“Fiorenca....” Gusrak! Brak! Bruk! Prang! Teriakan
super melengking di pagi hari sukses membuatku jatuh dari tempat tidur dan buru
– buru keluar kamar hingga tak melihat meja yang entah sejak kapan – berada di
tengah jalan – dan hasilnya aku sukses menubruk lalu jatuhlah piring hias yang
luar biasa cantik itu ke lantai hingga pecah berkeping – keping.
Satu teriakan sukses membuat
kerusuhan di pagi hari.
“Fio..” Aku hanya meringis kesakitan karna sikuku
terbentur meja bundar yang rasanya ingin ku tendang sejauh mungkin kenapa dia
berada disitu – dan melirik mamaku dengan matanya yang unik namun entahlah –
begitu menakutkan kalau marah.
Heterochromina Iridum. Entah
aku harus menyukuri – atau mengutuk kelainan genetik mata yang diwariskan oleh mama
tercintaku ini, Elista Maharani Pradipta. Wanita yang sedang berdiri di depanku
sambil berkacak pinggang dan matanya yang unik itu – hijau toska lebih redup di
sebelah kiri – dan sebelah kanannya lebih kuat dengan warna coklat terang
mengelilingi warna mata itu. berbeda jauh denganku yang hitam – warna mata
papahku – Fernando Hayman di sebelah kiri – dan sebelah kanan warna hitam pekat
itu mengelilingi hijau toskaku. Hingga seperti pagar melindungi harta berharga
– menurutku.
“Sejak kapan meja itu berada di
tengah ruang tamu?” Suara mama membuatku tersadar dan mengangkat bahu. Memang
benar kata papah, warna mata kami yang unik membuat orang lain betah menatap
lama - termasuk aku. “Mana Fio tau ma. Tau – tau ada di tengah jalan. Mungkin
dia tengah malam keempat kakinya menjadi punya lima jari terus dia jalan
perlahan mendekati pacarnya. “Aku menunjuk meja cantik yang memiliki ukiran
khas Bali yang terkenal rapi dan lebih rumit daripada ukiran Jepara. “Tapi
karna matahari keburu muncul, jari kakinya mendadak hilang dan dia ber –“
“Jangan mulai deh, Fio. Lo kira
dirumah ini punya benda kuno seperti The night of museum yang bisa
menghidupkan benda mati, gitu? Kalau iya, udah dari dulu sepatu olahraga lo
demo karna badannya bau gak ketolongan.” Ucapan nyelekit dan bikin sakit
hati hingga berujung ingin mencekik si pemilik suara agak nge bass namun serak
itu, muncul dari belakang mama dan memotong penjelasan jeniusku. Aku mendengus
karna tanpa melihat pun, tau siapa pelakunya.
Edric Hayman. Entah kenapa dia bisa menjadi
kakak – sekaligus saudara kembarku. Ah... seandainya aku lebih dulu lahir dari
dia beberapa menit, dengan senang hati aku akan menindas habis - habisan cowok
super, duper dingin yang sekarang berdiri di samping mama dengan tatapan persis
seperti papah kalau sudah merasa ada yang aneh. Tajam habis! Tapi tatapan itu
jualah, beserta wajahnya yang tampan dengan hidung mancung, rahang tegas
berdiri tegak, rambut hitam pekat dan otak—dengan malas aku mengakui jauh di
atas rata – rata manusia normal -- dan membuatnya dikejar para cewek di sekolah
kami, SMA 01 Bandung. Membuat mataku sering juling kalau mendengar teriakan
histeris mereka setiap dia lewat. Oh God... Please deh! Seandainya ... Mereka
melihat anak tante Erika yang super tampan dengan wajah Perancis yang membuatku
kadang menyesal kenapa kami harus bersaudara. Fransisco Boulanger, dan anak Om
Bian – Om kece super jahil yang sering membuatku tertawa dengan tingkah
konyolnya –ternyata menurun juga pada Sebastian
Pradipta. Aku sangat yakin, kak Edric bakalan tergepak dari predikat The
most Handsome and cool boy in the school. Dih! Mendengar gelarnya saja membuatku
ingin mencari bak sampah!
“Pasti lo kan yang letakin mejanya
ke tengah jalan biar gue jatuh, kan?” Entah kenapa pikiran itu menari – nari di
kepalaku dan dengan senang hati ku lontarkan telak pada kakakku sialan ini.
“Bukannya kata lo tadi dia jalan
sendiri tengah malam karna ingin mengunjungi pacarnya, namun cintanya terhalang
sinar matahari yang mendadak muncul
hingga akhirnya berubah menjadi meja lagi?” Dia mengulang penjelasanku dengan
senyum sinis. Tuhan... bagaimana bisa aku punya saudara kembar, satu
rahim, dengan manusia super dingin mengalahkan beruang Kutub ini?! Mungkin, aku
butuh test DNA untuk meyakinkan hal ini.
“Ma...” Aku melirik mama yang
menahan tawa melihat keributan kami. “Kak Edric ini benar – benar saudara
kembar Fio atau bukan, sih? Masa sama adiknya sendiri ketus banget! coba kita
test DNA deh ma hari ini. Kita ajak papah juga ntuk mastiin. Siapa tau dulu
ketukar di rumah sakit dan sekarang kak Edric sebenarnya berada di keluarga
lain. Kan semua bisa terjadi ma.” Dengan semangat menggebu – gebu aku
menjelaskan setelah malam tadi mendapat ilham atas semua sifat kak Edric dari
film korea “Endless love” itu. film korea yang menceritakan kakak
beradik yang ternyata tertukar di RS, dan mereka saling suka namun tak pernah
bisa bersatu karna banyak rintangan menghadang. Cuma bedanya, kalau mereka
saling suka setelah tau bukan kakak adik, aku takkan sudi suka sama kak Edric
kalau kami benar – benar tertukar!
Tau – tau kak Edric berdiri di depan
dengan tatapan menusuk dan tanpa perasaan sayang antara kakak dan adik, dia
menjentikkan jari panjangnya itu ke dahiku. Meninggalkan bara api disana.
“Sakit, kak!”
Cengiran sinis itu membuatku ingin
melempar meja tak berdosa itu tepat di depannya. Dia menarikku ke sudut ruang
tamu tempat kaca berbentuk bulat yang dihiasi kerang – kerang pantai itu di
pinggirnya. “Kalau kita bukan saudara kembar, wajah kita gak akan mirip, dodol!
Coba deh lo pelototin kaca ini dan temuin kemiripan kita! Petugas Rumah sakit
juga bakalan ngakak kalo lo tetap ingin tes DNA ama gue! Mana ada dalam sejarah
dunia perkembaran, ada saudara kembar meragukan kembarannya sendiri? Lo kalau error
jangan malu – maluin gue juga dong!”
“Mama...” Aku melirik mama yang
sekarang tertawa hingga wajahnya memerah dan mata terpejam. “Kak Edric kejam
ama aku nih!”
“Edric...” Teguran mamaku hanya
dibalas senyum bersalah dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki
dengan tajam.
“Fiorenca Mellody Hayman, ratu
khayal sejagat yang kebetulan kembaran gue,
Kakak lo ini mau mandi dan Jam 7 pas lo harus siap di depan rumah kalau
gak ingin gue tinggal! Paham?!”
“Silahkan aja! Gue berangkat sendiri
aja! Males deh sama lo yang jahat ama kembaran sendiri!”
Bodoh kalau berharap dia akan
melarangku untuk jalan kaki sejauh 5 kilometer untuk kesekolah. Dia hanya
menatapku tajam dan angkat bahu. “Silahkan. Gue gak peduli.”
“Edric...” Yes.. yes! Mama
membelaku! Aku menjerit kegirangan dalam hati ketika mama sudah angkat
suara. “Masa kamu tega biarin Fio jalan kaki ke sekolah?”
“sesekali olahraga si Fio ma. Itung
– itung ilangin sifat ratu khayalnya.” Kakakku menjawab enteng pertanyaan mama
sambil melirik papah yang baru saja muncul dengan memegang koran yang digulung
hingga mirip pentungan satpam di komplek rumahku.
“Kenapa pada ribut?” Tanya papahku
sambil melingkarkan tangannya ke pinggang
dan mencium kening mama sambil tersenyum. Ritual manis setiap pagi
selalu saja membuatku ikut tersenyum. “Biasa, pah. Fio bikin rusuh.”
“Kok gue, kak? Lo tuh bikin ribut!
Masa ketus ama kembaran sendiri?!” seenak dengkul sekali kembaranku satu
ini. Belum pernah dicium telapak sepatu kayaknya. Batinku nyinyir.”Pah.
nanti kita kerumah sakit yuk? Test DNA siapa tau kak Edric ketuker dari lahir
ama bayi orang lain yang kebetulan mirip dia. Masa iya ama Fio dia ketus, pah?
Kan gak adil!” Bak para demonstrasi minta keadilan di tengah jalan, aku
menyuarakan isi hatiku pada papah yang hanya menatap mama dengan kening
berkerut. Lalu melirik kak Edric yang dengan songong luar binasa itu
pergi meninggalkan kami sambil meletakkan handuk di bahunya.
“Test DNA? Kamu ama Edric?
Hahahaaa...” Suara tawa papah yang agak serak itu membahana di ruang tamu.
“Gimana ceritanya nih, Ma sampai anak kita minta test DNA?”
Mama tersenyum penuh cinta ketika
matanya bertatapan dengan papah. Membuatku serasa menjadi orang ketiga atas
kemesraan mereka yang telak di depanku – sekaligus menyindir status jombloku.
“Biasa, sayang. Nah Fio –“ Mama tertawa melihat wajah papah mulai melucu
didepannya. Dan tatapannya beralih padaku, “Mending kamu mandi, deh udah jam
berapa tuh?” Tanya mama sambil melirik jam di dinding sebagai kode. Dan aku
ikut melirik –
“GOSH!” Jeritku dan langsung ngacir
ke kamar untuk mandi ketika jam menunjukkan pukul 06.25. meninggalkan mama
dan papah entah berbuat apa sekarang di ruang tamu.
♥
♥
JAM 7! YEAY! Jeritku puas dalam hati karna selesai tepat
pada waktunya. Rambut baru yang kupotong pendek seperti presenter berita
kesukaannku, Ajeng Kamaratih, sangat pas untuk wajahku. Aku menyemprot parfum
di titik tertentu, memoles bibir tipis kemerahan ini dengan lipgloss. Selesai
dengan ritual cantik menuju sekolah, aku lekas – lekas lari keluar sebelum kak
Edric mengomel panjang lebar.
Tepat
di tangga terakhir, aku melihat papah duduk di kursi sambil membaca koran dan siap
dengan jas kerja berwarna hitam serta dasi yang terselip rapi di dalamnya.
Melihatku berdiri mematung, beliau melipat koran dan tersenyum. Membuat kedua
lesungnya terlihat sangat dalam. “Sudah siap? Papah aja yang ngantar kamu.”
“Loh?
Kak Edric mana?”
“Udah
berangkat duluan tadi. Katanya nunggu kamu bakalan telat. Kebetulan papah bisa
nganter, yaudah.” Papah mulai melipat koran yang dibacanya dan melirik mama
yang tau – tau disampingku dengan jas dokternya. Yah, mamaku bekerja sebagai
Psikiater Anak di rumah sakit dan papahku adalah pengusaha terkenal yang
bergerak di bidang Pariwisata dan Ekspor – Impor barang antik.
Ucapan
papah membuat emosiku naik seketika. awas kau, kak Edric! Sumpahku dalam
hati.
“Fio
ke sekolah sendiri aja. Dah, Mama, dah papah.” Ucapku sambil mencium pipi
mereka berdua dan menyalaminya.
“Kamu
kesekolah dengan siapa?”
“Jalan kaki. Ma.” Jawabku dan
langsung berlari keluar rumah tanpa menutup gerbang dan mengabaikan seruan
mamaku ntuk diantar saja. bodo amat dah! Ucapku dalam hati sambil
meluapkan kejengkelan yang membakar hanguskan kesabaranku dan menendang botol
air mineral yang teronggok di jalan – seolah itu adalah kepala kak Edric.
“Dasar kembar sialan!!!!!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar