“Mama
mana,bik?” Tanya Tian kepada pembantunya ketika melihat mobil terparkir di
garasi. Tapi si empunya tak terihat dimana –mana.
Bik Soimah hanya menahan napas
tertahan melihat anak majikannya satu ini. rambut agak acak – acakan dan
panjang mengenai kerah baju, tatapan hijau toska sangat membuatnya mabuk, dan
senyum yang memikat membuat ia terkadang lupa bernapas. “Nyonya lagi di kamar, mas Tian.”
Tian tersenyum mendengar jawaban
pembantunya itu. dia melirik pintu kamar mama yang tertutup rapat itu. “Sama
papah yah?”
Melihat pembantunya mengangguk
pelan. Senyumnya semakin lebar. Melupakan efek senyum itu membuat yang melihat
lupa bagaimana mengambil oksigen di sekelilingnya. Termasuk pembantu malang
satu ini.
“Makasih bi.” Dia bergegas naik ke
lantai dua dengan senyum tak hilang dari wajahnya.
Usilin dulu ah...
♥
♥
Lyesha
mengganti pakaian kerja menjadi daster rumahan dan menggerai rambut panjangnya
hingga menutupi punggung. Mengabaikan bahwa semua yang ia lakukan itu membuat
suaminya, Bian tersenyum jahil dan mendekat ke arahnya, lalu memeluk ia dari
belakang sambil mendaratkan ciuman di leher seringan bulu. Sanggup membuat ia
mendongkak ke samping dan menyandarkan kepalanya ke bahu agar memberikan akses
lebih ntuk suaminya satu ini.
“Sapaan
selamat malam, heh?” Tanyanya dengan nada pelan ketika tangan suaminya
itu-mulai ‘menjelajah’ kemana – mana di sekujur tubuhnya. memberikan sinyal –
sinyal yang mustahil ntuk ia tolak.
“Bagiku
sapaan ntuk bikin adek baru ntuk Tian.” Bian tertawa dan menggigit tengkuknya
sambil memberikan napas panas. Membuat ia mendesah dan terkikik geli ketika
bekas gigitan itu disentuh dengan bibir tipis yang entah sudah berapa
kali-memberi sentuhan pada seluruh tubuhnya.
Suara
ketukan di pintu tak mereka hiraukan. Lyesha sudah berbalik menghadap suaminya
dan memberikan ciuman mesra dan panas. Memberikan sinyal – sinyal tambahan ntuk
langkah selanjutnya, namun ketukan itu tak berhenti, malah semakin keras.
Membuat ia, dengan sangat, sangat terpaksa, melepas pelukan Bian dan menurunkan
dasternya yang entah sejak kapan sudah tersingkap ke atas. Dia tersenyum manis
pada suaminya yang manyun karna ‘penjelajahan’ dihentikan sementara.
“Aku
mau keluar dulu.”
“Aku
saja.” Kata Bian dan mengecup bibirnya sekilas. “Pasti Tian tuh.”
Bian
melangkah keluar dan membuka pintu. dia melihat anaknya yang 100% copycat
dirinya waktu muda, tersenyum super lebar sekarang. “Hai, pah, ma.”
“Halo
sayang.” Lyesha menghampiri dan memeluknya penuh sayang. “Ada apa?”
“Tian
keluar dulu yah sama Kim. Gak berdua aja sih.” Dia tersenyum tertahan ketika
tatapan mamanya mulai tajam. “Ada Eva, Fio, Frans dan Annisa juga sih.”
“Boleh
kok. sekalian papah mau pacaran juga sama mama. Mumpung kamu gak ada.” Jawab
Bian membuat Tian tertawa geli. “Sip pah.”
Terdengar
sinandung riang dari samping dan mereka melihat Kim menghampiri dengan senyum
lebar. Tian tak bisa melepaskan pandangannya ketika gadis itu mengenakan baju
kaos berlengan pendek dan agak kentat dengan motif garis – garis berwarna
merah, celana pendek, dan kalung berbentuk jangkar kapal menghiasi leher
jenjangnya yang sangat harum itu. rambut ikal berwarna kecoklatan, wajah dan
bibir merekah merah yang seksi itu membuatnya merasa bertanggung jawab ntuk
menjaga Kim. “Sudah siap, Kim?”
Dan
senyum itu semakin lebar saja hingga ia terlihat sangat cantik- dan seksi.
Tentu saja. “Sudah dong, kak. Halo tante
Lyesha, Om Bian.” Sapanya dan mencium tangan mereka berdua dengan sopan.
Mengabaikan tatapan menakutkan yang dilayangkan terang – terangan oleh Lyesha.
Entahlah, berurusan dengan Kimberly ini membuat ia harus menjaga Tian dengan
hati – hati. Bukan malah sebaliknya.
“Halo
juga, Kim. Gimana kabar mama dan papah kamu?” Bian merangkul Kim di pundak
–seolah seperti anak perempuan sendiri.
“Baik kok, Om. Papah titip salam aja.”
“Titip
salam juga ntuk papah kamu, Kim. Gimana sekolah kamu? Sekelas gak dengan Fio
dan Edric?”
“Sekelas
dong, Om. Malah Kim sebangku sama Edric.”
“Kimberly...”
Tian merangkul pinggang Kim dengan pelan dan membuat cewek itu terkesiap kaget.
Bian yang melihat perlakuan anaknya itu, tersenyum jahil dan melepas
rangkulannya lalu melirik Lyesha yang siap menyerang siapapun. Dia tau istrinya
satu ini setengah anti dengan keluarga Kim. Entah karna alasan apa. “Kita
berangkat, yuk.”
Dan
Kim balas merangkul pinggang Tian dengan manis. “Okedeh. Duluan om, tante.”
Tian
tersenyum kepada orang tuanya. “Tian berangkat dulu, pah. Ma.” Pamitnya dan
menuruni tangga dengan Kim dirangkulannya.
Melihat
kepergian anaknya, Bian melirik istrinya yang kini juga melirik balik. “Kita
lanjutin yang tadi, yuk?”
“Yang
tadi mana yah? Aku lupa tuh.” Jawabnya usil membuat seringai jahil itu semakin
lebar saja.
“Kamu
kayaknya perlu diingetin lagi deh setiap detiknya.” Dan Bian langsung mencium
istrinya sambil menggendong masuk dalam kamar dan menutup pintu dengan
menendang pelan.
♥
♥
Di
dalam mobil, Tian menelpon seseorang dan Kim memperhatikan semua itu. dadanya
yang tegap- entah sudah berapa kali dia melihat tanpa dilapisi pakaian
sekalipun, bibir tebal di bawah – yang menurutnya sensual untuk ukuran cowok
membuat ia entah kenapa tak bisa melepas tatapannya. Tatapan mata tajam dan
menggoda di saat bersamaan, rambut acak – acakan yang sudah berapa kali dia
sentuh secara tak sengaja- dan sangat lembut itu, serta perhatiannya yang luar
biasa manis, membuat ia merasa dijaga dan beruntung bisa mengenal Tian.
“Kita
kemana, kak?” Tanyanya ketika Tian
mematikan ponsel dan meletakkan di atas dashboard.
“Kita
jemput Edric dulu bareng Frans dan.. ” Ia melirik Kim ntuk melihat sekecil
apapun rekasi yang ditunjukkan. Namun melihat Kim hanya mangut – mangut, dia
memutuskan tak apa – apa ntuk mengatakan selanjutnya. “Annisa ntuk janjian
disitu sekalian ke cafee ntar.”
“Kenapa
Edric gak ama Fio aja?”
“Dia
ngajak Eva dan lo tau sendiri kan gimana Edric kalau sudah berurusan dengan
dia?”
Kim
tertawa pelan. Tingkah Edric yang terang – terang menjauhinya seperti wabah
mematikan yang patut disingkirkan bukannya membuat ia tersinggung, malah
semakin gatal mendekati Edric. Bahkan menggodanya. Dan itu menyenangkan. “Okedeh,
kak.”
Dan
Tian melaju meninggalkan rumahnya menuju rumah sepupu tengil satu ini. dan Kim,
bersinandung riang karna akan bertemu Edric, ‘permainan’ barunya.
♥
♥
“Edric..” Lista memanggil ketika terdengar
suara bel. Dia terlalu sibuk didapur dengan Fio ntuk menyiapkan makan malam
hingga butuh bantuan.
“Iya,
ma.” Edric menghentikan permainan catur dengan papahnya, Ando dan menoleh ke
arah dapur. Tak mempedulikan bahwa tingkah ia itu memberi angin segar ntuk si
lawan yang kewalahan.
“Skak
mat!” Teriakan papahnya tak ia hiraukan. Memberi kemenangan kecil ntuk papah yang
selalu kalah di setiap kesempatan menurut ia adalah tindakan mulia yang pernah
dilakukan.
“Bukain
pintu, dong. mama lagi sibuk nih.”
“Fio
jugaaa..” Tanpa diminta kembarannya menyahut. Seolah tau sebentar lagi akan
muncul pertanyaan ‘kenapa bukan Fio saja? kan dia lebih cocok jadi pembuka
pintu, ma.’
Edric
mengangguk dan berjalan ke arah pintu kemudian membukanya. “Hai Ed—“
“Apa?”
Ucapan
dingin, bahkan bernada ketus itu seharusnya membuat ia marah atau menampar
mulut cowok itu dengan keras. Namun karna hatinya sudah diberi imun anti sakit
hati, dia tersenyum saja. “Ada Fio?”
“Gue
jadi curiga sama lo lama – lama.” Edric melipat kedua tangannya di dada dan
menatap Eva lurus – lurus. Meneliti apa yang bisa ia baca dari tatapan coklat
terang itu.
Dan
Eva tersenyum manis sambil mengikuti gesture Edric. “Oh yah? Curiga
kenapa? Gue kan gak rugiin lo.”
“Lo...”
Dia melirik penampilan Eva dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut tergerai
panjang, mengenakan sejenis kemben berwarna hijau gelap yang ditutup dengan
jaket kulit, menonjolkan betapa kontras dengan warna kulitnya yang putih
bersih. Tatapannya menurun ke arah celana jeans berwarna hitam metalik
dan wedges dengan hak rendah. “Lo gak ngajak Fio dugem, kan?”
Kalau
saja cowok di depannya ini hobi bercanda jayus, dia sudah tertawa terbahak – bahak dan
mengiyakan dengan nada menggoda. Namun berhubung yang ia hadapi sekarang adalah
Manusia Es entah dari kutub mana, yang selalu menanggapi ucapannya dengan super
serius hingga tak bisa diajak bercanda, membuatnya tak berani melakukan hal
itu.
Tapi..
sesekali gak papa, kan?
Dan
Eva tersenyum manis. “Menurut lo setelah liat penampilan gue? Kan kami sudah
cukup umur untuk melakukan itu, Edric. Dan lo pasti gak akan peduli, kan?”
Tatapan
menantang dari Eva membuat ia menggemeratakkan gigi. Dia mengambil langkah maju
mendekati gadis itu, dan tersenyum sinis. “Gue gak peduli lo mau berbuat
apa, mau merusak diri sampai hancur
lebur, Eva. Tapi kalau itu menyangkut Fio, lo akan berurusan dengan gue kalau sampai lo jerumusin dia ke hal – hal
negatif.”
“Gue
kira lo gak perhatian ama dia. mengingat tingkah lo bukan kakak yang baik ntuk
diberi perhatian lebih.”
“Lo
gak ada hak ntuk menilai apakah gue kakak yang baik atau tidak, Eva. Gue punya
cara sendiri ntuk peduli dengan Fio yang lo gak akan pernah tau.”
“Termasuk
gue?”
“Lo?”
Edric berkerut kening. Dia menatap Eva dan tersenyum. Senyum yang menurut siapa
saja yang melihat bisa dibilang setengah geli- dan menggoda. “Memangnya lo
kenapa? Butuh perhatian juga dari gue? Lo mau gue apain, Eva? Give me a clue
and i’ll be do it.” Edric berbisik di telinga Eva dengan suara rendah
hingga terdengar semakin serak. Sanggup membuatnya serasa jungkir balik
mendengar betapa seksi suara yang berbisik sekarang.
“Kenapa
diam, Eva? Confused? Ok, i’ll be give a simple clue. Do you want a kiss?”
Dan Eva serasa menelan batu
jurang sekarang. Bisikan bernada melecehkan- namun terdengar sangat menggoda
itu membuatnya entah harus menghajar cowok sialan ini atau malah mengiyakan
kuat – kuat.
Dan ia memilih opsi pertama.
Diinjaknya kaki cowok itu keras – keras dan mendekatkan diri ke arahnya.
Mengabaikan betapa menggoda harum tubuh Edric. “ Dear Edric Hayman, Can
i kick your face, now?”
Sebelum Edric menjawab, tau – tau Fio muncul di
belakangnya dengan baju you can see berwarna biru muda dan celana jeans
serta sepatu flat berwarna senada
dengan rambut sengaja dibuat ikal dan diberi hiasan kepala berbentuk kepang.
Membuat kembarannya ini terlihat seperti anak kecil. “Kenapa?” Tanyanya ketika
tiba, tau – tau dia merasakan hawa peperangan akan pecah sebentar lagi. Dengan
tubuh Eva condong ke depan menghadap Edric yang hanya bersandar di pintu.
Dan Eva memundurkan badannya lalu
berdehem. Dia membuang muka ketika Edric tersenyum sinis melihat tingkahnya.
“Gak papa. Yuk, Fio.” Dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Namun ditahan
Fio. “Lo ikut gue aja, Va. Mobil dititipin disini.”
“Hah?”
“Iya..” Fio mengangguk kuat – kuat.
Dia sudah merencanakan semuanya dengan Tian dan Frans beberapa hari lalu dan
tak sudi tujuh turunan kalau sampai gagal. Lagipula mereka bertiga tak peduli
siapa yang akan menang, mereka hanya ingin Edric punya pacar. That’s it.
“Sesekali gue yang bawa lo, Va. Gak
papa kan, kak gue pinjam mobil?”
“Emang lo bisa bawa sampai selamat
ke tujuan? Kalau jawabannya tidak, mending lo bawa mobil mainan aja.”
Fio manyun mendengar jawaban
kakaknya. “Demi rencana! Demi rencana!” Bisiknya dalam hati. Menguatkan
diri, memberi baja tambahan ntuk telinganya agar tak panas dan berujung
bertengkar di depan pintu. “Percaya dengan gue, kak. Mobil lo pasti selamat
sampai kerumah lagi, kak. Gimana? gimana? please...”
Dan Edric angkat bahu. Dia tak peduli mobilnya dibawa
Fio. Toh mereka dibelikan ntuk saling meminjam. Bukan saling memonopoli siapa
milik siapa. “Bawa aja kalo siap ama konsekuennya. Cuma gue gak mau patungan
ganti rugi kalau sampai tuh mobil kenapa – napa.”
Kalau saja dia lupa bahwa Edric
antipati dengan pelukan, dia pasti sudah memeluk erat kakaknya erat – erat.
Namun, dia pura – pura lupa dan memeluk erat Edric. “Makasih kakak. Lope you
pull deh.”
“Ya...ya..” Edric membalas singkat
pelukan adiknya itu dan melepas secepat ia bisa. walaupun yang memeluk ia
sekarang adalah Fio, tetap saja dia tak terbiasa. “Udah, Pergi sana.”
Mendengar nada pengusiran tanpa
repot itu, membuat Eva merasa sedikit tersinggung. Namun ia meredam dalam hati.
Malas mencari rusuh. “Yuk, Fio. Kita pergi. sudah merasa gak diinginkan lagi,
tuh.” Jawabnya santai sambil merangkul Fio dan membuang wajah ketika merasa
Edric beralih menatapnya.
Dan Fio pura – pura buta mata, buta
hati ketika merasakan hawa peperangan sekali lagi. Dia masuk ke dalam rumah
ntuk mengambil kunci dan kembali keluar dengan senyum lebar sambil mengacungkan
kunci mobil ke arah mereka berdua. “Yuk, Eva.” Dia menarik sepupunya itu
menjauh dari ‘lokasi’ panas dan masuk ke dalam mobil.
Eva langsung menarik napas kemudian
mengeluarkan kembali. ditinggal Fio sebentar ntuk mengambil kunci membuat ia
merasa ditinggalkan dalam kandang Ular berbisa yang siap mematuknya kapan saja.
tatapan tajam Edric tanpa kedip membuat ia tak berani mengeluarkan sepatah kata
apapun. Dan ia bersyukur Edric tak menjawab ucapannya tadi. Karna kalau sampai
terjadi, ia tak tau lagi harus merespon apa.
Dan Fio memperhatikan itu ketika
menyalakan AC mobil dan radio. “Kenapa, Va?”
Eva melirik Fio dan tersenyum. “Gak
papa, kok.” Jawabnya dan melirik kaca spion di samping ketika mobil sudah
meninggalkan rumah. Tanpa sadar menghela napas lega karna Edric tak terlihat
lagi.
♥
♥
Frans menghentikan mobil di depan rumah. Dia
melirik Annisa yang tersenyum ketika sadar diperhatikan. “Kita dimana?”
“Dirumah
Edric. Nah... ini dia.” Dia melirik spion mobilnya ketika ada mobil lain
berhenti di belakang dan si pemilik keluar bersama seorang gadis. Membuat
jantungnya serasa berhenti berdetak ketika melihat siapa gadis yang memeluk
pinggang cowok disampingnya sekarang.
Kimberly
Vexia.
Dia
berdehem dan melirik Annisa. Well, dia mungkin harus bertanya dengan Tian suatu
saat nanti kenapa dia mengusulkan Kim dalam permainan ini. mengingat cowok itu
paling tau hubungannya dengan gadis yang dirangkul erat itu.
Walau
tak sepenuhnya.
Frans
keluar dan Annisa mengikuti. Membuat Kim yang memperhatikan itu, tersenyum.
Seolah tak merasa aneh. “Hai, Frans.” Sapanya dan langsung memberi pelukan
hangat. seolah mereka teman yang lama terpisah. “Long time no see you.”
“Long time no see you too, little
Bear Ly.” Sapaan itu membuat Kim membeku. Dan dia
langsung melepas pelukan Frans dan tersenyum ceria pada Annisa. Seolah tak
terpengaruh oleh panggilan yang mengetuk pintu alam sadarnya.
“Hai.. pacarnya Frans yah?”
Annisa
menggeleng dengan senyumnya yang manis. Dia melirik Frans yang terlihat salah
tingkah. Entah kenapa itu sangat lucu. “Gue temannya. Bisa dibilang korban
tumbal sih. Yeah.. If you know
what i mean.” Annisa memutar bola mata dan Kim tertawa. dia sangat, sangat
tau apa maksud dari ‘korban tumbal’ ini. “Gue kira lo pacaran ma dia. Gue
Kimberly, dan ini..” Dia menarik Tian yang daritadi senyam – senyum melihat
mereka. Apalagi ia sempat memergoki tatapan Tian melirik Frans. Seolah
menertawakan.
“Sebastian.”
Tian
berdehem ntuk menutupi kegelian ketika Frans mempelototinya ntuk diam. “Kita
sudah kenalan kan, Nisa? Beauty girl from Dirgantara Family.” Dia meraih
tangan kanan Nisa yang terulur lalu mencium penuh perasaan. Seolah mengkhayati
betapa harum dan lembut tangan yang ia kecup sekarang.
“Halo
juga, kak Tian. Lo gak berubah juga ternyata.”
“Bukan
Tian namanya kalau berubah lurus, kan?” Tanyanya dengan nada menggoda. Bahkan
sambil mengedipkan mata.
“Ehm...”
Frans berdehem dan sempat bertatapan dengan Kim yang memperhatikannya. Dia
menoleh ke arah lain. salah tingkah.”Sampai jam berapa kita didepan rumah orang
sambil reunian? Subuh?”
Tian
sempat melirik pemandangan itu tersenyum geli. Usahanya ntuk membuktikan Frans
tak bisa melupakan Kim ternyata lebih sukses dari ia perkirakan. “sarkas amat
sih lo. yuk cewek – cewek cantik, mari kita serang rumah Edric dan bikin
tante Lista shock akut. Hahahaa...”
Dan
mereka tertawa sambil masuk dalam rumah. Diikuti dengan Tian yang tau – tau
mengajak Nisa berbicara dan Frans hanya melirik Kim. Dan gadis itu
mengikutinya. Dengan tangan terayun – ayun. Seolah menanti ntuk digenggam erat.
“Kim..”
Panggilnya ketika Tian memencet bel rumah tante Lista dengan Nisa disamping.
Panggilan itu membuatnya tersenyum walau ia tak menoleh.
“Kenapa,kak?”
Pintu
terbuka dan dia melihat tante Lista keluar lalu memeluk mereka satu persatu.
Dia menoleh ke arah Kim yang rupanya menatap ia sejak kapan. Menunggu sepatah
atau dua patah kata terucap.
“Lo
gendutan yah sekarang.”
Sialan!
♥
♥
Senyum Fio tak hilang sejak mereka baru saja
tiba di cafee favorit di tengah
kota Bandung, lalu melihat sepupu – sepupu jauhnya itu tiba dengan pasangan
yang dijanjikan, dan VOILA! Edric
muncul di belakang! entah bujukan apalagi yang sukses membuat kakaknya itu
muncul kesini-dengan wajah tertekuk seribu yang ia yakin dia tak ikhlas berada
disini. Dia terlalu bahagia karna rencana ini sukses besar hingga tak peduli
lagi bahwa suasana hati kembarannya seperti Badai Katrina yang siap mengobrak –
abrik apa saja yang ada didepan.
“Lo
mau pesan apa?” Annisa menyorongkan buku menu ke arah Edric yang menatap ke
arah lain. dia sungguh, sungguh tak suka berada disini. Dia lebih menyukai
duduk di kamar atau di lapangan basket di belakang rumah, atau berenang malam –
malam – pokoknya apa saja asal dia tak duduk disini, menghabiskan waktu
berharga ntuk membicarakan hal – hal yang paling tak penting. Well, kalau saja hal – hal itu menghasilkan uang
banyak selama mereka duduk disini, bukan menghabiskan isi dompet hingga tinggal
receh saja, dia takkan bersumpah – serapah ria sepanjang perjalanan.
Annisa
menatap Edric yang daritadi mengacuhkannya. Bahkan tak membalas uluran tangan ketika ia berkenalan didepan rumah cowok itu.
kalau saja Frans tidak memegang tangannya yang terulur ke depan itu, mungkin ia
tetap seperti itu. mengingat semua itu membuatnya berdecak tanpa sadar.
“Edric... lo bisa gak noleh sebentar saja selama beberapa menit ntuk memesan
apa yang lo mau dibuku ini? setelah itu, gue gak gangguin apa yang lo pandang
daritadi.” Ucapan itu membuat Edric menoleh. Membuat ia tanpa sadar
mengeluarkan senyum yang selama ini dia sembunyikan rapat – rapat.
“Walaupun
yang lo pandangin Cuma vas bunga murahan.” Lanjutnya lagi seulas senyum ketika
cowok itu merebut buku menu yang ia pegang dengan kasar. Lalu mengucapkan pesanannya
dengan cepat dan menyerahkan kembali pada waiters. Tak peduli bahwa
semua yang ia lakukan itu memberi efek pesona berbahaya bagi orang awam.
Frans
memandangi Nisa dan Edric bergantian lalu tersenyum tanpa sadar. Dan Tian
mengikuti tatapan itu lalu menyengir sangat lebar hingga kepergok Edric yang
mengernyitkan kening di seberangnya. “Kenapa lo, Tian? Gila?”
“Mungkin.”
Jawabnya santai sambil merangkul Kim yang langsung tersenyum manis. Dia melirik
Eva dan Annisa mengapit sepupu tengilnya itu. “Kalau melihat lo diapit dua
bidadari macam Eva dan Nisa. Jangan salahin gue pengen tuker posisi.”
Edric
hanya tersenyum seolah mengatakan ‘emang gue peduli gitu?’ dan berdiri
dari kursi. Ketika semua mata memandangnya, Ia menghela napas malas. “Mau ambil
buku di jok kendaraan.” Dan meninggalkan restoran.
Annisa
memandang kepergian Edric dengan bertopang dagu. seolah berpikir kemudian
tersenyum manis ketika cowok itu kembali dan duduk di samping tanpa melirik ia
sama sekali. Tanpa menyadari bahwa ada
seseorang yang melirik was – was dari sini.
Frans
dan Fio saling berpandangan. Seolah bertukar pikiran. “Lo tau apa yang
dipikiran Annisa, dek?” Tanyanya ketika Fio asyik menatap Annisa yang asyik
bercanda dengan Eva yang rupanya sukses menyuruh Edric bertukar duduk dari di
tengah menjadi di sampingnya dengan alasan tak terganggu.
“Apa,
kak?”
“Dia
penasaran sama Edric.”
“Terus?”
“Tunggu
aja kalau seorang Annisa beraksi. Hahahhaa..”
Fio
tertawa walau tak tau dimana lucunya. Setelah terdiam cukup lama dan memikirkan
ucapan Frans, dia nyengir. “Jangan bilang sama gue, dia Kim versi kalem gitu?sekitar”
Frans
tersenyum ke arah Fio dan menatap Kim yang asyik bercanda dengan Tian sambil
sesekali menggoda Edric yang asyik membaca tanpa peduli lingkungan . Ketika
tatapannya bersirobok, dia tersenyum ketika gadis itu membalas.
“Tergantung
apa yang ada di otak lo, Fiorenca. Saran gue, just wait and see.”
♥ ♥
“Gak dimakan, Edric?” Annisa bingung melihat
pesanan tenderloin steak dengan saus lada hitam hingga akan terasa pedas
dan masih panas itu tak tersentuh. Dia sangat ngiler melihat itu hingga ingin
mencicipi sedikit.
Kalau
cowok itu takkan mencincangnya dengan pisau steak sebagai pengganti potongan
daging yang ia telan.
“Ntar
aja.” Jawabnya tanpa mengalihkan buku
yang ia pegang sekarang. Toh kalau tak dimakan sekarang, ia bisa membungkusnya
pulang dan memberikan kepada James, ular piton yang ia pelihara sedang
bergelung malas di batang pohon yang sengaja ia letakkan di kandang berdinding
kaca super besar itu sebagai tempat gelantungan. Kalau sedang ingin, ia akan
mengambil ular itu dan meletakkan di atas ranjang. Tak peduli dengan apa yang
dilakukan ular itu asal tak keluar kamar.
Eva
melirik Edric yang duduk di sebelahnya dan memutuskan tak ikut campur. Malas
mencari rusuh ketika makanan enak di depan mata. Namun, Annisa malah bertopang
dagu dan menatap daging steak itu dengan tatapan sedih. “Kasihan sekali
daging itu. diabaikan ama yang mesan padahal enak banget.”
Edric
melirik Annisa yang jelas – jelas menatap pesanannya. “Terus? Lo mau? Saran gue
sebagai orang yang baru kenal ama lo, mending lo ambil pisau dan garpu, terus
potong makanan lo sendiri dan gausah lirik punya orang. Jelas?”
“Gue
Cuma memberi saran yang bagus sebagai cewek yang baik.”
“Gue
gak butuh dan gak minta.” Edric memanggil waiter dan mengangkat hot
plate berisi pesanannya itu ntuk
dibungkus. Dan ketika waiter itu berpaling, dia melirik Annisa yang
sekarang tersenyum sambil menyuap dengan Frans meliriknya.
Edric
mengabaikan dan membaca buku yang ia pegang. Hingga akhirnya tak konsen karna
buku itu direbut Kim yang tersenyum menggoda dengan rambut panjang yang sengaja
ia sampirkan di samping kanan hingga leher jenjang itu terpampang jelas. Tanpa
ragu – ragu dia berbicara dengannya sambil sesekali Tian menimpali. Ntuk
memojokkan Edric. Tentu saja. dan Fio memilih mengabaikan ketika saudara
kembarnya di ‘siksa’ terang – terangan oleh duo gila itu.
♥ ♥
“Lo
kemana habis ini, kak?” Tanya Fio ketika di depan kasir hendak membayar, tau –
tau Edric membayarkan pesanannya dan pergi begitu saja setelah urusan bayar –
membayar selesai. Membuatnya harus mengejar. Separuh ingin berterima kasih
karna menyelamatkan dompetnya, dan hatinya menyesal kenapa tak memesan lebih
mahal lagi kalau tau ditraktir Cuma – Cuma oleh cowok pelit sepanjang dunia
perkembaran.
“Pulang.”
Asik!
Asik!
“Kenapa?”
Dia kaget tau – tau Edric berhenti dan menatap curiga. “Gak papa, kak.”
“Yakin?”
“Eumm...
sebenarnya,” Dia melirik Eva yang asyik mengobrol dengan Kim dan Tian sambil
sesekali merapikan rambutnya yang terhembus angin malam hingga menutupi mata. Dan
tatapannya kembali ke arah Edric yang menunggu. “Gue mau kerumah Ine setelah
ini, kak. Soalnya baru inget ada tugas yang belum selesai. Jadi pulang rada
malam gitu.”
“Oh.”
“Tapi..
Eva ikut lo yah, kak? Gak papa, kan?”
Edric
menatap Eva yang entah kenapa merasa dibicarakan dan tatapan mereka bertemu.
Eva tersenyum, namun Edric hanya datar saja. “Kenapa?”
“Karna
rumah Ine jauh, kak. Kalau gue ngantar dia kerumah dulu, bakalan muter jauh
bangetdan gue bakal pulang malam. Ibaratnya yah kak, rumah Ine di kutub selatan
paling ujung, dan rumah kita di kutub Utara.” Fio menjelaskan dengan penuh
semangat.
Edric
melirik jam di tangan yang menunjukkan pukul 9 malam. Dia tau batas pulang
malam dirumah jam 10 malam. Dia melihat Fio yang menatapnya penuh harap dan
mengangkat bahu. “Terserah lo deh. bilang ama Eva sana.”
Kalau
tak ingat rencana ntuk tetap tenang terkendali, dia udah loncat – loncat
kesenangan. Namun Fio hanya tersenyum. “Oke deh kak.”
Fio
langsung mendekati Eva dan menceritakan apa yang ia bahas dengan Edric. Dan ia
memilih duduk di atas kendaraannya dan melihat Eva bersama Fio menghampiri.
“Gue
ikut lo aja deh, Fio.” Eva sangsi berboncengan dengan Edric yang cuek bebek
ini. kendaraan CBR Ninja berwarna merah yang ia yakin keluaran terbaru itu
semakin membuatnya ragu.
“Lo
kan gak boleh pulang malam kan, Va? Udah ikut kak Edric aja. Dia langsung
pulang kok. iya kan, kak?”
Edric
hanya angkat bahu. Terserah siapa yang menafsirkan.
Eva
menghela napas dan menatap Edric. “Lo gak ngebut bawa motor, kan?”
“Tergantung
siapa yang gue bonceng.”
“Tapi..”
Eva menatap Fio dengan memelas. Berboncengan dengan cowok tampan namun berhati freezer
ini adalah mimpi buruk. “Dia bahkan gabawa helm, Fio. Bagaimana kalo kami
ketauan polisi?”
“Gampang.
Kalau kita kena tilang, lo yang bakal gue tinggal di pos polisi sebagai
jaminan.” Ucap Edric santai dan entah kenapa melihat wajah Eva yang pucat di
temaram lampu, ada kepuasan sendiri. “Jadi gimana?”
“Bentar..”
Seolah teringat sesuatu, Fio berlari ke arah mobil dan membuka bagasi belakang.
dia nyengir sambil menenteng sesuatu. Sebuah helm. “Gue inget lo selalu nyimpan
satu helm dalam mobil, kak.”
Dan
Eva bener – benar mati kutu ketika Fio menyerahkan helm ke arahnya dan ia
langsung memasang. Tau begini ceritanya, dia mending bawa mobil sendiri
daripada berboncengan dengan kembaran Fio ini.
Dia
menaiki kendaraan Edric dan berpegangan ujung baju kaos cowok itu. membuat si
pengemudi jengkel dan menarik tangannya kasar lalu melingkarkan di pinggang.
Nyaris saja membuat ia membentur punggung tegap Edric. “Pegangan itu kayak
begini, Eva! Gue gak tanggung resiko kalau lo jatuh di kendaraan! Ngerti?”
“Iya..”
“Iya..”
“Bagus.”
Jawabnya dan menjalankan motor meninggalkan cafee tanpa mempedulikan
tatapan Fio yang kegirangan sambil menatap kedua sepupunya yang hanya nyengir
kuda.
Ketika
rangkulan dirasa mengendur, Edric langsung mnjalankan motor gila – gilaan dan
mengerem mendadak. Membuat Eva langsung memekik dan memeluk erat. Jantungnya
serasa loncat dari jurang tanpa pengaman. Dia langsung menarik tangan kanannya
dengan maksud ingin menepuk pundak Edric, namun kedua pergelangan tangan yang
melingkar di pinggang Edric, ditahan dengan tangan kirinya yang tak memegang
stang motor. Hal itu membuatnya ngeri. “Edric.. Edric. Gue gak mau mati, loh.”
“Makanya
lo pegangan yang erat kalau masih pengen hidup.” Ucapnya pelan lalu melepaskan
cekalan. Entah kenapa hal itu membuat Eva menghela napas lega.
Angin
malam yang berhembus lembut menerbangkan rambut panjangnya, punggung Edric yang
entah kenap serasa hangat ketika ia bersandar, dan keheningan yang tercipta
antara mereka karna cowok itu fokus mengendarai motornya membelah jalan raya,
membuat kantuk menyerang dan ia menyandarkan kepala seutuhnya hingga tanpa
sadar menutup mata.
♥ ♥
“Makasih, Frans atas ini.” Annisa mengacungkan
boneka teddy bear besar yang ia inginkan ketika mobil yang ia tumpangi
sudah tiba di depan rumah. Hadiah dari Frans yang memenangkan lomba saat mereka
di pasar malam, sebagai ucapan terima kasih dan maaf atas perlakuan Edric yang
menyebalkan selama mereka di cafee. Ia tak keberatan dengan semua itu.
“sama
– sama, Nisa.” Dia tersenyum ketika Nisa masih saja memeluk boneka itu dengan
sayang. Membuat ia teringat seseorang,
namun secepat kilat ia singkirkan.
Nisa
mendekatkan diri ke arah Frans dan mencium pipinya. Perhatian Frans entah kenapa
membuat hatinya berbunga – bunga.dan spontan ia melakukan itu “Good night,
Frans.” Ucapnya dan berbalik badan
ntuk membuka handle mobil. Namun terhenti lengan kanannya ditarik ke belakang. membuat ia
menoleh dan kaget karna tau – tau, Frans membalas kecupannya di pipi. Nyaris
mengenai sudut bibir. “Good night too, Nisa. Gue antar sampai pintu
rumah yah.” Ucapnya dan turun dari mobil. Tanpa mempedulikan wajah Nisa memerah
karna perlakuannya itu.
Dia mengikuti Frans dan cowok itu
memencet bel rumahnya. Hingga kedua orang tuanya, Andini dan Dimas muncul di
depan mereka. Mamanya dengan senyum jahil ketika melihat ia digandeng Frans,
dan papah menatap tajam cowok yang ia gandeng ini. namun berbuat apa – apa
ketika mama memaksa Frans secara halus ntuk masuk rumah. Ntuk mengobrol
sebentar. Dan ntungnya, Frans tak menolak dan memberikan senyum manis kepada
mamanya sebelum dihela masuk dalam rumah.
♥
♥
“Setelah ini kita kemana, kak?” Tanya Kim
ketika mobil yang ia tumpangi sekarang tak ada tanda – tanda bakal pulang
kerumah. Malah melaju menuju salah satu mall terkenal di kota Bandung.
“Nonton
yuk, Kim.” Ajakan Tian membuat ia tertawa. hingga muncul ide ntuk menggoda
sedikit. “Nonton apa dulu kak?”
“The
Conjuring, gimana?”
“Kenapa kita gak nge –club ajak kak kayak taun kemaren? Cewek di sini gak kalah seksi kok dengan di sana, kak Tian.” Dia terkikik ketika taun lalu saat Tian mendatanginya ke Jerman, tempat pertama yang ia ajak adalah sebuah club terkenal di sana dan cowok itu bukannya risih, malah menikmati.
“Kenapa kita gak nge –club ajak kak kayak taun kemaren? Cewek di sini gak kalah seksi kok dengan di sana, kak Tian.” Dia terkikik ketika taun lalu saat Tian mendatanginya ke Jerman, tempat pertama yang ia ajak adalah sebuah club terkenal di sana dan cowok itu bukannya risih, malah menikmati.
Tian
nyengir kuda ketika kenangan itu diingatkan lagi. Dia melirik Kim dan
memutuskan memberhentikan mobil di pinggir jalan. Membalas candaan cewek luar
biasa cantik dengan mata biru berpendar yang sekarang tersenyum hingga terlihat
semakin seksi saja, adalah hal paling ia sukai. “Lo mau?”
“Yap.”
“Tapi
gue gak nafsu ama cewek – cewek disana.” Dia mendekatkan diri ke arah Kim yang
mundur hingga membentur pintu mobil. Harum manis menggoda namun tak norak
tercium jelas di tubuhnya. membuat Tian betah dengan posisi begini. tak
mempedulikan tingkahnya membuat Kim panas - dingin. “Karna ada cewek cantik dan
jauh lebih seksi tanpa harus dandan menor sedang duduk di samping gue. Gak, Kim
sayang. Kita nonton.”
Kim
membalas perlakuan Tian dengan merangkul leher cowok itu agar semakin dekat.
“Sayang sekali, kakak.”
“Iya..
sayang sekali. Tapi gue gak pernah nyesal kok.” Dia melepas rangkulan Kim
dengan lembut dan mendaratkan ciuman di kening membuat Kim kaget namun berusaha
agar tak terlihat. “Manis sekali kaka.” Ucapnya ketika Tian menginjak kopling,
memasang gigi dua dan mobil jalan perlahan.
Tian
hanya tersenyum. Membuat kim gatal ingin membuat cowok disampinga ini bicara
lagi. Ia sangat suka dengan suara Tian. Terdengar maskulin. “tante Lyesha tau
kita pulang malam?”
“Tau
kok. tenang aja. Gue udah ijin ama mama dan papah. Asal kita gak nginap di
hotel aja setelah itu.”
Kim
tertawa dan mengedipkan mata. Perlakuan panas – dingin dari Tian terupakan.
“Gue mengharapkan loh, kak.”
Tian
tertawa dan mengacak rambut Kim dengan sayang sambil sesekali bercanda
sepanjang jalan.
♥ ♥
Edric merasa berat sebelah selama ia membawa motor. Pegangan Eva yang melongar
membuat ia memegang pegangan cewek di belakangnya ini dengan erat. Dia melirik
spion sebelah kanan dan melihat kepala Eva terkulai lemas di pundaknya. Eva
tertidur dengan rambut menutupi wajah dan lengan kanannya.
Dia
menghela napas dan berhenti ketika pagar besar rumahnya terlihat. Mesin mobil
ia matikan dan ia menoleh, namun gerakan ia membuat Eva hampir jatuh. Refleks
dia melingkarkan tangan ke belakang untuk menahan dan dengan perlahan, dia
turun dari motor dan berdiri di samping Eva. Membiarkan gadis itu tertidur di
dada sedangkan tangannya refleks menyentuh rambut Eva yang menutupi wajahnya.
Wajah
tidur Eva yang cantik dan damai, mata coklat terang itu tertutup sempurna, dan
bibir tebal di bawah yang selalu tersenyum itu, terkadang sukses membuat
hatinya terpana sebelum cepat – cepat memalingkan wajah dan cuek saja. namun,
melihat kombinasi semua itu tepat di depannya, membuat ia merasa kewarasan
pergi meninggalkannya.
“Cantik.”
Ucapnya pelan.
Tanpa
sadar, ia menyentuh wajah cantik Eva dan mengelus pipi ranum itu hingga
menyentuh dagu lancipnya. Dia mengangkat dagu Eva dengan lembut ke atas, dia
menundukkan wajah hingga saling bersentuhan ujung hidung, hela napas berbaur
menjadi satu, dan dia mencium bibir merah itu dengan lembut. Menikmati setiap
sudut mulutnya yang terasa manis seperti gula, dan memberi kecupan di bibir
yang setengah terbuka ketika ia menyudahi. Takut Eva terbangun karna cewek itu
mulai menggeliat di pelukannya dan membalas ciumannya dengan mata tertutup.
Dia
mengecup di kening dan bibir Eva sekali lagi lalu menggendongnya masuk dalam
rumah. Mengabaikan kendaraannya di depan pagar.
♥
♥
“Eva...” Dia menoleh ketika ada seseorang
memanggil dari belakang. dia menoleh cepat dan melihat Edric tersenyum. Senyum
yang sangat jarang ia munculkan setiap bertemu dengannya dan membuatnya
terlihat sangat tampan. Tak ada kata – kata ketus yang keluar, hanya tatapan
hitam kelam yang tajam sedang menatapnya. Semua perubahan itu membuat ia tanpa
sadar tersenyum. “Iya, Edric?”
Cowok itu tak menjawab. Malah
semakin mendekat ke arahnya. Tanpa peringatan, tau – tau pinggangnya dirangkul
dan ditarik mendekat hingga ia hampir saja membentur dada Edric kalau saja tak
meletakkan kedua tangannya di depan sebagai tameng. “Kenapa, Edric?”
Tak ada jawaban. tau – tau cowok itu
malah mendaratkan bibir kemerahan itu di bibirnya dan mencium penuh lembut.
Membuat ia terpengaruh dan melingkarkan tangan ke lehernya. Meminta secara
halus ntuk mendekat...
Eva
langsung terbangun dan kaget ketika ia menoleh ke samping, tau – tau Edric ada
di samping sambil menyetir mobilnya. Seribu pertanyaan menyerang kepalanya.
Meminta penjelasan.
“Kenap—“
“Lo
tertidur di kendaraan dan bikin oleng. Kalau saja gue gak lihai, mungkin kita
sudah kecelakaan, Eva. Dan sekarang gue antar lo pulang.”
“Tapi
bagaimana lo-“
“Fio
bakal jemput gue di rumah lo.”
“Gue
bisa sendiri, Edric.” Tak habis pikir bagaimana mimpi indah berujung ciuman
antara dia dengan Edric, bisa begitu indah. Berbanding terbalik dengan
kenyataan.
Tanpa
sadar ia menyentuh bibirnya sendiri. serasa basah dan hangat saat ia elus. Oh
tuhan, apakah selama tidur dia mengigau tak jelas tentang mimpi itu? atau malah
ngiler dan membasahi pundak cowok itu? semua pertanyaan itu menari – nari
di atas kepala.
Edric
memperhatikan gerakan Eva mengelus bibirnya dan pening sendiri. dimana letak
kewarasan yang selama ini ia agung – agungkan hingga mencium Eva hingga hampir
saja gadis itu semaput. “Gue juga tau lo bisa sendiri dan hendak membangunkan
lo, tapi Fio maksa ntuk jemput gue. Yaudah.”
Eva
hanya diam sambil sesekali memberitahu Edric lokasi rumahnya. Ketika tiba d
depan pagar rumahnya, dia melihat mobil Edric terparkir i samping pagar. Edric
langsung menginjak rem dan kopling secara perlahan, mematikan mesin, dan turun
dari mobilnya lalu berjalan menuju Fio yang menunggu dalam mobil. Membuat ia
buru – buru keluar mobil.
“Edric!”
Cowok
itu menoleh dan melihat Eva dengan rambut terurai yang entah sejak kapan
digulung ke atas hingga menunjukkan lehernya yang putih bersih. Kontras dengan
pakaian yang ia kenakan sekarang. “Makasih.”
Dia
hanya mengacungkan jempol dan masuk dalam mobilnya. Mengabaikan Fio yangrsenyum
menggoda di sampingnya ketika ia tak jua menjalankan mobil. Malah menunggu Eva
masuk dalam rumah dengan mobil terparkir rapi di garasi.
“Apa?”
liriknya sinis ketika Fio meliriknya dengan tatapan ciee.. cieee...
“Gak
papa, kak.” Fio lekas menggeleng. Dia ingin sekali menggoda Edric, namun takut
dengan ancaman akan James, ular piton peliharaan Edric akan memeluk erat
keempat buurng merpatinya.
Tapi,
ketika melihat sekilas senyum di wajah kakaknya selama memperhatikan Eva,
membuat ia menyimpan euforia dalam hati dan berjanji akan menelpon kedua
sepupunya malam ini. memberi laporan.
YES! YES!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar