Minggu, 29 Desember 2013

Prolog All About Love (Tentangmu, Tentang Mereka, Tentang Kita) - Kembar Sialan!





            “Fiorenca....” Gusrak! Brak! Bruk! Prang! Teriakan super melengking di pagi hari sukses membuatku jatuh dari tempat tidur dan buru – buru keluar kamar hingga tak melihat meja yang entah sejak kapan – berada di tengah jalan – dan hasilnya aku sukses menubruk lalu jatuhlah piring hias yang luar biasa cantik itu ke lantai hingga pecah berkeping – keping.

            Satu teriakan sukses membuat kerusuhan di pagi hari.
           
            “Fio..” Aku hanya meringis kesakitan karna sikuku terbentur meja bundar yang rasanya ingin ku tendang sejauh mungkin kenapa dia berada disitu – dan melirik mamaku dengan matanya yang unik namun entahlah – begitu menakutkan kalau marah.

            Heterochromina Iridum. Entah aku harus menyukuri – atau mengutuk kelainan genetik mata yang diwariskan oleh mama tercintaku ini, Elista Maharani Pradipta. Wanita yang sedang berdiri di depanku sambil berkacak pinggang dan matanya yang unik itu – hijau toska lebih redup di sebelah kiri – dan sebelah kanannya lebih kuat dengan warna coklat terang mengelilingi warna mata itu. berbeda jauh denganku yang hitam – warna mata papahku – Fernando Hayman di sebelah kiri – dan sebelah kanan warna hitam pekat itu mengelilingi hijau toskaku. Hingga seperti pagar melindungi harta berharga – menurutku.
            “Sejak kapan meja itu berada di tengah ruang tamu?” Suara mama membuatku tersadar dan mengangkat bahu. Memang benar kata papah, warna mata kami yang unik membuat orang lain betah menatap lama - termasuk aku. “Mana Fio tau ma. Tau – tau ada di tengah jalan. Mungkin dia tengah malam keempat kakinya menjadi punya lima jari terus dia jalan perlahan mendekati pacarnya. “Aku menunjuk meja cantik yang memiliki ukiran khas Bali yang terkenal rapi dan lebih rumit daripada ukiran Jepara. “Tapi karna matahari keburu muncul, jari kakinya mendadak hilang dan dia ber –“
            “Jangan mulai deh, Fio. Lo kira dirumah ini punya benda kuno seperti The night of museum yang bisa menghidupkan benda mati, gitu? Kalau iya, udah dari dulu sepatu olahraga lo demo karna badannya bau gak ketolongan.” Ucapan nyelekit dan bikin sakit hati hingga berujung ingin mencekik si pemilik suara agak nge bass namun serak itu, muncul dari belakang mama dan memotong penjelasan jeniusku. Aku mendengus karna tanpa melihat pun, tau siapa pelakunya.
            Edric Hayman. Entah kenapa dia bisa menjadi kakak – sekaligus saudara kembarku. Ah... seandainya aku lebih dulu lahir dari dia beberapa menit, dengan senang hati aku akan menindas habis - habisan cowok super, duper dingin yang sekarang berdiri di samping mama dengan tatapan persis seperti papah kalau sudah merasa ada yang aneh. Tajam habis! Tapi tatapan itu jualah, beserta wajahnya yang tampan dengan hidung mancung, rahang tegas berdiri tegak, rambut hitam pekat dan otak—dengan malas aku mengakui jauh di atas rata – rata manusia normal -- dan membuatnya dikejar para cewek di sekolah kami, SMA 01 Bandung. Membuat mataku sering juling kalau mendengar teriakan histeris mereka setiap dia lewat. Oh God... Please deh! Seandainya ... Mereka melihat anak tante Erika yang super tampan dengan wajah Perancis yang membuatku kadang menyesal kenapa kami harus bersaudara. Fransisco Boulanger, dan anak Om Bian – Om kece super jahil yang sering membuatku tertawa dengan tingkah konyolnya –ternyata menurun juga pada  Sebastian Pradipta. Aku sangat yakin, kak Edric bakalan tergepak dari predikat The most Handsome and cool boy in the school. Dih! Mendengar gelarnya saja membuatku ingin mencari bak sampah!
            “Pasti lo kan yang letakin mejanya ke tengah jalan biar gue jatuh, kan?” Entah kenapa pikiran itu menari – nari di kepalaku dan dengan senang hati ku lontarkan telak pada kakakku sialan ini.
            “Bukannya kata lo tadi dia jalan sendiri tengah malam karna ingin mengunjungi pacarnya, namun cintanya terhalang sinar matahari yang mendadak  muncul hingga akhirnya berubah menjadi meja lagi?” Dia mengulang penjelasanku dengan senyum sinis. Tuhan... bagaimana bisa aku punya saudara kembar, satu rahim, dengan manusia super dingin mengalahkan beruang Kutub ini?! Mungkin, aku butuh test DNA untuk meyakinkan hal ini.

            “Ma...” Aku melirik mama yang menahan tawa melihat keributan kami. “Kak Edric ini benar – benar saudara kembar Fio atau bukan, sih? Masa sama adiknya sendiri ketus banget! coba kita test DNA deh ma hari ini. Kita ajak papah juga ntuk mastiin. Siapa tau dulu ketukar di rumah sakit dan sekarang kak Edric sebenarnya berada di keluarga lain. Kan semua bisa terjadi ma.” Dengan semangat menggebu – gebu aku menjelaskan setelah malam tadi mendapat ilham atas semua sifat kak Edric dari film korea “Endless love” itu. film korea yang menceritakan kakak beradik yang ternyata tertukar di RS, dan mereka saling suka namun tak pernah bisa bersatu karna banyak rintangan menghadang. Cuma bedanya, kalau mereka saling suka setelah tau bukan kakak adik, aku takkan sudi suka sama kak Edric kalau kami benar – benar tertukar!

            Tau – tau kak Edric berdiri di depan dengan tatapan menusuk dan tanpa perasaan sayang antara kakak dan adik, dia menjentikkan jari panjangnya itu ke dahiku. Meninggalkan bara api disana. “Sakit, kak!”
            Cengiran sinis itu membuatku ingin melempar meja tak berdosa itu tepat di depannya. Dia menarikku ke sudut ruang tamu tempat kaca berbentuk bulat yang dihiasi kerang – kerang pantai itu di pinggirnya. “Kalau kita bukan saudara kembar, wajah kita gak akan mirip, dodol! Coba deh lo pelototin kaca ini dan temuin kemiripan kita! Petugas Rumah sakit juga bakalan ngakak kalo lo tetap ingin tes DNA ama gue! Mana ada dalam sejarah dunia perkembaran, ada saudara kembar meragukan kembarannya sendiri? Lo kalau error jangan malu – maluin gue juga dong!”

            “Mama...” Aku melirik mama yang sekarang tertawa hingga wajahnya memerah dan mata terpejam. “Kak Edric kejam ama aku nih!”
            “Edric...” Teguran mamaku hanya dibalas senyum bersalah dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tajam.
            “Fiorenca Mellody Hayman, ratu khayal sejagat yang kebetulan kembaran gue,  Kakak lo ini mau mandi dan Jam 7 pas lo harus siap di depan rumah kalau gak ingin gue tinggal! Paham?!”
            “Silahkan aja! Gue berangkat sendiri aja! Males deh sama lo yang jahat ama kembaran sendiri!”

            Bodoh kalau berharap dia akan melarangku untuk jalan kaki sejauh 5 kilometer untuk kesekolah. Dia hanya menatapku tajam dan angkat bahu. “Silahkan. Gue gak peduli.”

            “Edric...” Yes.. yes! Mama membelaku! Aku menjerit kegirangan dalam hati ketika mama sudah angkat suara. “Masa kamu tega biarin Fio jalan kaki ke sekolah?”
            “sesekali olahraga si Fio ma. Itung – itung ilangin sifat ratu khayalnya.” Kakakku menjawab enteng pertanyaan mama sambil melirik papah yang baru saja muncul dengan memegang koran yang digulung hingga mirip pentungan satpam di komplek rumahku.
            “Kenapa pada ribut?” Tanya papahku sambil melingkarkan tangannya ke pinggang  dan mencium kening mama sambil tersenyum. Ritual manis setiap pagi selalu saja membuatku ikut tersenyum. “Biasa, pah. Fio bikin rusuh.”
            “Kok gue, kak? Lo tuh bikin ribut! Masa ketus ama kembaran sendiri?!” seenak dengkul sekali kembaranku satu ini. Belum pernah dicium telapak sepatu kayaknya. Batinku nyinyir.”Pah. nanti kita kerumah sakit yuk? Test DNA siapa tau kak Edric ketuker dari lahir ama bayi orang lain yang kebetulan mirip dia. Masa iya ama Fio dia ketus, pah? Kan gak adil!” Bak para demonstrasi minta keadilan di tengah jalan, aku menyuarakan isi hatiku pada papah yang hanya menatap mama dengan kening berkerut. Lalu melirik kak Edric yang dengan songong luar binasa itu pergi meninggalkan kami sambil meletakkan handuk di bahunya.
            “Test DNA? Kamu ama Edric? Hahahaaa...” Suara tawa papah yang agak serak itu membahana di ruang tamu. “Gimana ceritanya nih, Ma sampai anak kita minta test DNA?”
            Mama tersenyum penuh cinta ketika matanya bertatapan dengan papah. Membuatku serasa menjadi orang ketiga atas kemesraan mereka yang telak di depanku – sekaligus menyindir status jombloku. “Biasa, sayang. Nah Fio –“ Mama tertawa melihat wajah papah mulai melucu didepannya. Dan tatapannya beralih padaku, “Mending kamu mandi, deh udah jam berapa tuh?” Tanya mama sambil melirik jam di dinding sebagai kode. Dan aku ikut melirik –
            GOSH!” Jeritku dan langsung ngacir ke kamar untuk mandi ketika jam menunjukkan pukul 06.25. meninggalkan mama dan papah entah berbuat apa sekarang di ruang tamu.

♥ ♥

            JAM 7! YEAY! Jeritku puas dalam hati karna selesai tepat pada waktunya. Rambut baru yang kupotong pendek seperti presenter berita kesukaannku, Ajeng Kamaratih, sangat pas untuk wajahku. Aku menyemprot parfum di titik tertentu, memoles bibir tipis kemerahan ini dengan lipgloss. Selesai dengan ritual cantik menuju sekolah, aku lekas – lekas lari keluar sebelum kak Edric mengomel panjang lebar.

            Tepat di tangga terakhir, aku melihat papah duduk di kursi sambil membaca koran dan siap dengan jas kerja berwarna hitam serta dasi yang terselip rapi di dalamnya. Melihatku berdiri mematung, beliau melipat koran dan tersenyum. Membuat kedua lesungnya terlihat sangat dalam. “Sudah siap? Papah aja yang ngantar kamu.”
            “Loh? Kak Edric mana?”
            “Udah berangkat duluan tadi. Katanya nunggu kamu bakalan telat. Kebetulan papah bisa nganter, yaudah.” Papah mulai melipat koran yang dibacanya dan melirik mama yang tau – tau disampingku dengan jas dokternya. Yah, mamaku bekerja sebagai Psikiater Anak di rumah sakit dan papahku adalah pengusaha terkenal yang bergerak di bidang Pariwisata dan Ekspor – Impor barang antik.
            Ucapan papah membuat emosiku naik seketika. awas kau, kak Edric! Sumpahku dalam hati.
            “Fio ke sekolah sendiri aja. Dah, Mama, dah papah.” Ucapku sambil mencium pipi mereka berdua dan menyalaminya.
            “Kamu kesekolah dengan siapa?”
            “Jalan kaki. Ma.” Jawabku dan langsung berlari keluar rumah tanpa menutup gerbang dan mengabaikan seruan mamaku ntuk diantar saja. bodo amat dah! Ucapku dalam hati sambil meluapkan kejengkelan yang membakar hanguskan kesabaranku dan menendang botol air mineral yang teronggok di jalan – seolah itu adalah kepala kak Edric.

            “Dasar kembar sialan!!!!!!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar