Minggu, 29 Desember 2013

All About Love (Ini Tentangmu, Tentang Mereka, Tentang Kita) Part 3 - Did I?



“Mama mana,bik?” Tanya Tian kepada pembantunya ketika melihat mobil terparkir di garasi. Tapi si empunya tak terihat dimana –mana.
            Bik Soimah hanya menahan napas tertahan melihat anak majikannya satu ini. rambut agak acak – acakan dan panjang mengenai kerah baju, tatapan hijau toska sangat membuatnya mabuk, dan senyum yang memikat membuat ia terkadang lupa bernapas.          “Nyonya lagi di kamar, mas Tian.”
            Tian tersenyum mendengar jawaban pembantunya itu. dia melirik pintu kamar mama yang tertutup rapat itu. “Sama papah yah?”
            Melihat pembantunya mengangguk pelan. Senyumnya semakin lebar. Melupakan efek senyum itu membuat yang melihat lupa bagaimana mengambil oksigen di sekelilingnya. Termasuk pembantu malang satu ini.            
            “Makasih bi.” Dia bergegas naik ke lantai dua dengan senyum tak hilang dari wajahnya.

            Usilin dulu ah...

♥ ♥

             Lyesha mengganti pakaian kerja menjadi daster rumahan dan menggerai rambut panjangnya hingga menutupi punggung. Mengabaikan bahwa semua yang ia lakukan itu membuat suaminya, Bian tersenyum jahil dan mendekat ke arahnya, lalu memeluk ia dari belakang sambil mendaratkan ciuman di leher seringan bulu. Sanggup membuat ia mendongkak ke samping dan menyandarkan kepalanya ke bahu agar memberikan akses lebih ntuk suaminya satu ini.
            “Sapaan selamat malam, heh?” Tanyanya dengan nada pelan ketika tangan suaminya itu-mulai ‘menjelajah’ kemana – mana di sekujur tubuhnya. memberikan sinyal – sinyal yang mustahil ntuk ia tolak.
            “Bagiku sapaan ntuk bikin adek baru ntuk Tian.” Bian tertawa dan menggigit tengkuknya sambil memberikan napas panas. Membuat ia mendesah dan terkikik geli ketika bekas gigitan itu disentuh dengan bibir tipis yang entah sudah berapa kali-memberi sentuhan pada seluruh tubuhnya.
            Suara ketukan di pintu tak mereka hiraukan. Lyesha sudah berbalik menghadap suaminya dan memberikan ciuman mesra dan panas. Memberikan sinyal – sinyal tambahan ntuk langkah selanjutnya, namun ketukan itu tak berhenti, malah semakin keras. Membuat ia, dengan sangat, sangat terpaksa, melepas pelukan Bian dan menurunkan dasternya yang entah sejak kapan sudah tersingkap ke atas. Dia tersenyum manis pada suaminya yang manyun karna ‘penjelajahan’ dihentikan sementara.
            “Aku mau keluar dulu.”
            “Aku saja.” Kata Bian dan mengecup bibirnya sekilas. “Pasti Tian tuh.”

            Bian melangkah keluar dan membuka pintu. dia melihat anaknya yang 100% copycat dirinya waktu muda, tersenyum super lebar sekarang. “Hai, pah, ma.”
            “Halo sayang.” Lyesha menghampiri dan memeluknya penuh sayang. “Ada apa?”
            “Tian keluar dulu yah sama Kim. Gak berdua aja sih.” Dia tersenyum tertahan ketika tatapan mamanya mulai tajam. “Ada Eva, Fio, Frans dan Annisa juga sih.”
            “Boleh kok. sekalian papah mau pacaran juga sama mama. Mumpung kamu gak ada.” Jawab Bian membuat Tian tertawa geli. “Sip pah.”

            Terdengar sinandung riang dari samping dan mereka melihat Kim menghampiri dengan senyum lebar. Tian tak bisa melepaskan pandangannya ketika gadis itu mengenakan baju kaos berlengan pendek dan agak kentat dengan motif garis – garis berwarna merah, celana pendek, dan kalung berbentuk jangkar kapal menghiasi leher jenjangnya yang sangat harum itu. rambut ikal berwarna kecoklatan, wajah dan bibir merekah merah yang seksi itu membuatnya merasa bertanggung jawab ntuk menjaga Kim. “Sudah siap, Kim?”
            Dan senyum itu semakin lebar saja hingga ia terlihat sangat cantik- dan seksi. Tentu saja.  “Sudah dong, kak. Halo tante Lyesha, Om Bian.” Sapanya dan mencium tangan mereka berdua dengan sopan. Mengabaikan tatapan menakutkan yang dilayangkan terang – terangan oleh Lyesha. Entahlah, berurusan dengan Kimberly ini membuat ia harus menjaga Tian dengan hati – hati. Bukan malah sebaliknya.

            “Halo juga, Kim. Gimana kabar mama dan papah kamu?” Bian merangkul Kim di pundak –seolah  seperti anak perempuan sendiri. “Baik kok, Om. Papah titip salam aja.”
            “Titip salam juga ntuk papah kamu, Kim. Gimana sekolah kamu? Sekelas gak dengan Fio dan Edric?”
            “Sekelas dong, Om. Malah Kim sebangku sama Edric.”

            “Kimberly...” Tian merangkul pinggang Kim dengan pelan dan membuat cewek itu terkesiap kaget. Bian yang melihat perlakuan anaknya itu, tersenyum jahil dan melepas rangkulannya lalu melirik Lyesha yang siap menyerang siapapun. Dia tau istrinya satu ini setengah anti dengan keluarga Kim. Entah karna alasan apa. “Kita berangkat, yuk.”

            Dan Kim balas merangkul pinggang Tian dengan manis. “Okedeh. Duluan om, tante.”
            Tian tersenyum kepada orang tuanya. “Tian berangkat dulu, pah. Ma.” Pamitnya dan menuruni tangga dengan Kim dirangkulannya.

            Melihat kepergian anaknya, Bian melirik istrinya yang kini juga melirik balik. “Kita lanjutin yang tadi, yuk?”
            “Yang tadi mana yah? Aku lupa tuh.” Jawabnya usil membuat seringai jahil itu semakin lebar saja.
            “Kamu kayaknya perlu diingetin lagi deh setiap detiknya.” Dan Bian langsung mencium istrinya sambil menggendong masuk dalam kamar dan menutup pintu dengan menendang pelan.

♥ ♥

            Di dalam mobil, Tian menelpon seseorang dan Kim memperhatikan semua itu. dadanya yang tegap- entah sudah berapa kali dia melihat tanpa dilapisi pakaian sekalipun, bibir tebal di bawah – yang menurutnya sensual untuk ukuran cowok membuat ia entah kenapa tak bisa melepas tatapannya. Tatapan mata tajam dan menggoda di saat bersamaan, rambut acak – acakan yang sudah berapa kali dia sentuh secara tak sengaja- dan sangat lembut itu, serta perhatiannya yang luar biasa manis, membuat ia merasa dijaga dan beruntung bisa mengenal Tian.
            “Kita kemana, kak?”  Tanyanya ketika Tian mematikan ponsel dan meletakkan di atas dashboard.
            Kita jemput Edric dulu bareng Frans dan.. ” Ia melirik Kim ntuk melihat sekecil apapun rekasi yang ditunjukkan. Namun melihat Kim hanya mangut – mangut, dia memutuskan tak apa – apa ntuk mengatakan selanjutnya. “Annisa ntuk janjian disitu sekalian ke cafee ntar.”
            “Kenapa Edric gak ama Fio aja?”
            “Dia ngajak Eva dan lo tau sendiri kan gimana Edric kalau sudah berurusan dengan dia?”
            Kim tertawa pelan. Tingkah Edric yang terang – terang menjauhinya seperti wabah mematikan yang patut disingkirkan bukannya membuat ia tersinggung, malah semakin gatal mendekati Edric. Bahkan menggodanya. Dan itu menyenangkan. “Okedeh, kak.”

            Dan Tian melaju meninggalkan rumahnya menuju rumah sepupu tengil satu ini. dan Kim, bersinandung riang karna akan bertemu Edric, ‘permainan’ barunya.

♥ ♥

            “Edric..” Lista memanggil ketika terdengar suara bel. Dia terlalu sibuk didapur dengan Fio ntuk menyiapkan makan malam hingga butuh bantuan.
            “Iya, ma.” Edric menghentikan permainan catur dengan papahnya, Ando dan menoleh ke arah dapur. Tak mempedulikan bahwa tingkah ia itu memberi angin segar ntuk si lawan yang kewalahan.
            “Skak mat!” Teriakan papahnya tak ia hiraukan. Memberi kemenangan kecil ntuk papah yang selalu kalah di setiap kesempatan menurut ia adalah tindakan mulia yang pernah dilakukan.
            “Bukain pintu, dong. mama lagi sibuk nih.”
            “Fio jugaaa..” Tanpa diminta kembarannya menyahut. Seolah tau sebentar lagi akan muncul pertanyaan ‘kenapa bukan Fio saja? kan dia lebih cocok jadi pembuka pintu, ma.’
            Edric mengangguk dan berjalan ke arah pintu kemudian membukanya. “Hai Ed—“
            “Apa?”
            Ucapan dingin, bahkan bernada ketus itu seharusnya membuat ia marah atau menampar mulut cowok itu dengan keras. Namun karna hatinya sudah diberi imun anti sakit hati, dia tersenyum saja. “Ada Fio?”
            “Gue jadi curiga sama lo lama – lama.” Edric melipat kedua tangannya di dada dan menatap Eva lurus – lurus. Meneliti apa yang bisa ia baca dari tatapan coklat terang itu.
            Dan Eva tersenyum manis sambil mengikuti gesture Edric. “Oh yah? Curiga kenapa? Gue kan gak rugiin lo.”
            “Lo...” Dia melirik penampilan Eva dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut tergerai panjang, mengenakan sejenis kemben berwarna hijau gelap yang ditutup dengan jaket kulit, menonjolkan betapa kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Tatapannya menurun ke arah celana jeans berwarna hitam metalik dan wedges dengan hak rendah. “Lo gak ngajak Fio dugem, kan?”

            Kalau saja cowok di depannya ini hobi bercanda jayus,  dia sudah tertawa terbahak – bahak dan mengiyakan dengan nada menggoda. Namun berhubung yang ia hadapi sekarang adalah Manusia Es entah dari kutub mana, yang selalu menanggapi ucapannya dengan super serius hingga tak bisa diajak bercanda, membuatnya tak berani melakukan hal itu.

            Tapi.. sesekali gak papa, kan?
           
            Dan Eva tersenyum manis. “Menurut lo setelah liat penampilan gue? Kan kami sudah cukup umur untuk melakukan itu, Edric. Dan lo pasti gak akan peduli, kan?”
            Tatapan menantang dari Eva membuat ia menggemeratakkan gigi. Dia mengambil langkah maju mendekati gadis itu, dan tersenyum sinis. “Gue gak peduli lo mau berbuat apa,  mau merusak diri sampai hancur lebur, Eva. Tapi kalau itu menyangkut Fio, lo akan berurusan dengan gue  kalau sampai lo jerumusin dia ke hal – hal negatif.”
            “Gue kira lo gak perhatian ama dia. mengingat tingkah lo bukan kakak yang baik ntuk diberi perhatian lebih.”
            “Lo gak ada hak ntuk menilai apakah gue kakak yang baik atau tidak, Eva. Gue punya cara sendiri ntuk peduli dengan Fio yang lo gak akan pernah tau.”
            “Termasuk gue?”
            “Lo?” Edric berkerut kening. Dia menatap Eva dan tersenyum. Senyum yang menurut siapa saja yang melihat bisa dibilang setengah geli- dan menggoda. “Memangnya lo kenapa? Butuh perhatian juga dari gue? Lo mau gue apain, Eva? Give me a clue and i’ll be do it.” Edric berbisik di telinga Eva dengan suara rendah hingga terdengar semakin serak. Sanggup membuatnya serasa jungkir balik mendengar betapa seksi suara yang berbisik sekarang.

            “Kenapa diam, Eva? Confused? Ok, i’ll be give a simple clue. Do you want a kiss?” Dan Eva serasa menelan batu jurang sekarang. Bisikan bernada melecehkan- namun terdengar sangat menggoda itu membuatnya entah harus menghajar cowok sialan ini atau malah mengiyakan kuat – kuat.
            Dan ia memilih opsi pertama. Diinjaknya kaki cowok itu keras – keras dan mendekatkan diri ke arahnya. Mengabaikan betapa menggoda harum tubuh Edric. “ Dear Edric Hayman, Can i kick your face, now?”
            Sebelum Edric menjawab, tau – tau Fio muncul di belakangnya dengan baju you can see berwarna biru muda dan celana jeans serta sepatu flat  berwarna senada dengan rambut sengaja dibuat ikal dan diberi hiasan kepala berbentuk kepang. Membuat kembarannya ini terlihat seperti anak kecil. “Kenapa?” Tanyanya ketika tiba, tau – tau dia merasakan hawa peperangan akan pecah sebentar lagi. Dengan tubuh Eva condong ke depan menghadap Edric yang hanya bersandar di pintu.
            Dan Eva memundurkan badannya lalu berdehem. Dia membuang muka ketika Edric tersenyum sinis melihat tingkahnya. “Gak papa. Yuk, Fio.” Dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Namun ditahan Fio. “Lo ikut gue aja, Va. Mobil dititipin disini.”
            “Hah?”

            “Iya..” Fio mengangguk kuat – kuat. Dia sudah merencanakan semuanya dengan Tian dan Frans beberapa hari lalu dan tak sudi tujuh turunan kalau sampai gagal. Lagipula mereka bertiga tak peduli siapa yang akan menang, mereka hanya ingin Edric punya pacar. That’s it.
                “Sesekali gue yang bawa lo, Va. Gak papa kan, kak gue pinjam mobil?”
            “Emang lo bisa bawa sampai selamat ke tujuan? Kalau jawabannya tidak, mending lo bawa mobil mainan aja.”
            Fio manyun mendengar jawaban kakaknya. “Demi rencana! Demi rencana!” Bisiknya dalam hati. Menguatkan diri, memberi baja tambahan ntuk telinganya agar tak panas dan berujung bertengkar di depan pintu. “Percaya dengan gue, kak. Mobil lo pasti selamat sampai kerumah lagi, kak. Gimana? gimana? please...”
            Dan Edric angkat bahu. Dia tak peduli mobilnya dibawa Fio. Toh mereka dibelikan ntuk saling meminjam. Bukan saling memonopoli siapa milik siapa. “Bawa aja kalo siap ama konsekuennya. Cuma gue gak mau patungan ganti rugi kalau sampai tuh mobil kenapa – napa.”
            Kalau saja dia lupa bahwa Edric antipati dengan pelukan, dia pasti sudah memeluk erat kakaknya erat – erat. Namun, dia pura – pura lupa dan memeluk erat Edric. “Makasih kakak. Lope you pull deh.”
            “Ya...ya..” Edric membalas singkat pelukan adiknya itu dan melepas secepat ia bisa. walaupun yang memeluk ia sekarang adalah Fio, tetap saja dia tak terbiasa. “Udah, Pergi sana.”
            Mendengar nada pengusiran tanpa repot itu, membuat Eva merasa sedikit tersinggung. Namun ia meredam dalam hati. Malas mencari rusuh. “Yuk, Fio. Kita pergi. sudah merasa gak diinginkan lagi, tuh.” Jawabnya santai sambil merangkul Fio dan membuang wajah ketika merasa Edric beralih menatapnya.

            Dan Fio pura – pura buta mata, buta hati ketika merasakan hawa peperangan sekali lagi. Dia masuk ke dalam rumah ntuk mengambil kunci dan kembali keluar dengan senyum lebar sambil mengacungkan kunci mobil ke arah mereka berdua. “Yuk, Eva.” Dia menarik sepupunya itu menjauh dari ‘lokasi’ panas dan masuk ke dalam mobil.

            Eva langsung menarik napas kemudian mengeluarkan kembali. ditinggal Fio sebentar ntuk mengambil kunci membuat ia merasa ditinggalkan dalam kandang Ular berbisa yang siap mematuknya kapan saja. tatapan tajam Edric tanpa kedip membuat ia tak berani mengeluarkan sepatah kata apapun. Dan ia bersyukur Edric tak menjawab ucapannya tadi. Karna kalau sampai terjadi, ia tak tau lagi harus merespon apa.

            Dan Fio memperhatikan itu ketika menyalakan AC mobil dan radio. “Kenapa, Va?”
            Eva melirik Fio dan tersenyum. “Gak papa, kok.” Jawabnya dan melirik kaca spion di samping ketika mobil sudah meninggalkan rumah. Tanpa sadar menghela napas lega karna Edric tak terlihat lagi.
♥ ♥

            Frans menghentikan mobil di depan rumah. Dia melirik Annisa yang tersenyum ketika sadar diperhatikan. “Kita dimana?”
            “Dirumah Edric. Nah... ini dia.” Dia melirik spion mobilnya ketika ada mobil lain berhenti di belakang dan si pemilik keluar bersama seorang gadis. Membuat jantungnya serasa berhenti berdetak ketika melihat siapa gadis yang memeluk pinggang cowok disampingnya sekarang.

            Kimberly Vexia.

            Dia berdehem dan melirik Annisa. Well,  dia mungkin harus bertanya dengan Tian suatu saat nanti kenapa dia mengusulkan Kim dalam permainan ini. mengingat cowok itu paling tau hubungannya dengan gadis yang dirangkul erat itu.

            Walau tak sepenuhnya.

            Frans keluar dan Annisa mengikuti. Membuat Kim yang memperhatikan itu, tersenyum. Seolah tak merasa aneh. “Hai, Frans.” Sapanya dan langsung memberi pelukan hangat. seolah mereka teman yang lama terpisah.  Long time no see you.”
            “Long time no see you too, little Bear Ly.”  Sapaan itu membuat Kim membeku. Dan dia langsung melepas pelukan Frans dan tersenyum ceria pada Annisa. Seolah tak terpengaruh oleh panggilan yang mengetuk pintu alam sadarnya.
             “Hai.. pacarnya Frans yah?”
            Annisa menggeleng dengan senyumnya yang manis. Dia melirik Frans yang terlihat salah tingkah. Entah kenapa itu sangat lucu. “Gue temannya. Bisa dibilang korban tumbal sih. Yeah..  If you know what i mean.” Annisa memutar bola mata dan Kim tertawa. dia sangat, sangat tau apa maksud dari ‘korban tumbal’ ini. “Gue kira lo pacaran ma dia. Gue Kimberly, dan ini..” Dia menarik Tian yang daritadi senyam – senyum melihat mereka. Apalagi ia sempat memergoki tatapan Tian melirik Frans. Seolah menertawakan.
            “Sebastian.”

            Tian berdehem ntuk menutupi kegelian ketika Frans mempelototinya ntuk diam. “Kita sudah kenalan kan, Nisa? Beauty girl from Dirgantara Family.” Dia meraih tangan kanan Nisa yang terulur lalu mencium penuh perasaan. Seolah mengkhayati betapa harum dan lembut tangan yang ia kecup sekarang.

            “Halo juga, kak Tian. Lo gak berubah juga ternyata.”
            “Bukan Tian namanya kalau berubah lurus, kan?” Tanyanya dengan nada menggoda. Bahkan sambil mengedipkan mata.

            “Ehm...” Frans berdehem dan sempat bertatapan dengan Kim yang memperhatikannya. Dia menoleh ke arah lain. salah tingkah.”Sampai jam berapa kita didepan rumah orang sambil reunian? Subuh?”
            Tian sempat melirik pemandangan itu tersenyum geli. Usahanya ntuk membuktikan Frans tak bisa melupakan Kim ternyata lebih sukses dari ia perkirakan. “sarkas amat sih lo. yuk cewek – cewek cantik, mari kita serang rumah Edric dan bikin tante Lista shock akut. Hahahaa...”

            Dan mereka tertawa sambil masuk dalam rumah. Diikuti dengan Tian yang tau – tau mengajak Nisa berbicara dan Frans hanya melirik Kim. Dan gadis itu mengikutinya. Dengan tangan terayun – ayun. Seolah menanti ntuk digenggam erat.

            “Kim..” Panggilnya ketika Tian memencet bel rumah tante Lista dengan Nisa disamping. Panggilan itu membuatnya tersenyum walau ia tak menoleh.
            “Kenapa,kak?”
            Pintu terbuka dan dia melihat tante Lista keluar lalu memeluk mereka satu persatu. Dia menoleh ke arah Kim yang rupanya menatap ia sejak kapan. Menunggu sepatah atau dua patah kata terucap.

            “Lo gendutan yah sekarang.”

            Sialan!

♥ ♥

            Senyum Fio tak hilang sejak mereka baru saja tiba di cafee  favorit di tengah kota Bandung, lalu melihat sepupu – sepupu jauhnya itu tiba dengan pasangan yang dijanjikan, dan VOILA!  Edric muncul di belakang! entah bujukan apalagi yang sukses membuat kakaknya itu muncul kesini-dengan wajah tertekuk seribu yang ia yakin dia tak ikhlas berada disini. Dia terlalu bahagia karna rencana ini sukses besar hingga tak peduli lagi bahwa suasana hati kembarannya seperti Badai Katrina yang siap mengobrak – abrik apa saja yang ada didepan.

            “Lo mau pesan apa?” Annisa menyorongkan buku menu ke arah Edric yang menatap ke arah lain. dia sungguh, sungguh tak suka berada disini. Dia lebih menyukai duduk di kamar atau di lapangan basket di belakang rumah, atau berenang malam – malam – pokoknya apa saja asal dia tak duduk disini, menghabiskan waktu berharga ntuk membicarakan hal – hal yang paling tak penting. Well,  kalau saja hal – hal itu menghasilkan uang banyak selama mereka duduk disini, bukan menghabiskan isi dompet hingga tinggal receh saja, dia takkan bersumpah – serapah ria sepanjang perjalanan.

            Annisa menatap Edric yang daritadi mengacuhkannya. Bahkan tak membalas uluran tangan  ketika ia berkenalan didepan rumah cowok itu. kalau saja Frans tidak memegang tangannya yang terulur ke depan itu, mungkin ia tetap seperti itu. mengingat semua itu membuatnya berdecak tanpa sadar. “Edric... lo bisa gak noleh sebentar saja selama beberapa menit ntuk memesan apa yang lo mau dibuku ini? setelah itu, gue gak gangguin apa yang lo pandang daritadi.” Ucapan itu membuat Edric menoleh. Membuat ia tanpa sadar mengeluarkan senyum yang selama ini dia sembunyikan rapat – rapat.

            “Walaupun yang lo pandangin Cuma vas bunga murahan.” Lanjutnya lagi seulas senyum ketika cowok itu merebut buku menu yang ia pegang dengan kasar. Lalu mengucapkan pesanannya dengan cepat dan menyerahkan kembali pada waiters. Tak peduli bahwa semua yang ia lakukan itu memberi efek pesona berbahaya bagi orang awam.

            Frans memandangi Nisa dan Edric bergantian lalu tersenyum tanpa sadar. Dan Tian mengikuti tatapan itu lalu menyengir sangat lebar hingga kepergok Edric yang mengernyitkan kening di seberangnya. “Kenapa lo, Tian? Gila?”
            “Mungkin.” Jawabnya santai sambil merangkul Kim yang langsung tersenyum manis. Dia melirik Eva dan Annisa mengapit sepupu tengilnya itu. “Kalau melihat lo diapit dua bidadari macam Eva dan Nisa. Jangan salahin gue pengen tuker posisi.”
            Edric hanya tersenyum seolah mengatakan ‘emang gue peduli gitu?’ dan berdiri dari kursi. Ketika semua mata memandangnya, Ia menghela napas malas. “Mau ambil buku di jok kendaraan.” Dan meninggalkan restoran.

            Annisa memandang kepergian Edric dengan bertopang dagu. seolah berpikir kemudian tersenyum manis ketika cowok itu kembali dan duduk di samping tanpa melirik ia sama sekali. Tanpa  menyadari bahwa ada seseorang yang melirik was – was dari sini.

            Frans dan Fio saling berpandangan. Seolah bertukar pikiran. “Lo tau apa yang dipikiran Annisa, dek?” Tanyanya ketika Fio asyik menatap Annisa yang asyik bercanda dengan Eva yang rupanya sukses menyuruh Edric bertukar duduk dari di tengah menjadi di sampingnya dengan alasan tak terganggu.
            “Apa, kak?”
            “Dia penasaran sama Edric.”
            “Terus?”
            “Tunggu aja kalau seorang Annisa beraksi. Hahahhaa..”

            Fio tertawa walau tak tau dimana lucunya. Setelah terdiam cukup lama dan memikirkan ucapan Frans, dia nyengir. “Jangan bilang sama gue, dia Kim versi kalem gitu?sekitar”
           
            Frans tersenyum ke arah Fio dan menatap Kim yang asyik bercanda dengan Tian sambil sesekali menggoda Edric yang asyik membaca tanpa peduli lingkungan . Ketika tatapannya bersirobok, dia tersenyum ketika gadis itu membalas.

            “Tergantung apa yang ada di otak lo, Fiorenca. Saran gue, just wait and see.”



            “Gak dimakan, Edric?” Annisa bingung melihat pesanan tenderloin steak dengan saus lada hitam hingga akan terasa pedas dan masih panas itu tak tersentuh. Dia sangat ngiler melihat itu hingga ingin mencicipi sedikit.
           
            Kalau cowok itu takkan mencincangnya dengan pisau steak sebagai pengganti potongan daging yang ia telan.
           
            “Ntar aja.”  Jawabnya tanpa mengalihkan buku yang ia pegang sekarang. Toh kalau tak dimakan sekarang, ia bisa membungkusnya pulang dan memberikan kepada James, ular piton yang ia pelihara sedang bergelung malas di batang pohon yang sengaja ia letakkan di kandang berdinding kaca super besar itu sebagai tempat gelantungan. Kalau sedang ingin, ia akan mengambil ular itu dan meletakkan di atas ranjang. Tak peduli dengan apa yang dilakukan ular itu asal tak keluar kamar.
           
            Eva melirik Edric yang duduk di sebelahnya dan memutuskan tak ikut campur. Malas mencari rusuh ketika makanan enak di depan mata. Namun, Annisa malah bertopang dagu dan menatap daging steak itu dengan tatapan sedih. “Kasihan sekali daging itu. diabaikan ama yang mesan padahal enak banget.”
            Edric melirik Annisa yang jelas – jelas menatap pesanannya. “Terus? Lo mau? Saran gue sebagai orang yang baru kenal ama lo, mending lo ambil pisau dan garpu, terus potong makanan lo sendiri dan gausah lirik punya orang. Jelas?”
            “Gue Cuma memberi saran yang bagus sebagai cewek yang baik.”
            “Gue gak butuh dan gak minta.” Edric memanggil waiter dan mengangkat hot plate  berisi pesanannya itu ntuk dibungkus. Dan ketika waiter itu berpaling, dia melirik Annisa yang sekarang tersenyum sambil menyuap dengan Frans meliriknya.

            Edric mengabaikan dan membaca buku yang ia pegang. Hingga akhirnya tak konsen karna buku itu direbut Kim yang tersenyum menggoda dengan rambut panjang yang sengaja ia sampirkan di samping kanan hingga leher jenjang itu terpampang jelas. Tanpa ragu – ragu dia berbicara dengannya sambil sesekali Tian menimpali. Ntuk memojokkan Edric. Tentu saja. dan Fio memilih mengabaikan ketika saudara kembarnya di ‘siksa’ terang – terangan oleh duo gila itu.


            “Lo kemana habis ini, kak?” Tanya Fio ketika di depan kasir hendak membayar, tau – tau Edric membayarkan pesanannya dan pergi begitu saja setelah urusan bayar – membayar selesai. Membuatnya harus mengejar. Separuh ingin berterima kasih karna menyelamatkan dompetnya, dan hatinya menyesal kenapa tak memesan lebih mahal lagi kalau tau ditraktir Cuma – Cuma oleh cowok pelit sepanjang dunia perkembaran.
            “Pulang.”

            Asik! Asik!
            “Kenapa?” Dia kaget tau – tau Edric berhenti dan menatap curiga. “Gak papa, kak.”
            “Yakin?”
            “Eumm... sebenarnya,” Dia melirik Eva yang asyik mengobrol dengan Kim dan Tian sambil sesekali merapikan rambutnya yang terhembus angin malam hingga menutupi mata. Dan tatapannya kembali ke arah Edric yang menunggu. “Gue mau kerumah Ine setelah ini, kak. Soalnya baru inget ada tugas yang belum selesai. Jadi pulang rada malam gitu.”
            “Oh.”
            “Tapi.. Eva ikut lo yah, kak? Gak papa, kan?”
            Edric menatap Eva yang entah kenapa merasa dibicarakan dan tatapan mereka bertemu. Eva tersenyum, namun Edric hanya datar saja. “Kenapa?”
            “Karna rumah Ine jauh, kak. Kalau gue ngantar dia kerumah dulu, bakalan muter jauh bangetdan gue bakal pulang malam. Ibaratnya yah kak, rumah Ine di kutub selatan paling ujung, dan rumah kita di kutub Utara.” Fio menjelaskan dengan penuh semangat.
           
            Edric melirik jam di tangan yang menunjukkan pukul 9 malam. Dia tau batas pulang malam dirumah jam 10 malam. Dia melihat Fio yang menatapnya penuh harap dan mengangkat bahu. “Terserah lo deh. bilang ama Eva sana.”

            Kalau tak ingat rencana ntuk tetap tenang terkendali, dia udah loncat – loncat kesenangan. Namun Fio hanya tersenyum. “Oke deh kak.”

            Fio langsung mendekati Eva dan menceritakan apa yang ia bahas dengan Edric. Dan ia memilih duduk di atas kendaraannya dan melihat Eva bersama Fio menghampiri.
            “Gue ikut lo aja deh, Fio.” Eva sangsi berboncengan dengan Edric yang cuek bebek ini. kendaraan CBR Ninja berwarna merah yang ia yakin keluaran terbaru itu semakin membuatnya ragu.
            “Lo kan gak boleh pulang malam kan, Va? Udah ikut kak Edric aja. Dia langsung pulang kok. iya kan, kak?”
            Edric hanya angkat bahu. Terserah siapa yang menafsirkan.
            Eva menghela napas dan menatap Edric. “Lo gak ngebut bawa motor, kan?”
            “Tergantung siapa yang gue bonceng.”
            “Tapi..” Eva menatap Fio dengan memelas. Berboncengan dengan cowok tampan namun berhati freezer ini adalah mimpi buruk. “Dia bahkan gabawa helm, Fio. Bagaimana kalo kami ketauan polisi?”
            “Gampang. Kalau kita kena tilang, lo yang bakal gue tinggal di pos polisi sebagai jaminan.” Ucap Edric santai dan entah kenapa melihat wajah Eva yang pucat di temaram lampu, ada kepuasan sendiri. “Jadi gimana?”

            “Bentar..” Seolah teringat sesuatu, Fio berlari ke arah mobil dan membuka bagasi belakang. dia nyengir sambil menenteng sesuatu. Sebuah helm. “Gue inget lo selalu nyimpan satu helm dalam mobil, kak.”

            Dan Eva bener – benar mati kutu ketika Fio menyerahkan helm ke arahnya dan ia langsung memasang. Tau begini ceritanya, dia mending bawa mobil sendiri daripada berboncengan dengan kembaran Fio ini.
            Dia menaiki kendaraan Edric dan berpegangan ujung baju kaos cowok itu. membuat si pengemudi jengkel dan menarik tangannya kasar lalu melingkarkan di pinggang. Nyaris saja membuat ia membentur punggung tegap Edric. “Pegangan itu kayak begini, Eva! Gue gak tanggung resiko kalau lo jatuh di kendaraan! Ngerti?”
            “Iya..”
            “Bagus.” Jawabnya dan menjalankan motor meninggalkan cafee tanpa mempedulikan tatapan Fio yang kegirangan sambil menatap kedua sepupunya yang hanya nyengir kuda.

            Ketika rangkulan dirasa mengendur, Edric langsung mnjalankan motor gila – gilaan dan mengerem mendadak. Membuat Eva langsung memekik dan memeluk erat. Jantungnya serasa loncat dari jurang tanpa pengaman. Dia langsung menarik tangan kanannya dengan maksud ingin menepuk pundak Edric, namun kedua pergelangan tangan yang melingkar di pinggang Edric, ditahan dengan tangan kirinya yang tak memegang stang motor. Hal itu membuatnya ngeri. “Edric.. Edric. Gue gak mau mati, loh.”
            “Makanya lo pegangan yang erat kalau masih pengen hidup.” Ucapnya pelan lalu melepaskan cekalan. Entah kenapa hal itu membuat Eva menghela napas lega.

            Angin malam yang berhembus lembut menerbangkan rambut panjangnya, punggung Edric yang entah kenap serasa hangat ketika ia bersandar, dan keheningan yang tercipta antara mereka karna cowok itu fokus mengendarai motornya membelah jalan raya, membuat kantuk menyerang dan ia menyandarkan kepala seutuhnya hingga tanpa sadar menutup mata.


            “Makasih, Frans atas ini.” Annisa mengacungkan boneka teddy bear besar yang ia inginkan ketika mobil yang ia tumpangi sudah tiba di depan rumah. Hadiah dari Frans yang memenangkan lomba saat mereka di pasar malam, sebagai ucapan terima kasih dan maaf atas perlakuan Edric yang menyebalkan selama mereka di cafee. Ia tak keberatan dengan semua itu.
            “sama – sama, Nisa.” Dia tersenyum ketika Nisa masih saja memeluk boneka itu dengan sayang.  Membuat ia teringat seseorang, namun secepat kilat ia singkirkan.

            Nisa mendekatkan diri ke arah Frans dan mencium pipinya. Perhatian Frans entah kenapa membuat hatinya berbunga – bunga.dan spontan ia melakukan itu “Good night, Frans.”  Ucapnya dan berbalik badan ntuk membuka handle mobil. Namun terhenti lengan kanannya ditarik ke belakang. membuat ia menoleh dan kaget karna tau – tau, Frans membalas kecupannya di pipi. Nyaris mengenai sudut bibir. “Good night too, Nisa. Gue antar sampai pintu rumah yah.” Ucapnya dan turun dari mobil. Tanpa mempedulikan wajah Nisa memerah karna perlakuannya itu.

            Dia mengikuti Frans dan cowok itu memencet bel rumahnya. Hingga kedua orang tuanya, Andini dan Dimas muncul di depan mereka. Mamanya dengan senyum jahil ketika melihat ia digandeng Frans, dan papah menatap tajam cowok yang ia gandeng ini. namun berbuat apa – apa ketika mama memaksa Frans secara halus ntuk masuk rumah. Ntuk mengobrol sebentar. Dan ntungnya, Frans tak menolak dan memberikan senyum manis kepada mamanya sebelum dihela masuk dalam rumah.


♥ ♥

            “Setelah ini kita kemana, kak?” Tanya Kim ketika mobil yang ia tumpangi sekarang tak ada tanda – tanda bakal pulang kerumah. Malah melaju menuju salah satu mall terkenal di kota Bandung.
            “Nonton yuk, Kim.” Ajakan Tian membuat ia tertawa. hingga muncul ide ntuk menggoda sedikit. “Nonton apa dulu kak?”
            The Conjuring, gimana?”
            “Kenapa kita gak nge –club ajak kak kayak taun kemaren? Cewek di sini gak kalah seksi kok dengan di sana, kak Tian.” Dia terkikik ketika taun lalu saat Tian mendatanginya ke Jerman, tempat pertama yang ia ajak adalah sebuah club  terkenal di sana dan cowok itu bukannya risih, malah menikmati.

            Tian nyengir kuda ketika kenangan itu diingatkan lagi. Dia melirik Kim dan memutuskan memberhentikan mobil di pinggir jalan. Membalas candaan cewek luar biasa cantik dengan mata biru berpendar yang sekarang tersenyum hingga terlihat semakin seksi saja, adalah hal paling ia sukai. “Lo mau?”
            “Yap.”
            “Tapi gue gak nafsu ama cewek – cewek disana.” Dia mendekatkan diri ke arah Kim yang mundur hingga membentur pintu mobil. Harum manis menggoda namun tak norak tercium jelas di tubuhnya. membuat Tian betah dengan posisi begini. tak mempedulikan tingkahnya membuat Kim panas - dingin. “Karna ada cewek cantik dan jauh lebih seksi tanpa harus dandan menor sedang duduk di samping gue. Gak, Kim sayang. Kita nonton.”
            Kim membalas perlakuan Tian dengan merangkul leher cowok itu agar semakin dekat. “Sayang sekali, kakak.”
            “Iya.. sayang sekali. Tapi gue gak pernah nyesal kok.” Dia melepas rangkulan Kim dengan lembut dan mendaratkan ciuman di kening membuat Kim kaget namun berusaha agar tak terlihat. “Manis sekali kaka.” Ucapnya ketika Tian menginjak kopling, memasang gigi dua dan mobil jalan perlahan.
            Tian hanya tersenyum. Membuat kim gatal ingin membuat cowok disampinga ini bicara lagi. Ia sangat suka dengan suara Tian. Terdengar maskulin. “tante Lyesha tau kita pulang malam?”
            “Tau kok. tenang aja. Gue udah ijin ama mama dan papah. Asal kita gak nginap di hotel aja setelah itu.”
            Kim tertawa dan mengedipkan mata. Perlakuan panas – dingin dari Tian terupakan. “Gue mengharapkan loh, kak.”
            Tian tertawa dan mengacak rambut Kim dengan sayang sambil sesekali bercanda sepanjang jalan.


            Edric merasa berat sebelah selama ia  membawa motor. Pegangan Eva yang melongar membuat ia memegang pegangan cewek di belakangnya ini dengan erat. Dia melirik spion sebelah kanan dan melihat kepala Eva terkulai lemas di pundaknya. Eva tertidur dengan rambut menutupi wajah dan lengan kanannya.

            Dia menghela napas dan berhenti ketika pagar besar rumahnya terlihat. Mesin mobil ia matikan dan ia menoleh, namun gerakan ia membuat Eva hampir jatuh. Refleks dia melingkarkan tangan ke belakang untuk menahan dan dengan perlahan, dia turun dari motor dan berdiri di samping Eva. Membiarkan gadis itu tertidur di dada sedangkan tangannya refleks menyentuh rambut Eva yang menutupi wajahnya.

            Wajah tidur Eva yang cantik dan damai, mata coklat terang itu tertutup sempurna, dan bibir tebal di bawah yang selalu tersenyum itu, terkadang sukses membuat hatinya terpana sebelum cepat – cepat memalingkan wajah dan cuek saja. namun, melihat kombinasi semua itu tepat di depannya, membuat ia merasa kewarasan pergi meninggalkannya.
            “Cantik.” Ucapnya pelan.

            Tanpa sadar, ia menyentuh wajah cantik Eva dan mengelus pipi ranum itu hingga menyentuh dagu lancipnya. Dia mengangkat dagu Eva dengan lembut ke atas, dia menundukkan wajah hingga saling bersentuhan ujung hidung, hela napas berbaur menjadi satu, dan dia mencium bibir merah itu dengan lembut. Menikmati setiap sudut mulutnya yang terasa manis seperti gula, dan memberi kecupan di bibir yang setengah terbuka ketika ia menyudahi. Takut Eva terbangun karna cewek itu mulai menggeliat di pelukannya dan membalas ciumannya dengan mata tertutup.

            Dia mengecup di kening dan bibir Eva sekali lagi lalu menggendongnya masuk dalam rumah. Mengabaikan kendaraannya di depan pagar.

♥ ♥


            “Eva...” Dia menoleh ketika ada seseorang memanggil dari belakang. dia menoleh cepat dan melihat Edric tersenyum. Senyum yang sangat jarang ia munculkan setiap bertemu dengannya dan membuatnya terlihat sangat tampan. Tak ada kata – kata ketus yang keluar, hanya tatapan hitam kelam yang tajam sedang menatapnya. Semua perubahan itu membuat ia tanpa sadar tersenyum. “Iya, Edric?”

            Cowok itu tak menjawab. Malah semakin mendekat ke arahnya. Tanpa peringatan, tau – tau pinggangnya dirangkul dan ditarik mendekat hingga ia hampir saja membentur dada Edric kalau saja tak meletakkan kedua tangannya di depan sebagai tameng. “Kenapa, Edric?”
            Tak ada jawaban. tau – tau cowok itu malah mendaratkan bibir kemerahan itu di bibirnya dan mencium penuh lembut. Membuat ia terpengaruh dan melingkarkan tangan ke lehernya. Meminta secara halus ntuk mendekat...

            Eva langsung terbangun dan kaget ketika ia menoleh ke samping, tau – tau Edric ada di samping sambil menyetir mobilnya. Seribu pertanyaan menyerang kepalanya. Meminta penjelasan.
            “Kenap—“
            “Lo tertidur di kendaraan dan bikin oleng. Kalau saja gue gak lihai, mungkin kita sudah kecelakaan, Eva. Dan sekarang gue antar lo pulang.”
            “Tapi bagaimana lo-“
            “Fio bakal jemput gue di rumah lo.”
            “Gue bisa sendiri, Edric.” Tak habis pikir bagaimana mimpi indah berujung ciuman antara dia dengan Edric, bisa begitu indah. Berbanding terbalik dengan kenyataan.
            Tanpa sadar ia menyentuh bibirnya sendiri. serasa basah dan hangat saat ia elus. Oh tuhan, apakah selama tidur dia mengigau tak jelas tentang mimpi itu? atau malah ngiler dan membasahi pundak cowok itu? semua pertanyaan itu menari – nari di atas kepala.
            Edric memperhatikan gerakan Eva mengelus bibirnya dan pening sendiri. dimana letak kewarasan yang selama ini ia agung – agungkan hingga mencium Eva hingga hampir saja gadis itu semaput. “Gue juga tau lo bisa sendiri dan hendak membangunkan lo, tapi Fio maksa ntuk jemput gue. Yaudah.”
           
            Eva hanya diam sambil sesekali memberitahu Edric lokasi rumahnya. Ketika tiba d depan pagar rumahnya, dia melihat mobil Edric terparkir i samping pagar. Edric langsung menginjak rem dan kopling secara perlahan, mematikan mesin, dan turun dari mobilnya lalu berjalan menuju Fio yang menunggu dalam mobil. Membuat ia buru – buru keluar mobil.
            “Edric!”
            Cowok itu menoleh dan melihat Eva dengan rambut terurai yang entah sejak kapan digulung ke atas hingga menunjukkan lehernya yang putih bersih. Kontras dengan pakaian yang ia kenakan sekarang. “Makasih.”
            Dia hanya mengacungkan jempol dan masuk dalam mobilnya. Mengabaikan Fio yangrsenyum menggoda di sampingnya ketika ia tak jua menjalankan mobil. Malah menunggu Eva masuk dalam rumah dengan mobil terparkir rapi di garasi.
            “Apa?” liriknya sinis ketika Fio meliriknya dengan tatapan ciee.. cieee...
            “Gak papa, kak.” Fio lekas menggeleng. Dia ingin sekali menggoda Edric, namun takut dengan ancaman akan James, ular piton peliharaan Edric akan memeluk erat keempat buurng merpatinya.

            Tapi, ketika melihat sekilas senyum di wajah kakaknya selama memperhatikan Eva, membuat ia menyimpan euforia dalam hati dan berjanji akan menelpon kedua sepupunya malam ini. memberi laporan.


            YES! YES!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar