Author : Andini Ekaputri Nur’Aulia.
:
Rere Nurlie.
Bestfriend?
Hmm... Part 7
Suara tidak
percaya keluar dari bibir Gwen membuat Andrew terdiam. membuatnya salah tingkah
sekarang. Haruskah dia mengulangi ucapannya lagi? Agar Gwen, orang yang
dianggapnya sahabat itu, mengetahui isi hatinya yang sebenarnya? Bahwa
sebenarnya Andrew menyukai Gwen lebih dari sekedar sahabat?
Mata besar yang tadinya menatap Andrew dengan sorot
ketakutan itu, kini mulai berubah. Perlahan Gwen mulai mengenali sosok Andrew.
Entah karena ucapannya beberapa saat yang lalu atau karena perasaan gadis itu
sendiri yang mulai menyadari bahwa Andrew bukanlah orang jahat. Bahwa dia
bukanlah Jo.
“What..., what did
you say?” tanya Gwen terbata. Dia ingin memastikan bahwa pendengarannya
barusan tidak salah. Bahwa Andrew memang mengatakan hal yang paling dia ingin
dengar beberapa hari ini.
Andrew semakin salah tingkah. Dia menggaruk tengkuknya
yang tidak gatal. Matanya melirik Gwen yang menatapnya dengan sorot seolah
mengatakan “Cepet jawab pertanyaan gue, Andrew!” membuatnya menghela
napas dan...
Tiba – tiba dia tertawa keras. Tawa yang sangat keras
sampai – sampai tubuhnya terguncang hebat. Membuat Gwen terlonjak karena kaget.
Gadis itu langsung mengerutkan keningnya dan menyipitkan mata ketika melihat cowok
di depannya itu tertawa entah karena alasan apa. Membuat Gwen yang tadinya
menangis ketakutan, seketika berhenti.
“See? Gue
berhasil, kan, bikin lo berhenti nangis ketakutan? Ucapan gue barusan
benar-benar ampuh, kan, sampai bikin lo melongo kayak tadi?” tanya Andrew
disela tawanya. “Gue lega banget bisa bikin lo berhenti nangis dan bingung
karena ucapan gue tadi, Gwen...” Dia terdiam untuk mengambil napas dan melirik
Gwen yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca. “Karena, gue gak tau harus
dengan cara apa lagi buat lo berhenti nangis natap gue seolah-olah gue si
bajingan keparat itu!”
PRANG!
Hatinya
berdenyut sakit.
“Yah,
bodoh sekali gue percaya dengan lelucon gak laku itu. Andrew gak mungkin, sama
sekali gak mungkin suka sama gue.” Batinnya sakit dalam hati. Sakit karna
ucapan yang dia nantikan, terwujud dalam bentuk lelucon semata. Lelucon yang
sukses membuat harapannya terbang ke langit ketujuh sebelum jatuh ke lautan
tanpa ampun. Kalau Andrew bertanya apakah leluconnya itu sempurna untuk
membuatnya tersenyum. Dia akan mengangguk membenarkan.
Sempurna
menyakiti hati gue dan membuat gue merasa cewek paling tolol sedunia dan
tersenyum paling pilu.
“Gwen?”
Gwen
tersentak saat melihat Andrew menggoyangkan tangannya di depan wajahnya. cowok
itu terlihat cemas dan khawatir. Kemudian, dengan seulas senyum tipis, Gwen
menatap Andrew dengan sorot berterima kasih sekaligus sorot penuh ...
Luka.
“Gue
udah nggak apa-apa, Ndrew... makasih udah ada di samping gue disaat gue seperti
ini.” Gwen berkata dengan nada lelah lalu spontan mengikuti keinginan hatinya
yang masih sakit, dia menjauhkan dirinya
dari Andrew, ketika cowok itu mengulurkan tangannya. Ingin menyentuhnya.
“Gwen?”
Andrew mengerutkan kening saat uluran tangannya malah membuat Gwen menjauhinya.
Membuatnya kembali diserang kebingungan yang teramat besar saat melihat Gwen
menolak tanpa kentara untuk berdekatan dengannya. Entah kenapa, membuatnya tak
rela diperlakukan seperti orang asing yang berniat jahat.
“Gwen,
lo... beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Andrew cemas. Sejujurnya, sikap Gwen
saat ini benar-benar membuat Andrew frustasi. Gadis itu seolah menjauhinya,
menyamakannya dengan Jo yang berniat jahat padanya.
“I’m okay...,” jawab Gwen dengan nada
pelan. Gadis itu menolak untuk melakukan kontak mata dengan Andrew dan memilih
menatap jempol kedua kakinya yang bergerak – gerak. Sikap tubuh Gwen yang
gelisah membuat Andrew yakin bahwa Gwen jauh dari kata baik-baik saja. “You don’t have to worry, Gwen.”
“Dan
lo juga tak ada hak untuk khawatirin gue, Andrew. Please, pergi. gue ingin
sendiri!” Hatinya berteriak mengusir Andrew yang menatapnya.
Tapi mulutnya terlalu kelu untuk mengucapkan. Dia tak sanggup.
Selama
beberapa detik lamanya, yang dilakukannya hanyalah diam. Sibuk dengan pikiran
mereka masing-masing. Andrew terus menatap ke arah Gwen, sementara gadis itu
sibuk menghindari tatapan Andrew dan memperhatikan kedua kakinya. Ketika merasa
ada gerakan sangat, sangat, sangat perlahan, spontan Gwen langsung refleks
mundur ke belakang dan membentur pinggiran meja belajarnya. Tatapan mereka
beradu. Yang satu menatapnya penuh frustasi karna sifatnya yang keterlaluan,
dan dia sendiri, entahlah. Seperti kelinci terperangkap di kandang ular.
Andrew
terhenyak gerakan Gwen yang refleks menjauhinya Dan gerakan itu menyakitinya
tanpa ampun. Mengoyak hatinya menjadi dua dengan kasar. Benar-benar membuatnya merasa
kehilangan sosok Gwen yang dikenal.
“Mmm...
Ndrew... gue laper. Lo bawa makanan, kan, tadi?” Suara Gwen yang gugup dan sorot mata ketakutan
ketika mereka bertatapan sekali lagi, membuatnya tersadar dari lamunan dan
menghela napas panjang. Mati – matian dia menahan diri agar tidak menarik kasar
Gwen kemudian memeluknya hingga remuk sambil meyakinkannya bahwa dia adalah
Andrew! Bukan Jo si keparat itu dan berbisik lembut di telinganya yang mungil
bahwa dia tak suka, dan tak sudi dperlakukan seperti Jo. Ingin hatinya berkata
bahwa dia takkan mungkin menyakiti hatinya. jika gadis itu bertanya, mungkin
...
Karena
dia, mencintai gadis itu.
Yah.
Pada akhirnya, dia
mencintai Gwen, sahabatnya sendiri. tapi kalau ditanya kenapa dia selalu
mengingkarinya,
Dia
takut kehilangan Gwen yang mungkin, sudah nyaman dengan kondisi seperti ini dan
memutuskan untuk memilih persahabatan saja. Karna hanya cara inilah dia bisa
mencintainya.
Andrew
mengangguk dan tersenyum. “Iya. Yuk,” ajaknya sambil mengulurkan tangan ke arah
Gwen. Namun gadis itu hanya menatap tangannya yang terulur dengan tatapan
sangsi. Hatinya menyuruh untuk menyambut uluran tangan itu dan menggenggamnya
erat. Tapi dia takut. Tangannya terlalu gemetar untuk melakukannya. Dia tak
berani.
Helaan
napas Andrew membuat Gwen mendongak dari tatapan tangan Andrew dan cowok itu
menatapnya dengan senyum paling getir yang pernah di lihatnya. Dengan pelan,
Andrew menarik uluran tangannya. Dan seketika, perasaan penyesalan itu
menyerang batinnya.
Kenapa
lo tarik? Gue pengen menyambut uluran tangan lo dan menggenggam erat. Karna gue
takut jatuh.
“Nggak apa-apa kalau lo nggak mau menyambut
uluran tangan gue. Nggak apa-apa kalau lo menjadi sedikit takut sama gue atau
sama laki-laki manapun karena ulah bejat Jo. Tapi, satu hal yang harus lo ingat
didalam benak dan hati lo, Gwen.”
Senyuman
dan tatapan lembut Andrew seakan menyihir Gwen. Dia tidak bisa mengalihkan
tatapannya dari cowok yang berdiri di depannya sekarang. Namun, entah apa, dia
refleks memundurkan tubuhnya lagi saat Andrew mencoba mendekatinya. Tapi, kali
ini keberuntungan tak berpihak padanya. Tak sadar kaki kirinya menyentuh kain
licin yang ada di kamarnya, membuat keseimbangan tubuhnya goyang dan hampir
terjatuh kalau saja Andrew tak melingkarkan tangannya di pinggangnya lalu
menariknya hingga mereka berpelukan. Tangan Andrew yang kokoh dan hangat itu
memeluk pinggangnya, seolah melindunginya, seolah memberinya kekuatan. Dan dia
bisa merasakan detak jantung Andrew seolah menyentuh pipinya.
Andrew
seperti memeluk patung. Gwen membeku di pelukannya. Dia bisa merasakan tubuh
Gwen terlalu gemetar untuk bereaksi sedikit gerakan. Dia bisa merasakan wajah
mulus Gwen menyentuh dadanya, membuat jantungnya semakin berdegup kencang, hela
napasnya yang lembut bercampur ketakutan untuk menjauhkan diri sangat kental.
Membuatnya mendesah dan menatap Gwen yang rupanya, sejak daritadi menatapnya
dengan tatapan ketakutan. Seperti kelinci terperangkap. Kenyataan ini
membuatnya tersenyum miris.
“Gwen,”
Dia memperketat pelukannya dan bisa merasakan penolakan lemah Gwen untuk
menjauh. Namun dia tak peduli. Dia ingin memeluk tubuh langsing itu selama
dia ingin, menghirup aroma tubuhnya yang
khas, dan harum rambutnya yang enak. Dia tak ingin melepasnya.
Dan
tak akan melepasnya. Sampai kapanpun.
“I am not him... and, i’m not gonna hurt you.”
***
Keesokan harinya, Gwen memberanikan diri untuk masuk
sekolah. Dia sengaja berangkat sangat pagi sekali. Dia melakukannya untuk
menghindari Andrew yang berjanji akan menjemputnya. Cowok itu sendiri yang
mengatakannya kemarin. Untuk saat ini, Dia belum siap berinteraksi dengan
laki-laki manapun, termasuk dengan sahabatnya sendiri. Kejadian waktu itu
benar-benar membekas dalam memorinya, mengalahkan akal sehatnya dan membuatnya
selalu diserang ketakutan berlebihan.
“Yes...” Bisiknya puas karna bisa ke sekolah
dengan selamat dan tak bertemu satu makhluk Adam pun yang membuatnya tanpa
sadar mengerut ketakutan. Dengan ringan dia masuk kelas dan seketika terpaku di
ambang pintu. dia merasakan suhu tubuhnya dingin seketika.
Dia melihat Jo. Seseorang yang sudah membuatnya ketakutan
setengah mati, nyaris merebut apa yang paling berharga dalam dirinya, ternyata
sudah berada didalam kelas, duduk dengan santai dengan satu kaki di atas meja
sambil membaca buku. Menyadari siapa yang datang, senyumnya muncul.
Di matanya, Gwen seperti kelinci kecil yang shock karna
masuk kandang Singa kelaparan seperti dirinya. membuatnya tertawa riang dan
tanpa sadar menyeringai licik ketika dilihatnya, ekspresi Gwen langsung kaku.
“Good morning,
Sunshine...,” sapa Jo dengan nada menggoda. Dengan santai dia meletakkan
buku setebal kamus di atas meja, lalu menurunkan kakinya dan melangkah pelan
sambil bersiul ke arah Gwen yang seperti manekin di ambang pintu. Keterdiaman
Gwen membuat batinnya menari – nari kegirangan.
“Run, Gwen! Run!” Batinnya berteriak menyuruhnya
lari. Tapi dia tak bisa. kakinya serasa menempel kuat di lantai, syaraf –
syarafnya seolah membeku karna tatapan Jo yang menusuk dan langkahnya yang
semakin mendekat ke arahnya berdiri sekarang, membuatnya tanpa sadar menggigil
ketakutan. Saking takutnya, dia merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya
dengan deras.
“Gue kangen sama lo, nih,” ucapan Jo membuatnya semakin
ketakutan saja. Cowok itu bahkan sengaja memperlambat langkahnya agar
menciptakan suasana dramatis antara mereka. Bahkan dia melihat seringai licik
semakin jelas di wajah tampannya itu. kontras dengan wajahnya yang setegang
patung. “Udah dua hari lo nggak masuk. Dan selama dua hari itu pula, gue harus
menerima tatapan membunuh yang dilayangkan oleh sahabat tercinta lo itu.
Hmm...” Dia berada di depan Gwen sekarang. Menikmati ekspresi ketakutan
setengah mati dan sorot matanya yang ingin melarikan diri tapi tak bisa. “Coba waktu itu si brengsek Andrew nggak
datang, pasti gue udah berhasil mendapatkan tubuh lo, ya? Harus gue akui, bibir
lo emang nggak ada duanya. Sweet like
candy, beib.”
Bisikan Jo di telinganya seperti nyanyian petaka bagi
dirinya. tersadar karna jarak semakin menipis, Gwen langsung membalikkan
badannya, bersiap untuk lari. Namun terlambat.
Jo yang menyadari mangsanya ingin kabur, langsung menarik
kasar lengannya dan mendorongnya begitu saja ke dinding hingga terdengar bunyi
benturan keras. Yah, Dia sengaja membenturkan kepala Gwen ke dinding karna
sangat menikmati wajah yang membuatnya tak bisa tidur itu penuh ketakutan dan
sakit karna perbuatannya. Dia tersenyum licik ketika kedua tangannya merentang
kokoh seperti penjara untuk menutup akses Gwen melarikan diri.
Gwen ketakutan sekarang. Sakit karna benturan tidak
sebanding dengan ketakutannya sekarang. Otaknya mati karna ketakutan yang
menggila. Dia melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul 06.30, dia sadar
takkan ada satupun yang datang. kalaupun ada, belum tentu melewati kelasnya
yang berada paling pojok lantai dua.
“Ayo Gwen lakukan sesuatu! Lakukan sesuatu!” Batinnya
berteriak frustasi sekarang. Dia ingin berteriak, tapi suaranya ntah raib
kemana. Kalaupun bisa juga percuma karna takkan ada yang mendengar.
“Tendang saja kakinya atau dimana saja, Gwen!” Batinnya
berteriak memberikan ide untuk segera dilakukan. Tapi kakinya berubah menjadi
batu. Serasa berat untuk digerakkan. Serasa susah untuk melakukan. Mati
otaknya, lumpuh kakinya.
Dia semakin menggigil ketika tangan Jo mengelus pipi
kanannya dengan gerakan berulang – berulang dan tatapan tajamnya seakan
mengeksploitasi wajahnya.
“Jo... sing..singkirin tangan lo..” Decitnya lemah
meminta Jo menjauhkan tangannya. Tangannya berusaha menjauhkan tangan Jo. Tapi
Jo langsung menangkap tangannya dan mengurungnya di belakang punggung dengan
kuat. Seperti tertancap paku.
Jo semakin puas melihat Gwen bergetar hebat dibawah
kuasanya. Tangan yang direntangkannya kini mengelus pipinya. Merasakan getar
hebat ketika sentuhannya memberikan efek kengerian bagi Gwen. Sampai tangannya
mengelus bibir Gwen yang gemetar. Bibir yang menggodanya sejak pertama kali
bertemu. Dan bibir yang membuatnya selalu ingin, ingin mengecupnya lagi,
memberikannya sensasi ketagihan seperti narkoba. Jari jempolnya menekan lembut
bibir bawah Gwen lalu melepasnya dan dia menundukkan wajahnya kemudian menarik bibir
bawahnya itu dengan bibirnya sendiri dan menghisapnya pelan hingga tanpa sadar
Gwen mengerang. dan membuatnya melumat
bibir itu sekali dengan kurang ajarnya.
“Gitu dong, Gwen... pasrah aja. Nikmatin semuanya...,”
kata Jo melepas ciumannya dan berbisik di depan bibirnya sendiri dengan nada
penuh nafsu yang menggebu – gebu. Melihat Gwen pasrah, dia menggigit bibir
bawahnya dengan keras dan membuat gadis itu menjerit lemah.
Gwen merasa tamat riwayatnya sekarang. Membiarkan dirinya
disentuh dua kali dengan kurang ajar oleh Jo yang sekarang menyentuh seluruh
tubuhnya sekali lagi dengan tangannya. Dia sungguh ingin berteriak, tapi
suaranya hilang. Yang ada hanya erangan tanpa makna ketika tangan Jo menyentuh
lehernya dan dia merasakan wajah Jo menunduk lalu menggigit lehernya dengan
agak keras. Membuatnya serasa ingin luruh saat itu juga.
Kedua matanya yang asalnya tertutup pasrah, kini terbuka ketika
mendengar suara meja didorong kasar hingga terdengar menakutkan. Matanya melotot
ketika Jo ditarik menjauh oleh seseorang dari belakang lalu orang itu
menghajarnya membabi buta. Mengeluarkan sumpah serapah. Gwen terbelalak ketika
orang itu menoleh cemas ke arahnya lalu menarik kerah baju Jo dan membanting
tubuh cowok ke lantai tanpa ampun dengan amarah tak tanggung – tanggung.
Seketika itu juga dia tau siapa yang menyelamatkannya
sekali lagi.
Andrew.
♥
♥
Andrew
melampiaskan semua rasa frustasinya dengan menghajar Jo yang sudah tak punya
tenaga lagi untuk menyerangnya. Frustasi karna ketika dia kerumah Gwen untuk
pergi menjemputnya ke sekolah, yang dia dapatkan adalah Gwen pergi duluan
tanpanya. Membuat dirinya langsung tak enak dan membawa motornya dengan
kecepatan gila – gilaan.
Seketika
sampai di kelas setengah berlari karna hatinya semakin menjerit, dia melihat
kejadian itu sekali lagi. Kejadian yang membuatnya kalap dan menarik Jo dari
tubuh Gwen dan menghajarnya brutal.
Jo
terkekeh geli sambil menyeka darah yang menetes di bawah bibirnya. Baginya,
pukulan Andrew tak sebanding dengan kenikmatan ciuman kedua kalinya dengan Gwen
yang membeku di sudut sana. Dia menatap Andrew yang siap membunuhnya dengan
tatapan meremehkan.
Tatapan
Jo membuatnya semakin kalap. Dia memegang leher Jo kemudian mencekiknya hingga
seringai kepuasan itu berubah menjadi sesak napas.
“Gue...
bakal... bunuh... lo! Gue... bakal... bikin... lo... ngerasain... siksaan...
neraka... saat... ini... juga...,” ucap Andrew dengan penekanan kata pada
setiap ucapannya. Emosinya sudah mencapai ubun-ubun. “BANGSAT!”
“Silahkan,” balas Jo disela napasnya yang mulai habis.
Tapi senyum jahat itu hadir lagi membuatnya serasa ingin merobek wajah Jo
menjadi dua. “Balasan dari gue akan jauh lebih menyakitkan, Ndrew. bukan dengan
permainan fisik seperti yang lo lakuin saat ini tapi,” Matanya melirik Gwen
yang memandangnya penuh ketakutan. Ketika tatapan mereka beradu, dia melempar
tatapan melecehkan. “gue akan membuat lo menderita sampai nyaris mati karena
gue akan mengambil apa yang gagal gue ambil malam itu!”
Andrew semakin tersulut emosi ketika melihat tatapan Jo
yang merendahkan Gwen dengan ancaman penuh penghinaan. Tanpa buang waktu, dia melepas
cekalan di lehernya dan menonjok keras wajah Jo hingga darah merembes keluar
dari hidung dan bibirnya. Tak puas, dia kembali menghadiahi sebuah pukulan
keras di wajah Jo hingga cowok itu meluruh tak berdaya. Dia melihat Jo
terengah-engah karena kebrutalannya dan mengusap darah yang keluar dari hidung
juga bibirnya dengan tenang. Seperti mengusap saos tomat yang tercecer. Matanya
menatap Andrew dengan tatapan menantang. Bibirnya menyunggingkan senyum
mengejek.
“Kalau sampai gue liat lo berani nyentuh Gwen lagi Jo. Menyentuh
Gwen walau hanya sehelai rambutpun,” Andrew menatap tajam Jo tepat di manik
mata. “Gue akan bunuh lo detik itu juga! Ingat itu!” Dia menunjuk wajah Jo
tepat di hidung dan berjalan ke arah Gwen yang masih diserang rasa ketakutan yang
amat sangat itu. tanpa mempedulikan Gwen mengernyit ketakutan melihatnya, dia
menarik tangan dingin gadis itu dan membawanya keluar kelas. Meninggalkan Jo yang
tertawa keras karena ucapan Andrew beberapa saat yang lalu.
“Gue bakal rebut sahabat lo itu, Ndrew...,” ucap Jo
dengan nada rendah dan berbahaya.
***
Kejadian tadi pagi membuat Gwen semakin trauma. Membuat
tak bisa jauh – jauh dari sisi Tiara. Yah, dia sengaja duduk dengan
Tiara karna ketakutan di dekat Andrew.
Tiara menatap iba pada Gwen yang asyik melirik semua
temannya satu persatu. Seolah menandai mana yang boleh didekati, dan mana yang
harus dijauhkan. Dia tau semuanya dari Andrew tentang percobaan perkosaan yang
hampir sukses dilakukan Jo kalau saja sahabatnya tak datang saat itu. membuatnya
kaget dan dendam setengah mati karena tak menyangka bahwa Gwen akan mengalami
peristiwa seperti itu.
Tiara melirik Gwen yang melirik semua murid laki-laki
dengan tatapan takut. Kemudian dirinya menoleh ke arah Andrew dan menghela
napas panjang. Kalau sahabatnya sedang ketakutan setengah mati, maka Andrew
kacau setengah mati melihat tingkah Gwen sekarang. Tiara bisa melihat Andrew
menatap sahabatnya penuh luka. Dia sangat paham bagaimana frustasinya Andrew
melihat Gwen yang tak bisa didekati karna ketakutan gadis itu
“Gwen...,” panggil Tiara pelan.
Gwen tersentak dan refleks menjauhkan tubuhnya. Tiara
mengerutkan kening dan menggenggam tangan Gwen yang gemetar.
“Gwen... ini gue, Tiara....”
Butuh beberapa detik untuk menyadarkan Gwen siapa disampingnya.
Dia mengerjapkan matanya dan tersenyum karna mengenali lalu mengangguk pelan. Tiara
ikut tersenyum meskipun hatinya sedih melihat perubahan sikap Gwen yang sangat
drastis. Tiara juga sudah mendengar dari Andrew perihal kejadian tadi pagi. Dan
saat ini, Jo sendiri menghilang entah kemana. Cowok itu tidak hadir didalam
kelas.
“Baguslah dia tak ada. Setidaknya gue butuh tenaga
cadangan untuk menghajarnya nanti.”
“Gue tau itu lo, Ta...,” ucapnya dengan nada lelah.
Kemudian, Gwen kembali fokis membaca kalimat yang tertulis rapih di hadapannya.
Tiara melirik sekilas ke arah Andrew dan mendapati cowok itu tersenyum pahit ke arahnya dan Gwen. Tanda
melihat semuanya.
Tiba – tiba tatapannya teralih ketika melihat seorang cowok
bertubuh tegap atletis sedang berdiri didepan pintu dan seisi kelas dengan
senyum ramah.
“Maaf... cari siapa, ya?” tanya Reinhard, ketua kelas
didalam kelas tersebut. Andrew fokus menatap murid baru itu dengan kening
berkerut. Dia penasaran.
“Oh... nggak cari siapa-siapa,” jawab laki-laki itu
dengan ramah. “Gue murid baru di kelas ini.”
“Murid baru?” tanya Reinhard lagi yang dijawab dengan
anggukan kepala oleh laki-laki itu. “Ya udah, masuk aja. Tuh, ada bangku kosong
di belakang Andrew. Salam kenal.” Reinhard menyalami tangannya dan anak baru
itu dengan senyum manis membalasnya uluran tangan itu tanpa ragu dan
mengucapkan terima kasih. Dan dia melihat Andrew, teman sebangkunya itu
melempar senyum sambil menepuk kursi kosong.
Langkahnya ringan menuju bangku yang ditunjuk, hingga tak
sengaja dia ditubruk Arny dari belakang dan tersandung kakinya hingga hampir
jatuh tersungkur kalau saja dia tak menarik lengannya. Mereka bertatapan.
“Sorry...,”
kata Arny dengan ekspresi menyesal. “Gue nggak sengaja.”
“No problem,”
jawabnyaseraya tersenyum dan menarik tangannya. “Kenalin, nama gue, Thomas
Falevi. Gue sering dipanggil Tom, sih. Kalau lo?”
“Arny.” Dia menyambut uluran tangan Arny dan menjabatnya
dengan ramah. “Arny Debora. Tapi panggil saja Arny.”
“Tom...,” Tiba – tiba dia mengulang namanya dan melepas
uluran tangannya dengan senyum geli. “Just
like my favorite cartoon. Tom and Jerry.”
“Oh ya?” tanya Tom antusias. “Sama. Gue juga suka sama
Tom and Jerry! Mungkin, kita jodoh.”
Senyum Tom merekah lebar ketika kalimat tanpa rencana itu
lolos dari bibirnya dan membuat Arny tertawa. Gadis itu sampai - sampai
menggelengkan kepalanya dan menepuk pundak Tom beberapa kali.
“Hari gini lo masih percaya sama yang begituan? Gue nggak
percaya sama yang begituan. Dari hal-hal yang kebetulan seperti itu. Kalau
misalkan lo satu hobby sama Reinhard, cowok yang tadi nanyain lo siapa, apa lo
masih bisa berpikir kalau lo dan Reinhard itu jodoh, Tom?” tanya Arny sambil
tersenyum geli. Tom hanya mengedikkan bahu dan menatap Arny dengan tatapan
ramah.
“It’s different...,”
balas Tom santai. Dia menilai bahwa Arny gadis yang baik dan ramah. Dia suka
dengan sifat Arny yang mudah bersosialisasi dengan orang baru.
“What kind of
different?” tanya Arny. “Tell me.”
“Reinhard itu cowok, sama seperti gue. Jadi, gue nggak
mungkin berjodoh sama Reinhard, meskipun gue mempunyai hobby yang sama dengan
dia. Berbeda kalau gue mempunyai hobby, selera musik, bacaan, dan lain
sebagainya, yang sama dengan lo. Itu baru dikatakan kalau kita jodoh. Karena lo
cewek, dan gue cowok.” Tom menyeringai puas dan melipat kedua tangannya di
depan dada ketika menyelesaikan argumennya. Menarik sekali. Di hari pertama dia
menjadi murid baru di sekolah ini, dia sudah harus berdebat dengan seorang
siswi di kelas barunya dengan tema yang klasik. Jodoh.
“Tetap aja, gue nggak percaya dengan hal-hal yang terjadi
secara kebetulan lalu disangkut-pautkan dengan kata jodoh. Bagi gue, jodoh itu
ditentukan oleh tangan sendiri. Kita mencarinya dan mempertahankannya ketika
kita sudah mendapatkannya. Lagipula, you’re
not my type. No offense, loh, ya... kalau lo berniat merayu gue barusan,
lebih baik lo kubur aja niat lo itu. Gue udah punya cowok yang gue taksir dan
gue sukai. Gue akan dapetin dia dan nggak akan pernah gue lepas.” Arny
tersenyum ketika wajah Andrew terbayang di otaknya. “By the way, nice to meet you, Tom.”
“Nice to meet you
too...,” balas Tom. “And for your
information, you’re not my type either.” Tom nyengir kuda lalu pergi ke
bangkunya yang bersebelahan dengan Andrew. Untuk sesaat, dia memperhatikan Tom
yang sekarang sudah duduk dan berkenalan dengan Andrew serta Roy. Gadis itu
menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis ketika tiba-tiba saja Tom menoleh
ke arahnya dan mengangkat sebelah tangannya, memberi sapaan. Dan dia spontan
membalasnya dengan senyum manis ketika tatapan matanya bersirobok dengan Andrew
yang meliriknya.
♥
♥
“Hai,”
Tom mendekati meja Gwen – Tiara dan mengulurkan tangannya. Dia mengajak semua
anak dikelas ini berkenalan dan bercakap – cakap sebentar. Hingga akhirnya
sampai dimeja mereka berdua ini, yang asyik sendiri hingga tak sadar dengan
kehadirannya.
“Hai
juga. Gue Tiara.” Dia tersenyum manis dan membalas uluran tangan Tom dan
tersenyum. Wajah yang tampan dan ramah, pikirnya. Hidungnya yang mancung, kulit
sawo matangnya terlihat eksotis untuk cowok sepertinya, tatapan mata coklatnya
lembut dengan alis tebal memanjang menaunginya, bulu matanya terlihat lentik
dan panjang, serta senyumnya yang memikat membuat cowok didepannya ini sempurna
fisiknya.
“Walau
tak sesempurna Roy.” Batinnya
berbisik dan dia mengiyakan penuh semangat dalam hati.
“Thomas
Palevi. Panggil saja Tom.” Dia tersenyum dan melepas uluran tangannya lalu
melirik Gwen yang asyik membaca buku. Seolah tak menyadari kehadirannya.
Atau
pura – pura tak sadar.
Dia
melihat gadis itu gemetar memegang buku. Matanya terus – menerus menatap isi
buku itu tanpa membalik halamannya. Entah karna gadis itu tipe lambat membaca
suatu buku atau karna alasan lain. dia tak tau.
Tapi
mencurigakan.
Dia
memutuskan mendekati Gwen dan mengulurkan tangannya di atas buku yang dibacanya.
Keningnya semakin berkerut semakin dalam ketika gadis itu terpaku menatap
tangannya yang terulur.
“Hai,
Gue Tom. Lo siapa?” Dia tersenyum ramah ketika gadis itu mendongkakkan wajah
dan menatapnya. Tak mengerti kenapa tatapan mata indahnya itu seperti
ketakutan. Seolah dia melihat hantu.
Tanpa membalas ulurannya. Dia mendengar suara bergetar itu menyebutkan nama. “Gwen.” Satu kalimat sepertinya sangat susah dikeluarkan oleh gadis itu. karna setelah menyebutkan nama, dia seperti mendesah lega.
Entah
apa yang membuatnya seperti ini, tau – tau dia mengambil tangan Gwen yang
mencengkram erat pinggiran buku itu dan menyalaminya. Membuat gadis itu melotot
kaget dan hendak menarik tangan yang dipegangnya. Tapi dia memegang kuat.
“Salam kenal, Gwen. Senang berkenalan dengan lo.” Dan dia langsung melepaskan
pegangan tangannya ketika keringat dingin membasahi telapak tangannya.
Gadis
ini ketakutan tanpa alasan yang jelas.
“Sorry. Cuma gue kadang gatal gitu kalau ada
ngajak kenalan ga balas rangkul tangan. Serasa ada yang kurang aja.” Dia
meminta maaf dan cewek itu hanya mengangguk saja tanpa melihat sekalipun
kearahnya.
Tepukan
di pundak sebelah kanan agak keras membuatnya menoleh ke belakang dan melihat
Andrew yang tersenyum samar. “Kenapa, Ndrew?”
“Bagaimana
kalau lo gue ajak keliling sekolah disini beserta ekskul yang ada? Siapa tau lo
tertarik untuk mengikuti salah satu.”
“Boleh
juga.” Dia tersenyum. Yah, setidaknya dia menemukan teman baik di hari pertama
sekolah. Teman sebangkunya yang tersenyum ke arahnya, namun tatapan matanya
tajam dan waspada. “Gue cabut dulu, Tiara, dan ... Gwen.” Ucapnya dan dia
melihat Gwen meliriknya takut dan tersenyum canggung.
Tanpa
disadarinya, Andrew melihat perubahan Gwen dengan sedih dan memutuskan untuk
menarik Tom keluar agar gadis itu tidak menunjukkan gelagat penolakan yang
semakin melebarkan jarak antara mereka.
♥
♥
“Gue
aneh.” Itu saja yang diucapkannya ketika dia memutuskan lari kerumah Tiara setelah
pulang sekolah untuk menenangkan pikiran. Dan dari tatapan Andrew yang sedih
semakin membuatnya tertekan.
“Aneh
bagaimana?” Tiara baru saja datang dengan membawa nampan berisi makanan dan
minuman dingin untuk sahabatnya yang terlihat seperti mengalami tekanan batin
yang luar biasa menyiksa.
“Gue
merasa merinding apabila didekati cowok dan rasanya ingin lari saja kalau dekat
dengan mereka. Oke, semua cowok tak segila Jo, tapi...” Dia terdiam dan sibuk membuat pola – pola
aneh di karpet Tiara dengan jemarinya. “Kenapa gue juga takut dengan Andrew?
Dia menolong gue, tapi.. gue takut setiap dia mendekati gue. Padahal otak gue tau,
dia bukan Jo. Tapi ketakutan ini membuat gue gila, Tiara. Belum lagi...” Dia
terdiam. ucapan cinta Andrew yang ternyata hanya lelucon belaka itu menyakiti
hatinya. “Dia bilang cinta sama gue beberapa hari lalu.”
Ucapan
Gwen membuatnya tersedak. Andrew menembak Gwen? Serius?!
“Serius
lo, Gwen? Terus, terus lo jawab apa? Iya, kan?”
Dia
bingung karna tau – tau Gwen memeluknya erat. Sangat erat hingga rasanya
menyakitkan. Dan dia bisa merasakan air mata Gwen membasahi bajunya sekarang.
“Dia bilang lelucon untuk membuat gue gak ketakutan lagi, Tiara. Dia bilang
gitu supaya gue bisa didekati dan kembali seperti dulu. Tanpa dia tau...” Dia
terisak sekarang karna hatinya sakit hingga ingin membelah diri menjadi dua.
“Dia
tak mencintai gue, Tiara. Dia hanya anggap gue sahabat dia. Itu aja. Dan bahkan
gue pikir. Dia nolong gue dua kali itu karna gue sahabat dia. Itu aja.” Ucapnya
lambat dan dia melepas pelukan Tiara lalu menatap sahabatnya pedih.
“Dia
takkan mencintai gue.” Ulangnya lagi membuat Tiara terdiam.
“Kenapa?”
“Karna...”
Dia terdiam. hatinya serasa ditusuk pecahan kaca ketika siang tadi dia melihat
Andrew dan Arny saling merangkul pundak dan tertawa bersama. Bahkan cewek itu
tak tanggung – tanggung mengacak rambut Andrew dan membiarkan rambutnya diacak
balik oleh cowok itu. tatapan mereka terasa lain. terasa...
Menusuknya
dari belakang.
“Dia
mencintai Arny, Tiara. Bukan gue. I’m invisible.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar