Minggu, 29 Desember 2013

Bunga Terakhir.



Aku menunggu lebih dari dua jam dari waktu seharusnya di Cafee biasa kami bersua. Berkali – kali aku melirik jam di tangan. Cemas menunggunya yang tak kunjung datang. Dia dimana? Apa aku harus menelponnya? Apa aku harus – pertanyaan – pertanyaan konyol itu menari di kepalaku. Membuat frustasi.

            “Hai...” Suaranya jernih bagai oase di padang pasir membuatku spontan menoleh dan tersenyum manis. “Akhirnya kau datang juga, Edric. Ayo duduk.” Dan dia duduk didepanku sambil menyodorkan sebuket bunga Lily putih yang sangat kusuka. “Untukmu. Maaf telat tadi. Biasa...”
            Senyumku mengembang dan mencium harum bunga itu dengan penuh khidmat. Seolah setiap aroma yang menguar dari bunga itu membisikkan kata – kata cinta yang selama ini tersembunyi rapi oleh pria yang menjadi pacarku selama 2 tahun ini. “Makasih, Edric atas bunganya. Aku suka.”
            Dia hanya tersenyum dan memanggil waiters untuk meminta buku menu dan memesan yang sama denganku. Tanganku yang menggenggam erat buket itu membuatnya tersenyum. “segitu sayangnya ‘kah sampai tak ingin dilepas?”
            “Aku menghargai pemberian orang, Edric. Apalagi yang memberikannya adalah pacarku sendiri yang tak pernah sekalipun memberi setangkai bunga apapun.” Jawaban setengah menyindir itu membuatnya tertawa terbahak – bahak. “Aku gak tau harus marah atau tertawa mendengar jawabanmu, Eva.”

            Dan kami hanya melempar senyum tanpa kata lalu aku memulai pembicaraan tentang apa saja sambil menunggu waiters datang.

♥ ♥

            “Enak?” Pertanyaan itu membuat keningku berkerut lagi. Ada apa dengan Edric? Tanya hatiku berulang kali. ini bukan Edric yang kukenal. Edric yang kutau takkan menanyakan apakah makanan yang ku cicipi sekarang ini enak atau hambar, Edric yang ku cinta takkan pernah terlambat datang kencan sampai 2 jam tanpa pemberitahuan, dan Edric yang duduk di depanku sekarang takkan pernah mengirim, apalagi membawakan setangkai bunga apapun! Semua ini terlalu mencurigakan untuk dilakukan oleh Edric Hayman.
            “Kamu sakit?” Pertanyaan konyol tanpa saringan terlebih dahulu lolos begitu saja dari mulutku. Membuat wajahnya terlihat berkerut.
            “Kalau aku sakit, aku takkan duduk disampingmu dan membawakan buket bunga jauh – jauh dari kantor, Eva.” Ucapnya dengan nada cuek. Ah... setidaknya nada suara itu masih ada. Ucap batinku lega.
            “Kan siapa tau. Kamu aneh banget tau hari ini. Tiba – tiba maksa ketemuan di sini padahal kantor kamu jauh, dan membawakan bunga lagi. Aku tau seharusnya ini tak usah dipertanyakan, tapi ini tetap saja aneh untuk seorang Edric yang terkenal cuek sama orang, cenderung tak perhatian malah. Selalu ribut dengan saudara kembarnya, dan...”
            “Dan masih ada saja yang mencintaiku walau semua sifat yang kamu sebutin itu membuat para wanita naik darah.” Lanjutnya lagi dengan senyum – yang membuatku terdiam seketika dan tanpa sadar mengangguk mengiyakan. “Dan bodoh sekali wanita itu karna mencintai pria seperti itu.”
            “Bagiku itu seperti menerima pria apa adanya. Bukan ada apanya.” Dia menjawab santai sambil menyandarkan tubuh di sofa dan meminum pesanannya. Tatapan matanya tak lepas dariku. Membuatku salah tingkah. “Jangan liatin aku mulu, dong!”
            Dia hanya tertawa mendengar rajukanku dan tiba – tiba berdiri dari duduknya. “Aku mau ke toilet sebentar. Kamu jam berapa masuk kantor?”     
            Aku melirik jam di tangan. Sebenarnya aku bisa masuk kapan saja karna pekerjaanku sebagai akuntan yang sedang menikmati akhir tahun setelah dikejar deadline selama 6 bulan terakhir, tak mengikat harus masuk kantor tepat waktu seusai jam makan siang. “Jam 2 siang. Aku ada janji ama klien soalnya.”
            Dia mengangguk dan entah kenapa berjalan mendekat dan menarik kepalaku untuk mencium keningku lama. “Aku ke toilet dulu.” Ucapnya santai dan meninggalkanku dengan kening berkerut.

            Asyik menunggunya, tau – tau seorang waiters datang sambil memberikan sepucuk surat. Aku menatapnya dengan penuh tanya. “Dari Mas Edric.” Ucapnya sopan dan langsung pergi ketika surat itu ku ambil sambil mengucapkan terima kasih.
            “Dasar cowok aneh.” Ucapku sambil geleng – geleng kepala dan membuka isi surat lalu membacanya.

            Maukah kau menikah denganku, Evangeline Fransesca Boulanger? Menjadi wanita yang terakhir kulihat sebelum menutup mata dan kupeluk erat hingga pagi menjelang?  menjadi wanita yang akan menemaniku menghabiskan umur sambil bergandengan tangan? Menjadi pendamping pria yang dingin seperti kutub es – seperti kau bilang setiap kita bertengkar? Aku mencintaimu.dan kumohon terimalah lamaran sederhanaku ini. Aku mencintaimu dengan satu hati yang mempunyai cinta dan ingin memilikimu dengan sederhana. Untuk seumur hidup.

Edric Hayman.

            Tanpa sadar air mataku menetes deras membaca isi surat yang ditulis penuh kata – kata romantis dan pemujaan. Edric pasti menurunkan beberapa persen egonya untuk menulis hal ini. Pasti. Oh Tuhan... Aku semakin, makin mencintai pria ini.Ucapku dalam hati.

“Maukah kau tuk menjadi pilihanku,
menjadi yang terakhir dalam hidupku
maukah kau ‘tuk jadi yang pertama
yang selalu ada di setiap ku membuka mata.

Ijinkan aku untuk memilikimu, mengasihimu, menjagamu
menyayangimu, memberi cinta, memberi semua.”

Maliq D’Essentials – Pilihanku.

            Entah sejak kapan lagu itu dinyanyikan secara akustik oleh seseorang di atas panggung. Aku melirik ke arah depan cafee  yang bernuansa minimalis itu dan terkejut Edric menatapku sambil tersenyum sambil menyanyikan lagu itu. Senyum yang membuatku berdiri dari tempat duduk dan berjalan menghampirinya sambil menggenggam erat surat itu dengan erat.

            “Aku mau, Edric. Menjadi yang pertama setiap kau membuka mata, dan terakhir ketika kau ingin tidur dan mendekapmu penuh cinta. Ya. Aku mau menjadi istrimu. Untuk seumur hidup.” Bisikku pelan di telinganya. Dia terkejut dan tanpa ragu menarikku dalam pelukan dan mencium bibir ini penuh mesra. Mengabaikan beberapa pengunjung cafee bertepuk tangan bahagia. Tak terkecuali.

                        “Aku mencintaimu, Evangeline. Seumur hidupku.”

♥ ♥

            Aku pulang ke apartemen dengan hati sangat bahagia sambil mendekap bunga pemberian Edric siang tadi. Lamaran penuh cinta di cafee tempat kami bertemu teringat jelas di otakku setiap detiknya. Ciuman penuh cinta yang diberinya serasa membuatku terbang melayang. Sambil tersenyum aku mengambil pot bunga kecil yang selalu tersimpan di tempat khusus lalu mengisinya dengan air dan meletakkan bunga pemberian Edric di dalamnya agar segar.
            Iseng – iseng aku mengambil remote TV dan mencari saluran berita sambil masuk ke kamar. Entah kenapa aku keluar lagi dan duduk bersila di depan TV. Sesuatu yang jarang aku lakukan.

            “baru saja terjadi kecelakaan beruntun dari arah jembatan Dewi. Kecelakaan yang berawal dari tabrakan dua truk angkut barang yang mendadak oleng lalu menabrak pagar pembatas jembatan hingga mengakibatkan beberapa mobil lain di belakang tak bisa mengerem dan akhirnya jatuh ke sungai berarus sangat dalam dan diperburuk hujan sangat deras. Sampai saat ini masih di identiifikasi korban – korban yang jatuh ke sungai itu oleh tim SAR.”

            “Kasihan.” Ucapku dan mengambil ponsel yang berada di atas meja. Aku melihat ada voice mail masuk dari Edric. Mungkin karena aku tak mengangkat telponnya jadi dia mengirim ini.

            “Hai Eva. Makasih kamu sudah menerima lamaranku. Dan makasih juga kamu ... BRAK!” Suara mobil berdecit hingga menabrak suatu benda yang keras lalu disusul suara teriakan yang berakhir dengan bunyi jatuh dari tempat ketinggian dan BYUR! Dengan keras membuat otakku mendadak berhenti bekerja. Otakku mati, jiwaku seperti mengelana entah kemana ketika suara lemah terdengar “Aku mencintaimu selalu, Eva.” Sebelum akhirnya terputus.

            Setengah tak sadar aku mengangkat ponsel tanpa melirik siapa yang menelpon dan terdengar suara histeris. Yang kutau ini suara Fio. “Kak Eva udah liat berita? Kak Edric baru saja kecelakaan beruntun di jembatan dan dia –“ Aku tidak mendengar lagi lanjutan ceritanya yang terganti dengan suara histeris itu. ponselku jatuh ke lantai.  Aku tak mendengar apa yang dikatakan pembawa berita itu ketika dia menyebutkan nama – nama korban yang tewas.

            Satu hal yang kutahu,             Edric ku telah pergi dengan meninggalkan sebuket bunga Lily yang kujaga selamanya, dan janji yang takkan pernah terwujud.

“Selamat berpisah, kenangan bercinta
Sampai kapankah, jadinya aku harus menunggu
hari bahagia...

seperti dulu.”

Chrisye – Merpati Putih.
           

1 komentar:

  1. Betway, Casino, Hotels - Jackson, MS Jobs | JT Hub
    Find Betway, Casino, Hotels, and Resorts, MS Jobs near Jackson, 상주 출장샵 MS. 수원 출장샵 Get 용인 출장마사지 the inside 밀양 출장샵 scoop on jobs, government, and local government. 경상북도 출장샵

    BalasHapus