Minggu, 29 Desember 2013

All About Love (Ini Tentangku, Tentang Kita, Tentang Mereka) Part 4 - Perasaan Kacau Balau!



Evangeline Fransesca.

Eva menatap sekeliling taman sekolah tanpa bersemangat. Tak menghiraukan angin berhembus lembut memainkan rambut panjangnya yang ia sampirkan di samping kanan. Entahlah, memimpikan Edric akhir  - akhir ini setelah beberapa hari yang lalu dia diantar pulang oleh cowok itu, membuatnya merasakan hawa horor seketika. Baginya, memimpikan ia bersama dengan Edric bercengkrama akrab adalah dunia paling absurd yang ia bayangkan. Sudi pun tidak untuk memimpikannya. Membahayakan hati dan pikirannya.
          “Eva...” Suara sahabatnya, Inggit memanggil dan ia menoleh ke arahnya yang sekarang berlari riang sambil meloncat – loncat seperti Tupai ke tempat dia duduk sekarang.
          “Apaan, Nggit?”
          “Udah liat pengumuman dari Ibu Arina belum?” Ibu Arina adalah guru balet, ekskul yang ia ikuti sekarang di sekolahnya. Dia tau gurunya satu itu sangat, sangat ambisius mencari peran utama yang sangat sempurna ntuk menjadi Odette, pemeran utama drama musikal Swan Lake. Drama yang akan dimainkan secara musikal oleh beliau dan suaminya yang kebetulan guru teater di sekolah lain dan menjalin kerjasama dengan sekolahnya sekarang. Dia mengikuti audisi itu sebulan yang lalu dan sangat, sangat berharap agar bisa ikut karna dia mencintai tarian balet beserta kerumitannya sejak berumur 7 tahun.
          “Pengumuman Odette?” Inggit mengiyakan dan ia semakin bersemangat saja. “Serius lo? Siapa? Siapa?”

          Inggit nyengir kuda. Melihat sahabat cantiknya yang entah kenapa bermuram durja akhir – akhir ini menjadi semangat ’45, membuatnya bersemangat ingin menggoda. “beneran mau tau, atau mau tau banget, Eva?”
          “Inggit! Gue serius nih!” Teriaknya ketika Inggit malah tertawa melihat ekspresi wajahnya yang mungkin- terlihat sangat frustasi. “Mending lo ikut gue deh.” Tanpa banyak cingcong, Ia langsung diseret Inggit setengah berlari menuju ruang Balet yang berada di lantai dua.

◊.◊.◊

        
Edric Hayman.
 
“Edric Hayman.” Panggilan Pak Philip, guru teater di saat ia sedang asyik membaca naskah drama untuk peran yang ia mainkan dua bulan lagi, membuat ia menoleh dan memutuskan ntuk menghampiri beliau yang duduk di atas panggung sambil sesekali membenarkan kacamata yang besarnya seperti bulan purnama itu.
          “Ada apa, pak?”
          “Kamu tau drama musikal Swan Lake?”
          Edric mengangguk. Mengikuti ekskul teater sejak SMP membuat ia sangat mengetahui cerita – cerita drama teater mulai dari menggenaskan hingga sarat kemanusiaan di setiap peran yang dimainkan. “Tau, pak. Memangnya ada apa?”
         
          “Begini, bapak punya ide brilian dengan istri, Ibu Arina yang kebetulan mengajar tarian balet di SMA Harapan untuk bergabung dan membuat drama musikal dengan judul Swan Lake. Dia sudah menemukan pemeran Odette yang sangat pas dan bapak tinggal mencari pemeran Pangeran dan Odile, adik Raja Rothbart yang nantinya akan menyamar menjadi Odette. Dan bapak sudah menemukan dua orang yang cocok memerankan tokoh itu.”

          Kalau tadi hanya Edric yang mendengarkan ucapan beliau, kini entah sejak kapan hampir semua anggota teater, termasuk Kimberly yang entah sejak kapan berada di sekitarnya. Tersenyum ketika ia menatapnya. Senyum menggoda. Tentu saja.
          “Bagaimana bapak bisa milih kalau kami tidak pernah di audisi?”
          “Bapak tak perlu audisi, Sandy ntuk mencari pemain cocok ntuk setiap cerita yang akan dipentaskan. Latihan kalian selama inilah yang sebenarnya audisi tak kasat mata ntuk bapak.” Jelas Pak Philip kepada Sandy, cowok berbadan kecil yang kini mangut – mangut sambil tersenyum salah tingkah karena ditegur.
          “Bapak memilih Edric sebagai pangeran Siegfried - Kamu jangan nolak, nak.” Dia melirik tajam ketika dilihat Edric siap melancarkan protesan yang amat sangat dihapalnya. Dia tau Edric selalu menolak setiap peran yang ia berikan dengan alasan masuk akal. Namun kali ini, drama musikal yang ia rancang sejak setahun yang lalu dengan istrinya itu takkan sudi gagal hanya karna salah satu pilihannya mengundurkan diri.
          “Saya gak bisa, pak.”
          “Bapak tak terima alasan kesekian kalinya, Edric Hayman. Ntuk apa kamu ikut teater selama 3 taun namun selalu menolak peran utama yang bapak berikan?”
          Edric menghela napas. Dia mencintai teater namun bukan berarti sudi terlibat di dalam suatu peran suatu saat nanti. Baginya latihan drama setiap hari dan mencoba peran baru tanpa harus dipentaskan sudah cukup. Tapi melihat tekad kuat pak tua yang menatap kearahnya tajam, dia menghela napas sekali lagi sambil menghitung dalam hati bahwa ribuan jam, ratusan ribu menit, dan jutaan detik yang ia miliki akan terkuras karna drama sialan ini.
          “Kalau saya Siegfried, siapa yang akan jadi Odille?”
          Pak Philip melirik Kim yang duduk berselonjor di lantai sambil menengadahkan wajah menatap langit – langit ruangan. Dari awal Kim masuk ke dalam sanggar dan menari  balet ketika ruangan sepi, pesona menggoda alami dan tatapan mata yang cantik membuatnya terasa sempurna. “Kimberly Vexia Raveno. Dia akan menjadi Odille.”

      
Kimberly Vexia Raveno.
   
Semua pandangan  kearah Kim sekarang. Membuatnya bingung sejenak namun tersenyum sambil berdiri. Kakinya yang serasa kesemutan serasa hilang entah kemana sekarang. “Terima kasih, pak atas perannya. Apa saya harus menari juga? Saya tidak terlalu jago berbalet ria, pak Philip.”

          “Kamu punya dasarnya, kan?” Tanyanya dan dia mengangguk. “Iya, pak. Tapi lupa.”
          “Kamu akan belajar dengan istri saya dan pemeran Odette nanti. Dia akan latihan disini setiap hari ntuk drama yang akan kita mainkan nanti.”

          Semuanya mangut – mangut setuju sambil melirik ke arah Kim. Menilai dari sisi mana yang menonjol hingga ia mendapat peran penting padahal baru beberapa bulan disini. Tapi ketika menemukan apa yang dicari, mereka mendesah pasrah. Sadar bahwa Kim memang cocok. “Tapi pak, siapa yang akan memerankan Odette nanti?”

          Tepat di saat salah satu anggota bertanya, pintu teater terbuka pelan dan masuklah dengan langkah anggun seorang wanita berbadan tinggi dengan rambut dicepol dan sorot mata lembut namun tegas, berjalan ke arah mereka diikuti seorang siswi dengan langkah menunduk. Rambut panjang ikalnya menutupi kiri kanan wajahnya hingga tak ada satupun yang melihat siapa dia.

          Ibu Arina menatap suaminya, Philip dengan senyum lebar. “Nah...” Suaranya melengking ketika berbicara dan dia menatap semua anggota teater dengan tajam. Seperti Burung Elang menyortir daerah kekuasaannya ntuk mencari beberapa kambing gendut yang kebetulan nyasar dan masuk ke dalam daerahnya. “Siapa pemeran Odille?”

          Kim maju dan tersenyum kepada guru berperawakan tinggi itu. Ibu Arina memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan tersenyum puas dengan pilihan suaminya. “Dia sangat cocok menjadi Odille, bukan begitu, Odette?”

          Gadis yang menunduk itu menengadahkan wajah dan menatap Kim lalu tersenyum manis. “Halo, Kimberly.”
          Kim tersenyum manis dan mengulurkan tangan. “Halo, Eva. Dan kenalkan pangeran Sengfried kita. Sumber patah hati lo karna gue.” Ucapnya asal dan menunjuk Edric.
          Eva tertawa dan mengikuti arah angan Kim yang menunjuk suami guru baletnya dan shock  ketika melihat siapa di samping beliau. Tatapan tajam hitam kelam yang bersorot ramah bahkan menggoda, senyum yang selalu tersungging dan beberapa kecupan kecil di wajahnya, semua kombinasi kegilaan alam pikiran yang muncul dalam mimpinya, kini tercetak jelas di kehidupan nyata. Hanya saja, semua hal – hal indah itu tergantikan dengan tatapan sinis, bibir tipis yang tak pernah tersenyum apalagi memberi kecupan di seluruh wajahnya, kini tepat di hadapan.

          “Edric?”

∞ ∞

          “Gue gak tau lo anggota teater.”
          “Memangnya penting ntuk lo tau?”
          “Gue Cuma berpendapat kok.”
          “Gue gak minta.” Edric melirik Eva yang menghela napas mendengar jawabannya. Entahlah, dipaksa melakukan sesuatu yang paling ia hindari membuat tensi darahnya semakin naik setiap menit berjalan.
          “Kayaknya gue selalu salah yah dimata lo, Edric.”
          “Mungkin. Apapun yang ada di pikiran lo soal gue,” Edric berdiri dari duduknya dan berdiri di depan Eva kemudian mendekatkan tubuhnya hingga punggung Eva membentur dinding dan tangan kirinya bertumpu di samping kiri. Menahan agar dia tak jatuh menimpanya. “Jangan pernah berpikir gue peduli.”

          “Edric...” Suara seksi bernada rendah menggugah kesadarannya. Dia menoleh dan melihat Kim berjalan ke arah mereka. Dengan tenang dia menjauh dari Eva yang masih saja bersandar dan menatap dirinya. Dia tak peduli. “Apa?”
          “Latihan, yuk.”Kim langsung merangkul lengan tangan Edric dan melirik Eva yang tersenyum. “sorry, Odette. Pangeran lo gue ‘culik’ dulu.”
          “Silahkan, Odille.”
          Kim tertawa dan setengah menyeret Edric ke tengah panggung. Tak peduli betapa jengkelnya cowok yang ia rangkul sekarang ini.

         
          Eva memperhatikan latihan mereka dari kursi penonton. Melihat betapa dinginnya Edric meladeni Kim yang menari serius di depannya. Entahlah, melihat kebersamaan mereka di atas panggung tepat di depannya, menimbulkan sensasi menggelisahkan dalam hatinya. Dia seakan ingin melangkah keluar selama pertunjukan dan akan kembali ketika selesai.

          Tapi dia tak bisa melakukannya. Dan itu membuatnya frustasi.
         
          “Kim berbahaya banget yah, Va.” Dia terlonjak dan melirik Fio yang duduk di sampingnya sambil menyodorkan cemilan ke arahnya. Dia mengambil tanpa ragu. “Kenapa?”
          “Lo gak lihat tatapan dia ke arah kakak gue, Va?” Fio memperhatikan bagaimana sintingnya Kim- namun menggoda di atas panggung. Menari anggun dengan mengenakan pakaian khusus balerina berwarna hitam dan mendekati Edric yang berdiri saja tanpa melakukan apa – apa. Tatapan matanya menggoda di balim topeng hitam yang ia kenakan, dia menari mendekati Edric, merangkul pundak cowok itu dan menariknya mendekat sambil berbisik sesuatu. Dan Kim menjatuhkan badannya dengan anggun dengan merangkul leher Edric sebagai pegangannya dan mendekatkan wajah mereka sekali lagi dan berbisik- lagi sambil menatap lurus – lurus. Entahlah apa yang dibisikkan, namun sanggup membuat Edric mendorong Kim menjauh dan merangkul pinggangnya ntuk mendekat lalu mengecup keningnya cepat. Entah kenapa, kecupan itu membuat Kim tersenyum senang dan melirik mereka berdua, terutama Eva dengan senyum ganjil dan fokus menari ke arah Edric lagi. Dengan gerakan lebih menggoda dan penuh kemenangan telak.

          Entahlah, semua tingkah gila yang dilihatnya sekarang membuat ia seperti dihajar telak dan tak bisa melakukan pembalasan. Tatapan mata Kim ketika mendapatkan kecupan dari Edric, sebuah perasaan asing menyelinap masuk ke dalam hatinya dan sukses membuat ia merasa sangat mual. Dia melirik Fio yang masih takjub dengan apa yang dilihatnya sekarang.

          “Kim memang gila.”

          Dan ia hanya mengangguk mengiyakan. Sambil berusaha menekan perasaan aneh yang semakin membuatnya mual dan membuat keinginan ntuk berlari keluar ruangan semakin kuat.

∞ ∞

          “Cium gue.”
          “Sinting!”      
          “Ayo, Edric! Cium gue! Sebuah drama romantis nyesek gak akan sukses kalau lo gak cium gue!” Kim berbisik di telinga Edric ketika mereka menari di atas panggung dengan tangannya merangkul mesra di pundak Edric dan berbisik mengusulkan ide gilanya. Dia tau tentang drama Swan lake dan memerankan sosok Odille yang sangat menggoda dan penuh muslihat adalah kelebihannya. Dengan Edric menjadi pasangannya itu adalah bonus luar biasa. Dan melihat Eva yang duduk sambil menatap tajam ke arah mereka membuat ia semakin bersemangat.
          “Ini latihan, Kim!”
          “Tetap aja harus serius, Edric! Ayolah... kiss me, please.
          “Gak.”
          “Edric...” Dia merangkulnya lebih erat hingga dada mereka bersentuhan. Lalu menjatuhkan tubuh ke bawah dengan menjadikan lehernya sebagai pegangan. Lalu Kim mendekat hingga mereka saling bertatapan lurus. “Kalau di Luar Negeri, gak ada ciuman dalam sebuah drama akan dianggap gagal total. Apalagi drama seperti Swan Lake yang romantis ini. Odille menyamar menjadi Odette, wanita yang dicintai Pangeran Segfried dan dia mendapatkan ciuman sekaligus sumpah cinta abadinya ntuk berubah menjadi manusia seutuhnya. Lo ingin, kan drama musikal pertama kita sukses? Bekerja samalah, Edric Hayman.” Bisiknya dengan nada merayu.

          Edric menatap tajam Kim yang mengerling menggoda dengan jarak sangat dekat ini. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan melihat Eva fokus menatapnya dengan tatapan aneh dan Fio- kembarannya yang melongo total hingga mengabaikan makanan yang digenggamnya sekarang.

          Entah pengaruh siapa yang lebih kuat, dia mendorong Kim menjauh lalu menarik pinggangnya agar mendekat dan mencium keningnya karna ia lebih tinggi dari gadis sialan ini.
          “Terakhir kali!”
          “Gue gak keberatan kalau Ibu Arina akan suka dengan ide ini dan meminta lo melakukan lebih, Edric. Untuk Kedua kalinya.

          Dia mendengus dan mendorong Kim menjauh yang tersenyum dan menari di depannya lagi. Dia melirik Eva dari sudut matanya dan melihat cewek itu terdiam lalu berbicara sebentar dengan Fio dan keluar dari ruangan dengan tatapan kagum para cowok melihatnya.

          Entah kenapa, dia merasa ada yang hilang sekarang. Namun perasaan itu lenyap ketika ibu Arina naik ke atas panggung dan bertepuk tangan penuh semangat sambil setuju dengan ide Kim ntuk berimprovisasi seperti di atas panggung – termasuk kecupan. Dia melirik tajam Kim yang sekarang tersenyum penuh kemenangan sangat telak sekarang ke arahnya.

∞ ∞
          “Mau kemana?” Annisa kaget luar biasa ketika membuka pintu rumah, tau – tau dia melihat Frans berdiri di depan pintu dengan senyum manis seperti biasa. Sanggup membuat ia seperti patung. Entahlah, sejak pertemuan di cafee itu, Frans lebih sering kerumahnya dan mengajak jalan daripada membuat ia dekat dengan Edric- seperti rencana awal. Dia tak keberatan kalau Frans melupakan rencana konyol itu, karna dia sangat ingin Frans berada di dekatnya.selalu.

          Tanpa sadar, entah sejak kapan dia sangat  menyukai cowok ini.

       
Annisa Dirgantara.
  
“Annisa? Lo mau kemana?” Suara dan tatapan bersahabat Frans membuat lamunannya buyar dan ia merasakan hangat pipinya sekarang. “M-mau ke pasar sebentar.”
          “Naik apa?”
          “Jalan kaki. Deket kok, kak.”
          “Gue antarin. Yuk.” Dia mengulurkan tangan ke arah Nisa. Menunggu ntuk dibalas. Namun gadis itu hanya menatap tangannya yang terulur dan tersenyum. “Gue mau jalan kaki saja, kak. Soalnya sempit sih dan mobil gak bisa masuk.”

          “Yaudah, kita jalan kaki.”
         
          “Jalan kaki, kak? Bareng gue?”

          Frans tersenyum mendengar pertanyaan Nisa yang dirasa sangat polos – atau bego itu dan mengacak rambut panjang yang sekarang diikat itu. “Iya, Annisa sayang. Emangnya lo mau gue jalan dengan siapa kalau bukan dengan lo?”

          Panggilan ‘sayang’  membuat senyumnya semakin lebar saja. Hatinya menghangat. “Kan siapa tau lo ogah ke pasar sama gue. Sejak kapan cowok mau menginjakkan kakinya ke pasar temanin cewek?”
          “Kalau untuk lo sih, gak kok. Yuk kita jalan. Ntar keburu semakin siang. Makin panas ntar.” Tanpa ragu dia menarik tangan Nisa dan merangkul jemarinya erat. Tak mempedulikan bahwa tingkahnya itu membuat Nisa kebat – kebit menahan gugup dan gembira tak terhingga dalam hati. Dengan ringan dia membalas rangkulan Frans sambil berbicara apa saja dalam perjalanan menuju pasar.

∞.∞

          “Kak Tian, kok diem?” Kim bingung dengan kebisuan Sebastian yang tak wajar. Biasanya setiap menjemput dia pulang sekolah, ada saja yang dia ceritakan dan menggodanya- tentu saja. Bukan Kim namanya kalau tak membalas godaan menjurus Tian dengan godaan tak kalah maut juga hingga nyaris mempraktekkan. Kalau sudah begitu, mereka hanya tertawa saja dan mengobrol yang ringan. Mengabaikan kejadian ‘nyaris’ itu.

          “Gue gak enak badan dari pagi tadi, Kim. Bersin mulu.” Selesai berkata begitu, Tian mulai bersin hebat hingga dia harus menarik tisu di atas dashbord dan mengelap hidung Tian yang mulai berair. Mereka saling bertatapan dan Kim melihat betapa merahnya mata Tian ketika melihatnya.
          “Gue aja yang bawa mobil, kak. Lo tidur.”
          “Yakin lo bisa? Ini setir sebelah kanan loh. Lo kan terbiasa di Kiri, Kim.”
          “Apa bedanya, kak? Gue bisa dua – duanya kok.” Dia tak bohong. Di Jerman, dia bisa membawa mobil semudah dia mengendarai sepeda. Bagaimanapun susahnya mobil itu.
          Tian mengalah. Kepalanya sudah cukup pusing ntuk meladeni Kim dan sakit pileknya ini. Dia menepikan mobil di tepi jalan dan turun. Namun ditahan Kim. “Yakin bisa turun tanpa cium aspal, kak?”
          “Kalaupun kejadian, gue bakal bayangin kalau yang gue cium itu bibir lo, Kim.” Dia mengerling jahil dan tertawa. Ternyata sakit parah tak membuat gombalan menjurus itu memudar.
          Kim tertawa mendengarnya. Dia mengecup pipi Tian dan merasakan hangatnya pipi itu ketika bersentuhan dengan bibirnya. “Bibir gue jangan disamain dengan aspal kali, kak.”
          “Gak kok, dek.” Tian mengacak rambut panjang terurai Kim dan turun dari mobil dan Kim mengikutinya ntuk bertukar posisi.
          “Gue tidur dulu yah, dek. Kalau sudah tiba dirumah, lo bangunin gue aja.” Ucapnya ketika menyandarkan tubuh di jok mobil empuknya dan menatap Kim yang memasang seatbelt dan mengikat rambutnya ke atas. “Beres, kak Tian. Lo tinggal tidur dan gue akan  bawa mobil ini dengan selamat.”
          “Bagus, cantik.” Dan Tian menutup mata untuk tidur beberapa menit dengan ditemani senandung merdu Kim yang menyanyikan lagu yang diputar di radio.


∞.∞

         
Fransisco Boulanger.
“Hujan...” Ucap Frans sambil menengadahkan tangan kirinya ketika tetesan hujan terasa deras. Cepat – cepat dia menarik Nisa untuk berteduh di sebuah toko yang tutup sebelum mereka basah kuyup dan mengambil barang belanjaan yang ada ditangan gadis itu ntuk memudahkan berlari.
          “Dingin, kak.” Nisa menatap langit yang mendung dan mendesah. Dia sangat kedinginan karna tetesan air hujan mengenai langsung ke bajunya. Membuat ia serasa disiram oleh seember batu es beserta airnya.
          Frans meletakkan belanjaan Nisa ke tanah dan melepas jaket tebal yang ia kenakan itu lalu meletakkan di pundak Nisa. Membuat gadis itu terkejut dan menatapnya. “Kenapa, kak dilepas?”
          “Gue gak tega liat lo kedinginan gitu. Udah pakai aja jaket gue sementara.” Ucap Frans sambil berdiri di hadapan Nisa dan membantu gadis itu menngenakan jaketnya yang terlihat agak besar di tubuhnya. Perhatian manis Frans membuat wajahnya merona padam. Dia tak pernah diperlakukan segitu manisnya oleh cowok tampan macam Frans. Dan perhatian ini membuat ia semakin menyukainya.

          “Lapar gak, Nis?” Tanya Frans ketika hujan semakin deras saja. Padahal perutnya sudah demo minta diisikan.
          Nisa menggeleng. “Gak sih, kak. Cuma gue pengen pulang kerumah aja, nih. Gak tahan lama – lama di pasar. Bau..” Dia berbisik ke arah Frans yang menundukkan badannya. Dan ketika melihat becak lewat di depan mereka, cepat – cepat dia memberi isyarat ntuk berhenti.

          “Kak, kita naik becak aja gimana pulangnya?” Tanya Nisa ketika becak yang ia panggil itu menghampiri mereka. Dan Frans mengangguk. “Lo naik aja duluan, Nis. Gue mau beli gorengan dulu. Takutnya maag gue kumat kalau telat ngasih setoran.” Dan Nisa tertawa mendengar ucapan Frans yang lucu itu lalu mengangguk. “Oke, kak.”

          Frans membantu membawakan belanjaan Nisa ke dalam becak dan gadis itu untuk naik. Dengan tubuh basah kuyup dia berlari lagi ke samping jalan yang menjual gorengan dan membelinya. Sedangkan Nisa mengarahkan paman becak itu ntuk menghampiri Frans agar cowok itu tak semakin kehujanan lagi karna menghampirinya.

          Frans langsung naik ke dalam becak dengan plastik putih berisi gorengan yang masih panas itu di tangannya. Dan paman becak itu menutup depan mereka dengan terpal kecil dan kusam agar air hujan tak menciprati dari depan. Nisa dan Frans saling berpandangan lalu tersenyum geli melihat mereka sekarang duduk berdempetan seolah tanpa batas.
         
Mereka membisu di dalam becak yang berjalan pelan menyusuri kota Bandung yang diguyur hujan deras. Sesekali Nisa membuka mulutnya ketika Frans menyuapi sedikit tempe yang sudah ditiupi cowok itu agar dingin ke dalam mulutnya. Dia tersenyum ke arah Frans dan spontn menyentuh rambut hitam dan tebalnya yang basah karna hujan.
“Kenapa, Nisa?” Tanya Frans lembut sambil menatap tepat ke mata Nisa yang coklat – kehitaman. Wajah putihnya merona padam dan bibir yang awalnya menggigil kedinginan karna hujan, kini digigit pelan karna gugup. Ketika tangan Nisa yang mengelus wajahnya terlepas, dia merasakan kehilangan. Seolah tak ingin tangan lembut itu menghilang dari pipinya.
Nisa gugup setengah mati ketika tangan Frans terasa sangat dingin di pipinya yang merona padam. Dia menatap Frans yang tersenyum dan merasakan bahwa jarak wajah mereka semakin dekat. Seolah saling berbagi napas, saling menyentuh ujung hidung, merasakan dagunya didongkak keatas oleh tangan yang lembut, dan merasakan sesuatu yang lembut dan dingin menyentuh bibirnya lembut ntuk pertama kali dan mengecupnya pelan.
          Pada awalnya hanya kecupan ringan saja. Antisipasi kalau – kalau Nisa menarik diri menjauh dari sentuhannya. Tapi, ketika cewek itu membalas ciumannya ragu – ragu dan menutup mata seolah menikmati sentuhannya. Membuatnya sadar ini adalah ciuman pertama Nisa. Hatinya serasa ringan karna bahagia bahwa dia adalah yang pertama ntuk gadis itu.

          “Bagaimana, Nisa?” Dia melepas ciumannya dengan lembut dan memegang pinggang Nisa yang dirasa lemas karna sentuhannya. Nisa membuka mata dan menatap Frans dengan wajah semakin merah padam. Ini ciuman pertamanya, yang dilakukan oleh cowok yang dia sukai. Oh Tuhan... inikah rasanya ciuman pertama dengan orang yang kita sukai? Pantas saja semua teman – temannya meributkan hal ini.
“Kalau ciuman pertama seperti ini rasanya, That so awesome.”  Ucapan terlalu jujur itu membuat Frans tertawa dan meletakkan gorengan yang aga mendingin itu di salah satu plastik belanja Nisa dan merangkul pinggang gadis itu dengan erat agar mendekat padanya. Mengabaikan bahwa orang lain bisa melihat apa yang mereka lakukan dibalik terpal kusam. Dan mengabaikan hujan semakin deras membasahi kota Bandung.

“Senang menjadi yang pertama, Nisa.” Dan dia mencium Nisa sekali lagi dan merasakan gadis itu membalasnya dengan melingkarkan tangan mulus itu ke lehernya untuk menghapuskan jarak yang tersisa di antara mereka.

“Gue bersumpah, hujan deras akan menjadi hal yang paling gue cinta dan takkan pernah gue benci lagi. Karena, di saat inilah gue berciuman dengan cowok yang gue suka.” Ucapnya riang dalam hati.

∞.∞

“Kamu ngapain, Kim?” Dia terlonjak dan hampir saja menjatuhkan panci berisi bubur buatannya ketika mendengar seseorang menyapanya. Dia menoleh dan melihat mama Tian, tante Lyesha masuk ke dapur dan mengambil air minum di kulkas. Tatapan matanya sangat tajam memperhatikan setiap gerakannya yang menuang bubur buatannya ke dalam mangkok putih beserta lauk dan segelas air putih beserta obat di atas nampan.
“Halo, Tante.” Dia tersenyum menyiapkan dan mengangkat nampan itu.  Mengabaikan tatapan tajam yang ia terima sejak menginjakkan kaki disini.“Bikinin bubur ntuk Tian, tante. Dia bilang gak enak badan dan gak mau makan, jadi Kim bikinin bubur saja. Permisi, tante.”
“Hmmm... setau tante, Tian gak suka makan bubur loh, Kim.”
Kim  berhenti melangkah dan menoleh. “Tau kok tante. Tapi apa salahnya dicoba? Mungkin Tian bakal mau makan kalau Kim yang bikin. Lagipula Kim punya kiat kok ntuk bikin dia makan. Tenang saja, tante.” Dia tersenyum manis dan bersiul – siul naik ke lantai atas dengan nampan ditangan. Mengabaikan tante Lyesha yang setengah meradang karna ucapannya yang terlalu jujur.

Sebastian Pradipta.
“Kak Tian.. buka pintunya dong.” Dia memegang nampan dengan tangan kiri dan tangan kanan mengetuk pintu. Namun tak ada respon dan ia memegang gerendel pintu yang langsung terbuka. Dia masuk ke dalam kamar Tian ntuk pertama kalinya dan melihat sekeliling. Kamar bernuansa hitam – putih terlihat sangat luas dan maskulin ntuk cowok macam Tian. Di sudut kamar ada rak buku super besar yang berisi diktat  diktat kuliahnya dan beberapa bacaan menarik yang ia kenal, dan di atas meja belajar, dia melihat pigura cantik yang berisi foto Tian yang tersenyum dengan merangkul seorang cewek yang agak dia kenal sedang tersenyum manis di samping. Penasaran, dia meletakkan nampan berisi makanan itu di atas nakas dan mengambil pigura itu ntuk lebih jelas siapa yang dirangkul Tian. Ketika mengetahuinya, dia terkejut. Shock!

Mungkinkah Tian selama ini ...

Dia melirik Tian yang tidur bertelungkup tanpa mengenakan pakaian. Hanya celana panjang saja. Rupanya setelah  menjemputnya ke sekolah, cowok itu langsung melepaskan pakaiannya dan tidur dengan posisi tragis begini. Kim duduk disamping Tian dan mengusap rambutnya pelan.

“Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tak mungkin bisa kita dapatkan, kak?” Bisiknya di telinga Tian dengan sedih. Dia tau cewek itu. Yah.. cewek yang takkan pernah bisa disentuh Tian. Takkan pernah.

Karena siapapun bisa melihat, ke arah mana cewek itu meletakkan hatinya.

“Menggodaku, sayang?” Dia kaget karna bisikannya membuat Tian bersuara parau dan sangat seksi ditelinganya. Tangan kanannya ditarik dan ia jatuh terlentang di atas ranjang dengan Tian yang sekarang berubah posisi menjadi di atas tubuhnya. Menopang kedua tubuhnya yang hangat dengan tangan di samping kiri – kanannya. Mata hijau toska yang indah itu setengah terpejam dan rambut acak – acakkan membuat ia mendadak sulit menelan ludah.
“Kak Tian.. ini gue, Kim.”
“Hmmm...” Tian mendekat ke arah leher Kim yang jenjang dan mengecupnya. Bibir yang hangat karna demam menyentuh titik sensitif membuat Kim merasa tersengat. Dia mencoba berkata – kata, namun mulutnya dibungkam oleh tangan kiri Tian dan ketika dia ingin menyingkirkan dengan kedua tangannya, tau – tau Tian menyekap keduanya di atas kepala. Membuat ia tak bisa bergerak kemana – mana.
Like it, darl? I guess so.” Tian mengecup pangkal tenggorokan Kim dan menggigitnya ketika dirasa ada getaran. Membuatnya terpekik kaget dalam bungkaman.
Kim menggerak – gerakkan tangannya yang dicekal Tian di atas kepala dan berusaha menggigit tangan yang menutup mulutnya ketika bibir Tian yang panas karna demam itu semakin menggila di leher dan kini menjalar ke telinga kiri dengan menggigit pelan cupingnya. Membuat ia semakin  berusaha menggerakkan tangannya dengan keras agar Tian sadar dari pengaruh obat apa yang ditelan cowok itu.
Usahanya sukses. Tian perlahan membuka mata dan langsung meloncat berdiri ke samping ranjang. Matanya melotot. Wajahnya bingung. “Kenapa lo tidur di ranjang gue, Kim?”
“Hah?”Kim melongo total mendengar ucapan Tian yang bertolak belakang dengan apa yang ia lakukan tadi sambil mengusap – usap pergelangan tangannya yang memerah dan lehernya yang memanas di titik – titik tertentu. Dia bangkit dari ranjang tanpa mengabaikan tatapan Tian yang mengikuti dan berdiri di depan kaca. Lehernya penuh dengan kiss mark dari tengkuk hingga ke pangkal tenggorokan dan menjalar di bawah telinga kirinya ketika ia berpaling. “Lo gak sadar, kak apa yang lo lakuin barusan?”
“Memangnya gue lakukan apa?”

Ya Tuhan...

Lo minum obat apa sih?! Lo ‘nyerang’ gue, kak! Liat nih!” Kim menunjukkan bekas – bekas ‘jajahan’ Tian di sekitar lehernya. Dia mengamati gerakan mata Tian yang menyelusuri lehernya dan jemari tangan yang kini mengusapnya. Mengikuti arah jejak itu. Membuat ia panas dingin tanpa sadar. Titik sensitifnya disentuh lembut oleh cowok bertelanjang dada yang bersuhu panas karna demam, membuat ia merasa semakin demam saja.
“Jejak yang bagus.” Tian tersenyum geli melihat hasil perbuatannya dan menatap Kim yang tersenyum menggoda. “Lo semakin sakit, semakin mesum aja yah, kak.”
          “Jujur deh, lo suka, kan?” Tian mengedipkan mata jahil dan sorot menggoda ketika Kim membalas tatapannya dengan penuh tantangan. “Mungkin. Kalau saja lo gak dalam kondisi sakit, kak.”
          Tian bersin ketika mendengar ucapan Kim dan melirik ke atas nakas samping ranjangnya. Dia mengernyit. “Lo bawa apaan, dek?”
          “Oh...” Kim berbalik menghampiri nampan yang berisi semangkuk bubur, segelas air putih dan obat di atas nakas. Lalu ia letakkan di atas ranjang Tian dan menepuk ranjang di sampingnya agar Tian duduk. “Bubur buatan gue khusus lo, kak.”
          “Gue gak mau makan.”
          “Harus, kak Tian.”
          “Gue bakal makan tapi..” Dia melirik Kim yang mengenakan celana pendek selutut dan tank – top berwarna merah. Pakaian wajibnya bila ia dirumah. “Apa yang gue dapatkan, dek?”
          Kim tertawa terbahak – bahak. Dia berdiri dan berjalan ke arah Tian yang melipat tangan di depan dada. Matanya berkilat jahil. “Apa aja deh, kak.” Dia mengecup pipi kanan Tian yang panas karna demam yang mungkin semakin tinggi apabila tak dikasih obat. Membuatnya khawatir dalam hati.
          Tian tertawa dan merangkul Kim lalu duduk bersama di atas ranjang. Mereka bertatapan. “Oke deh.”
          Kim tersenyum riang dan menyuapi Tian dengan pelan. Mengabaikan kejadian ‘nyaris’ itu sekali lagi dan beribu pertanyaan yang menggantung ketika melihat pigura foto itu.

∞.∞

     
Fiorenca Mellody Hayman.
    
“Gue pengen punya pacar...” Desah Fio sambil menatap langit malam ditemani keempat burung merpati peliharaannya yang makan di bawah kakinya. Cerita histeris Nisa tadi sore dengan Frans, cerita Ine dengan pacar barunya,membuat ia iri dan menghela napas.
          “Kapan yah gue punya pacar?” Dia bertanya pada keempat burung merpatinya yang asyik makan tanpa menghiraukan kegalau hati tuannya. “Bahkan, burung aja punya jodoh. Kok gue yang jelas – jelas manusia belum nemu yah? Huaaaa...” Frustasi dengan kegalauan tak masuk akal, dia mengacak rambutnya sendiri.
          “Berisik banget sih lo, Fio!” Ucapan bernada dingin dan ketus menusuk hati membuat ia menoleh ke belakang dan melihat kakaknya memegang skateboard berwarna hitam metalik beserta pelindung di kedua siku tangannya. Dia manyun. “Lo ngomong kayak udah punya pacar aja, kak.”
          “Gue gak butuh pacar. Punya kembaran macam lo aja udah cukup gambarin bagaimana nasib gue kalau punya pacar ntar. Bikin tensi darah naik.”
          Fio mendumel mendengar ucapannya. “Lo gak gay kan, kak? Omongan lo kayak anti cewek aja.”
          “Mungkin iya.” Jawabnya santai sambil mengenakan sepatu kets dan menatap Fio yang manyun. “Kalau ceweknya lo.”
          “Ogah gue kalau punya cowok macam lo, kak.”
          “Gue juga ogah punya pacar macam lo yang hobinya berdiri di depan cermin kayak patung peraga.”

          Grrrr...
         
Fio mengabaikan ucapan Edric yang jelas – jelas menyudutkan. “By the way, Lo mau kemana, kak?”
          “Ke sekolah bentar. Gue ketinggalan draft  di ruang teater. Bikin rempong hidup aja!” Edric menggerutu karna seharian berkutat di ruang teater hanya drama musikal sialan itu! Kenapa harus dia yang dipilih? Berulang kali dia meyakinkan pak philip ntuk memilih yang lain, berulang kali juga dia diceramahi panjang – pendek oleh sepasang suami istri agar menerima dengan ikhlas. Belum lagi ulah Kim yang tak wajar di matanya, tatapan mata Eva yang entah kenapa, membuat perutnya bergejolak aneh setiap mereka tak sengaja bertatapan. Semua kegilaan itu membuat kepalanya semakin sakit saja!


Fio yang mengetahui kesusahan kakaknya, hanya tersenyum saja. “Hati – hati, kak.”
Edric tak menjawab. Dia keluar dari taman diikuti Fio dari belakang. Ketika tiba di depan pintu, dia terhenti dan menatap adiknya yang penuh sorot tanda tanya di binar matanya yang unik itu. “Jaga rumah. Awas kalau lo bikin onar. Dan jangan masuk kamar gue kalau gak ingin dipeluk James.”
“Gue juga ogah dipeluk ular. Iya.. iya, kak Edric.” Ucapnya jijik ketika merasakan bagaimana ular phyton jinak milik Edric itu memeluknyahingga kebablasan ingin meremukkan tulang – tulangnya. Dia terlalu sayang dengan diri sendiri ntuk menyerahkan hidup pada ular gendut itu.
Edric meluncur di atas skateboard dengan lihai menuju sekolah yang lumayan dekat dengan kompleks rumahnya sambil menikmati angin malam yang berhembus dan suasana yang takkan dia dapatkan ketika mengendarai mobil.

∞.∞

“Konsentrasi, Eva! Kamu harus bisa membayangkan bagaimana jadi Odille yang sakit hati ketika melihat pangeran impiannya berdansa dengan gadis lain yang mirip dengan kamu! Tarian kamu tidak menunjukkan itu! Kamu menari asal!” Omelan Ibu Arina yang kesekian kalinya membuat ia frustasi setengah hidup sekarang. Dia bingung dimana letak kesalahannya hingga harus mengulang beberapa kali tarian melelahkan ini. Dan dia bisa merasakan tatapan Edric yang semakin sinis saja karna harus mengulang adegan yang sama hingga nyaris hapal diluar kepala.
“Kimberly. Tunjukkan pada Eva bagaimana rasanya menjadi Odille.” Perintah Ibu Arina membuat Kim tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya sambil menundukkan badan dengan kaki kiri disilang ke depan. Ketika gadis itu mendongkakkan wajah ke atas, entah kenapa tatapan mata biru laut itu bersorot menantang dan menggoda.
Kim berbalik dan menatap Edric dan dirinya bergantian. Lalu dia menari dengan anggun dan penuh menggoda. Setiap gerakannya, tatapan mata yang fokus kepada Edric, senyum wajah yang mengundang, dan sentuhan – sentuhan kecil dari Kim di wajah Edric kemudian merangkul lehernya dan berbisik-entah apa di telinga cowok itu. Sanggup membuat perutnya bergejolak aneh ketika Edric memegang pinggang Kim dan mencium pipinya. Membuatnya ingin berlari saja. Ingin...

“Arrrgghh!” Eva terduduk di lantai dengan tubuh luar biasa lelah karena menari frustasi tanpa arah selama 4 jam hingga kaki – kakinya bengkak. Dia melepas sepatu baletnya dan dilemparnya menjauh lalu ia menundukkan wajah. Entahlah, kejadian siang tadi membuat gejolak perutnya semakin aneh saja. Dia tak paham dan tak ingin memahami apa maksud dari semua perasaan ini.
Tapi  ingatan tentang Kim dan Edric siang tadi itu masih terputar jelas di kepalanya. Bagaimana rangkulan erat Edric di pinggang Kim, bagaimana tatapan cewek itu menatap Edric lalu menatapnya penuh penilaian. Tatapan yang membuatnya terintimidasi tanpa sadar dan ingin berteriak agar semua kesintingan ini dihentikan saja!
Eva berdiri  dan berjalan menuju sudut ruangan dengan langkah tertatih sambil mengernyit kesakitan. Kakinya terlalu bengkak ntuk berjalan normal hingga dia harus berjinjit. Ketika tiba, dia langsung duduk berselonjor di lantai dan menjerit tertahan karna sakit luar biasa. Sambil menahan tangis, dia mencoba memejamkan mata ntuk tidur. Sekedar menghilangkan sakit di kaki sebelum dia pulang kerumah.

∞.∞

“Siapa yang masih disini jam 8 malam?” Edric bingung ketika dia masuk kedalam ruang latihan, lampu – lampu masih menyala terang dan terdengar musik sendu di kejauhan. Penasaran, dia memasuki ruang kaca yang biasa digunakan para penari ntuk melihat diri mereka sendiri dan terkejut ketika melihat Eva tertidur dengan mimik kesakitan di wajahnya. Dia mendekat dan menyentuh wajahnya lembut lalu beralih menyentuh telapak kakinya. Sentuhan lembutnya ternyata membuat kernyitan kesakitan semakin dalam saja.
“Eva... bangun.” Edric mencoba mengguncang tubuhnya, namun entah terlalu nyenyak tertidur atau bagaimana, Eva tak jua membuka mata.
“Evangeline Fransesca, Open your eyes, please.” Dia berbisik sambil mengguncang pelan tubuh langsing gadis itu. Namun tak jua direspon. Bahkan kepalanya terkulai lemas ke bawah hingga buru – buru ia duduk disamping Eva dan menyandarkan kepala gadis itu dibahu kanannya. Melihat Eva tersenyum dengan perbuatan spontan itu, membuat ia menghela napas.
“Alamat pulang malam gue kalau begini.”
Dia menyandarkan kepalanya di dinding dan melirik kaki Eva yang bengkak. Mungkin, kalau gadis ini sudah bangun dia akan menyuruh- bukan, memaksanya ntuk dibawa ke tukang pijat agar sembuh. Entah kenapa, pikiran ini membuat ia menggeleng kepalanya penuh stres.
“Ini terakhir kalinya gue baik sama lo, Eva.” Ucapnya dingin dan kaget ketika gadis itu merespon dengan merangkul tangannya. Rangkulan yang membuatnya tersenyum dan membalas respon itu sambil mengecup dahi Eva dari samping.

“Dasar putri tidur.”

∞.∞

Annisa menatap langit – langit kamar dengan penuh senyum. Kejadian siang tadi hingga dia mendapatkan ciuman pertama dengan Frans masih terbayang di atas kepalanya. Dia memekik pelan karna malu dan mengambil guling ntuk menutupi wajah yag merona. Dia sangat, sangat malu mengingat setiap detik kejadian itu. Ciuman Frans di seluruh wajah dan berakhir di bibir yang direspon dengan semangat olehnya, membuat ia hanya bisa berguling ria di ranjang ntuk mengurangi rasa malunya.

“Jadi lo pacaran dengan Frans sekarang, Nis?” Tanya Syrena, sahabatnya ketika ia menelpon siang tadi setelah Frans pulang ntuk menceritakan kejadian paling berharga seumur hidupnya.
“Gue gak tau, Rena. Tapi dia kan cium gue. Otomatis dia suka sama gue, kan? Kalau gak suka, dia gak akan lakuin itu.”
“Belum tentu, Nisa. Mungkin itu hanyalah nafsu ketika jadi dia melakukan itu. Walaupun ciuman adalah detektor alami perasaan kita ketika kata – kata tak bisa menggambarkan, bukan berarti  itu adalah tanda dia memiliki perasaan dengan kita. Lo harus amati bagaimana tingkah dia dengan lo sekarang, apakah tetap perhatian atau menjauh setelah mencium lo. Gue bukannya hancurin impian lo, Nis. Cuma gue gak mau lo terlalu berharap banyak dengan Frans dan sakit ketika dia menjatuhkan lo tiba – tiba. Cowok bukan makhluk yang mudah ditebak, Nis. Sama susahnya dengan mencari jarum di tengah lautan jerami.”

Nasihat Syrena, sahabatnya terngiang lagi. “Jangan mempercayai cowok 100%” terdoktrin kuat di dalam otaknya. Ingin dia mempercayai itu, tapi sifat Frans yang baik, penuh perhatian, lembut dan selalu mendengarkan keinginannya dan tau apa yang dia rasakan tanpa harus berucap, membuatnya percaya Frans juga menyukainya. Dan semua ini membuatnya serasa terbang di atas awan dan yakin Frans takkan membuatnya jatuh ke kubangan lumpur hingga ia tak bisa berdiri lagi.

“Frans, gue suka sama lo.”

∞.∞

Kim menatap langit malam dari balkon kamarnya. Dia baru saja masuk kamar setelah kak Tian tertidur pulas dengan perawatan intensifnya. Walaupun selama itu juga dia dijadikan sasaran godaan menjurus. Tapi bukan Kim namanya kalau tak bisa membuat Tian tersenyum dan tertawa di depannya.
Tapi, foto di atas meja belajar Tian mengganggu hatinya. Berulang kali dia menoleh, dia selalu melihat foto Tian merangkul seorang gadis dengan rambut terurai panjang ikal dan tersenyum manis ke arah kamera. Posisi yang sangat pas dilihat dari berbagai macam sudut. Membuat ia merasa, dimanapun Tian berdiri, foto itu akan selalu terlihat.

“Bagaimana rasanya mencintai seseorang sejak lama, dan sadar lo takkan bisa mendapatkan hatinya? Sekuat apapun yang lo lakuin?” Tanya Kim ketika melirik Tian yang menatap foto itu dengan tatapan sayang. Tatapan yang membuatnya sakit hati.
“Dan bagaimana rasanya berusaha melupakan seseorang yang lo cinta, meskipun lo sadar semua itu sia – sia?” Pertanyaan Tian membuat ia terdiam dan mengaduk – aduk buburnya. Baru kali ini ia mati kutu.
“Jangan alihkan pembicaraan, kak.”
“Bukan mengalihkan. Hanya ingin menjawab pertanyaan lo, Kim. Karna apapun yang lo rasakan sekarang, itulah yang gue rasakan. Simpel’kan? Namun menyakitkan.”

Kim terdiam. Percakapan yang ingin ia lupakan itu terngiang lagi. Dia menghela napas. Begini rasanya sakit melupakan seseorang yang sudah mengisi hatinya sejak lama. Begitu susah, begitu sesak hingga terkadang dia nyaris ingin pulang ke Jerman ntuk melupakan semua hal tentangnya.

Dia seharusnya sadar ketika menerima ajakan Tian ntuk ke Indonesia dan tinggal sementara disini. Karena semua itu berpotensi untuk mengulang semuanya yang pernah dia alami. Dia pulang ke Indonesia bukan ntuk menggoda Edric seperti tujuan awal. Bukan seperti itu. Tapi ntuk bertemu seseorang yang terkadang membuatnya gila hingga ia sering menangis tengah malam karna merindukannya.

Suara ponsel membuyarkan lamunannya. Dia terperanjat dan setengah berlari menghampiri ponselnya dan terdiam. Namanya terpampang jelas di layar ponsel. 4 tahun nomor ini menghiasi harinya dan kini kembali menghubungi. Haruskah dia mengangkatnya?

Kim terdiam. Dia mati kutu dua kali. Dengan satu hela napas, dia menekan tombol hijau dan mendekatkan di telinga.
“Halo...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar