![]() |
Evangeline Fransesca. |
Eva menatap
sekeliling taman sekolah tanpa bersemangat. Tak menghiraukan angin berhembus
lembut memainkan rambut panjangnya yang ia sampirkan di samping kanan.
Entahlah, memimpikan Edric akhir - akhir
ini setelah beberapa hari yang lalu dia diantar pulang oleh cowok itu,
membuatnya merasakan hawa horor seketika. Baginya, memimpikan ia bersama dengan
Edric bercengkrama akrab adalah dunia paling absurd yang ia bayangkan. Sudi pun
tidak untuk memimpikannya. Membahayakan hati dan pikirannya.
“Eva...” Suara sahabatnya, Inggit
memanggil dan ia menoleh ke arahnya yang sekarang berlari riang sambil meloncat
– loncat seperti Tupai ke tempat dia duduk sekarang.
“Apaan, Nggit?”
“Udah liat pengumuman dari Ibu Arina
belum?” Ibu Arina adalah guru balet, ekskul yang ia ikuti sekarang di
sekolahnya. Dia tau gurunya satu itu sangat, sangat ambisius mencari peran
utama yang sangat sempurna ntuk menjadi Odette, pemeran utama drama musikal
Swan Lake. Drama yang akan dimainkan secara musikal oleh beliau dan suaminya
yang kebetulan guru teater di sekolah lain dan menjalin kerjasama dengan
sekolahnya sekarang. Dia mengikuti audisi itu sebulan yang lalu dan sangat,
sangat berharap agar bisa ikut karna dia mencintai tarian balet beserta
kerumitannya sejak berumur 7 tahun.
“Pengumuman Odette?” Inggit mengiyakan
dan ia semakin bersemangat saja. “Serius lo? Siapa? Siapa?”
Inggit nyengir kuda. Melihat sahabat
cantiknya yang entah kenapa bermuram durja akhir – akhir ini menjadi semangat
’45, membuatnya bersemangat ingin menggoda. “beneran mau tau, atau mau tau
banget, Eva?”
“Inggit! Gue serius nih!” Teriaknya
ketika Inggit malah tertawa melihat ekspresi wajahnya yang mungkin- terlihat
sangat frustasi. “Mending lo ikut gue deh.” Tanpa banyak cingcong, Ia langsung
diseret Inggit setengah berlari menuju ruang Balet yang berada di lantai dua.
◊.◊.◊
![]() |
Edric Hayman. |
“Ada apa, pak?”
“Kamu tau drama musikal Swan Lake?”
Edric mengangguk. Mengikuti ekskul
teater sejak SMP membuat ia sangat mengetahui cerita – cerita drama teater
mulai dari menggenaskan hingga sarat kemanusiaan di setiap peran yang
dimainkan. “Tau, pak. Memangnya ada apa?”
“Begini, bapak punya ide brilian
dengan istri, Ibu Arina yang kebetulan mengajar tarian balet di SMA Harapan
untuk bergabung dan membuat drama musikal dengan judul Swan Lake. Dia sudah
menemukan pemeran Odette yang sangat pas dan bapak tinggal mencari pemeran
Pangeran dan Odile, adik Raja Rothbart yang nantinya akan menyamar menjadi
Odette. Dan bapak sudah menemukan dua orang yang cocok memerankan tokoh itu.”
Kalau tadi hanya Edric yang
mendengarkan ucapan beliau, kini entah sejak kapan hampir semua anggota teater,
termasuk Kimberly yang entah sejak kapan berada di sekitarnya. Tersenyum ketika
ia menatapnya. Senyum menggoda. Tentu saja.
“Bagaimana bapak bisa milih kalau kami
tidak pernah di audisi?”
“Bapak tak perlu audisi, Sandy ntuk
mencari pemain cocok ntuk setiap cerita yang akan dipentaskan. Latihan kalian
selama inilah yang sebenarnya audisi tak kasat mata ntuk bapak.” Jelas Pak
Philip kepada Sandy, cowok berbadan kecil yang kini mangut – mangut sambil
tersenyum salah tingkah karena ditegur.
“Bapak memilih Edric sebagai pangeran
Siegfried - Kamu jangan nolak, nak.” Dia melirik tajam ketika dilihat Edric
siap melancarkan protesan yang amat sangat dihapalnya. Dia tau Edric selalu
menolak setiap peran yang ia berikan dengan alasan masuk akal. Namun kali ini,
drama musikal yang ia rancang sejak setahun yang lalu dengan istrinya itu
takkan sudi gagal hanya karna salah satu pilihannya mengundurkan diri.
“Saya gak bisa, pak.”
“Bapak tak terima alasan kesekian
kalinya, Edric Hayman. Ntuk apa kamu ikut teater selama 3 taun namun selalu
menolak peran utama yang bapak berikan?”
Edric menghela napas. Dia mencintai
teater namun bukan berarti sudi terlibat di dalam suatu peran suatu saat nanti.
Baginya latihan drama setiap hari dan mencoba peran baru tanpa harus
dipentaskan sudah cukup. Tapi melihat tekad kuat pak tua yang menatap kearahnya
tajam, dia menghela napas sekali lagi sambil menghitung dalam hati bahwa ribuan
jam, ratusan ribu menit, dan jutaan detik yang ia miliki akan terkuras karna
drama sialan ini.
“Kalau saya Siegfried, siapa yang akan
jadi Odille?”
Pak Philip melirik Kim yang duduk
berselonjor di lantai sambil menengadahkan wajah menatap langit – langit
ruangan. Dari awal Kim masuk ke dalam sanggar dan menari balet ketika ruangan sepi, pesona menggoda
alami dan tatapan mata yang cantik membuatnya terasa sempurna. “Kimberly Vexia
Raveno. Dia akan menjadi Odille.”
![]() |
Kimberly Vexia Raveno. |
“Kamu punya dasarnya, kan?” Tanyanya
dan dia mengangguk. “Iya, pak. Tapi lupa.”
“Kamu akan belajar dengan istri saya
dan pemeran Odette nanti. Dia akan latihan disini setiap hari ntuk drama yang
akan kita mainkan nanti.”
Semuanya mangut – mangut setuju sambil
melirik ke arah Kim. Menilai dari sisi mana yang menonjol hingga ia mendapat
peran penting padahal baru beberapa bulan disini. Tapi ketika menemukan apa
yang dicari, mereka mendesah pasrah. Sadar bahwa Kim memang cocok. “Tapi pak,
siapa yang akan memerankan Odette nanti?”
Tepat di saat salah satu anggota
bertanya, pintu teater terbuka pelan dan masuklah dengan langkah anggun seorang
wanita berbadan tinggi dengan rambut dicepol dan sorot mata lembut namun tegas,
berjalan ke arah mereka diikuti seorang siswi dengan langkah menunduk. Rambut
panjang ikalnya menutupi kiri kanan wajahnya hingga tak ada satupun yang
melihat siapa dia.
Ibu Arina menatap suaminya, Philip
dengan senyum lebar. “Nah...” Suaranya melengking ketika berbicara dan dia
menatap semua anggota teater dengan tajam. Seperti Burung Elang menyortir
daerah kekuasaannya ntuk mencari beberapa kambing gendut yang kebetulan nyasar
dan masuk ke dalam daerahnya. “Siapa pemeran Odille?”
Kim maju dan tersenyum kepada guru
berperawakan tinggi itu. Ibu Arina memperhatikannya dari ujung kepala sampai
ujung kaki dan tersenyum puas dengan pilihan suaminya. “Dia sangat cocok
menjadi Odille, bukan begitu, Odette?”
Gadis yang menunduk itu menengadahkan
wajah dan menatap Kim lalu tersenyum manis. “Halo, Kimberly.”
Kim tersenyum manis dan mengulurkan
tangan. “Halo, Eva. Dan kenalkan pangeran Sengfried kita. Sumber patah hati lo
karna gue.” Ucapnya asal dan menunjuk Edric.
Eva tertawa dan mengikuti arah angan
Kim yang menunjuk suami guru baletnya dan shock
ketika melihat siapa di samping
beliau. Tatapan tajam hitam kelam yang bersorot ramah bahkan menggoda, senyum
yang selalu tersungging dan beberapa kecupan kecil di wajahnya, semua kombinasi
kegilaan alam pikiran yang muncul dalam mimpinya, kini tercetak jelas di
kehidupan nyata. Hanya saja, semua hal – hal indah itu tergantikan dengan
tatapan sinis, bibir tipis yang tak pernah tersenyum apalagi memberi kecupan di
seluruh wajahnya, kini tepat di hadapan.
“Edric?”
∞ ∞
“Gue gak tau lo anggota teater.”
“Memangnya penting ntuk lo tau?”
“Gue Cuma berpendapat kok.”
“Gue gak minta.” Edric melirik Eva
yang menghela napas mendengar jawabannya. Entahlah, dipaksa melakukan sesuatu
yang paling ia hindari membuat tensi darahnya semakin naik setiap menit
berjalan.
“Kayaknya gue selalu salah yah dimata
lo, Edric.”
“Mungkin. Apapun yang ada di pikiran
lo soal gue,” Edric berdiri dari duduknya dan berdiri di depan Eva kemudian
mendekatkan tubuhnya hingga punggung Eva membentur dinding dan tangan kirinya
bertumpu di samping kiri. Menahan agar dia tak jatuh menimpanya. “Jangan pernah
berpikir gue peduli.”
“Edric...” Suara seksi bernada rendah
menggugah kesadarannya. Dia menoleh dan melihat Kim berjalan ke arah mereka.
Dengan tenang dia menjauh dari Eva yang masih saja bersandar dan menatap
dirinya. Dia tak peduli. “Apa?”
“Latihan, yuk.”Kim langsung merangkul
lengan tangan Edric dan melirik Eva yang tersenyum. “sorry, Odette. Pangeran lo gue ‘culik’ dulu.”
“Silahkan, Odille.”
Kim tertawa dan setengah menyeret
Edric ke tengah panggung. Tak peduli betapa jengkelnya cowok yang ia rangkul
sekarang ini.
Eva memperhatikan latihan mereka dari
kursi penonton. Melihat betapa dinginnya Edric meladeni Kim yang menari serius
di depannya. Entahlah, melihat kebersamaan mereka di atas panggung tepat di
depannya, menimbulkan sensasi menggelisahkan dalam hatinya. Dia seakan ingin
melangkah keluar selama pertunjukan dan akan kembali ketika selesai.
Tapi
dia tak bisa melakukannya. Dan itu membuatnya frustasi.
“Kim berbahaya banget yah, Va.” Dia
terlonjak dan melirik Fio yang duduk di sampingnya sambil menyodorkan cemilan
ke arahnya. Dia mengambil tanpa ragu. “Kenapa?”
“Lo gak lihat tatapan dia ke arah
kakak gue, Va?” Fio memperhatikan bagaimana sintingnya Kim- namun menggoda di
atas panggung. Menari anggun dengan mengenakan pakaian khusus balerina berwarna
hitam dan mendekati Edric yang berdiri saja tanpa melakukan apa – apa. Tatapan
matanya menggoda di balim topeng hitam yang ia kenakan, dia menari mendekati
Edric, merangkul pundak cowok itu dan menariknya mendekat sambil berbisik sesuatu.
Dan Kim menjatuhkan badannya dengan anggun dengan merangkul leher Edric sebagai
pegangannya dan mendekatkan wajah mereka sekali lagi dan berbisik- lagi sambil
menatap lurus – lurus. Entahlah apa yang dibisikkan, namun sanggup membuat
Edric mendorong Kim menjauh dan merangkul pinggangnya ntuk mendekat lalu
mengecup keningnya cepat. Entah kenapa, kecupan itu membuat Kim tersenyum
senang dan melirik mereka berdua, terutama Eva dengan senyum ganjil dan fokus
menari ke arah Edric lagi. Dengan gerakan lebih menggoda dan penuh kemenangan
telak.
Entahlah, semua tingkah gila yang
dilihatnya sekarang membuat ia seperti dihajar telak dan tak bisa melakukan
pembalasan. Tatapan mata Kim ketika mendapatkan kecupan dari Edric, sebuah
perasaan asing menyelinap masuk ke dalam hatinya dan sukses membuat ia merasa
sangat mual. Dia melirik Fio yang masih takjub dengan apa yang dilihatnya
sekarang.
“Kim memang gila.”
Dan ia hanya mengangguk mengiyakan.
Sambil berusaha menekan perasaan aneh yang semakin membuatnya mual dan membuat
keinginan ntuk berlari keluar ruangan semakin kuat.
∞ ∞
“Cium gue.”
“Sinting!”
“Ayo, Edric! Cium gue! Sebuah drama
romantis nyesek gak akan sukses kalau lo gak cium gue!” Kim berbisik di telinga
Edric ketika mereka menari di atas panggung dengan tangannya merangkul mesra di
pundak Edric dan berbisik mengusulkan ide gilanya. Dia tau tentang drama Swan lake dan memerankan sosok Odille
yang sangat menggoda dan penuh muslihat adalah kelebihannya. Dengan Edric
menjadi pasangannya itu adalah bonus luar biasa. Dan melihat Eva yang duduk
sambil menatap tajam ke arah mereka membuat ia semakin bersemangat.
“Ini latihan, Kim!”
“Tetap aja harus serius, Edric!
Ayolah... kiss me, please.”
“Gak.”
“Edric...” Dia merangkulnya lebih erat
hingga dada mereka bersentuhan. Lalu menjatuhkan tubuh ke bawah dengan
menjadikan lehernya sebagai pegangan. Lalu Kim mendekat hingga mereka saling
bertatapan lurus. “Kalau di Luar Negeri, gak ada ciuman dalam sebuah drama akan
dianggap gagal total. Apalagi drama seperti Swan
Lake yang romantis ini. Odille menyamar menjadi Odette, wanita yang
dicintai Pangeran Segfried dan dia mendapatkan ciuman sekaligus sumpah cinta abadinya
ntuk berubah menjadi manusia seutuhnya. Lo ingin, kan drama musikal pertama
kita sukses? Bekerja samalah, Edric Hayman.” Bisiknya dengan nada merayu.
Edric menatap tajam Kim yang
mengerling menggoda dengan jarak sangat dekat ini. Dia mengedarkan pandangan ke
sekeliling dan melihat Eva fokus menatapnya dengan tatapan aneh dan Fio-
kembarannya yang melongo total hingga mengabaikan makanan yang digenggamnya
sekarang.
Entah pengaruh siapa yang lebih kuat,
dia mendorong Kim menjauh lalu menarik pinggangnya agar mendekat dan mencium
keningnya karna ia lebih tinggi dari gadis sialan ini.
“Terakhir kali!”
“Gue gak keberatan kalau Ibu Arina
akan suka dengan ide ini dan meminta lo melakukan lebih, Edric. Untuk Kedua kalinya.”
Dia mendengus dan mendorong Kim
menjauh yang tersenyum dan menari di depannya lagi. Dia melirik Eva dari sudut
matanya dan melihat cewek itu terdiam lalu berbicara sebentar dengan Fio dan
keluar dari ruangan dengan tatapan kagum para cowok melihatnya.
Entah kenapa, dia merasa ada yang
hilang sekarang. Namun perasaan itu lenyap ketika ibu Arina naik ke atas
panggung dan bertepuk tangan penuh semangat sambil setuju dengan ide Kim ntuk
berimprovisasi seperti di atas panggung – termasuk kecupan. Dia melirik tajam
Kim yang sekarang tersenyum penuh kemenangan sangat telak sekarang ke arahnya.
∞ ∞
“Mau kemana?” Annisa kaget luar biasa
ketika membuka pintu rumah, tau – tau dia melihat Frans berdiri di depan pintu
dengan senyum manis seperti biasa. Sanggup membuat ia seperti patung. Entahlah,
sejak pertemuan di cafee itu, Frans lebih sering kerumahnya dan mengajak jalan
daripada membuat ia dekat dengan Edric- seperti rencana awal. Dia tak keberatan
kalau Frans melupakan rencana konyol itu, karna dia sangat ingin Frans berada
di dekatnya.selalu.
Tanpa
sadar, entah sejak kapan dia sangat
menyukai cowok ini.
![]() |
Annisa Dirgantara. |
“Naik apa?”
“Jalan kaki. Deket kok, kak.”
“Gue antarin. Yuk.” Dia mengulurkan tangan ke arah Nisa. Menunggu ntuk dibalas. Namun gadis itu hanya menatap tangannya yang terulur dan tersenyum. “Gue mau jalan kaki saja, kak. Soalnya sempit sih dan mobil gak bisa masuk.”
“Gue antarin. Yuk.” Dia mengulurkan tangan ke arah Nisa. Menunggu ntuk dibalas. Namun gadis itu hanya menatap tangannya yang terulur dan tersenyum. “Gue mau jalan kaki saja, kak. Soalnya sempit sih dan mobil gak bisa masuk.”
“Yaudah, kita jalan kaki.”
“Jalan kaki, kak? Bareng gue?”
Frans tersenyum mendengar pertanyaan
Nisa yang dirasa sangat polos – atau bego itu dan mengacak rambut panjang yang
sekarang diikat itu. “Iya, Annisa sayang. Emangnya lo mau gue jalan dengan
siapa kalau bukan dengan lo?”
Panggilan ‘sayang’ membuat senyumnya
semakin lebar saja. Hatinya menghangat. “Kan siapa tau lo ogah ke pasar sama
gue. Sejak kapan cowok mau menginjakkan kakinya ke pasar temanin cewek?”
“Kalau untuk lo sih, gak kok. Yuk kita
jalan. Ntar keburu semakin siang. Makin panas ntar.” Tanpa ragu dia menarik
tangan Nisa dan merangkul jemarinya erat. Tak mempedulikan bahwa tingkahnya itu
membuat Nisa kebat – kebit menahan gugup dan gembira tak terhingga dalam hati.
Dengan ringan dia membalas rangkulan Frans sambil berbicara apa saja dalam
perjalanan menuju pasar.
∞.∞
“Kak Tian, kok diem?” Kim bingung
dengan kebisuan Sebastian yang tak wajar. Biasanya setiap menjemput dia pulang
sekolah, ada saja yang dia ceritakan dan menggodanya- tentu saja. Bukan Kim
namanya kalau tak membalas godaan menjurus Tian dengan godaan tak kalah maut
juga hingga nyaris mempraktekkan. Kalau sudah begitu, mereka hanya tertawa saja
dan mengobrol yang ringan. Mengabaikan kejadian ‘nyaris’ itu.
“Gue gak enak badan dari pagi tadi,
Kim. Bersin mulu.” Selesai berkata begitu, Tian mulai bersin hebat hingga dia
harus menarik tisu di atas dashbord
dan mengelap hidung Tian yang mulai berair. Mereka saling bertatapan dan Kim
melihat betapa merahnya mata Tian ketika melihatnya.
“Gue aja yang bawa mobil, kak. Lo
tidur.”
“Yakin lo bisa? Ini setir sebelah
kanan loh. Lo kan terbiasa di Kiri, Kim.”
“Apa bedanya, kak? Gue bisa dua –
duanya kok.” Dia tak bohong. Di Jerman, dia bisa membawa mobil semudah dia
mengendarai sepeda. Bagaimanapun susahnya mobil itu.
Tian mengalah. Kepalanya sudah cukup
pusing ntuk meladeni Kim dan sakit pileknya ini. Dia menepikan mobil di tepi
jalan dan turun. Namun ditahan Kim. “Yakin bisa turun tanpa cium aspal, kak?”
“Kalaupun kejadian, gue bakal bayangin
kalau yang gue cium itu bibir lo, Kim.” Dia mengerling jahil dan tertawa.
Ternyata sakit parah tak membuat gombalan menjurus itu memudar.
Kim tertawa mendengarnya. Dia mengecup
pipi Tian dan merasakan hangatnya pipi itu ketika bersentuhan dengan bibirnya.
“Bibir gue jangan disamain dengan aspal kali, kak.”
“Gak kok, dek.” Tian mengacak rambut
panjang terurai Kim dan turun dari mobil dan Kim mengikutinya ntuk bertukar
posisi.
“Gue tidur dulu yah, dek. Kalau sudah
tiba dirumah, lo bangunin gue aja.” Ucapnya ketika menyandarkan tubuh di jok
mobil empuknya dan menatap Kim yang memasang seatbelt dan mengikat rambutnya ke atas. “Beres, kak Tian. Lo
tinggal tidur dan gue akan bawa mobil
ini dengan selamat.”
“Bagus, cantik.” Dan Tian menutup mata
untuk tidur beberapa menit dengan ditemani senandung merdu Kim yang menyanyikan
lagu yang diputar di radio.
∞.∞
![]() |
Fransisco Boulanger. |
“Dingin, kak.” Nisa menatap langit
yang mendung dan mendesah. Dia sangat kedinginan karna tetesan air hujan
mengenai langsung ke bajunya. Membuat ia serasa disiram oleh seember batu es
beserta airnya.
Frans meletakkan belanjaan Nisa ke
tanah dan melepas jaket tebal yang ia kenakan itu lalu meletakkan di pundak
Nisa. Membuat gadis itu terkejut dan menatapnya. “Kenapa, kak dilepas?”
“Gue gak tega liat lo kedinginan gitu.
Udah pakai aja jaket gue sementara.” Ucap Frans sambil berdiri di hadapan Nisa
dan membantu gadis itu menngenakan jaketnya yang terlihat agak besar di
tubuhnya. Perhatian manis Frans membuat wajahnya merona padam. Dia tak pernah
diperlakukan segitu manisnya oleh cowok tampan macam Frans. Dan perhatian ini
membuat ia semakin menyukainya.
“Lapar gak, Nis?” Tanya Frans ketika
hujan semakin deras saja. Padahal perutnya sudah demo minta diisikan.
Nisa menggeleng. “Gak sih, kak. Cuma
gue pengen pulang kerumah aja, nih. Gak tahan lama – lama di pasar. Bau..” Dia
berbisik ke arah Frans yang menundukkan badannya. Dan ketika melihat becak
lewat di depan mereka, cepat – cepat dia memberi isyarat ntuk berhenti.
“Kak, kita naik becak aja gimana
pulangnya?” Tanya Nisa ketika becak yang ia panggil itu menghampiri mereka. Dan
Frans mengangguk. “Lo naik aja duluan, Nis. Gue mau beli gorengan dulu.
Takutnya maag gue kumat kalau telat ngasih setoran.” Dan Nisa tertawa mendengar
ucapan Frans yang lucu itu lalu mengangguk. “Oke, kak.”
Frans membantu membawakan belanjaan
Nisa ke dalam becak dan gadis itu untuk naik. Dengan tubuh basah kuyup dia
berlari lagi ke samping jalan yang menjual gorengan dan membelinya. Sedangkan
Nisa mengarahkan paman becak itu ntuk menghampiri Frans agar cowok itu tak
semakin kehujanan lagi karna menghampirinya.
Frans langsung naik ke dalam becak
dengan plastik putih berisi gorengan yang masih panas itu di tangannya. Dan
paman becak itu menutup depan mereka dengan terpal kecil dan kusam agar air
hujan tak menciprati dari depan. Nisa dan Frans saling berpandangan lalu
tersenyum geli melihat mereka sekarang duduk berdempetan seolah tanpa batas.
Mereka
membisu di dalam becak yang berjalan pelan menyusuri kota Bandung yang diguyur
hujan deras. Sesekali Nisa membuka mulutnya ketika Frans menyuapi sedikit tempe
yang sudah ditiupi cowok itu agar dingin ke dalam mulutnya. Dia tersenyum ke
arah Frans dan spontn menyentuh rambut hitam dan tebalnya yang basah karna
hujan.
“Kenapa,
Nisa?” Tanya Frans lembut sambil menatap tepat ke mata Nisa yang coklat –
kehitaman. Wajah putihnya merona padam dan bibir yang awalnya menggigil
kedinginan karna hujan, kini digigit pelan karna gugup. Ketika tangan Nisa yang
mengelus wajahnya terlepas, dia merasakan kehilangan. Seolah tak ingin tangan
lembut itu menghilang dari pipinya.
Nisa
gugup setengah mati ketika tangan Frans terasa sangat dingin di pipinya yang
merona padam. Dia menatap Frans yang tersenyum dan merasakan bahwa jarak wajah
mereka semakin dekat. Seolah saling berbagi napas, saling menyentuh ujung
hidung, merasakan dagunya didongkak keatas oleh tangan yang lembut, dan
merasakan sesuatu yang lembut dan dingin menyentuh bibirnya lembut ntuk pertama
kali dan mengecupnya pelan.
Pada awalnya hanya kecupan ringan
saja. Antisipasi kalau – kalau Nisa menarik diri menjauh dari sentuhannya.
Tapi, ketika cewek itu membalas ciumannya ragu – ragu dan menutup mata seolah
menikmati sentuhannya. Membuatnya sadar ini adalah ciuman pertama Nisa. Hatinya
serasa ringan karna bahagia bahwa dia adalah yang pertama ntuk gadis itu.
“Bagaimana, Nisa?” Dia melepas ciumannya
dengan lembut dan memegang pinggang Nisa yang dirasa lemas karna sentuhannya.
Nisa membuka mata dan menatap Frans dengan wajah semakin merah padam. Ini
ciuman pertamanya, yang dilakukan oleh cowok yang dia sukai. Oh Tuhan... inikah
rasanya ciuman pertama dengan orang yang kita sukai? Pantas saja semua teman –
temannya meributkan hal ini.
“Kalau
ciuman pertama seperti ini rasanya, That
so awesome.” Ucapan terlalu jujur
itu membuat Frans tertawa dan meletakkan gorengan yang aga mendingin itu di
salah satu plastik belanja Nisa dan merangkul pinggang gadis itu dengan erat
agar mendekat padanya. Mengabaikan bahwa orang lain bisa melihat apa yang
mereka lakukan dibalik terpal kusam. Dan mengabaikan hujan semakin deras
membasahi kota Bandung.
“Senang
menjadi yang pertama, Nisa.” Dan dia mencium Nisa sekali lagi dan merasakan
gadis itu membalasnya dengan melingkarkan tangan mulus itu ke lehernya untuk
menghapuskan jarak yang tersisa di antara mereka.
“Gue bersumpah, hujan
deras akan menjadi hal yang paling gue cinta dan takkan pernah gue benci lagi.
Karena, di saat inilah gue berciuman dengan cowok yang gue suka.” Ucapnya riang dalam hati.
∞.∞
“Kamu
ngapain, Kim?” Dia terlonjak dan hampir saja menjatuhkan panci berisi bubur
buatannya ketika mendengar seseorang menyapanya. Dia menoleh dan melihat mama
Tian, tante Lyesha masuk ke dapur dan mengambil air minum di kulkas. Tatapan
matanya sangat tajam memperhatikan setiap gerakannya yang menuang bubur
buatannya ke dalam mangkok putih beserta lauk dan segelas air putih beserta
obat di atas nampan.
“Halo,
Tante.” Dia tersenyum menyiapkan dan mengangkat nampan itu. Mengabaikan tatapan tajam yang ia terima
sejak menginjakkan kaki disini.“Bikinin bubur ntuk Tian, tante. Dia bilang gak
enak badan dan gak mau makan, jadi Kim bikinin bubur saja. Permisi, tante.”
“Hmmm...
setau tante, Tian gak suka makan bubur loh, Kim.”
Kim berhenti melangkah dan menoleh. “Tau kok
tante. Tapi apa salahnya dicoba? Mungkin Tian bakal mau makan kalau Kim yang
bikin. Lagipula Kim punya kiat kok ntuk bikin dia makan. Tenang saja, tante.”
Dia tersenyum manis dan bersiul – siul naik ke lantai atas dengan nampan
ditangan. Mengabaikan tante Lyesha yang setengah meradang karna ucapannya yang
terlalu jujur.
![]() |
Sebastian Pradipta. |
Mungkinkah Tian selama
ini ...
Dia
melirik Tian yang tidur bertelungkup tanpa mengenakan pakaian. Hanya celana
panjang saja. Rupanya setelah
menjemputnya ke sekolah, cowok itu langsung melepaskan pakaiannya dan
tidur dengan posisi tragis begini. Kim duduk disamping Tian dan mengusap
rambutnya pelan.
“Bagaimana
rasanya mencintai seseorang yang tak mungkin bisa kita dapatkan, kak?” Bisiknya
di telinga Tian dengan sedih. Dia tau cewek itu. Yah.. cewek yang takkan pernah
bisa disentuh Tian. Takkan pernah.
Karena siapapun bisa
melihat, ke arah mana cewek itu meletakkan hatinya.
“Menggodaku,
sayang?” Dia kaget karna bisikannya membuat Tian bersuara parau dan sangat
seksi ditelinganya. Tangan kanannya ditarik dan ia jatuh terlentang di atas
ranjang dengan Tian yang sekarang berubah posisi menjadi di atas tubuhnya.
Menopang kedua tubuhnya yang hangat dengan tangan di samping kiri – kanannya.
Mata hijau toska yang indah itu setengah terpejam dan rambut acak – acakkan
membuat ia mendadak sulit menelan ludah.
“Kak
Tian.. ini gue, Kim.”
“Hmmm...”
Tian mendekat ke arah leher Kim yang jenjang dan mengecupnya. Bibir yang hangat
karna demam menyentuh titik sensitif membuat Kim merasa tersengat. Dia mencoba
berkata – kata, namun mulutnya dibungkam oleh tangan kiri Tian dan ketika dia
ingin menyingkirkan dengan kedua tangannya, tau – tau Tian menyekap keduanya di
atas kepala. Membuat ia tak bisa bergerak kemana – mana.
“Like it, darl? I guess so.” Tian
mengecup pangkal tenggorokan Kim dan menggigitnya ketika dirasa ada getaran.
Membuatnya terpekik kaget dalam bungkaman.
Kim
menggerak – gerakkan tangannya yang dicekal Tian di atas kepala dan berusaha
menggigit tangan yang menutup mulutnya ketika bibir Tian yang panas karna demam
itu semakin menggila di leher dan kini menjalar ke telinga kiri dengan
menggigit pelan cupingnya. Membuat ia semakin
berusaha menggerakkan tangannya dengan keras agar Tian sadar dari
pengaruh obat apa yang ditelan cowok itu.
Usahanya
sukses. Tian perlahan membuka mata dan langsung meloncat berdiri ke samping
ranjang. Matanya melotot. Wajahnya bingung. “Kenapa lo tidur di ranjang gue,
Kim?”
“Hah?”Kim
melongo total mendengar ucapan Tian yang bertolak belakang dengan apa yang ia
lakukan tadi sambil mengusap – usap pergelangan tangannya yang memerah dan
lehernya yang memanas di titik – titik tertentu. Dia bangkit dari ranjang tanpa
mengabaikan tatapan Tian yang mengikuti dan berdiri di depan kaca. Lehernya
penuh dengan kiss mark dari tengkuk
hingga ke pangkal tenggorokan dan menjalar di bawah telinga kirinya ketika ia
berpaling. “Lo gak sadar, kak apa yang lo lakuin barusan?”
“Memangnya
gue lakukan apa?”
Ya Tuhan...
“Lo minum obat apa sih?! Lo ‘nyerang’
gue, kak! Liat nih!” Kim menunjukkan bekas – bekas ‘jajahan’ Tian di sekitar
lehernya. Dia mengamati gerakan mata Tian yang menyelusuri lehernya dan jemari
tangan yang kini mengusapnya. Mengikuti arah jejak itu. Membuat ia panas dingin
tanpa sadar. Titik sensitifnya disentuh lembut oleh cowok bertelanjang dada
yang bersuhu panas karna demam, membuat ia merasa semakin demam saja.
“Jejak
yang bagus.” Tian tersenyum geli melihat hasil perbuatannya dan menatap Kim
yang tersenyum menggoda. “Lo semakin sakit, semakin mesum aja yah, kak.”
“Jujur deh, lo suka, kan?” Tian
mengedipkan mata jahil dan sorot menggoda ketika Kim membalas tatapannya dengan
penuh tantangan. “Mungkin. Kalau saja lo gak dalam kondisi sakit, kak.”
Tian bersin ketika mendengar ucapan
Kim dan melirik ke atas nakas samping ranjangnya. Dia mengernyit. “Lo bawa
apaan, dek?”
“Oh...” Kim berbalik menghampiri
nampan yang berisi semangkuk bubur, segelas air putih dan obat di atas nakas.
Lalu ia letakkan di atas ranjang Tian dan menepuk ranjang di sampingnya agar
Tian duduk. “Bubur buatan gue khusus lo, kak.”
“Gue gak mau makan.”
“Harus, kak Tian.”
“Gue bakal makan tapi..” Dia melirik
Kim yang mengenakan celana pendek selutut dan tank – top berwarna merah. Pakaian wajibnya bila ia dirumah. “Apa
yang gue dapatkan, dek?”
Kim tertawa terbahak – bahak. Dia
berdiri dan berjalan ke arah Tian yang melipat tangan di depan dada. Matanya
berkilat jahil. “Apa aja deh, kak.” Dia mengecup pipi kanan Tian yang panas
karna demam yang mungkin semakin tinggi apabila tak dikasih obat. Membuatnya
khawatir dalam hati.
Tian tertawa dan merangkul Kim lalu
duduk bersama di atas ranjang. Mereka bertatapan. “Oke deh.”
Kim tersenyum riang dan menyuapi Tian
dengan pelan. Mengabaikan kejadian ‘nyaris’ itu sekali lagi dan beribu
pertanyaan yang menggantung ketika melihat pigura foto itu.
∞.∞
![]() |
Fiorenca Mellody Hayman. |
“Kapan yah gue punya pacar?” Dia
bertanya pada keempat burung merpatinya yang asyik makan tanpa menghiraukan
kegalau hati tuannya. “Bahkan, burung aja punya jodoh. Kok gue yang jelas –
jelas manusia belum nemu yah? Huaaaa...” Frustasi dengan kegalauan tak masuk
akal, dia mengacak rambutnya sendiri.
“Berisik banget sih lo, Fio!” Ucapan
bernada dingin dan ketus menusuk hati membuat ia menoleh ke belakang dan
melihat kakaknya memegang skateboard
berwarna hitam metalik beserta pelindung di kedua siku tangannya. Dia manyun.
“Lo ngomong kayak udah punya pacar aja, kak.”
“Gue gak butuh pacar. Punya kembaran
macam lo aja udah cukup gambarin bagaimana nasib gue kalau punya pacar ntar.
Bikin tensi darah naik.”
Fio mendumel mendengar ucapannya. “Lo
gak gay kan, kak? Omongan lo kayak
anti cewek aja.”
“Mungkin iya.” Jawabnya santai sambil
mengenakan sepatu kets dan menatap Fio yang manyun. “Kalau ceweknya lo.”
“Ogah gue kalau punya cowok macam lo,
kak.”
“Gue juga ogah punya pacar macam lo
yang hobinya berdiri di depan cermin kayak patung peraga.”
Grrrr...
Fio mengabaikan ucapan Edric yang jelas – jelas menyudutkan. “By the way, Lo mau kemana, kak?”
Fio mengabaikan ucapan Edric yang jelas – jelas menyudutkan. “By the way, Lo mau kemana, kak?”
“Ke sekolah bentar. Gue ketinggalan draft di ruang teater. Bikin rempong hidup aja!”
Edric menggerutu karna seharian berkutat di ruang teater hanya drama musikal
sialan itu! Kenapa harus dia yang dipilih? Berulang kali dia meyakinkan pak
philip ntuk memilih yang lain, berulang kali juga dia diceramahi panjang –
pendek oleh sepasang suami istri agar menerima dengan ikhlas. Belum lagi ulah
Kim yang tak wajar di matanya, tatapan mata Eva yang entah kenapa, membuat
perutnya bergejolak aneh setiap mereka tak sengaja bertatapan. Semua kegilaan
itu membuat kepalanya semakin sakit saja!
Fio
yang mengetahui kesusahan kakaknya, hanya tersenyum saja. “Hati – hati, kak.”
Edric
tak menjawab. Dia keluar dari taman diikuti Fio dari belakang. Ketika tiba di
depan pintu, dia terhenti dan menatap adiknya yang penuh sorot tanda tanya di
binar matanya yang unik itu. “Jaga rumah. Awas kalau lo bikin onar. Dan jangan
masuk kamar gue kalau gak ingin dipeluk James.”
“Gue
juga ogah dipeluk ular. Iya.. iya, kak Edric.” Ucapnya jijik ketika merasakan
bagaimana ular phyton jinak milik Edric itu memeluknyahingga kebablasan ingin
meremukkan tulang – tulangnya. Dia terlalu sayang dengan diri sendiri ntuk
menyerahkan hidup pada ular gendut itu.
Edric
meluncur di atas skateboard dengan
lihai menuju sekolah yang lumayan dekat dengan kompleks rumahnya sambil menikmati
angin malam yang berhembus dan suasana yang takkan dia dapatkan ketika
mengendarai mobil.
∞.∞
“Konsentrasi, Eva! Kamu
harus bisa membayangkan bagaimana jadi Odille yang sakit hati ketika melihat
pangeran impiannya berdansa dengan gadis lain yang mirip dengan kamu! Tarian
kamu tidak menunjukkan itu! Kamu menari asal!” Omelan Ibu Arina yang kesekian
kalinya membuat ia frustasi setengah hidup sekarang. Dia bingung dimana letak
kesalahannya hingga harus mengulang beberapa kali tarian melelahkan ini. Dan
dia bisa merasakan tatapan Edric yang semakin sinis saja karna harus mengulang
adegan yang sama hingga nyaris hapal diluar kepala.
“Kimberly. Tunjukkan
pada Eva bagaimana rasanya menjadi Odille.” Perintah Ibu Arina membuat Kim
tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya sambil menundukkan badan dengan kaki
kiri disilang ke depan. Ketika gadis itu mendongkakkan wajah ke atas, entah
kenapa tatapan mata biru laut itu bersorot menantang dan menggoda.
Kim berbalik dan
menatap Edric dan dirinya bergantian. Lalu dia menari dengan anggun dan penuh
menggoda. Setiap gerakannya, tatapan mata yang fokus kepada Edric, senyum wajah
yang mengundang, dan sentuhan – sentuhan kecil dari Kim di wajah Edric kemudian
merangkul lehernya dan berbisik-entah apa di telinga cowok itu. Sanggup membuat
perutnya bergejolak aneh ketika Edric memegang pinggang Kim dan mencium
pipinya. Membuatnya ingin berlari saja. Ingin...
“Arrrgghh!”
Eva terduduk di lantai dengan tubuh luar biasa lelah karena menari frustasi
tanpa arah selama 4 jam hingga kaki – kakinya bengkak. Dia melepas sepatu
baletnya dan dilemparnya menjauh lalu ia menundukkan wajah. Entahlah, kejadian
siang tadi membuat gejolak perutnya semakin aneh saja. Dia tak paham dan tak
ingin memahami apa maksud dari semua perasaan ini.
Tapi ingatan tentang Kim dan Edric siang tadi itu
masih terputar jelas di kepalanya. Bagaimana rangkulan erat Edric di pinggang
Kim, bagaimana tatapan cewek itu menatap Edric lalu menatapnya penuh penilaian.
Tatapan yang membuatnya terintimidasi tanpa sadar dan ingin berteriak agar
semua kesintingan ini dihentikan saja!
Eva
berdiri dan berjalan menuju sudut
ruangan dengan langkah tertatih sambil mengernyit kesakitan. Kakinya terlalu
bengkak ntuk berjalan normal hingga dia harus berjinjit. Ketika tiba, dia langsung
duduk berselonjor di lantai dan menjerit tertahan karna sakit luar biasa.
Sambil menahan tangis, dia mencoba memejamkan mata ntuk tidur. Sekedar
menghilangkan sakit di kaki sebelum dia pulang kerumah.
∞.∞
“Siapa
yang masih disini jam 8 malam?” Edric bingung ketika dia masuk kedalam ruang
latihan, lampu – lampu masih menyala terang dan terdengar musik sendu di
kejauhan. Penasaran, dia memasuki ruang kaca yang biasa digunakan para penari
ntuk melihat diri mereka sendiri dan terkejut ketika melihat Eva tertidur
dengan mimik kesakitan di wajahnya. Dia mendekat dan menyentuh wajahnya lembut
lalu beralih menyentuh telapak kakinya. Sentuhan lembutnya ternyata membuat
kernyitan kesakitan semakin dalam saja.
“Eva...
bangun.” Edric mencoba mengguncang tubuhnya, namun entah terlalu nyenyak
tertidur atau bagaimana, Eva tak jua membuka mata.
“Evangeline Fransesca,
Open your eyes, please.” Dia
berbisik sambil mengguncang pelan tubuh langsing gadis itu. Namun tak jua
direspon. Bahkan kepalanya terkulai lemas ke bawah hingga buru – buru ia duduk
disamping Eva dan menyandarkan kepala gadis itu dibahu kanannya. Melihat Eva
tersenyum dengan perbuatan spontan itu, membuat ia menghela napas.
“Alamat pulang malam
gue kalau begini.”
Dia
menyandarkan kepalanya di dinding dan melirik kaki Eva yang bengkak. Mungkin,
kalau gadis ini sudah bangun dia akan menyuruh- bukan, memaksanya ntuk dibawa
ke tukang pijat agar sembuh. Entah kenapa, pikiran ini membuat ia menggeleng
kepalanya penuh stres.
“Ini
terakhir kalinya gue baik sama lo, Eva.” Ucapnya dingin dan kaget ketika gadis
itu merespon dengan merangkul tangannya. Rangkulan yang membuatnya tersenyum
dan membalas respon itu sambil mengecup dahi Eva dari samping.
“Dasar
putri tidur.”
∞.∞
Annisa
menatap langit – langit kamar dengan penuh senyum. Kejadian siang tadi hingga
dia mendapatkan ciuman pertama dengan Frans masih terbayang di atas kepalanya.
Dia memekik pelan karna malu dan mengambil guling ntuk menutupi wajah yag
merona. Dia sangat, sangat malu mengingat setiap detik kejadian itu. Ciuman
Frans di seluruh wajah dan berakhir di bibir yang direspon dengan semangat
olehnya, membuat ia hanya bisa berguling ria di ranjang ntuk mengurangi rasa
malunya.
“Jadi lo pacaran dengan
Frans sekarang, Nis?” Tanya Syrena, sahabatnya ketika ia menelpon siang tadi
setelah Frans pulang ntuk menceritakan kejadian paling berharga seumur
hidupnya.
“Gue gak tau, Rena.
Tapi dia kan cium gue. Otomatis dia suka sama gue, kan? Kalau gak suka, dia gak
akan lakuin itu.”
“Belum tentu, Nisa.
Mungkin itu hanyalah nafsu ketika jadi dia melakukan itu. Walaupun ciuman
adalah detektor alami perasaan kita ketika kata – kata tak bisa menggambarkan,
bukan berarti itu adalah tanda dia
memiliki perasaan dengan kita. Lo harus amati bagaimana tingkah dia dengan lo
sekarang, apakah tetap perhatian atau menjauh setelah mencium lo. Gue bukannya
hancurin impian lo, Nis. Cuma gue gak mau lo terlalu berharap banyak dengan
Frans dan sakit ketika dia menjatuhkan lo tiba – tiba. Cowok bukan makhluk yang
mudah ditebak, Nis. Sama susahnya dengan mencari jarum di tengah lautan
jerami.”
Nasihat
Syrena, sahabatnya terngiang lagi. “Jangan
mempercayai cowok 100%” terdoktrin kuat di dalam otaknya. Ingin dia
mempercayai itu, tapi sifat Frans yang baik, penuh perhatian, lembut dan selalu
mendengarkan keinginannya dan tau apa yang dia rasakan tanpa harus berucap,
membuatnya percaya Frans juga menyukainya. Dan semua ini membuatnya serasa
terbang di atas awan dan yakin Frans takkan membuatnya jatuh ke kubangan lumpur
hingga ia tak bisa berdiri lagi.
“Frans,
gue suka sama lo.”
∞.∞
Kim
menatap langit malam dari balkon kamarnya. Dia baru saja masuk kamar setelah
kak Tian tertidur pulas dengan perawatan intensifnya. Walaupun selama itu juga
dia dijadikan sasaran godaan menjurus. Tapi bukan Kim namanya kalau tak bisa
membuat Tian tersenyum dan tertawa di depannya.
Tapi,
foto di atas meja belajar Tian mengganggu hatinya. Berulang kali dia menoleh,
dia selalu melihat foto Tian merangkul seorang gadis dengan rambut terurai
panjang ikal dan tersenyum manis ke arah kamera. Posisi yang sangat pas dilihat
dari berbagai macam sudut. Membuat ia merasa, dimanapun Tian berdiri, foto itu
akan selalu terlihat.
“Bagaimana rasanya
mencintai seseorang sejak lama, dan sadar lo takkan bisa mendapatkan hatinya?
Sekuat apapun yang lo lakuin?” Tanya Kim ketika melirik Tian yang menatap foto
itu dengan tatapan sayang. Tatapan yang membuatnya sakit hati.
“Dan bagaimana rasanya
berusaha melupakan seseorang yang lo cinta, meskipun lo sadar semua itu sia –
sia?” Pertanyaan Tian membuat ia terdiam dan mengaduk – aduk buburnya. Baru
kali ini ia mati kutu.
“Jangan alihkan
pembicaraan, kak.”
“Bukan mengalihkan.
Hanya ingin menjawab pertanyaan lo, Kim. Karna apapun yang lo rasakan sekarang,
itulah yang gue rasakan. Simpel’kan? Namun menyakitkan.”
Kim
terdiam. Percakapan yang ingin ia lupakan itu terngiang lagi. Dia menghela
napas. Begini rasanya sakit melupakan seseorang yang sudah mengisi hatinya
sejak lama. Begitu susah, begitu sesak hingga terkadang dia nyaris ingin pulang
ke Jerman ntuk melupakan semua hal tentangnya.
Dia
seharusnya sadar ketika menerima ajakan Tian ntuk ke Indonesia dan tinggal
sementara disini. Karena semua itu berpotensi untuk mengulang semuanya yang
pernah dia alami. Dia pulang ke Indonesia bukan ntuk menggoda Edric seperti
tujuan awal. Bukan seperti itu. Tapi ntuk bertemu seseorang yang terkadang
membuatnya gila hingga ia sering menangis tengah malam karna merindukannya.
Suara
ponsel membuyarkan lamunannya. Dia terperanjat dan setengah berlari menghampiri
ponselnya dan terdiam. Namanya terpampang jelas di layar ponsel. 4 tahun nomor
ini menghiasi harinya dan kini kembali menghubungi. Haruskah dia mengangkatnya?
Kim
terdiam. Dia mati kutu dua kali. Dengan satu hela napas, dia menekan tombol
hijau dan mendekatkan di telinga.
“Halo...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar