yang asyik menghancurkan istana mainannya. Membuatnya menjerit.
“Jayden!
Lo itu yah!!!!” Teriaknya ketika Jayden berdiri dari tempatnya dan menendang
istana pasirnya hingga jatuh tak tersisa. Membuatnya geram dan mengejar Jayden yang
berlari sambil tertawa.
♥
Î ♥
Karen
tersenyum sangat puas melihat hasil fotonya. Tak sia – sia pergi ke pelosok
kampung di Bali paling ujung sekalipun bersama Ando untuk hunting.
Banyak pengalaman yang mereka dapatkan, banyak adat – istiadat yang dia tau
sekarang. Bahkan dia dan Ando saling membuat tato saat mereka ada di pinggir
pantai dan melihat pelukis tato nganggur. Ando membuat tato di pergelangan
tangan kanannya dengan tulisan entah apa namanya. namun dilihat dari bentuknya, terlihat sangat indah sekaligus
mistik. Sedangkan dirinya, puas dengan tato bertulisan namanya dalam bahasa
Arab di pergelangan tangan kanannya dan gambar bunga yang melingkar hingga
terlihat seperti gelang serta di belakang lehernya. Bahkan Ando memujinya dan
mengatakan itu sangat seksi. Membuatnya tersenyum senang. Dan mereka tak takut
kena sanksi sekolah karna tato ini bersifat bukan permanen.
Dia
melirik Ando yang asyik melihat hasil bidikannya dan sesekali tersenyum.
Melihat cowok itu tersenyum membuatnya tanpa sadar ikut tersenyum dan memandang
penjual minuman es kelapa yang mengantar pesanan mereka. Es kelapa biji satu
buah dengan dua sedotan.
“Pesanan
kita datang, Ndo.” Dia mencoleknya dan cowok itu menghentikan aktifitasnya dan
meminum pesanannya. Karen yang melihat itu, juga ikut meminumnya hingga mereka
saling bersentuhan lengan dan tertawa.
Entah karna mereka baru saja melihat turis asing sepanjang jalan saling berciuman, entah karna suasana sangat romantis dengan saling berbagi es kelapa, ditemani semilir angin yang lembut menerpa mereka yang duduk di tepi pantai, atau karna masalahnya dengan Lista yang membuatnya gila, dia tak menolak ketika Karen semakin mendekat ke arahnya, senyum terlihat menggoda di matanya, dan akhirnya mengecup bibirnya dengan lembut. Pada awalnya, sebelum akhirnya dia membalas respon itu dengan tak kalah nafsunya.
Entah karna mereka baru saja melihat turis asing sepanjang jalan saling berciuman, entah karna suasana sangat romantis dengan saling berbagi es kelapa, ditemani semilir angin yang lembut menerpa mereka yang duduk di tepi pantai, atau karna masalahnya dengan Lista yang membuatnya gila, dia tak menolak ketika Karen semakin mendekat ke arahnya, senyum terlihat menggoda di matanya, dan akhirnya mengecup bibirnya dengan lembut. Pada awalnya, sebelum akhirnya dia membalas respon itu dengan tak kalah nafsunya.
“Teruskan
saja kalian begitu,” Suara bergetar menahan emosi membuat mereka terdiam. Ando
menarik bibirnya dari Karen dan menoleh ke belakang. dia shock.
Elista
berada di belakangnya entah sejak kapan, diikuti Jayden yang menatapnya tak
percaya. Air mata menetes ketika gadis itu menutup matanya. Kenapa kesakitan
“Lo
memang cowok berengsek, Ando!”
aku suka bngt hih cerita..udh kepincut dari awal cerita erza-putra dan sampai anak2nya lista-ando
BalasHapus