“Kim!”
“What?”
Edric
melirik Kim yang tersenyum tak bersalah di belakangnya. Seharian diikuti
membuatnya gatal ingin membeli segulung tali rafia dan menarik kasar gadis itu
ke kursi kemudian mengikatnya sampai gulungan itu habis. Pemikiran itu tanpa
sadar membuat ia tersenyum lebar.
Kim melihat senyum Edric yang
melebar itu, membuatnya terpesona dan mencolek jahil dagu cowok itu. “Hayoo..
lo mikirin gue apa, Edric? Did you imagine Something ..” Kim membuat
tanda kutip dan tersenyum menggoda. Senyuman yang membuat para cowok memutuskan
ntuk menjadikan ia sebagai target.
Edric tersenyum sinis. Dia tau
pemikiran Kim yang ‘belok’ itu mengingat 18 tahun di doktrin dengan budaya
Barat yang cenderung bebas. “What? I guess, maybe your beauty imagination
tells that about first sex. Isn’t it?” Bisiknya dengan suara serak di
telinga Kim. Salah – salah dia berkata lantang mengucapkan kalimat itu, dijamin
dia akan merasakan kursi panas ruang BP.
Kim tertawa mendengarnya. Dia tersenyum
sambil melipat tangan di dada dan menatap Edric dengan tatapan menggoda sekali
lagi. Tatapan yang menjadi bakatnya sejak dalam kandungan. “Maybe. Have
imagination about ‘it’ with you,” Dia membuat tanda kutip dan spontan menarik
dasi Edric agar mendekat ke arahnya. Tatapan mereka beradu. Yang satu menatap
tajam seolah ingin menguliti hidup – hidup dengan tatapan hitam kelamnya,
satunya lagi mengedipkan mata menggoda dengan tatapan biru cantiknya. “it so
awesome, darl.” Dengan sengaja Kim menggigit bawah bibirnya yang tebal
kecil merekah itu di depan Edric dan merangkul leher agar cowok itu semakin dekat
dengannya hingga nyaris saling menyentuh dahi. Entahlah, di depan cowok sinting
satu ini membuat seluruh kewarasannya menguap.
Untung kelas sekarang sepi karna
semua murid berlari ke kantin. Jadi takkan ada yang melihat aksi gila Kim. Si
murid baru. Edric menarik diri dan membenarkan dasinya yang melonggar. Tanpa
banyak kata, dia meninggalkan Kim yang hanya tersenyum menatap kepergiannya.
“I’ve got you, beib.”
♥ ♥
![]() |
Sebastian Pradipta |
Frans mendekati Tian yang mengenakan
kemeja kotak dilapis dengan baju kaos
putih, rambut hitam pekat dibikin mohawk, tatapan hijau toska warisan
turun – temurun keluarga Pradipta itu semakin indah ketika terpantul sinar
matahari. Sanggup membuat para cewek menarik napas tertahan ketika melihat
sepupunya yang satu ini. apalagi bila sudah beraksi di lapangan Basket. Tian
dengan sukarela melepaskan pakaiannya untuk bermain. Membiarkan dada bidang
hasil olahraga setiap pagi menjadi vitamin mata untuk para mahasiswi.
“Gimana Kim?” Tanya Frans yang duduk
di depan sepupunya yang asyik memakan batagor sambil melirik kiri – kanan
sambil sesekali melempar senyum ramah apabila ada yang mengenalnya. Yah, satu
lagi bakat Pradipta sukses diwariskan oleh Sebastian dan dirinya, ditolak mentah
– mentah oleh Edric.
“Kim? Baik kok. kenapa?” Tian
melirik Frans yang sekarang menggulung mie goreng pesanannya dengan garpu.
Sepupunya satu ini mempunyai wajah Eropa yang sangat kental. Rambut coklat
kehitaman terlihat acak – acakan seperti bangun tidur, tatapan mata coklat
terang dan kedua lesung pipi yang dalam warisan tante sekaligus kembaran
papahnya, Erika Pradipta tercetak jelas tanpa cacat. Penampilannya yang
terlihat bad boy dengan anting hitam di telinga kiri yang dicopot bila
masuk ruangan kampus, namun dikenakan lagi membuat sepupunya ini mempunyai
banyak penggemar.
“Lo bangun tidur gak sisiran, yah?”
Pertanyaan Tian membuat ia tersedak dan buru – buru menarik napas. Mereka kenal
sejak dari orok, baru kali ini pertanyaan sinting itu meluncur dari seorang
Sebastian. “Lo gak salah makan, kan?”
“Seingat gue sih enggak, Frans.”
Tian berusaha mengingat – ingat sarapannya pagi tadi dengan wajah lucu. Membuat
sepupunya itu tertawa. “Badut lo!”
Dia tersenyum mendengar ledekannya
dan menatap Frans. “Lo masih ada hati ama Kim? Kalau ada, gue suruh tuh anak
mundur dekatin Edric deh. gue gak mau lo patah hati ria karna mantan gebetan
bernafsu mengejar sepupunya yang notabene anti cewek itu.”
![]() |
Fransisco Boulanger |
Frans mengangkat bahu acuh tak acuh.
“Gak ada sih. Hati gue biasa aja ama Kim sekarang. Mungkin karena kemaren
hormon labil bekerja kali yah jadi naksir ama dia. Hahaha..”
“Bagus deh. lega gue dengarnya.”
Tian menghela napas syukur dan menikmati pesanannya lagi sambil melempar senyum
manis ke arah segerombolan cewek yang duduk di samping kiri meja mereka. Dia
tersenyum simpul ketika mereka berbisik – bisik heboh sampai lupa bahwa dia
berada di sekitar mereka.
Dan Frans mengikuti tatapan Tian
lalu geleng – geleng. “Dasar playboy!”
“Itu bakat, Frans. Jangan disia –
siain. Hahaha...”
Frans tertawa dan mengiyakan tanpa
tanggung – tanggung. “Gimana ceritanya nyokap lo jadi rela Kim nginap ditempat
lo? Bukannya tante Lyesha ogah ngelihat wajahnya?”
Tian tertawa mengingat kejadian
seminggu lalu itu. membujuk mamanya tercinta, Lyesha Anindya agar Kimberly
tinggal sementara dirumahnya, sesusah dia
minta dibelikan rumah 5 Miliyar beserta cewek cantik didalamnya. Dan dia
memilih tak menjawab. Membuat Frans penasaran dan mencari jawaban sendiri
adalah hal menyenangkan. “Ada deh....”
Wajah Frans bertekuk mendengar
jawabannya. “Sialan lo! mau bikin gue mati penasaran, hah?”
“Emang itu tujuan hidup gue kok.
membuat orang lain penasaran dengan apa yang terjadi dalam hidup gue adalah hal
paling menyenangkan.”
Frans memasang wajah jijik. “Sok
ngartis!”
Tian tersenyum simpul dan
mengernyitkan wajah bingung ketika ponselnya berdering. Dia mengambil ponsel
dari kantong dan menatap Frans yang rupanya penasaran siapa menelpon sesiang
ini. “Mau ngangkat?”
“Siapa?”
“Kimberly.” Dia memasang wajah
menggoda. Dia tau hubungan antara Frans dan cewek yang menelponnya sekarang
ini. dan ia gatal ingin menggoda apa cowok ini benar – benar melepas cewek
seksi ini atau bukan. Mengingat pesona Kim terlalu sayang untuk ditolak.
Dan Frans mengangkat bahu. “Gak
deh.” Dan Tian tersenyum lalu mengangkatnya. “Hai, Kim. Ada apa?”
Di seberang sana, terdengar suara
serak seksi mengalun. Tanpa maksud menggoda, memang sudah bakat dari kandungan.
“Jemput dong, kak.”
“Lo ikut Edric aja, Kim.”
Terdengar gerutuan dari Kim. Membuat
ia nyengir kuda. Rupanya Kim ditinggal pergi oleh sepupunya itu. “Oke deh. gue
jemput bentar lagi yah. gue sama Frans nih. Mau ngomong?” Tawarnya dan ia
tertawa ketika suara Kim terdengar menggerutu dan Frans yang menjadi salah
tingkah.
“Oke, cantik. I’ll be coming for
you. wait me, okay? Don’t go anywhere.” Pesan Tian dan memutus telponnya.
Lalu melirik Frans sekali lagi. “Mau ikut gue jemput Kim?”
“Lo itu mau jodohin Kim ama gue
sekali lagi atau Edric sih sebenarnya?!” tanyanya sinis.
“Gue ngetes doang kok. by the
way, gimana dengan Annisa? Dia udah tau urusan ini?”
Frans mengangguk. Kemaren dia
kerumah Annisa dan menjelaskan taruhannya dengan Fio dan Tian tentang
menjodohkan masing – masing temannya untuk Edric. Dan Annisa dengan senyum
lembut mengiyakan. Membuatnya mendadak tak rela mengumpan gadis manis itu ntuk
dijadikan samsak tinju oleh Edric.
“Terus apa tanggapan dia?”
“Dia bilang oke tuh. Penasaran
katanya gimana wajah Edric hingga jadi songong gitu.”
“Trus lo bilangin konsekuennya?”
“Iya. Dan gue bilang dia bisa mundur
kapan saja kalau gak sanggup lagi dan gue rela dijadiin batu sandaran dia kalau
merasa sakit ati. Dia Cuma senyum doang. Serius, Tian. Gue gak rela umpanin
dia. hatinya terlalu lembut untuk disakitin.”
“Kan lo yang ngusulin, Frans. Begini
deh, gue udah bilang ama Fio kalau sampai Edric bikin si Annisa itu nangis, gue
bakal bikin piagam penghargaan deh cetakan MURI kalau perlu.”
Mau tak mau Frans tertawa. mungkin
dia bisa mempertimbangkan tawaran Tian dan menagih suatu saat nanti kalau
Annisa menangis di pelukannya.
Pelukannya?
“Oke deh. gue setuju. Bagaimana kita temuin Annisa ama
Edric? Secara mereka ga pernah ketemu, kan?”
Tian tersenyum. Dia punya rencana
bagus. “Gue ada ide.” Dan Tian menjelaskan ide brilian yang sudah ia pikirkan
dari malam tadi pada Frans yang mangut – mangut mengiyakan. Ketika dia
mendongkak, senyumnya penuh konspirasi.
“Bangga gue sepupuan ama lo, Tian.”
Tian berdiri dari kursi dan
membungkukkan badan seperti Prajurit kerajaan kedatangan Ratu. “Terima kasih,
Raja Frans.”
Dan mereka tertawa bersama. Tak
sabar menanti ide sinting dari seorang Sebastian terlaksana dan membuat
sepupunya itu kalang kabut.
♥
♥
![]() |
Annisa Dirgantara |
Dia
bangkit dari ranjang dan duduk bersila sambil membalas sms Frans dengan senyum lebar.
Dia sangat penasaran dengan Edric dan Frans sudah mengatakan jangan tanggung –
tanggung mengeluarkan bakatnya ntuk cowok satu itu. dan ia mengiyakan penuh
semangat.
“Lo
gak tau siapa gue.”
♥
♥
Edric duduk di taman sambil membawa buku –
buku yang ia pinjam di perpustakaan. Sesore ini dia malas kemana – mana dan
memilih untuk membaca saja. sekaligus melupakan bayangan Kim yang menggodanya
habis – habisan di sekolah. Membuatnya
stress hingga yakin suatu saat nanti bakal menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa
dengan diagnosis “Gila akut karna diteror sepupu sinting.”
Asyik
membaca, tau – tau 4 pasang merpati punya Fio berada di depan sambil mematuk –
matuk pelan kakinya. Tanda belum dikasih makan sama si empunya. Ia meletakkan
buku disamping dan menatap 4 pasang merpati dara kipas itu dengan jengkel. Lalu
masuk dalam rumah. Mengabaikan burung yang mengekor di belakangnya seperti anak
ayam.
“Fio!
Anak lo belum dikasih makan nih! Turun
gih!” Teriaknya dari bawah dan melirik ke belakang. burung itu masih
ada. Bahkan menatap penuh memelas. Membuat ia menghela napas jengkel.
“Kenapa
hidup gue serasa ada yang ngekorin kemana – mana yah? tadi si Kim, sekarang
anak Fio, ntar besok – besok pasti orang gila yang ngikutin dan bilang gue
anaknya yang ilang entah kapan itu!” Gerutunya jengkel.
Kamar
Fio terbuka dan kepalanya menyembul dari balik pintu. “Tolong kak kasih makan
mereka, yah. gue lagi sibuk nih.”
“Gue
umpanin ke James aja yah mereka semua ini. biar ga ngerepotin!” James adalah
ular phyton peliharaannya berukuran 5 meter dengan berat lumayan ntuk
meremukkan seekor kucing pemalas sebagai kudapan. Empat pasang merpati yang
mengekornya pasti akan menjadi hadiah manis ntuk peliharaan kesayangan ia itu.
Terdengar
suara barang jatuh, suara meringis kesakitan, dan sumpah serapah dari atas. Dia
mengabaikan sambil memasang headset yang selalu tersimpan di saku celana
dan menyalakan musik. Mengabaikan Fio yang kini berdiri di depannya dengan
rambut acak – acakan dengan gulungan rambut dimana – mana. Tanda bahwa kembaran
centilnya satu ini sedang bereksperimen.
“Lo
jahat amat sih! Masa ngasih makanan ntuk merpati gue susah amat?!”
“Gue
mau ngajarin lo bertanggung jawab ntuk urusin apa yang jadi milik lo, Fio.
Kalau lo abaikan, mending gue kasih James aja. Pasti ular gue seneng tuh.”
Jawabnya acuh sambil menatap layar ipod untuk mengganti lagu. Membuat
Fio mendengus dan bersiul agar para merpati kelaparan itu mengikutinya saja
daripada ia yang dijamin akan mengantar burung – burung malang ini ke perut
ular.
Dan
Edric bersiul mengikuti Fio dan anak buahnya itu dari belakang. tak berniat
mengganggu.
Terdengar
suara bel berbunyi saat Fio menaburkan satu mangkok lumayan besar ke tanah
berisi makanan yang membuat ia dikerubungi burung merpati. Mendengar bunyi bel
itu, senyumnya melebar dan melirik Edric yang asyik membaca buku dengan telinga
bersumpal headset.
Pasti Eva muncul! Yes! Yes!
Dia
memutuskan menguatkan hati, pasang senyum manis dan topeng wajah satu ekspresi,
lalu mendekati kakaknya yang ia tau paling anti diganggu bila sedang ada
kesibukan.
“Kak...”
“Hmm...”
“Noleh dong.”
“Noleh dong.”
“Lo
mau gue ciumin ama James ampe semaput, yah?” Tanyanya santai tanpa mengalihkan
perhatian dari buku yang ia baca. Tampaknya ia lebih memilih membaca daripada
menatap kembarannya yang sekarang mulai emosi.
Fio
manyun dan mendadak gatal ingin mengambil buku yang dibaca itu lalu
menggetoknya ke kepala Edric. Namun ia menahan diri. “Demi rencana! Demi
rencana! Fighting!” Dia memberi semangat dalam hati.
Terdengar
bunyi bel sekali lagi. Dia melirik kakaknya yang sekarang benar – benar tuli.
“Kak, bukain pintunya yah. gue mau ke kamar dulu.”
“Lo
aja.”
“Lo
ajadeh kak. Yah.. yah? oke? Dadaah...” Dan ia langsung ngacir keluar taman dan
berlari menaiki tangga dengan sesekali sumpah serapah karna hampir saja
terpeleset.
Edric
menutup buku dengan kasar ketika bel itu berbunyi lagi. Pembantu mereka sudah
pulang dan ia Cuma berdua dengan Fio dirumah. Otomatis, takkan ada yang
membukakan tamu pintu kalau bukan mereka sendiri. hal ini membuatnya naik
darah.
“Dosa
apa gue hari ini jadi diganggu mulu daritadi?!” Gerutunya dan berjalan keluar
taman menuju pintu rumah. Siap mendamprat siapa saja yang membunyikan bel rumah
3 kali seperti ini rumah kosong.
♥
♥
![]() |
Evangeline Fransesca |
“Hallo, Om Ando. baru pulang dari kantor,
yah?” Sapanya ramah ketika melihat papah Fio dan Edric, Fernando Hayman turun
dari mobil dan berdiri di sampingnya. Di saat ia hendak menekan tombol bel
sekali lagi, tau – tau bos pemilik rumah berdiri di samping sambil tersenyum.
“Iya.
Ini mau balik lagi karna ada rapat. Kamu
ngajak Fio jalan, yah?”
“Iya,
Om.”
“Gak
ngajak Edric sekalian?” Dan Eva tersenyum saja mendengar pertanyaan itu.
“Gak
deh, Om.”
“Ajak
dia sama aja relain hati dijadiin bantal kumal yang bisa dilempar sesuka hati
sampai bosan ketika si empunya sedang badmood. Dan gue terlalu bego untuk
nyodorin diri.” Bisik hatinya dan ia
mengiyakan kuat – kuat.
Ando
tersenyum dan menekan bel sambil berdecak kesal. “Ini anak – anak pada kem..”
Ucapannya terhenti ketika pintu terbuka dan melihat wajah Edric yang menurut
Eva, siap menghamuk.
Dia
melirik mereka bergantian. Edric sangat mirip dengan Om Ando. dari sisi wajah
maupun postur tubuh yang tegap menjulang tinggi. Kedua tatapan hitam kelam
saling bertemu. Yang satu dingin, satunya lagi menuntut penjelasan. Dan entah
kenapa, berada di dekat pria ganteng beda generasi ini membuatnya merinding.
“Kok
lama buka pintunya?”
“Tadi
ada gangguan di dalam, pah.” Jawab Edric sambil memundurkan badan dan
mempersilahkan papahnya masuk. Tatapannya beralih ke dia. “Ngapain lo disini?”
“Eh?”
Saking terpesona dengan mereka berdua, dia serasa jadi orang tolol. “Gue mau
jemput Fio.”
“Edric...”
Entah kenapa mereka sama – sama menoleh ke arah suara. dia baru saja
memperhatikan penampilan Ando yang menggulung kedua lengan baju sampai siku,
rambut yang sekarang acak – acakan dan dasi mulai longgar serta kacamata yang
selama ini dikenakan, tersimpan rapi di kantong kemeja mahal. Ketika pria itu lewat,
Eva bisa mencium aroma parfum yang sangat maskulin dan mendadak kehilangan
oksigen. Sungguh, pesona ayah dan anak sama – sama bikin mabuk!
“Papah
mau ke kantor lagi. Kamu ada rencana jalan, gak? dengan Eva?” Dan Edric melirik
ke arahnya. Entah kenapa, dia langsung menunduk. “Gak ada, pah.”
“Yaudah.
Papah ke kantor dulu. Fio mana?”
Seperti
Jin, tau – tau Fio muncul dari kamar dengan rambut masih digulung dan daster.
Dia berlari dari tangga dan meloncat ke pelukan papahnya. “I’m here, i’m
here, daddy!”
Ando
tertawa dan mencabut gulungan rambut yang menghiasi atas kepala anaknya itu.
tatapan mata unik itu membuatnya seperti melihat Lista 19 tahun lalu. “Kamu
ngapain sih di kamar?”
“Mempercantik
diri, pah.”
Edric
memasang tampang seolah – olah Fio baru saja mengutarakan niat ingin menjadi
putri salju agar bisa dicium pangeran tampan. Salah satu khayalan paling
sinting pernah didengarnya. Dan Eva tertawa mendengar ucapan ngaco sepupunya
itu.
Ando
tersenyum mendengarnya. Entah gen siapa yang sukses mendarat ditubuh anaknya
ini hingga kacau begini. “Yasudah. Lanjutin deh prosesnya, ntar papah liat.”
“Oke
deh.” Fio mencium pipi papahnya itu dan melirik Edric yang menatap ia penuh
cela. Dan ia mendengus lalu berlari ke kamarnya lagi. Melanjutkan proses yang
tertunda.
“Bakalan
setahun gue nunggunya.” Gumamnya pelan membuat Edric yang mendengar tersenyum
sinis. “Lo bisa pulang dan kembali setahun kemudian ntuk jemput Fio,
Evangeline.”
“Just
call me, Eva. Edric. Please.”
“Apa
bedanya? Bagi gue lo tetap noleh kan biar dipanggil Evangeline atau Eva?”
Serangan balik membuat ia terdiam. “Yasudah. Gak usah dipermasalahin kalau
gitu.” Jawabnya ketika Eva hanya melirik tajam.
“Kalau
gue gak noleh?”
“Jangan
salahin kalau ada yang ngelempar lo pakai kertas karna dipanggil tak mendengar.
Tenang aja, gue gak bakal melempar lo pakai barang kok. karna gak ada gunanya
juga manggil lo.”
Terdengar
mobil diklakson, membuat Eva yang hendak ‘menyerang’ Edric menoleh dan melihat
mobil Ando sudah keluar dari rumah. Bertengkar dengan cowok yang berdiri di
depan ini membuat ia lupa dengan sekeliling. Termasuk kapan Ando pergi
meninggalkan mereka dan masuk mobil.
Edric
melihat kepergian papahnya, berbalik badan masuk rumah. “Kalau Fio udah kelar,
kasih tau kalau gue nunggu di mobil.”
Ucapan
Eva membuatnya tersenyum sinis. Dia menoleh cepat dan menatap gadis bermata
coklat terang itu dengan tajam. “Lo jadi supir pribadi Fio sekarang, heh?”
“Gak
juga sih.” Eva memasang pertahanan di sekeliling. Takkan sudi dia dijadikan
bulan – bulanan oleh cowok tampan tapi sinting ini. “Cuma gue bukan tamu yang
ikhlas berdiri di depan pintu rumah orang, Sedangkan si empunya masuk tanpa
mempedulikan sekelilingnya. Daripada harga diri gue jatuh dan harga diri si
empunya rumah hancur, mending gue nunggu di mobil. See? Gue baik hati ‘kan?”
Edric
menghela napas dan memundurkan tubuh hingga membentur tembok. “Silahkan masuk,
Tuan Putri.” Ucapnya dengan nada menyindir. Dan Eva tersenyum lalu mendongkakkan
wajah melewati Edric yang menatap tajam. Namun tak berkata apa – apa dan
memilih menutup pintu.
Dia
melangkah anggun menuju ruang tamu bernuansa minimalis dengan 4 sofa besar
berwarna hitam dan empuk ketika di duduki,. Dia melirik Edric yang mengenakan
baju kaos santai dengan celana rumah pendek, duduk di kursi tamu tak jauh
darinya sambil membaca buku.
“Biasanya
kalau ada tamu itu disuguhin minuman, kan? kalau lo mau bikin,”Dia melirik
Edric yang berdiri dari kursi dan melangkah menuju dapur. “Gue pengen es jeruk
deh. panas banget harinya.” Dia terdiam ketika cowok itu menoleh dan berjalan
ke arahnya dengan senyum sinis- dan berbahaya.
“Lo
gak perlu ajarin gue hal remeh temeh begitu. Apalagi minta dibikinin minuman.
Karna gue lebih tau hal itu daripada lo, ngerti?” Suara Edric yang serak
itu kini berada di atas kepalanya. Dia
terkurung oleh tangan Edric yang merentang di kiri – kanan memegang sofa yang
ia duduki sekarang. Dan cowok itu tanpa permisi memegang dagunya lalu
mendongkakkan ke atas. Memaksa ntuk menatap tatapan hitam kelam itu dengan
jarak sangat tipis. Entah kenapa, tatapan itu membuat tangannya yang ingin
mendorong cowok sialan itu, kaku seperti disimpan dalam freezer.
“Ngerti,
Evangeline Fransesca. Did you understand what i’m talking about, honey?”
Edric dengan kurang ajar menyelipkan sejumput rambut yang menutupi telinganya
ke belakang dan memundurkan langkah untuk membisikkan ancaman dengan suara
serak-dan mengirimkan napas panas hingga ia terasa memerah sekujur tubuh.
Dia
menarik napas ketika napas hangat itu terasa sangat dekat. Bahkan ia
bersentuhan pipi dengan Edric saking tak ada jarak. “Gue ngerti, Edric Hayman.
Tanpa lo kasih tau. Sekarang, bisa lo mundur perlahan tanpa bikin jantungan
siapa – siapa?”
Edric
menurut dan mundur, Menjauh darinya.ketika ia menghela napas lega, tau – tau
Edric mendekat dan memegang dagunya sekali lagi lalu mendongkakkan ke atas.
Memaksa ia ntuk menatap cowok tinggi itu sekali lagi. Dia meremas pinggiran
sofa ketika dahi mereka saling bersentuhan saking dekatnya karna Edric
menunduk. “Bagus.” Dan pegangan itu
terlepas ketika cowok itu benar – benar berbalik meninggalkannya dan menaiki
tangga lalu terdengar pintu tertutup dengan bunyi keras. Seperti dibanting.
Jantungnya
serasa loncat kodok ribuan mil sekarang. Tatapan Edric tanpa batasan serasa
ingin menguliti ia hidup – hidup. Ia menarik napas dan menghembuskan berulang
kali. dia tak mau, tak sudi, cowok itu melihatnya lemah lalu tertawa di balik
pintu karna ketakutannya atas perlakuan tadi.
Untung
Fio muncul dengan setengah berlari menuruni tangga. Rambutnya yang pendek
dibikin ikal dan dihiasi oleh pengikat kepala yang melingkar. tank – top hijau dan celana jeans
membuat warna matanya semakin menonjol. “Udah siap?”
“Udah
dong. Yuk.” Fio langsung menggandengnya keluar rumah dan berteriak memanggil
Edric ntuk mengunci kembali rumah itu. dan dia bergegas keluar sebelum mereka
bertemu lagi.
♥
♥
“Kim,”
Tian mengetuk pintu kamar Kim dan cewek itu langsung muncul dengan baju kaos
rumah dan celana super pendek. Wajahnya yang seksi hasil warisan tante
Karenina, dengan bibir seperti Angelina Jolie, namun versi kecil dan berwarna
merah merekah, tatapan biru laut seperti Berlian dari Omnya, Steven Raveno,
serta suaranya yang seksi membuat siapa saja betah di samping cewek ini.
“Kenapa,
kak?”
“Jalan
yuk. Ikut gak?”
Kim
membuka pintu kamar selebar – lebarnya dan tersenyum. “Ikut dong! tapi ada
siapa aja, kak?”
“Ada
Frans,” Dia sengaja diam untuk melihat reaksi sekecil apapun dari Kim. Ketika
cewek itu biasa saja sambil memainkan ujung rambut, entah kenapa ia tersenyum.
“dengan Annisa, Fio, Eva dan..”
“Edric
ada gak? kalau gak ada, gue gak mau ikut.”
“Lo
naksir ama dia?”
“Gak
juga sih...” Dia berjalan ke arah ranjang dan duduk bersila. Membiarkan Tian
menutup pintu kamar dan ikut duduk disampingnya. “Gue Cuma penasaran aja. Tapi
kalau sampai naksir beneran ama dia, yaa.. maklumin aja. Pesonanya cetar banget
sih.”
“Kalau
gue gimana?”
Kim
menatapnya penuh menggoda. Dia mengedipkan mata. “Perlu gue jawab sekarang,
kak?”
“Kayaknya
perlu deh kalau gak...” Dia tersenyum sekarang. Sebuah ide jahil ntuk membuat
Kim mengaku telah muncul dan siap dilaksanakan.
“Akan
apa, kakak Tian sayang? Lo akan cium gue, atau...” Dia terhenti ketika Tian
menggelitiknya di pinggang. Titik lemahnya nomor wahid. Serangan itu membuat ia
jatuh telentang di ranjang sambil tertawa nyaring hingga air matanya menetes.
“Ssu-sudah,
kak Tian! Udah... Lo cetar kok! beneran deh...” Jawabnya dengan mata tertutup.
Gelitikan Tian membuat ia serasa dikerubuti semut merah di sekujur tubuh.
“Yakin?”
Dia membuka mata ketika suara itu terasa sangat dekat dan kaget karna Tian
sekarang ada di atasnya. Bertumpu satu tangan di samping kiri agar ia tak jatuh
menimpa dirinya, dan tangan kanan menyentuh pinggangnya. Siap menggelitik.
Dia
merasa menelan sebongkah batu besar sekarang ketika tatapan hijau toska itu
membuatnya serasa dipaku. “Y-yakin kok, kak.”
Senyuman
Tian membuatnya tak bisa napas dan dia pasrah saja ketika dagunya disentuh lembut alu
didongkakkan keatas. Menatap cowok itu secara langsung. Dan ia bisa merasakan hangat dan lembut dada
bidang yang tak tertutup kaos itu ketika dia menyentuh untuk mendorong menjauh.
Kebiasaan Tian yang hanya mengenakan celana bokser dan telanjang dada dalam
rumah, membuatnya entah kenapa, panas dingin.
“Bagus.
Sekarang, lo ganti baju, yah. gue tunggu, cantik.” Tian tersenyum dan mundur
menjauhi Kim lalu berjalan santai sambil bersinandung. Tak mempedulikan Kim
yang memegang dadanya- entah kenapa berdetak sangat kencang hingga ia takut
akan bocor.
Gue
kenapa?
♥
♥
Frans menunggu Annisa dengan sabar di depan
rumah. Senyumnya tetap tersungging walau ayah gadis itu, Dimas Dirgantara
menatapnya seolah – olah ingin mengajak duel saat ini juga. Well, dia
takkan menolak kalau diajak ribut sesekali.
Ide
Tian tentang beberapa hari lalu ntuk mengajak Edric bertemu dengan Annisa, sekarang
terdengar sangat konyol hingga ia nyaris mati karna tertawa gugup.
“Ayo,
Frans.” Sentuhan ringan di pundak entah kenapa seperti oase tersendiri baginya.
Ia menoleh dan melihat Nisa tersenyum manis dengan rambut terurai panjang, wlau
tak sepanjang Eva, wajahnya yang manis, senyum lebar yang khas membuat ia
semakin cantik saja dengan dress berwarna cerah dengan bunga – bunga
kecil, ntuk gadis secantik Nisa. Pakaian itu sangat, sangat indah.
“Yuk.”
“Pah...
Nisa jalan dulu ama Frans. Ntar jam...” Dia melirik Frans. Minta kejelasan.
“Jam 09.00 malam Nisa ada dirumah om.”
Papah
Nisa mangut saja dan menatap Frans dari atas kepala sampai ujung kaki dengan
tatapan menyelidik. Dalam hati ia bersyukur karna tak mengenakan tindik, kalau
terjadi, mungkin telinganya akan hilang satu karna dipotong paksa. “Oke. Hati –
hati di jalan.”
Nisa
menyalami tangan papahnya dan Frans mengikuti. Tanpa sadar mereka bergandengan
tangan keluar mobil dan tersenyum manis.
“sudah
siap, Nisa ketemu Edric?” tanyanya ketika mereka masuk mobil dan Frans membantu
ntuk memasang sabuk pengaman.
“Frans...”
Dia tersenyum dan menyelipkan rambut di belakang telinganya. “Gue siap kok.
penasaran aja sih. Yuk.”
“Tapi..
Kita kerumah Edric dulu, yah. ada urusan. Oke? Oke?”
“Iya,
Frans. Gue ngikut ajadeh.”
Dia
tersenyum mendengar jawaban lembut Nisa dan menjalankan mobil menuju rumah
Edric.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar