Minggu, 29 Desember 2013

All About Love Part 5 - Aku, Kamu, Kita.



“Edric?” Eva terbangun dari tidur ayamnya – sebagai usaha menghilangkan rasa sakit dikaki, dan kaget ketika dia menoleh, ada seseorang yang tidur dengan kepala bersandar di bahu kirinya. Spontan dia menyentuh telapak tangan cowok itu dan kaget ketika hal itu membuatnya terbangun dan tatapan hitam kelam itu langsung menusuk ke arahnya.
          Edric sejenak salah tingkah. Tertidur disini bukanlah rencananya. Dia berdiri dan menatap Eva dengan tatapan dingin - seperti biasa, dan sedikit cemas dihati ketika cewek itu berusaha berdiri sambil bertumpu pada dinding dibelakang dengan wajah meringis kesakitan namun tersenyum ketika menatapnya. Spontan dia merangkul pinggang Eva dan melingkarkan tangan yang memegang dinding itu ke belakang lehernya. Gerakan itu membuat ia – juga Eva, terkejut. Terlalu banyak kontak sentuhan yang terlibat sekarang. “Edric, Gue..”
         
          “Gue antar lo ke tukang pijat.”
          “Gak, gak usah. Gue bisa..”
          “Kunci mobil mana?” Edric menuntunnya berjalan dan Eva tak bisa berkata apa – apa selain bertumpu kepada Edric. Dia tak bisa berjalan normal karna kakinya membengkak dari yang diperkirakan. “Gue bisa  pulang send..”
          “Gue tau dan gak peduli, tapi gue merasa bertanggung jawab kalau – kalau lo ditemukan tewas besok karena tabrakan didepan sekolah dan ada saksi mata bilang kalau sebelum lo kecelakaan, kita bertemu dan gue biarin lo bawa mobil dengan kaki bengkak yang bahkan...” Edric sempat melempar tatapan mengejek ke arah kaki Kiri Eva yang sangat bengkak, bahkan membiru. “berpijak pun tak kuat. Apalagi menginjak rem.”
          Ucapan bernada sinis dan dingin serasa membuat dadanya yang merasakan kesenangan yang aneh ketika Edric perhatian dengannya, berubah menjadi jengkel tak terkira. “Lo nyumpahin gue mati?”
          “Mungkin.”
          Perut mendadak lapar, kakinya yang luar biasa sakit hingga nyaris ia ingin menangis, dan ucapan serta tatapan penuh mengejek telak yang diterima dari Edric, membuatnya refleks melepas rangkulan dan hampir terhuyung jatuh kalau saja ia tak bisa menyeimbangkan diri. Dia menatap Edric dengan emosi tertahan. “Tenang aja, kalaupun gue mati besok, lo gak akan gue gentayangin kok. Jadi gak usah merasa repot tanggung jawab!” Dan dia tertatih menjauhi Edric sambil menghapus air mata yang sial- menetes karna kesakitan di fisik dan hatinya tanpa sadar.
          Entah karna terlalu sibuk menyumpah atau bagaimana, tau – tau dia merasa tubuhnya dalam gendongan dan ia menoleh. Edric menatapnya tajam, sangat tajam hingga ia mendadak bisu. “Edr..”
          “Kunci mobil.”
         
          Dan dia menyerahkannya tanpa banyak perlawanan karna terlalu shock,  dan Edric mengambil dengan menggigit kunci mobilnya dan membawa dirinya sampai ke parkiran. Dan selama itu jua, dia tak bisa melepas tatapan matanya kearah cowok itu. Membiarkan ia digendong masuk dalam mobil dan dibawa ke tempat pemijatan refleksi.

      
Felix.
   
“Melamun saja.” Dia terkejut ketika seseorang membuyarkan lamunan dan rambut panjang ikalnya disentuh lembut kemudian dijepit dengan jepitan besar. Dia melepas dan tersenyum bahwa jepitan itu berhiasan bunga kamboja putih. Dan senyumnya semakin lebar ketika tau siapa yang duduk disamping dengan senyum khas.
          “Kapan datang, Felix?”
          “Malam tadi, Va. Fresh tuh jepit rambutnya dari pasar Sukowati.” Eva tertawa mendengar canda gayus dari Felix dan membiarkan rambutnya dijepit lagi. Perhatian sahabat tampannya ini membuat ia tersenyum.
          “Gimana Bali, Felix?”
          Awesome as usual. Gimana dengan peran Odette?”
          “Lihat aja hasilnya.” Dia menunjuk kakinya dan Felic tau – tau berlutut lalu menyentuhnya, membuat ia meringis kesakitan. Ketika mereka bertatapan, tatapan coklat gelap Felix bersorot sangat khawatir. “Sakitkah?”
          “Gak. Udah biasa.”
          “Ke sekolah lo dengan siapa? Jangan bilang...”
          “Gue gak bawa mobil sendiri. Gue dianter sama ..”
          “Siapa?
         
          Eva menggaruk kepalanya tak gatal. Tatapan Felix sangat mengganggunya. Diapun mendorong wajah sahabatnya dengan sebal. “Felix! Jangan deket – deket napa?!”
          Tell me, beauty girl. Who?”
          “Edric, eh maksud gue..” Dia salah tingkah ketika tatapan Felix mulai mennyebalkan. Dengan sebal dia melayangkan buku setebal kamus ke wajahnya agar seringai jahil menghilang. “Dia jemput gue bareng Fio. Saudara kembarnya.”
          “Tapi tetep dia jemput lo, kan?”
          “Tapi kami gak berdua, Felix!”
          “Apa bedanya, Va?” Dia menatap Eva yang merona dengan bangga. Evangeline Fransesca, sahabat cantiknya yang selalu tenang setiap digoda oleh beberapa cowok yang mendekatinya, ternyata bisa memerah juga hanya karna satu orang.
          “Bagaimana kalau dia naksir sama lo, Va?”
          Eva menatap Felix dengan tatapan lo – waras – gak – sih! kemudian mendesah. “Mana mungkin!”
          “Mau bukti?” Felix duduk di samping Eva dan menatapnya serius. Tatapan itu membuat ia tergoda ntuk bertanya. “How?”
         
          “Jadi pacar gue, Eva.”
         
         
∞ ∞

          “Singkirkan apapun yang ada di kepalamu dan fokus dengan drama, Edric Hayman!” Teriakan Ibu Ariana hanya dijawab dengan anggukan sambil lalu olehnya. Dia tak bisa berkonsetrasi seharian ini. Seolah kepalanya membuat banyak cabang hingga pusing sendiri. Dia melihat Kim yang menatapnya dengan kening berkerut.
          “Lo kenapa?”
          “Kenapa gimana?” Edric menatap Kim yang tak berkedip. Dia tau seharusnya dirinya fokus dengan drama yang akan dipentas beberapa minggu lagi dan menjadikan Kim sebagai pasangannya. Berakting seolah – olah Kim benar – benar Odette. Gadis misterius yang dicintainya. Bukan Odille.
          Tapi entahlah. Adegan bisa saja dibuat semesra mungkin, tapi hati dan pikirannya tak bisa berakting.
          Dia tak bohong kali ini kalau pikirannya melanglang buana ke Eva dan kondisi kakinya yang bengkak beberapa hari lalu itu. Tadi pagi dia dipaksa menjemputnya oleh Fio, kembarannya yang entah kenapa lebih cerewet dari nenek – nenek kehilangan cucu kalau sudah berurusan dengan Eva. Seolah – olah apapun yang terjadi dengan gadis itu, dia harus terlibat. Kalau saja dia tak ingin menjadi kembaran yang baik ntuk Fio, mungkin sudah ia turunkan Fio dipinggir jalan agar tak ada yang merekcokinya lagi.
         
          “Gue tau..” dan kini perhatiannya fokus ke arah Kim yang tersenyum ke arahnya. Senyum biasa tanpa embel – embel menggoda iman. “Mikirin Eva, Edric?”
         
          “Bukan urusan lo.” Edric menjawab sambil lalu. Namun bukan Kim namanya kalau tak mengekori kemanapun Edric pergi. Menggoda cowok pemarah macam Edric adalah kesenangannya yang sebenarnya. Serasa ada kepuasan tersendiri ketika cowok itu menatapnya tajam – tatapan yang seharusnya ia paling hindari karna sangat mengerikan.tapi dia malah menantikannya.

          Tuh Kan...
         
          Edric berbalik dan menatap Kim dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan sinis. Dia tak suka diekori kemana – mana dan Kim baru saja mengusik hal itu. “Apa?”
          “Apaan?” Kim balik bertanya dengan mata biru indahnya yang berpendar polos. Kalau cowok lain takkan tega menyumpahinya – dan malah memujanya, maka Edric adalah pengecualian. “Lo gak ada kerjaan lain selain ikutin gue kemana – mana, Kim?”
          “Gak ada.”
         
          Teriakan Ibu Ariana memanggil mereka menyadarkan Edric. Dia menoleh ke belakang dan melihat Eva kini masuk dalam ruangan dengan rambut panjang yang kini dijepit cantik oleh bunga Kamboja putih. Matanya yang coklat terang itu – mirip dengan warna mata neneknya, Erza Noor Assifa, berpendar cerah dan kuat. Bibir bawahnya yang tebal dan belah seolah menggodanya untuk dikecup sekali lagi. Pemikiran terakhir itu ia musnahkan tanpa ampun. Hingga tatapannya beralih ke arah seseorang yang menggandeng Eva berjalan.

          Cowok!
          Edric menatapnya lekat. Rangkulan posesif di lengan Eva entah kenapa sangat, sangat menganggunya hingga dia merasa perasaan aneh ingin mendorong cowok itu menjauh dan berkata dengan lantang takkan ada yang boleh menyentuh Eva. Miliknya.
          Eva Miliknya?
          Dia merasa gila sekarang. “Pasti efek kecapekan atau terlalu menghayati peran hingga gue bilang super ngaco begini.” Batinnya dalam hati. Tapi melihat rangkulan cowok berambut hitam agak kecoklatan itu, tatapan matanya yang melembut setiap menatap Eva yang tersenyum sambil sesekali menjelaskan maksud ibu Ariana kepada Eva, dan beberapa bisikan ringan serta jabat tangan dan senyum ramah ketika Fio menghampiri mereka. Dan tatapan kembarannya itu, astaga.. seperti tuan putri yang akhirnya menemukan pangerannya setelah ngumpet dari balik jerami selama 1000 tahun! Entahlah, ekspresi penuh kagum dan puja dari Fio membuatnya ingin tertawa sampai perutnya sakit dan melemparkan beberapa opini ‘’manis’’ ntuk gadis itu.
          Kim – lah yang membuyarkan emosi asing hatinya. “Eva sama siapa tuh?”
          “Tanya aja sendiri.”
          “Lo gak cemburu, Edric?”
          “Cemburu?” Dia menatap Kim dan tersenyum sinis. “Buat apa? Dia bukan siapa – siapa gue. Mau dia sama siapa terserah. Gak ngurus.” Ucapnya dan berjalan menghampiri Ibu Ariana dan menatap Eva dan cowok itu yang kini menatapnya. Dia takkan pernah terintimidasi sampai Kim – merangkul lengannya sangat erat.
         
          “Lo gak bisa bohongin gue, Edric. Kalau suka, bilang. Jangan dipendam, jangan hanya dipelototin, nanti kalau dia pergi lo akan galau sendiri.”
          “Mending nasihat itu buat lo aja, Kim. Gue gak butuh.”
          Jawaban Edric itu membuatnya tersenyum. “Gue udah kenyang ama nasihat itu, Edric.”

          Dan Edric tak mempedulikannya. Entah kenapa, tatapan tajam Eva ketika melihat lengannya dirangkul Kim dengan mesra dan beberapa percakapan singkat mereka yang terlihat lebih dari sekedar teman itu dan gesture tubuh menggoda Kim yang seolah tak bisa menjauh darinya itu, membuat ia serasa puas sekarang.

∞ ∞

          Entah sudah berapa jam dia habiskan didepan sekolah sepupunya itu. Ingin sekali hatinya menelpon ntuk menanyakan apakah gadis itu sudah pulang atau belum, apakah kegiatannya masih lama atau sebentar lagi agar penantiannya selama dua jam disini jelas. Tapi dia tak mau kejutannya gagal. Takkan ada kegagalan lagi.

          Dia menoleh ke arah dashboard dan mengambil ponselnya yang bergetar. Satu panggilan dari Annisa serasa membuat jantungnya serasa jatuh sekarang. Ciumannya beberapa minggu itu bukannya menyenyangkan hati seperti yang ia perkirakan, malah memperburuk pilihannya. Dia tak bisa memilih keduanya kalau hatinya cenderung ke arah lain. Tapi ... menyakiti gadis manis berhati lembut itu adalah pilihan paling kejam yang pernah diambilnya.
          Semua pilihan takkan ada yang gampang kalau sudah berurusan dengan cinta.
         
          Dia menghela napas dan mengangkat telpon itu. “Halo, Nisa? Ada apa?”
          Suara Annisa yang lembut dan menanyakan bagaimana kabarnya, membuat ia menutup mata sambil bersandar ke arah kursi. “Ampuni aku Tuhan. Aku hanya tak tau bagaimana menolaknya hingga akhirnya terjerat pada pesona yang menyakitkan ini.” Batinnya dalam hati.
          “Kak Frans?” Suara Annisa yang bingung membuyarkan lamunannya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya berdenyut sakit karena bersalah. “Kenapa, Annisa?”
          “Kakak dimana? Dengarin omongan Annisa, gak?”
          “Denger kok, manis. Gue lagi di jalan nih. Kenapa?”
          Terdengar nada keraguan dari Annisa. Salah satu tanda dia membutuhkan bantuan namun tak tau berkata apa. “Ada apa, Annisa?”
          “Anu..” Diseberang sana, Annisa duduk di atas ranjang sambil memainkan lipitan rok sekolahnya dan berulangkali memilin rambut panjangnya itu dengan gelisah. Dia sebenarnya ingin mengajak Frans menonton film romantis yang ada di bioskop. Tapi ntahlah, hatinya ragu  Frans akan setuju. Memangnya dia siapa Frans jadi harus mengajaknya jalan?
          “Gue pacarnya, kan? Kalau bukan pacarnya, dia takkan cium gue. Walaupun tak ada ucapan yang nunjukin dia pengen gue jadi pacarnya? Tapi tindakan sudah cukup, kan?” Batinnya memberikan pendapat, dan ia menyetujui.
          “kakak sibuk gak?”
          Jawaban Frans yang terlihat bimbang itu membuat ia menghela napas. penolakan halus bahwa Frans tak bisa. Dan ia memahaminya. Sangat, sangat memahami kesibukan cowok itu. “Yasudah, kak. Nisa nonton ama yang lain aja.”
          “Annisa?”
          “Iya, kak?”
          “Minggu aja gimana? Kalau hari ini gue gak bisa. Maaf.”
          Jawaban Frans bernada lembut membuat harapannya layu, serasa tumbuh lagi. Tanpa sadar ia mengangguk. “Oke, kak Frans. Nisa tunggu. Makasih yah, kak. Bye.
          “Sama – sama, Nisa. Udah dulu yah, gue lagi di jalan nih. Bye.” Frans memutuskan telponnya cepat dan melempar ponselnya ke samping. Telpon Nisa membuat rasa bersalahnya semakin menumpuk saja.

          Ketika melihat beberapa siswi keluar dari pagar sekolah itu, dia mulai waspada dan menegakkan tubuh sambil memegang stir mobilnya. Sampai pemandangan yang paling ia nantikan itu lewat di depannya. Seorang gadis berambut ikal panjang sedang menelpon seseorang tak jauh dari jarak mobilnya dan terlihat bersungut – sungut. Ekspresi yang sangat ia sukai sampai saat ini. Melihat wajahnya yang cantik dan meggodanya itu, wajah yang selalu menghiasi mimpinya setiap malam, wajah yang baru saja menghapuskan sepercik rasa bersalah di hatinya sepersekian detik lalu, membuat ia mematikan mesin mobil, mencabut kunci dan keluar dari mobilnya lalu tersenyum ketika gadis itu menatapnya terpaku. Ekspresinya tak percaya. Namun ini yang ia nantikan.

          Kimberly Vexia. Gadis yang sanggup menjungkir – balikkan kehidupannya. Mantan pacar pertamanya. Hanya Edric yang super dingin itu tau seberapa berartinya Kim untuknya, dan dia harus berterima kasih dengan Tian karna mau bekerja sama dengannya ntuk urusan begini. Walaupun rahasia hubungan mereka terbongkar karna cowok itu hanya tau dia mengejar Kim. Bukan memacarinya.

          Dan dia sangat menikmati ekspresi Kim yang tajam itu menatapnnya. Matanya waspada. “Kak Frans? Ngapain disini?”
          “Jemput kamu, little- bear Ly.”

          Dan untuk sepersekian detik kalinya, dia benar – benar melupakan Annisa.

∞ ∞

          “Kak Tian, foto bareng yuk.”
          Tian yang asyik bermain basket dengan seragam olahraga sekolah kebanggaannya, tersenyum manis dan mengiyakan tanpa ragu. Gadis yang disukainya sejak pertama kali bertemu. Dengan rambut panjang ikal yang sekarang dikuncir dua, baju cheerleader dan senyum yang memikat serta warna matanya yang kuat, dia terbius oleh semua kombinasi itu.
          “Ayooo..” Tanpa ragu dia merangkul gadis itu dan meminta salah satu temannya ntuk mengabadikan di ponsel. Dalam hati bertekad setelah pulang sekolah nanti, foto ini akan ia cetak dan diberi pigura yang bagus lalu diletakkan dengan pas di meja belajar. Hingga dimanapun dia memandang, wajah cantik gadis itu akan selalu terlihat.

          “Udah selesai?
          “Sebentar, kak.” Dia melepas kunciran dan menggeraikan. Sisi manis itu berubah menjadi lebih dewasa dan sangat cantik. Dia mengagumi kecantikan itu dalam hati. Tanpa pernah ada yang menyadari, selama gadis itu bersekolah, dia selalu melindunginya.

          Sampai hari ini. Di penghujung akhir sekolahnya.
          Tian mengambil pose merangkul gadis itu dan meletakkan hidungnya di rambut panjangnya. Akan dia ingat aroma rambutnya ini setiap ia merindukan cerianya gadis itu. Yah... gadis berharganya yang sebentar lagi akan ia tinggalkan karna udah lulus.

          “Kak Tian?”
          “Iya..”
          “Makasih, yah.”

          Tian tersenyum. Dia siap. Yah... dia siap mengatakannya. Sudah dua tahun ia memendam rasa ini. Dan ini harus dilakukan atau tidak sama sekali.
          “Sesca...”
          “Kak Tian..”
          Tian mengalah. “Ada apa?”
          “Kakak dulu, deh. Kayaknya lebih penting daripada gue.”
         
          “Lo dulu, dek. Gue nyusul.”
          “bagaimana kalau kita sambil duduk, kak?” Dan Tian mengangguk. Mengabaikan beberapa tatapan memuja cowok yang melirik Sesca tanpa kedip. Hingga mereka tiba disebuah kursi taman yang fokus tatapan berada di lapangan basket. Dia menoleh. “Lo mau ngomong apa?”

          “Deketin gue sama Edric dong, kak. Gue suka nih.” Tatapan penuh malu – malu ala dia membuat Tian terdiam. Dia berulang kali menelan ludah, mengatur ekspresi wajahnya agar tak terlihat bahwa hatinya serasa ditusuk seribu belati beracun.

          Dan Tian merasa, semuanya terlambat sekarang. Gadis itu sudah memilih.
          Yah... Evangeline Fransesca sudah menetapkan kemana hatinya berlabuh nanti.

          “serahin sama gue, Eva. Lo akan mendapatkan Edric.”



          Tian mendesah. Setiap dia memandang foto di meja belajarnya itu, kenangan menyakitkan itu menyerangnya lagi. Yah, Evangeline Fransesca adalah adik kelasnya saat ia berada di kelas tiga. Dia sudah terpikat pada pandangan pertama ketika gadis itu tersenyum padanya. Hatinya merasa sangat senang ketika mereka juga dekat secara keluarga. serasa dimudahkan oleh Tuhan untuk mendapatkannya.

          Tapi, itu hanya awalnya saja.

          Pertemuan pertama Eva dengan Edric di rumahnya itulah yang ia selalu sesali hingga saat ini. Saat Edric datang kerumahnya, saat itu Eva juga ada dan ia terpesona dengan semua yang dimiliki Edric. Dia melihat namun pura – pura buta. Meyakinkan hatinya berulang kali bahwa Eva hanya sekedar terpikat, mengagumi sambil lalu. Bukan benar – benar jatuh cinta padanya.

          Tian menyandarkan tubuh di kursi belajarnya. Tangannya menelusuri garis wajah Eva yang tersenyum saat merangkulnya. Terkadang ia bertanya dalam hati, saat Eva berfoto dengannya, apakah senyum itu hadir karna teringat Edric atau murni karna ada ia disamping gadis itu? Merangkul pundaknya posesif dan menghalau secara halus beberapa cowok yang mendekati Eva. Dia takkan pernah mau Eva dimiliki siapa – siapa. Tapi ketika gadis itu memilih, dia tak bisa berbuat apa – apa selain mengiyakan.

          Ucapan Kim beberapa hari lalu terulang lagi di kepalanya. Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang ternyata dari dulu memilih orang lain? Kita harus meninggalkan? Atau tetap berusaha membuatnya berpaling?” dan ia juga sangat ingat jawaban yang membuat Kim mendesah prihatin. Jawaban yang mungkin membuat sebagian orang berpikir dia bodoh.
         
          Menunggu Eva melupakan Edric seperti mengharapkan matahari terbit di malam hari.
          Tian menutup mata dan meletakkan foto itu dengan sangat sakit. Begini rasanya mencintai seseorang yang ternyata dari awal tak pernah memilihnya. Mencintai orang yang memilih orang lain.

          Sometimes it last in love, but sometimes, it hurts instead.
         
          Pintu kamar terbuka dengan kasar. Tian membuka mata dan melihat Kim menatapnya dengan melotot. Mata biru laut yang indah itu semakin bagus saja karna terpancar oleh sinar matahari. Ketika tatapan Kim beralih ke meja belajarnya dan melihat dua pigura foto yang tergeletak didepannya, tatapan garang itu menyurut dan berubah menjadi simpati. Tanpa minta ijin, Kim masuk dalam kamarnya dan menutup pintu, lalu melemparkan tas ke ranjangnya dan merebahkan diri. Mata indah itu menatapnya.    
          “Kenapa lo ijinin gue sama Frans, kak?”
          Tian tersenyum geli. Dia sudah menduga dari awal kedekatan mereka 4 tahun yang lalu bukan kedekatan sebagai cowok pedekate dengan cewek. Tapi lebih ke arah orang pacaran serius. Frans yang serius dan dewasa dengan Kim yang waktu itu masih liar dan kanak – kanak, membuat mereka terlihat sangat klop. Tapi tetap saja ia kaget ketika Frans memberitahu hubungan mereka sebenarnya di masa lalu itu dan alasan kenapa mereka memutuskan hubungan. Tak ada yang ia bisa lakukan selain membantunya walaupun masalah dia sendiri tak bisa dibantu oleh siapapun.

          “Karna dia masih sayang sama lo, Kim. Lo diajak Frans kemana aja?”
          “Dia gak sayang sama gue, kak. Itu hanya perasaan menyesal aja. Dulu gue bodoh karna percaya, tapi sekarang, gak, kak Tian. Dia akan selalu salah dimata gue walau lo berusaha memperbaiki arah pandangan gue. Lagian, mau ia kemanakan si Annisa kalau dia sama gue?” Pertanyaan sinis namun bernada sakit hati itu membuat Tian menoleh ke arah Kim seutuhnya. Wajah Kim memang tidak baik – baik saja. Pengaruh Frans yang kuat dan kesakitan hati yang diberikan cukup membuat Kim terguncang. Refleks dia berdiri dan memeluk Kim yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu dengan sayang. Dan Kim memeluknya sangat erat. Air mata menetes di wajahnya yang bening.

          Kalau ada yang bisa membuat orang berhati baja itu menangis tersedu - sedu, maka jawabannya ada dua, kehilangan atau cinta tulus yang terkhianati.
         
          “Nisa bukan pacar Frans, Kim. Percaya sama gue.”
          “Ijinin gue peluk lo, kak. Gue capek...” Kim menggeleng lemah dipelukan Tian. Dia butuh pelukan dan Tian memberikan. Sesederhana itu hubungan mereka.
          “Kimberly, lo gak berniat kasih Frans kesempatan?”
          “Gak akan pernah ada kesempatan, kak Tian. Itu sumpah gue saat tau dia selingkuh dengan cewek yang sudah gue anggap kakak sendiri. Gue dulu memang masih muda, tapi bukan berarti gue bisa dipermainkan.”
          “Kalau begitu, apa alasan lo menyetujui kembali ke Indonesia, Kim? Gak mungkin karna taruhan konyol gue, kan?”

          Kim terdiam. Mendadak alasan sebenarnya dia ingin pulang tak ingin ia sebut. Hanya Tuhan dan dirinya yang tau apa alasannya. “I just wanna go home, brother.”
          “Not for him?”
          “No!”
          “How about me?”
          Kim tersenyum di pelukan Tian yang hangat. Inilah Sebastian Pradipta yang ia sukai. Tak salah keputusannya untuk menginap dirumah Tian walaupun harus disambut tatapan tajam tante Lyesha ini benar. Dia mensykuri itu. “Memangnya kenapa dengan lo, kak?”
          Tian nyengir. Kim yang menggoda sudah kembali lagi. Dia sudah bersedih hati, jangan sampai Kim ikut – ikutan sedih. Mungkin ia akan mencari cara agar mereka bisa menyelesaikan masalah sendiri. Yah.. pasti. “Yaaa... gak papa, sih. Udah makan, Kim?”
          Kim mengangguk enggan dan ia tau diri ntuk tak usah membahasnya. “Bagaimana latihan lo tadi?”

          Wajah Kim berubah cerah dan membahas apa yang ia lihat tadi dengannya. Tanpa menyadari bahwa setiap informasi itu menghancurkan hatinya sekali lagi.

∞ ∞

          Annisa menatap danau kecil yang berada tak jauh dari kompleknya itu dengan muram. Yah... percakapannya dengan Frans siang tadi mengganggu pikirannya.

          Apa iya gue pacaran dengannya? Kenapa jadi hiatus begini?”

          Asyik melamun, tau – tau ada yang menutup matanya dengan kedua tangan. Spontan ia menyentuh tangan itu dan tersenyum lebar. Dia tau siapa pemilik tangan kekar dan hangat ini. “Kak Frans?”
          Tawa ramah terdengar di atas kepalanya dan ia merasakan kecupan di ubun – ubunnya. Perlakuan manis itu membuat Nisa tersenyum dan menggeser posisi agar Frans bisa duduk disampingnya. “Bawa apa, kak?”
          “Tebak dong, Nisa.” Senyuman Frans menularnya, dia tersenyum dan menatap Frans dengan manis. Wajah sangat tampan dengan anting hitam yang menghiasi kedua telinganya itu membuat ia terlihat bad boy namun sangat manis. “Martabak manis?” tebaknya ketika melihat kotak di dalam plastik yang dipegang Frans.

          Sebuah kecupan manis menyentuh pipinya. Membuat wajahnya merona seketika. “Salah.” Frans membuka kotak kue itu dan Nisa memekik riang. Cupcake lucu berisi delapan membuatnya tertawa riang. Perhatian manis yang membuatnya semakin yakin Frans menyukainya. Dan ia takkan pernah bertanya bagaimana perasaan cowok itu padanya. Perlakuan saja cukup mengatakan semua pertanyaan yang menggantung di benak. “makasih, kak Frans.”

          Anytime, Annisa.” Dia tersenyum dan membiarkan Nisa menyuapi cupcake itu untuknya dengan matahari terbenam sempurna di depan mereka.

∞ ∞

          Edric masuk kedalam ruang teater dengan kening berkerut. Siapa lagi yang berada disini jam 7 malam selain dirinya? Ketika ia melangkah kedalam dengan skateboard di tangan dan ia letakkan di sudut pintu, ia menemukan jawabannya.
          Eva menari sangat anggun dengan baju balerinanya berwarna putih. Rambut panjang ikal itu digulungnya ke atas dan menyisakan sedikit di sisi kiri – kanan wajahnya. Wajahnya yang cantik itu mengkhayati setiap alunan lagu yang diputar pada tape recorder  dan Edric menonton semua ekspresi itu dari cermin yang menjadi dinding ruangan mereka. Hal itu membiusnya tanpa sadar ntuk mendekati Eva dan menyentuh pinggang ramping itu. Sentuhan yang cukup membuat Eva terdiam dan berbalik menatapnya. Terpesona dengan balutan baju kaos hitam polos yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih. Serta pelindung lutut dan siku yang masih belum terlepas. Membuat ia seketika blank.

          “Edric?”
          Dia salah tingkah sekarang. Edric mundur perlahan dan tersenyum agak kikuk. “Sorry, gue..”
          Eva tersenyum maklum. Melihat Edric salting adalah pemandangan baru yang berarti ntuknya. “Gak papa, Edric. Ada apa kesini?”
          “Lo sendiri?”

          Kenapa jadi balik nanya?”
          “Latihan juga. Kalau dirumah gue terganggu. Jadi yaa.. gue lari kesini.”
          “Oh.” Edric menemukan separo harga dirinya ntuk bersifat acuh dan berjalan membelakangi Eva ntuk mengambil naskah ceritanya. Dia bisa saja latihan dirumah menghapal semuanya, tapi Fio membuat banyak kerusuhan dirumah membuat ia memilih lebih aman disekolah ntuk latihan agar bisa konsentrasi.
          “Gue sama Felix, loh.”
          “Apa untungnya buat gue?” Edric berbalik cepat dan menatap Eva tajam. “Gue gak pernah peduli lo sama siapa. Kita Cuma partner ntuk latihan drama. Kalau acara sialan ini selesai, kita takkan berhubungan lagi.”

          Eva tersenyum miring. Menutupi sedikit denyut sakit yang melanda hatinya. “Baguslah.”
         
          Giliran Edric yang menatap Eva bingung. “Bagus dalam arti apaan?Ingin ia mengucapkan itu, namun hatinya gengsi. Jadi ia hanya mengangkat bahu dan duduk di tempat terjauh sambil menyandarkan kepala ntuk menghapal naskah yang berlembar – lembar.

          Tatapan Edric tidak fokus lagi dengan naskah yang ia pegang, tapi malah ke arah Eva yang kini menari balet dengan manis sambil menutup mata. Seolah menghayati peran Odette yang akan dipentaskan nanti. Mereka sering berlatih bertiga, namun baru kali ini dia dan Eva berdua saja diruang latihan dan itu aneh. Seolah – olah dia benar – benar seperti pangeran Segfried yang terkesima dengan tarian Odette ditengah danau saat malam purnama berada di atas kepalanya. Tanpa sadar dia mendekat ke arah Eva dan mengulurkan tangan. Salah satu scene  yang tak pernah mereka lakukan karna keegoisan hatinya.

          Eva berhenti dan membuka mata. Terkejut ketika melihat tatapan Edric terlihat aneh ntuknya dan uluran tangan yang membuat jantungnya berdegup riang. Dengan ragu ia menyambut tangan Edric dan cowok itu langsung menariknya ntuk mengikuti gerakannya. Dia tak tau kalau Edric ternyata bisa berdansa seperti ini. Kalau tau ceritanya, kenapa ia menolak adegan ini dan rela bertengkar hebat dengan Ibu Ariana?
          “Gue gak bisa menari didepan umum.” Jawaban Edric seperti menjawab pertanyaannya sendiri. Ia menatap Edric yang tepat menatapnya. Tatapan yang membuat ia tersenyum manis. “Gue orang pertama yang dansa dengan lo?”
          Edric tak menjawab. Dan itu sudah cukup jawaban telak untuknya. Entahlah, hal itu membuat Eva tersenyum.
          “permainan Balet lo parah.”
          Senyum itu langsung menghilang dari wajahnya. “Parah? Maksud lo? Lo gak ngerti balet, Edric. Jadi gak usah banyak komentar.” Jawabnya ketus. Dia tak mau berbaik – baik ria lagi dengan Edric yang menghina caranya menari. Astaga!

          Senyum sinis menghiasi wajahnya yang tampan. Membuat Eva antara ingin mencakar wajah itu atau ikut tersenyum tak kalah sinis. “Gue jujur.”
          “Punya referensi?”

          Tau – tau Edric melepas pelukannya dan menjauh. Membuat Eva mengikutinya sampai Edric membuka tas ransel dan mengambil dua tiket pertunjukan balet. “Kenal Eleanor Boulanger?”
          Eva mengingat – ingat. Kemudian mengangguk. “Memangnya kenapa dengan adek Frans?”
          “Dia mengadakan pertunjukan balet musikal besok malam. Gue dapat tiketnya gratis dari dia. Kalau lo mau bandingin permainan parah lo dengan Lea, mending datang saja.”

          “dengan lo?”
          “Dengan pacar lo, Felix. Gue ada urusan.”

          “Edric...” Dia menatapnya penuh memohon. “Gue maunya sama lo.”
          “Gue menolak.”

          “Edric.. sekali aja,”
          Tatapan penuh memohon dari Eva membuat ia mendengus kesal. “Jam 7 malam gue jemput.”

          Eva tak bisa menghilangkan senyumnya. “Makasih, Edric.” Dan ia berbalik ntuk mengambil tasnya. Hari ini ia merasa cukup latihan. “Bagaimana kalau kita sambil makan didepan sekolah, Edric? Kayaknya warung didepan itu enak. Gimana?”

          “Terserah.” Jawabnya membelakangi Eva agar tak melihat bahwa dia tersenyum lebar sekarang.


          “Benar – benar deh.”

1 komentar: