Minggu, 29 Desember 2013

All About Love (Tentangmu, Tentang Mereka, Tentang Kita) Part 2




            “Kim!”
            What?”
                        Edric melirik Kim yang tersenyum tak bersalah di belakangnya. Seharian diikuti membuatnya gatal ingin membeli segulung tali rafia dan menarik kasar gadis itu ke kursi kemudian mengikatnya sampai gulungan itu habis. Pemikiran itu tanpa sadar membuat ia tersenyum lebar.

            Kim melihat senyum Edric yang melebar itu, membuatnya terpesona dan mencolek jahil dagu cowok itu. “Hayoo.. lo mikirin gue apa, Edric? Did you imagine Something ..” Kim membuat tanda kutip dan tersenyum menggoda. Senyuman yang membuat para cowok memutuskan ntuk menjadikan ia sebagai target.

            Edric tersenyum sinis. Dia tau pemikiran Kim yang ‘belok’ itu mengingat 18 tahun di doktrin dengan budaya Barat yang cenderung bebas. “What? I guess, maybe your beauty imagination tells that about first sex. Isn’t it?” Bisiknya dengan suara serak di telinga Kim. Salah – salah dia berkata lantang mengucapkan kalimat itu, dijamin dia akan merasakan kursi panas ruang BP.

            Kim tertawa mendengarnya. Dia tersenyum sambil melipat tangan di dada dan menatap Edric dengan tatapan menggoda sekali lagi. Tatapan yang menjadi bakatnya sejak dalam kandungan. “Maybe. Have imagination about ‘it’ with you,”  Dia membuat tanda kutip dan spontan menarik dasi Edric agar mendekat ke arahnya. Tatapan mereka beradu. Yang satu menatap tajam seolah ingin menguliti hidup – hidup dengan tatapan hitam kelamnya, satunya lagi mengedipkan mata menggoda dengan tatapan biru cantiknya. “it so awesome, darl.” Dengan sengaja Kim menggigit bawah bibirnya yang tebal kecil merekah itu di depan Edric dan merangkul leher agar cowok itu semakin dekat dengannya hingga nyaris saling menyentuh dahi. Entahlah, di depan cowok sinting satu ini membuat seluruh kewarasannya menguap.

            Untung kelas sekarang sepi karna semua murid berlari ke kantin. Jadi takkan ada yang melihat aksi gila Kim. Si murid baru. Edric menarik diri dan membenarkan dasinya yang melonggar. Tanpa banyak kata, dia meninggalkan Kim yang hanya tersenyum menatap kepergiannya.
            “I’ve got you, beib.”


       
Sebastian Pradipta
    
“Hai, Bro.” Tian tersenyum lebar melihat Frans meliriknya. Yah, mereka satu kampus negeri terkenal di Jakarta dengan ia bernaung di Fakultas Kedokteran dan Frans di Fakultas Ekonomi. Mereka sepakat bertemu di cafetaria kampus.
            Frans mendekati Tian yang mengenakan kemeja kotak  dilapis dengan baju kaos putih, rambut hitam pekat dibikin mohawk, tatapan hijau toska warisan turun – temurun keluarga Pradipta itu semakin indah ketika terpantul sinar matahari. Sanggup membuat para cewek menarik napas tertahan ketika melihat sepupunya yang satu ini. apalagi bila sudah beraksi di lapangan Basket. Tian dengan sukarela melepaskan pakaiannya untuk bermain. Membiarkan dada bidang hasil olahraga setiap pagi menjadi vitamin mata untuk para mahasiswi.

            “Gimana Kim?” Tanya Frans yang duduk di depan sepupunya yang asyik memakan batagor sambil melirik kiri – kanan sambil sesekali melempar senyum ramah apabila ada yang mengenalnya. Yah, satu lagi bakat Pradipta sukses diwariskan oleh Sebastian dan dirinya, ditolak mentah – mentah oleh Edric.

            “Kim? Baik kok. kenapa?” Tian melirik Frans yang sekarang menggulung mie goreng pesanannya dengan garpu. Sepupunya satu ini mempunyai wajah Eropa yang sangat kental. Rambut coklat kehitaman terlihat acak – acakan seperti bangun tidur, tatapan mata coklat terang dan kedua lesung pipi yang dalam warisan tante sekaligus kembaran papahnya, Erika Pradipta tercetak jelas tanpa cacat. Penampilannya yang terlihat bad boy dengan anting hitam di telinga kiri yang dicopot bila masuk ruangan kampus, namun dikenakan lagi membuat sepupunya ini mempunyai banyak penggemar.
           
            “Lo bangun tidur gak sisiran, yah?” Pertanyaan Tian membuat ia tersedak dan buru – buru menarik napas. Mereka kenal sejak dari orok, baru kali ini pertanyaan sinting itu meluncur dari seorang Sebastian. “Lo gak salah makan, kan?”
            “Seingat gue sih enggak, Frans.” Tian berusaha mengingat – ingat sarapannya pagi tadi dengan wajah lucu. Membuat sepupunya itu tertawa. “Badut lo!”

            Dia tersenyum mendengar ledekannya dan menatap Frans. “Lo masih ada hati ama Kim? Kalau ada, gue suruh tuh anak mundur dekatin Edric deh. gue gak mau lo patah hati ria karna mantan gebetan bernafsu mengejar sepupunya yang notabene anti cewek itu.”

Fransisco Boulanger
            Frans mengangkat bahu acuh tak acuh. “Gak ada sih. Hati gue biasa aja ama Kim sekarang. Mungkin karena kemaren hormon labil bekerja kali yah jadi naksir ama dia. Hahaha..”

            “Bagus deh. lega gue dengarnya.” Tian menghela napas syukur dan menikmati pesanannya lagi sambil melempar senyum manis ke arah segerombolan cewek yang duduk di samping kiri meja mereka. Dia tersenyum simpul ketika mereka berbisik – bisik heboh sampai lupa bahwa dia berada di sekitar mereka.

            Dan Frans mengikuti tatapan Tian lalu geleng – geleng. “Dasar playboy!”
            “Itu bakat, Frans. Jangan disia – siain. Hahaha...”
            Frans tertawa dan mengiyakan tanpa tanggung – tanggung. “Gimana ceritanya nyokap lo jadi rela Kim nginap ditempat lo? Bukannya tante Lyesha ogah ngelihat wajahnya?”

            Tian tertawa mengingat kejadian seminggu lalu itu. membujuk mamanya tercinta, Lyesha Anindya agar Kimberly tinggal sementara dirumahnya, sesusah dia  minta dibelikan rumah 5 Miliyar beserta cewek cantik didalamnya. Dan dia memilih tak menjawab. Membuat Frans penasaran dan mencari jawaban sendiri adalah hal menyenangkan. “Ada deh....”
            Wajah Frans bertekuk mendengar jawabannya. “Sialan lo! mau bikin gue mati penasaran, hah?”
            “Emang itu tujuan hidup gue kok. membuat orang lain penasaran dengan apa yang terjadi dalam hidup gue adalah hal paling menyenangkan.”
            Frans memasang wajah jijik. “Sok ngartis!”
            Tian tersenyum simpul dan mengernyitkan wajah bingung ketika ponselnya berdering. Dia mengambil ponsel dari kantong dan menatap Frans yang rupanya penasaran siapa menelpon sesiang ini. “Mau ngangkat?”
            “Siapa?”
            “Kimberly.” Dia memasang wajah menggoda. Dia tau hubungan antara Frans dan cewek yang menelponnya sekarang ini. dan ia gatal ingin menggoda apa cowok ini benar – benar melepas cewek seksi ini atau bukan. Mengingat pesona Kim terlalu sayang untuk ditolak.

            Dan Frans mengangkat bahu. “Gak deh.” Dan Tian tersenyum lalu mengangkatnya. “Hai, Kim. Ada apa?”
            Di seberang sana, terdengar suara serak seksi mengalun. Tanpa maksud menggoda, memang sudah bakat dari kandungan. “Jemput dong, kak.”
            “Lo ikut Edric aja, Kim.”
            Terdengar gerutuan dari Kim. Membuat ia nyengir kuda. Rupanya Kim ditinggal pergi oleh sepupunya itu. “Oke deh. gue jemput bentar lagi yah. gue sama Frans nih. Mau ngomong?” Tawarnya dan ia tertawa ketika suara Kim terdengar menggerutu dan Frans yang menjadi salah tingkah.

            “Oke, cantik. I’ll be coming for you. wait me, okay? Don’t go anywhere.” Pesan Tian dan memutus telponnya. Lalu melirik Frans sekali lagi. “Mau ikut gue jemput Kim?”
            “Lo itu mau jodohin Kim ama gue sekali lagi atau Edric sih sebenarnya?!” tanyanya sinis.
            “Gue ngetes doang kok. by the way, gimana dengan Annisa? Dia udah tau urusan ini?”
            Frans mengangguk. Kemaren dia kerumah Annisa dan menjelaskan taruhannya dengan Fio dan Tian tentang menjodohkan masing – masing temannya untuk Edric. Dan Annisa dengan senyum lembut mengiyakan. Membuatnya mendadak tak rela mengumpan gadis manis itu ntuk dijadikan samsak tinju oleh Edric.
            “Terus apa tanggapan dia?”
            “Dia bilang oke tuh. Penasaran katanya gimana wajah Edric hingga jadi songong gitu.”
            “Trus lo bilangin konsekuennya?”
            “Iya. Dan gue bilang dia bisa mundur kapan saja kalau gak sanggup lagi dan gue rela dijadiin batu sandaran dia kalau merasa sakit ati. Dia Cuma senyum doang. Serius, Tian. Gue gak rela umpanin dia. hatinya terlalu lembut untuk disakitin.”
            “Kan lo yang ngusulin, Frans. Begini deh, gue udah bilang ama Fio kalau sampai Edric bikin si Annisa itu nangis, gue bakal bikin piagam penghargaan deh cetakan MURI kalau perlu.”
            Mau tak mau Frans tertawa. mungkin dia bisa mempertimbangkan tawaran Tian dan menagih suatu saat nanti kalau Annisa menangis di pelukannya.

            Pelukannya?

            “Oke deh. gue setuju. Bagaimana kita temuin Annisa ama Edric? Secara mereka ga pernah ketemu, kan?”
            Tian tersenyum. Dia punya rencana bagus. “Gue ada ide.” Dan Tian menjelaskan ide brilian yang sudah ia pikirkan dari malam tadi pada Frans yang mangut – mangut mengiyakan. Ketika dia mendongkak, senyumnya penuh konspirasi.
            “Bangga gue sepupuan ama lo, Tian.”
            Tian berdiri dari kursi dan membungkukkan badan seperti Prajurit kerajaan kedatangan Ratu. “Terima kasih, Raja Frans.”
            Dan mereka tertawa bersama. Tak sabar menanti ide sinting dari seorang Sebastian terlaksana dan membuat sepupunya itu kalang kabut.

♥ ♥

     
Annisa Dirgantara
      
Annisa menghempaskan tubuh ke ranjang dengan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Sms dari Frans tentang rencana untuk menemukan ia dengan Edric membuatnya tersenyum. Rambut panjang hitam sebahu, senyum manis selalu ia sunggingkan dengan ikhlas, kata – kata santun bernada lembut membuat orang lain tak tega membuat ia meneteskan air mata. Tak ada yang menyadari di balik semua itu, dia menyimpan bakat terpendam yang membuat siapa saja mengenalnya, serasa pangling.
            Dia bangkit dari ranjang dan duduk bersila sambil membalas sms Frans dengan senyum lebar. Dia sangat penasaran dengan Edric dan Frans sudah mengatakan jangan tanggung – tanggung mengeluarkan bakatnya ntuk cowok satu itu. dan ia mengiyakan penuh semangat.

            “Lo gak tau siapa gue.”

♥ ♥

            Edric duduk di taman sambil membawa buku – buku yang ia pinjam di perpustakaan. Sesore ini dia malas kemana – mana dan memilih untuk membaca saja. sekaligus melupakan bayangan Kim yang menggodanya habis – habisan di sekolah.  Membuatnya stress hingga yakin suatu saat nanti bakal menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa dengan diagnosis “Gila akut karna diteror sepupu sinting.”
            Asyik membaca, tau – tau 4 pasang merpati punya Fio berada di depan sambil mematuk – matuk pelan kakinya. Tanda belum dikasih makan sama si empunya. Ia meletakkan buku disamping dan menatap 4 pasang merpati dara kipas itu dengan jengkel. Lalu masuk dalam rumah. Mengabaikan burung yang mengekor di belakangnya seperti anak ayam.
            “Fio! Anak lo belum dikasih makan nih! Turun  gih!” Teriaknya dari bawah dan melirik ke belakang. burung itu masih ada. Bahkan menatap penuh memelas. Membuat ia menghela napas jengkel.
           
            “Kenapa hidup gue serasa ada yang ngekorin kemana – mana yah? tadi si Kim, sekarang anak Fio, ntar besok – besok pasti orang gila yang ngikutin dan bilang gue anaknya yang ilang entah kapan itu!” Gerutunya jengkel.
           
            Kamar Fio terbuka dan kepalanya menyembul dari balik pintu. “Tolong kak kasih makan mereka, yah. gue lagi sibuk nih.”
            “Gue umpanin ke James aja yah mereka semua ini. biar ga ngerepotin!” James adalah ular phyton peliharaannya berukuran 5 meter dengan berat lumayan ntuk meremukkan seekor kucing pemalas sebagai kudapan. Empat pasang merpati yang mengekornya pasti akan menjadi hadiah manis ntuk peliharaan kesayangan ia itu.

            Terdengar suara barang jatuh, suara meringis kesakitan, dan sumpah serapah dari atas. Dia mengabaikan sambil memasang headset yang selalu tersimpan di saku celana dan menyalakan musik. Mengabaikan Fio yang kini berdiri di depannya dengan rambut acak – acakan dengan gulungan rambut dimana – mana. Tanda bahwa kembaran centilnya satu ini sedang bereksperimen.
            “Lo jahat amat sih! Masa ngasih makanan ntuk merpati gue susah amat?!”
            “Gue mau ngajarin lo bertanggung jawab ntuk urusin apa yang jadi milik lo, Fio. Kalau lo abaikan, mending gue kasih James aja. Pasti ular gue seneng tuh.” Jawabnya acuh sambil menatap layar ipod untuk mengganti lagu. Membuat Fio mendengus dan bersiul agar para merpati kelaparan itu mengikutinya saja daripada ia yang dijamin akan mengantar burung – burung malang ini ke perut ular.

            Dan Edric bersiul mengikuti Fio dan anak buahnya itu dari belakang. tak berniat mengganggu.

            Terdengar suara bel berbunyi saat Fio menaburkan satu mangkok lumayan besar ke tanah berisi makanan yang membuat ia dikerubungi burung merpati. Mendengar bunyi bel itu, senyumnya melebar dan melirik Edric yang asyik membaca buku dengan telinga bersumpal headset.
            Pasti Eva muncul! Yes! Yes!
            Dia memutuskan menguatkan hati, pasang senyum manis dan topeng wajah satu ekspresi, lalu mendekati kakaknya yang ia tau paling anti diganggu bila sedang ada kesibukan.
            “Kak...”
            “Hmm...”
            “Noleh dong.”
            “Lo mau gue ciumin ama James ampe semaput, yah?” Tanyanya santai tanpa mengalihkan perhatian dari buku yang ia baca. Tampaknya ia lebih memilih membaca daripada menatap kembarannya yang sekarang mulai emosi.
            Fio manyun dan mendadak gatal ingin mengambil buku yang dibaca itu lalu menggetoknya ke kepala Edric. Namun ia menahan diri. “Demi rencana! Demi rencana! Fighting!” Dia memberi semangat dalam hati.
            Terdengar bunyi bel sekali lagi. Dia melirik kakaknya yang sekarang benar – benar tuli. “Kak, bukain pintunya yah. gue mau ke kamar dulu.”
            “Lo aja.”
            “Lo ajadeh kak. Yah.. yah? oke? Dadaah...” Dan ia langsung ngacir keluar taman dan berlari menaiki tangga dengan sesekali sumpah serapah karna hampir saja terpeleset.

            Edric menutup buku dengan kasar ketika bel itu berbunyi lagi. Pembantu mereka sudah pulang dan ia Cuma berdua dengan Fio dirumah. Otomatis, takkan ada yang membukakan tamu pintu kalau bukan mereka sendiri. hal ini membuatnya naik darah.

            “Dosa apa gue hari ini jadi diganggu mulu daritadi?!” Gerutunya dan berjalan keluar taman menuju pintu rumah. Siap mendamprat siapa saja yang membunyikan bel rumah 3 kali seperti ini rumah kosong.

♥ ♥

Evangeline Fransesca
            “Hallo, Om Ando. baru pulang dari kantor, yah?” Sapanya ramah ketika melihat papah Fio dan Edric, Fernando Hayman turun dari mobil dan berdiri di sampingnya. Di saat ia hendak menekan tombol bel sekali lagi, tau – tau bos pemilik rumah berdiri di samping sambil tersenyum.
            “Iya. Ini mau balik lagi karna ada rapat.  Kamu ngajak Fio jalan, yah?”
            “Iya, Om.”
            “Gak ngajak Edric sekalian?” Dan Eva tersenyum saja mendengar pertanyaan itu.
            “Gak deh, Om.”

            Ajak dia sama aja relain hati dijadiin bantal kumal yang bisa dilempar sesuka hati sampai bosan ketika si empunya sedang badmood. Dan gue terlalu bego untuk nyodorin diri.”  Bisik hatinya dan ia mengiyakan kuat – kuat.
            Ando tersenyum dan menekan bel sambil berdecak kesal. “Ini anak – anak pada kem..” Ucapannya terhenti ketika pintu terbuka dan melihat wajah Edric yang menurut Eva, siap menghamuk.

            Dia melirik mereka bergantian. Edric sangat mirip dengan Om Ando. dari sisi wajah maupun postur tubuh yang tegap menjulang tinggi. Kedua tatapan hitam kelam saling bertemu. Yang satu dingin, satunya lagi menuntut penjelasan. Dan entah kenapa, berada di dekat pria ganteng beda generasi ini membuatnya merinding.
            “Kok lama buka pintunya?”
            “Tadi ada gangguan di dalam, pah.” Jawab Edric sambil memundurkan badan dan mempersilahkan papahnya masuk. Tatapannya beralih ke dia. “Ngapain lo disini?”
            “Eh?” Saking terpesona dengan mereka berdua, dia serasa jadi orang tolol. “Gue mau jemput Fio.”
            “Edric...” Entah kenapa mereka sama – sama menoleh ke arah suara. dia baru saja memperhatikan penampilan Ando yang menggulung kedua lengan baju sampai siku, rambut yang sekarang acak – acakan dan dasi mulai longgar serta kacamata yang selama ini dikenakan, tersimpan rapi di kantong kemeja mahal. Ketika pria itu lewat, Eva bisa mencium aroma parfum yang sangat maskulin dan mendadak kehilangan oksigen. Sungguh, pesona ayah dan anak sama – sama bikin mabuk!
            “Papah mau ke kantor lagi. Kamu ada rencana jalan, gak? dengan Eva?” Dan Edric melirik ke arahnya. Entah kenapa, dia langsung menunduk. “Gak ada, pah.”
            “Yaudah. Papah ke kantor dulu. Fio mana?”

            Seperti Jin, tau – tau Fio muncul dari kamar dengan rambut masih digulung dan daster. Dia berlari dari tangga dan meloncat ke pelukan papahnya. “I’m here, i’m here, daddy!”
            Ando tertawa dan mencabut gulungan rambut yang menghiasi atas kepala anaknya itu. tatapan mata unik itu membuatnya seperti melihat Lista 19 tahun lalu. “Kamu ngapain sih di kamar?”
            “Mempercantik diri, pah.”
            Edric memasang tampang seolah – olah Fio baru saja mengutarakan niat ingin menjadi putri salju agar bisa dicium pangeran tampan. Salah satu khayalan paling sinting pernah didengarnya. Dan Eva tertawa mendengar ucapan ngaco sepupunya itu.
            Ando tersenyum mendengarnya. Entah gen siapa yang sukses mendarat ditubuh anaknya ini hingga kacau begini. “Yasudah. Lanjutin deh prosesnya, ntar papah liat.”
            “Oke deh.” Fio mencium pipi papahnya itu dan melirik Edric yang menatap ia penuh cela. Dan ia mendengus lalu berlari ke kamarnya lagi. Melanjutkan proses yang tertunda.
            “Bakalan setahun gue nunggunya.” Gumamnya pelan membuat Edric yang mendengar tersenyum sinis. “Lo bisa pulang dan kembali setahun kemudian ntuk jemput Fio, Evangeline.”
            “Just call me, Eva. Edric. Please.”
            “Apa bedanya? Bagi gue lo tetap noleh kan biar dipanggil Evangeline atau Eva?” Serangan balik membuat ia terdiam. “Yasudah. Gak usah dipermasalahin kalau gitu.” Jawabnya ketika Eva hanya melirik tajam.

            “Kalau gue gak noleh?”
            “Jangan salahin kalau ada yang ngelempar lo pakai kertas karna dipanggil tak mendengar. Tenang aja, gue gak bakal melempar lo pakai barang kok. karna gak ada gunanya juga manggil lo.”
           
            Terdengar mobil diklakson, membuat Eva yang hendak ‘menyerang’ Edric menoleh dan melihat mobil Ando sudah keluar dari rumah. Bertengkar dengan cowok yang berdiri di depan ini membuat ia lupa dengan sekeliling. Termasuk kapan Ando pergi meninggalkan mereka dan masuk mobil.
            Edric melihat kepergian papahnya, berbalik badan masuk rumah. “Kalau Fio udah kelar, kasih tau kalau gue nunggu di mobil.”
            Ucapan Eva membuatnya tersenyum sinis. Dia menoleh cepat dan menatap gadis bermata coklat terang itu dengan tajam. “Lo jadi supir pribadi Fio sekarang, heh?”
            “Gak juga sih.” Eva memasang pertahanan di sekeliling. Takkan sudi dia dijadikan bulan – bulanan oleh cowok tampan tapi sinting ini. “Cuma gue bukan tamu yang ikhlas berdiri di depan pintu rumah orang, Sedangkan si empunya masuk tanpa mempedulikan sekelilingnya. Daripada harga diri gue jatuh dan harga diri si empunya rumah hancur, mending gue nunggu di mobil. See? Gue baik hati ‘kan?”

            Edric menghela napas dan memundurkan tubuh hingga membentur tembok. “Silahkan masuk, Tuan Putri.” Ucapnya dengan nada menyindir. Dan Eva tersenyum lalu mendongkakkan wajah melewati Edric yang menatap tajam. Namun tak berkata apa – apa dan memilih menutup pintu.

            Dia melangkah anggun menuju ruang tamu bernuansa minimalis dengan 4 sofa besar berwarna hitam dan empuk ketika di duduki,. Dia melirik Edric yang mengenakan baju kaos santai dengan celana rumah pendek, duduk di kursi tamu tak jauh darinya sambil membaca buku.

            “Biasanya kalau ada tamu itu disuguhin minuman, kan? kalau lo mau bikin,”Dia melirik Edric yang berdiri dari kursi dan melangkah menuju dapur. “Gue pengen es jeruk deh. panas banget harinya.” Dia terdiam ketika cowok itu menoleh dan berjalan ke arahnya dengan senyum sinis- dan berbahaya.

            “Lo gak perlu ajarin gue hal remeh temeh begitu. Apalagi minta dibikinin minuman. Karna gue lebih tau hal itu daripada lo, ngerti?” Suara Edric yang serak itu  kini berada di atas kepalanya. Dia terkurung oleh tangan Edric yang merentang di kiri – kanan memegang sofa yang ia duduki sekarang. Dan cowok itu tanpa permisi memegang dagunya lalu mendongkakkan ke atas. Memaksa ntuk menatap tatapan hitam kelam itu dengan jarak sangat tipis. Entah kenapa, tatapan itu membuat tangannya yang ingin mendorong cowok sialan itu, kaku seperti disimpan dalam freezer.
            “Ngerti, Evangeline Fransesca. Did you understand what i’m talking about, honey?” Edric dengan kurang ajar menyelipkan sejumput rambut yang menutupi telinganya ke belakang dan memundurkan langkah untuk membisikkan ancaman dengan suara serak-dan mengirimkan napas panas hingga ia terasa memerah sekujur tubuh.
            Dia menarik napas ketika napas hangat itu terasa sangat dekat. Bahkan ia bersentuhan pipi dengan Edric saking tak ada jarak. “Gue ngerti, Edric Hayman. Tanpa lo kasih tau. Sekarang, bisa lo mundur perlahan tanpa bikin jantungan siapa – siapa?”

            Edric menurut dan mundur, Menjauh darinya.ketika ia menghela napas lega, tau – tau Edric mendekat dan memegang dagunya sekali lagi lalu mendongkakkan ke atas. Memaksa ia ntuk menatap cowok tinggi itu sekali lagi. Dia meremas pinggiran sofa ketika dahi mereka saling bersentuhan saking dekatnya karna Edric menunduk. “Bagus.”  Dan pegangan itu terlepas ketika cowok itu benar – benar berbalik meninggalkannya dan menaiki tangga lalu terdengar pintu tertutup dengan bunyi keras. Seperti dibanting.


            Jantungnya serasa loncat kodok ribuan mil sekarang. Tatapan Edric tanpa batasan serasa ingin menguliti ia hidup – hidup. Ia menarik napas dan menghembuskan berulang kali. dia tak mau, tak sudi, cowok itu melihatnya lemah lalu tertawa di balik pintu karna ketakutannya atas perlakuan tadi.

            Untung Fio muncul dengan setengah berlari menuruni tangga. Rambutnya yang pendek dibikin ikal dan dihiasi oleh pengikat kepala yang melingkar.  tank – top hijau dan celana jeans membuat warna matanya semakin menonjol. “Udah siap?”
            “Udah dong. Yuk.” Fio langsung menggandengnya keluar rumah dan berteriak memanggil Edric ntuk mengunci kembali rumah itu. dan dia bergegas keluar sebelum mereka bertemu lagi.

♥ ♥

            “Kim,” Tian mengetuk pintu kamar Kim dan cewek itu langsung muncul dengan baju kaos rumah dan celana super pendek. Wajahnya yang seksi hasil warisan tante Karenina, dengan bibir seperti Angelina Jolie, namun versi kecil dan berwarna merah merekah, tatapan biru laut seperti Berlian dari Omnya, Steven Raveno, serta suaranya yang seksi membuat siapa saja betah di samping cewek ini.
            “Kenapa, kak?”
            “Jalan yuk. Ikut gak?”
            Kim membuka pintu kamar selebar – lebarnya dan tersenyum. “Ikut dong! tapi ada siapa aja, kak?”
            “Ada Frans,” Dia sengaja diam untuk melihat reaksi sekecil apapun dari Kim. Ketika cewek itu biasa saja sambil memainkan ujung rambut, entah kenapa ia tersenyum. “dengan Annisa, Fio, Eva dan..”
            “Edric ada gak? kalau gak ada, gue gak mau ikut.”
            “Lo naksir ama dia?”
            “Gak juga sih...” Dia berjalan ke arah ranjang dan duduk bersila. Membiarkan Tian menutup pintu kamar dan ikut duduk disampingnya. “Gue Cuma penasaran aja. Tapi kalau sampai naksir beneran ama dia, yaa.. maklumin aja. Pesonanya cetar banget sih.”
            “Kalau gue gimana?”
            Kim menatapnya penuh menggoda. Dia mengedipkan mata. “Perlu gue jawab sekarang, kak?”
            “Kayaknya perlu deh kalau gak...” Dia tersenyum sekarang. Sebuah ide jahil ntuk membuat Kim mengaku telah muncul dan siap dilaksanakan.
            “Akan apa, kakak Tian sayang? Lo akan cium gue, atau...” Dia terhenti ketika Tian menggelitiknya di pinggang. Titik lemahnya nomor wahid. Serangan itu membuat ia jatuh telentang di ranjang sambil tertawa nyaring hingga air matanya menetes.

            “Ssu-sudah, kak Tian! Udah... Lo cetar kok! beneran deh...” Jawabnya dengan mata tertutup. Gelitikan Tian membuat ia serasa dikerubuti semut merah di sekujur tubuh.
            “Yakin?” Dia membuka mata ketika suara itu terasa sangat dekat dan kaget karna Tian sekarang ada di atasnya. Bertumpu satu tangan di samping kiri agar ia tak jatuh menimpa dirinya, dan tangan kanan menyentuh pinggangnya. Siap menggelitik.

            Dia merasa menelan sebongkah batu besar sekarang ketika tatapan hijau toska itu membuatnya serasa dipaku. “Y-yakin kok, kak.”
            Senyuman Tian membuatnya tak bisa napas dan dia pasrah saja  ketika dagunya disentuh lembut alu didongkakkan keatas. Menatap cowok itu secara langsung.  Dan ia bisa merasakan hangat dan lembut dada bidang yang tak tertutup kaos itu ketika dia menyentuh untuk mendorong menjauh. Kebiasaan Tian yang hanya mengenakan celana bokser dan telanjang dada dalam rumah, membuatnya entah kenapa, panas dingin.
            “Bagus. Sekarang, lo ganti baju, yah. gue tunggu, cantik.” Tian tersenyum dan mundur menjauhi Kim lalu berjalan santai sambil bersinandung. Tak mempedulikan Kim yang memegang dadanya- entah kenapa berdetak sangat kencang hingga ia takut akan bocor.


            Gue kenapa?

♥ ♥

            Frans menunggu Annisa dengan sabar di depan rumah. Senyumnya tetap tersungging walau ayah gadis itu, Dimas Dirgantara menatapnya seolah – olah ingin mengajak duel saat ini juga. Well, dia takkan menolak kalau diajak ribut sesekali.
           
            Ide Tian tentang beberapa hari lalu ntuk mengajak Edric bertemu dengan Annisa, sekarang terdengar sangat konyol hingga ia nyaris mati karna tertawa gugup.
            “Ayo, Frans.” Sentuhan ringan di pundak entah kenapa seperti oase tersendiri baginya. Ia menoleh dan melihat Nisa tersenyum manis dengan rambut terurai panjang, wlau tak sepanjang Eva, wajahnya yang manis, senyum lebar yang khas membuat ia semakin cantik saja dengan dress berwarna cerah dengan bunga – bunga kecil, ntuk gadis secantik Nisa. Pakaian itu sangat, sangat indah.
             “Yuk.”
            “Pah... Nisa jalan dulu ama Frans. Ntar jam...” Dia melirik Frans. Minta kejelasan. “Jam 09.00 malam Nisa ada dirumah om.”

            Papah Nisa mangut saja dan menatap Frans dari atas kepala sampai ujung kaki dengan tatapan menyelidik. Dalam hati ia bersyukur karna tak mengenakan tindik, kalau terjadi, mungkin telinganya akan hilang satu karna dipotong paksa. “Oke. Hati – hati di jalan.”

            Nisa menyalami tangan papahnya dan Frans mengikuti. Tanpa sadar mereka bergandengan tangan keluar mobil dan tersenyum manis.

            “sudah siap, Nisa ketemu Edric?” tanyanya ketika mereka masuk mobil dan Frans membantu ntuk memasang sabuk pengaman.
            “Frans...” Dia tersenyum dan menyelipkan rambut di belakang telinganya. “Gue siap kok. penasaran aja sih. Yuk.”

            “Tapi.. Kita kerumah Edric dulu, yah. ada urusan. Oke? Oke?”
            “Iya, Frans. Gue ngikut ajadeh.”

            Dia tersenyum mendengar jawaban lembut Nisa dan menjalankan mobil menuju rumah Edric.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar