Minggu, 29 Desember 2013

Bestfriend?Hmmm.. Part 7 - Invisible



Author           :  Andini Ekaputri Nur’Aulia.
                        : Rere Nurlie.


Bestfriend? Hmm... Part 7

            Suara  tidak percaya keluar dari bibir Gwen membuat Andrew terdiam. membuatnya salah tingkah sekarang. Haruskah dia mengulangi ucapannya lagi? Agar Gwen, orang yang dianggapnya sahabat itu, mengetahui isi hatinya yang sebenarnya? Bahwa sebenarnya Andrew menyukai Gwen lebih dari sekedar sahabat?
            Mata besar yang tadinya menatap Andrew dengan sorot ketakutan itu, kini mulai berubah. Perlahan Gwen mulai mengenali sosok Andrew. Entah karena ucapannya beberapa saat yang lalu atau karena perasaan gadis itu sendiri yang mulai menyadari bahwa Andrew bukanlah orang jahat. Bahwa dia bukanlah Jo.
            What..., what did you say?” tanya Gwen terbata. Dia ingin memastikan bahwa pendengarannya barusan tidak salah. Bahwa Andrew memang mengatakan hal yang paling dia ingin dengar beberapa hari ini.
            Andrew semakin salah tingkah. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Matanya melirik Gwen yang menatapnya dengan sorot seolah mengatakan “Cepet jawab pertanyaan gue, Andrew!” membuatnya menghela napas dan...
           
            Tiba – tiba dia tertawa keras. Tawa yang sangat keras sampai – sampai tubuhnya terguncang hebat. Membuat Gwen terlonjak karena kaget. Gadis itu langsung mengerutkan keningnya dan menyipitkan mata ketika melihat cowok di depannya itu tertawa entah karena alasan apa. Membuat Gwen yang tadinya menangis ketakutan, seketika berhenti.
           
            See? Gue berhasil, kan, bikin lo berhenti nangis ketakutan? Ucapan gue barusan benar-benar ampuh, kan, sampai bikin lo melongo kayak tadi?” tanya Andrew disela tawanya. “Gue lega banget bisa bikin lo berhenti nangis dan bingung karena ucapan gue tadi, Gwen...” Dia terdiam untuk mengambil napas dan melirik Gwen yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca. “Karena, gue gak tau harus dengan cara apa lagi buat lo berhenti nangis natap gue seolah-olah gue si bajingan keparat itu!”

PRANG!

Hatinya berdenyut sakit.

Yah, bodoh sekali gue percaya dengan lelucon gak laku itu. Andrew gak mungkin, sama sekali gak mungkin suka sama gue.” Batinnya sakit dalam hati. Sakit karna ucapan yang dia nantikan, terwujud dalam bentuk lelucon semata. Lelucon yang sukses membuat harapannya terbang ke langit ketujuh sebelum jatuh ke lautan tanpa ampun. Kalau Andrew bertanya apakah leluconnya itu sempurna untuk membuatnya tersenyum. Dia akan mengangguk membenarkan.

Sempurna menyakiti hati gue dan membuat gue merasa cewek paling tolol sedunia dan tersenyum paling pilu.

“Gwen?”
Gwen tersentak saat melihat Andrew menggoyangkan tangannya di depan wajahnya. cowok itu terlihat cemas dan khawatir. Kemudian, dengan seulas senyum tipis, Gwen menatap Andrew dengan sorot berterima kasih sekaligus sorot penuh ...

Luka.

“Gue udah nggak apa-apa, Ndrew... makasih udah ada di samping gue disaat gue seperti ini.” Gwen berkata dengan nada lelah lalu spontan mengikuti keinginan hatinya yang masih sakit, dia  menjauhkan dirinya dari Andrew, ketika cowok itu mengulurkan tangannya. Ingin menyentuhnya.
“Gwen?” Andrew mengerutkan kening saat uluran tangannya malah membuat Gwen menjauhinya. Membuatnya kembali diserang kebingungan yang teramat besar saat melihat Gwen menolak tanpa kentara untuk berdekatan dengannya. Entah kenapa, membuatnya tak rela diperlakukan seperti orang asing yang berniat jahat.

“Gwen, lo... beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Andrew cemas. Sejujurnya, sikap Gwen saat ini benar-benar membuat Andrew frustasi. Gadis itu seolah menjauhinya, menyamakannya dengan Jo yang berniat jahat padanya.

I’m okay...,” jawab Gwen dengan nada pelan. Gadis itu menolak untuk melakukan kontak mata dengan Andrew dan memilih menatap jempol kedua kakinya yang bergerak – gerak. Sikap tubuh Gwen yang gelisah membuat Andrew yakin bahwa Gwen jauh dari kata baik-baik saja. “You don’t have to worry, Gwen.”
“Dan lo juga tak ada hak untuk khawatirin gue, Andrew. Please, pergi. gue ingin sendiri!” Hatinya berteriak mengusir Andrew yang menatapnya. Tapi mulutnya terlalu kelu untuk mengucapkan. Dia tak sanggup.
Selama beberapa detik lamanya, yang dilakukannya hanyalah diam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Andrew terus menatap ke arah Gwen, sementara gadis itu sibuk menghindari tatapan Andrew dan memperhatikan kedua kakinya. Ketika merasa ada gerakan sangat, sangat, sangat perlahan, spontan Gwen langsung refleks mundur ke belakang dan membentur pinggiran meja belajarnya. Tatapan mereka beradu. Yang satu menatapnya penuh frustasi karna sifatnya yang keterlaluan, dan dia sendiri, entahlah. Seperti kelinci terperangkap di kandang ular.

Andrew terhenyak gerakan Gwen yang refleks menjauhinya Dan gerakan itu menyakitinya tanpa ampun. Mengoyak hatinya menjadi dua dengan kasar. Benar-benar membuatnya merasa kehilangan sosok Gwen yang dikenal.

“Mmm... Ndrew... gue laper. Lo bawa makanan, kan, tadi?”  Suara Gwen yang gugup dan sorot mata ketakutan ketika mereka bertatapan sekali lagi, membuatnya tersadar dari lamunan dan menghela napas panjang. Mati – matian dia menahan diri agar tidak menarik kasar Gwen kemudian memeluknya hingga remuk sambil meyakinkannya bahwa dia adalah Andrew! Bukan Jo si keparat itu dan berbisik lembut di telinganya yang mungil bahwa dia tak suka, dan tak sudi dperlakukan seperti Jo. Ingin hatinya berkata bahwa dia takkan mungkin menyakiti hatinya. jika gadis itu bertanya, mungkin ...

Karena dia, mencintai gadis itu.

Yah. Pada akhirnya,  dia mencintai Gwen, sahabatnya sendiri. tapi kalau ditanya kenapa dia selalu mengingkarinya,

Dia takut kehilangan Gwen yang mungkin, sudah nyaman dengan kondisi seperti ini dan memutuskan untuk memilih persahabatan saja. Karna hanya cara inilah dia bisa mencintainya.

Andrew mengangguk dan tersenyum. “Iya. Yuk,” ajaknya sambil mengulurkan tangan ke arah Gwen. Namun gadis itu hanya menatap tangannya yang terulur dengan tatapan sangsi. Hatinya menyuruh untuk menyambut uluran tangan itu dan menggenggamnya erat. Tapi dia takut. Tangannya terlalu gemetar untuk melakukannya. Dia tak berani.
Helaan napas Andrew membuat Gwen mendongak dari tatapan tangan Andrew dan cowok itu menatapnya dengan senyum paling getir yang pernah di lihatnya. Dengan pelan, Andrew menarik uluran tangannya. Dan seketika, perasaan penyesalan itu menyerang batinnya.

Kenapa lo tarik? Gue pengen menyambut uluran tangan lo dan menggenggam erat. Karna gue takut jatuh.

 “Nggak apa-apa kalau lo nggak mau menyambut uluran tangan gue. Nggak apa-apa kalau lo menjadi sedikit takut sama gue atau sama laki-laki manapun karena ulah bejat Jo. Tapi, satu hal yang harus lo ingat didalam benak dan hati lo, Gwen.”
Senyuman dan tatapan lembut Andrew seakan menyihir Gwen. Dia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari cowok yang berdiri di depannya sekarang. Namun, entah apa, dia refleks memundurkan tubuhnya lagi saat Andrew mencoba mendekatinya. Tapi, kali ini keberuntungan tak berpihak padanya. Tak sadar kaki kirinya menyentuh kain licin yang ada di kamarnya, membuat keseimbangan tubuhnya goyang dan hampir terjatuh kalau saja Andrew tak melingkarkan tangannya di pinggangnya lalu menariknya hingga mereka berpelukan. Tangan Andrew yang kokoh dan hangat itu memeluk pinggangnya, seolah melindunginya, seolah memberinya kekuatan. Dan dia bisa merasakan detak jantung Andrew seolah menyentuh pipinya.
Andrew seperti memeluk patung. Gwen membeku di pelukannya. Dia bisa merasakan tubuh Gwen terlalu gemetar untuk bereaksi sedikit gerakan. Dia bisa merasakan wajah mulus Gwen menyentuh dadanya, membuat jantungnya semakin berdegup kencang, hela napasnya yang lembut bercampur ketakutan untuk menjauhkan diri sangat kental. Membuatnya mendesah dan menatap Gwen yang rupanya, sejak daritadi menatapnya dengan tatapan ketakutan. Seperti kelinci terperangkap. Kenyataan ini membuatnya tersenyum miris.
“Gwen,” Dia memperketat pelukannya dan bisa merasakan penolakan lemah Gwen untuk menjauh. Namun dia tak peduli. Dia ingin memeluk tubuh langsing itu selama dia  ingin, menghirup aroma tubuhnya yang khas, dan harum rambutnya yang enak. Dia tak ingin melepasnya.

Dan tak akan melepasnya. Sampai kapanpun.

I am not him... and, i’m not gonna hurt you.”


***


            Keesokan harinya, Gwen memberanikan diri untuk masuk sekolah. Dia sengaja berangkat sangat pagi sekali. Dia melakukannya untuk menghindari Andrew yang berjanji akan menjemputnya. Cowok itu sendiri yang mengatakannya kemarin. Untuk saat ini, Dia belum siap berinteraksi dengan laki-laki manapun, termasuk dengan sahabatnya sendiri. Kejadian waktu itu benar-benar membekas dalam memorinya, mengalahkan akal sehatnya dan membuatnya selalu diserang ketakutan berlebihan.

            Yes...” Bisiknya puas karna bisa ke sekolah dengan selamat dan tak bertemu satu makhluk Adam pun yang membuatnya tanpa sadar mengerut ketakutan. Dengan ringan dia masuk kelas dan seketika terpaku di ambang pintu. dia merasakan suhu tubuhnya dingin seketika.

            Dia melihat Jo. Seseorang yang sudah membuatnya ketakutan setengah mati, nyaris merebut apa yang paling berharga dalam dirinya, ternyata sudah berada didalam kelas, duduk dengan santai dengan satu kaki di atas meja sambil membaca buku. Menyadari siapa yang datang, senyumnya muncul.
            Di matanya, Gwen seperti kelinci kecil yang shock karna masuk kandang Singa kelaparan seperti dirinya. membuatnya tertawa riang dan tanpa sadar menyeringai licik ketika dilihatnya, ekspresi Gwen langsung kaku.
            Good morning, Sunshine...,” sapa Jo dengan nada menggoda. Dengan santai dia meletakkan buku setebal kamus di atas meja, lalu menurunkan kakinya dan melangkah pelan sambil bersiul ke arah Gwen yang seperti manekin di ambang pintu. Keterdiaman Gwen membuat batinnya menari – nari kegirangan.
           
            “Run, Gwen! Run!” Batinnya berteriak menyuruhnya lari. Tapi dia tak bisa. kakinya serasa menempel kuat di lantai, syaraf – syarafnya seolah membeku karna tatapan Jo yang menusuk dan langkahnya yang semakin mendekat ke arahnya berdiri sekarang, membuatnya tanpa sadar menggigil ketakutan. Saking takutnya, dia merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya dengan deras.

            “Gue kangen sama lo, nih,” ucapan Jo membuatnya semakin ketakutan saja. Cowok itu bahkan sengaja memperlambat langkahnya agar menciptakan suasana dramatis antara mereka. Bahkan dia melihat seringai licik semakin jelas di wajah tampannya itu. kontras dengan wajahnya yang setegang patung. “Udah dua hari lo nggak masuk. Dan selama dua hari itu pula, gue harus menerima tatapan membunuh yang dilayangkan oleh sahabat tercinta lo itu. Hmm...” Dia berada di depan Gwen sekarang. Menikmati ekspresi ketakutan setengah mati dan sorot matanya yang ingin melarikan diri tapi tak bisa.  “Coba waktu itu si brengsek Andrew nggak datang, pasti gue udah berhasil mendapatkan tubuh lo, ya? Harus gue akui, bibir lo emang nggak ada duanya. Sweet like candy, beib.

            Bisikan Jo di telinganya seperti nyanyian petaka bagi dirinya. tersadar karna jarak semakin menipis, Gwen langsung membalikkan badannya, bersiap untuk lari. Namun terlambat.
           
            Jo yang menyadari mangsanya ingin kabur, langsung menarik kasar lengannya dan mendorongnya begitu saja ke dinding hingga terdengar bunyi benturan keras. Yah, Dia sengaja membenturkan kepala Gwen ke dinding karna sangat menikmati wajah yang membuatnya tak bisa tidur itu penuh ketakutan dan sakit karna perbuatannya. Dia tersenyum licik ketika kedua tangannya merentang kokoh seperti penjara untuk menutup akses Gwen melarikan diri.
            Gwen ketakutan sekarang. Sakit karna benturan tidak sebanding dengan ketakutannya sekarang. Otaknya mati karna ketakutan yang menggila. Dia melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul 06.30, dia sadar takkan ada satupun yang datang. kalaupun ada, belum tentu melewati kelasnya yang berada paling pojok lantai dua.
            “Ayo Gwen lakukan sesuatu! Lakukan sesuatu!” Batinnya berteriak frustasi sekarang. Dia ingin berteriak, tapi suaranya ntah raib kemana. Kalaupun bisa juga percuma karna takkan ada yang mendengar.
            “Tendang saja kakinya atau dimana saja, Gwen!” Batinnya berteriak memberikan ide untuk segera dilakukan. Tapi kakinya berubah menjadi batu. Serasa berat untuk digerakkan. Serasa susah untuk melakukan. Mati otaknya, lumpuh kakinya.
            Dia semakin menggigil ketika tangan Jo mengelus pipi kanannya dengan gerakan berulang – berulang dan tatapan tajamnya seakan mengeksploitasi wajahnya.    
            “Jo... sing..singkirin tangan lo..” Decitnya lemah meminta Jo menjauhkan tangannya. Tangannya berusaha menjauhkan tangan Jo. Tapi Jo langsung menangkap tangannya dan mengurungnya di belakang punggung dengan kuat. Seperti tertancap paku.
            Jo semakin puas melihat Gwen bergetar hebat dibawah kuasanya. Tangan yang direntangkannya kini mengelus pipinya. Merasakan getar hebat ketika sentuhannya memberikan efek kengerian bagi Gwen. Sampai tangannya mengelus bibir Gwen yang gemetar. Bibir yang menggodanya sejak pertama kali bertemu. Dan bibir yang membuatnya selalu ingin, ingin mengecupnya lagi, memberikannya sensasi ketagihan seperti narkoba. Jari jempolnya menekan lembut bibir bawah Gwen lalu melepasnya dan dia menundukkan wajahnya kemudian menarik bibir bawahnya itu dengan bibirnya sendiri dan menghisapnya pelan hingga tanpa sadar Gwen mengerang.  dan membuatnya melumat bibir itu sekali dengan kurang ajarnya.  
            “Gitu dong, Gwen... pasrah aja. Nikmatin semuanya...,” kata Jo melepas ciumannya dan berbisik di depan bibirnya sendiri dengan nada penuh nafsu yang menggebu – gebu. Melihat Gwen pasrah, dia menggigit bibir bawahnya dengan keras dan membuat gadis itu menjerit lemah.

            Gwen merasa tamat riwayatnya sekarang. Membiarkan dirinya disentuh dua kali dengan kurang ajar oleh Jo yang sekarang menyentuh seluruh tubuhnya sekali lagi dengan tangannya. Dia sungguh ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Yang ada hanya erangan tanpa makna ketika tangan Jo menyentuh lehernya dan dia merasakan wajah Jo menunduk lalu menggigit lehernya dengan agak keras. Membuatnya serasa ingin luruh saat itu juga.
           
            Kedua matanya yang asalnya tertutup pasrah, kini terbuka ketika mendengar suara meja didorong kasar hingga terdengar menakutkan. Matanya melotot ketika Jo ditarik menjauh oleh seseorang dari belakang lalu orang itu menghajarnya membabi buta. Mengeluarkan sumpah serapah. Gwen terbelalak ketika orang itu menoleh cemas ke arahnya lalu menarik kerah baju Jo dan membanting tubuh cowok ke lantai tanpa ampun dengan amarah tak tanggung – tanggung.
           
            Seketika itu juga dia tau siapa yang menyelamatkannya sekali lagi.

            Andrew.

♥ ♥

            Andrew melampiaskan semua rasa frustasinya dengan menghajar Jo yang sudah tak punya tenaga lagi untuk menyerangnya. Frustasi karna ketika dia kerumah Gwen untuk pergi menjemputnya ke sekolah, yang dia dapatkan adalah Gwen pergi duluan tanpanya. Membuat dirinya langsung tak enak dan membawa motornya dengan kecepatan gila – gilaan.
            Seketika sampai di kelas setengah berlari karna hatinya semakin menjerit, dia melihat kejadian itu sekali lagi. Kejadian yang membuatnya kalap dan menarik Jo dari tubuh Gwen dan menghajarnya brutal.
            Jo terkekeh geli sambil menyeka darah yang menetes di bawah bibirnya. Baginya, pukulan Andrew tak sebanding dengan kenikmatan ciuman kedua kalinya dengan Gwen yang membeku di sudut sana. Dia menatap Andrew yang siap membunuhnya dengan tatapan meremehkan.
            Tatapan Jo membuatnya semakin kalap. Dia memegang leher Jo kemudian mencekiknya hingga seringai kepuasan itu berubah menjadi sesak napas.
            “Gue... bakal... bunuh... lo! Gue... bakal... bikin... lo... ngerasain... siksaan... neraka... saat... ini... juga...,” ucap Andrew dengan penekanan kata pada setiap ucapannya. Emosinya sudah mencapai ubun-ubun. “BANGSAT!”
           
            “Silahkan,” balas Jo disela napasnya yang mulai habis. Tapi senyum jahat itu hadir lagi membuatnya serasa ingin merobek wajah Jo menjadi dua. “Balasan dari gue akan jauh lebih menyakitkan, Ndrew. bukan dengan permainan fisik seperti yang lo lakuin saat ini tapi,” Matanya melirik Gwen yang memandangnya penuh ketakutan. Ketika tatapan mereka beradu, dia melempar tatapan melecehkan. “gue akan membuat lo menderita sampai nyaris mati karena gue akan mengambil apa yang gagal gue ambil malam itu!”
            Andrew semakin tersulut emosi ketika melihat tatapan Jo yang merendahkan Gwen dengan ancaman penuh penghinaan. Tanpa buang waktu, dia melepas cekalan di lehernya dan menonjok keras wajah Jo hingga darah merembes keluar dari hidung dan bibirnya. Tak puas, dia kembali menghadiahi sebuah pukulan keras di wajah Jo hingga cowok itu meluruh tak berdaya. Dia melihat Jo terengah-engah karena kebrutalannya dan mengusap darah yang keluar dari hidung juga bibirnya dengan tenang. Seperti mengusap saos tomat yang tercecer. Matanya menatap Andrew dengan tatapan menantang. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
           
            “Kalau sampai gue liat lo berani nyentuh Gwen lagi Jo. Menyentuh Gwen walau hanya sehelai rambutpun,” Andrew menatap tajam Jo tepat di manik mata. “Gue akan bunuh lo detik itu juga! Ingat itu!” Dia menunjuk wajah Jo tepat di hidung dan berjalan ke arah Gwen yang masih diserang rasa ketakutan yang amat sangat itu. tanpa mempedulikan Gwen mengernyit ketakutan melihatnya, dia menarik tangan dingin gadis itu dan membawanya keluar kelas. Meninggalkan Jo yang tertawa keras karena ucapan Andrew beberapa saat yang lalu.
            “Gue bakal rebut sahabat lo itu, Ndrew...,” ucap Jo dengan nada rendah dan berbahaya.


***


            Kejadian tadi pagi membuat Gwen semakin trauma. Membuat tak bisa jauh – jauh dari sisi Tiara. Yah, dia sengaja duduk dengan Tiara karna ketakutan di dekat Andrew.
            Tiara menatap iba pada Gwen yang asyik melirik semua temannya satu persatu. Seolah menandai mana yang boleh didekati, dan mana yang harus dijauhkan. Dia tau semuanya dari Andrew tentang percobaan perkosaan yang hampir sukses dilakukan Jo kalau saja sahabatnya tak datang saat itu. membuatnya kaget dan dendam setengah mati karena tak menyangka bahwa Gwen akan mengalami peristiwa seperti itu.
           
            Tiara melirik Gwen yang melirik semua murid laki-laki dengan tatapan takut. Kemudian dirinya menoleh ke arah Andrew dan menghela napas panjang. Kalau sahabatnya sedang ketakutan setengah mati, maka Andrew kacau setengah mati melihat tingkah Gwen sekarang. Tiara bisa melihat Andrew menatap sahabatnya penuh luka. Dia sangat paham bagaimana frustasinya Andrew melihat Gwen yang tak bisa didekati karna ketakutan gadis itu
            “Gwen...,” panggil Tiara pelan.
            Gwen tersentak dan refleks menjauhkan tubuhnya. Tiara mengerutkan kening dan menggenggam tangan Gwen yang gemetar.
            “Gwen... ini gue, Tiara....”
            Butuh beberapa detik untuk menyadarkan Gwen siapa disampingnya. Dia mengerjapkan matanya dan tersenyum karna mengenali lalu mengangguk pelan. Tiara ikut tersenyum meskipun hatinya sedih melihat perubahan sikap Gwen yang sangat drastis. Tiara juga sudah mendengar dari Andrew perihal kejadian tadi pagi. Dan saat ini, Jo sendiri menghilang entah kemana. Cowok itu tidak hadir didalam kelas.
           
            “Baguslah dia tak ada. Setidaknya gue butuh tenaga cadangan untuk menghajarnya nanti.”

            “Gue tau itu lo, Ta...,” ucapnya dengan nada lelah. Kemudian, Gwen kembali fokis membaca kalimat yang tertulis rapih di hadapannya. Tiara melirik sekilas ke arah Andrew dan mendapati cowok itu  tersenyum pahit ke arahnya dan Gwen. Tanda melihat semuanya.

            Tiba – tiba tatapannya teralih ketika melihat seorang cowok bertubuh tegap atletis sedang berdiri didepan pintu dan seisi kelas dengan senyum ramah.
            “Maaf... cari siapa, ya?” tanya Reinhard, ketua kelas didalam kelas tersebut. Andrew fokus menatap murid baru itu dengan kening berkerut. Dia penasaran.
            “Oh... nggak cari siapa-siapa,” jawab laki-laki itu dengan ramah. “Gue murid baru di kelas ini.”
            “Murid baru?” tanya Reinhard lagi yang dijawab dengan anggukan kepala oleh laki-laki itu. “Ya udah, masuk aja. Tuh, ada bangku kosong di belakang Andrew. Salam kenal.” Reinhard menyalami tangannya dan anak baru itu dengan senyum manis membalasnya uluran tangan itu tanpa ragu dan mengucapkan terima kasih. Dan dia melihat Andrew, teman sebangkunya itu melempar senyum sambil menepuk kursi kosong.
            Langkahnya ringan menuju bangku yang ditunjuk, hingga tak sengaja dia ditubruk Arny dari belakang dan tersandung kakinya hingga hampir jatuh tersungkur kalau saja dia tak menarik lengannya. Mereka bertatapan.
            Sorry...,” kata Arny dengan ekspresi menyesal. “Gue nggak sengaja.”
            No problem,” jawabnyaseraya tersenyum dan menarik tangannya. “Kenalin, nama gue, Thomas Falevi. Gue sering dipanggil Tom, sih. Kalau lo?”
            “Arny.” Dia menyambut uluran tangan Arny dan menjabatnya dengan ramah. “Arny Debora. Tapi panggil saja Arny.”
            “Tom...,” Tiba – tiba dia mengulang namanya dan melepas uluran tangannya dengan senyum geli. “Just like my favorite cartoon. Tom and Jerry.”
            “Oh ya?” tanya Tom antusias. “Sama. Gue juga suka sama Tom and Jerry! Mungkin, kita jodoh.”
            Senyum Tom merekah lebar ketika kalimat tanpa rencana itu lolos dari bibirnya dan membuat Arny tertawa. Gadis itu sampai - sampai menggelengkan kepalanya dan menepuk pundak Tom beberapa kali.
            “Hari gini lo masih percaya sama yang begituan? Gue nggak percaya sama yang begituan. Dari hal-hal yang kebetulan seperti itu. Kalau misalkan lo satu hobby sama Reinhard, cowok yang tadi nanyain lo siapa, apa lo masih bisa berpikir kalau lo dan Reinhard itu jodoh, Tom?” tanya Arny sambil tersenyum geli. Tom hanya mengedikkan bahu dan menatap Arny dengan tatapan ramah.
            It’s different...,” balas Tom santai. Dia menilai bahwa Arny gadis yang baik dan ramah. Dia suka dengan sifat Arny yang mudah bersosialisasi dengan orang baru.
            What kind of different?” tanya Arny. “Tell me.”
            “Reinhard itu cowok, sama seperti gue. Jadi, gue nggak mungkin berjodoh sama Reinhard, meskipun gue mempunyai hobby yang sama dengan dia. Berbeda kalau gue mempunyai hobby, selera musik, bacaan, dan lain sebagainya, yang sama dengan lo. Itu baru dikatakan kalau kita jodoh. Karena lo cewek, dan gue cowok.” Tom menyeringai puas dan melipat kedua tangannya di depan dada ketika menyelesaikan argumennya. Menarik sekali. Di hari pertama dia menjadi murid baru di sekolah ini, dia sudah harus berdebat dengan seorang siswi di kelas barunya dengan tema yang klasik. Jodoh.
            “Tetap aja, gue nggak percaya dengan hal-hal yang terjadi secara kebetulan lalu disangkut-pautkan dengan kata jodoh. Bagi gue, jodoh itu ditentukan oleh tangan sendiri. Kita mencarinya dan mempertahankannya ketika kita sudah mendapatkannya. Lagipula, you’re not my type. No offense, loh, ya... kalau lo berniat merayu gue barusan, lebih baik lo kubur aja niat lo itu. Gue udah punya cowok yang gue taksir dan gue sukai. Gue akan dapetin dia dan nggak akan pernah gue lepas.” Arny tersenyum ketika wajah Andrew terbayang di otaknya. “By the way, nice to meet you, Tom.”
            Nice to meet you too...,” balas Tom. “And for your information, you’re not my type either.” Tom nyengir kuda lalu pergi ke bangkunya yang bersebelahan dengan Andrew. Untuk sesaat, dia memperhatikan Tom yang sekarang sudah duduk dan berkenalan dengan Andrew serta Roy. Gadis itu menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis ketika tiba-tiba saja Tom menoleh ke arahnya dan mengangkat sebelah tangannya, memberi sapaan. Dan dia spontan membalasnya dengan senyum manis ketika tatapan matanya bersirobok dengan Andrew yang meliriknya.


♥ ♥

            “Hai,” Tom mendekati meja Gwen – Tiara dan mengulurkan tangannya. Dia mengajak semua anak dikelas ini berkenalan dan bercakap – cakap sebentar. Hingga akhirnya sampai dimeja mereka berdua ini, yang asyik sendiri hingga tak sadar dengan kehadirannya.
            “Hai juga. Gue Tiara.” Dia tersenyum manis dan membalas uluran tangan Tom dan tersenyum. Wajah yang tampan dan ramah, pikirnya. Hidungnya yang mancung, kulit sawo matangnya terlihat eksotis untuk cowok sepertinya, tatapan mata coklatnya lembut dengan alis tebal memanjang menaunginya, bulu matanya terlihat lentik dan panjang, serta senyumnya yang memikat membuat cowok didepannya ini sempurna fisiknya.

            Walau tak sesempurna Roy.”  Batinnya berbisik dan dia mengiyakan penuh semangat dalam hati.

            “Thomas Palevi. Panggil saja Tom.” Dia tersenyum dan melepas uluran tangannya lalu melirik Gwen yang asyik membaca buku. Seolah tak menyadari kehadirannya.

            Atau pura – pura tak sadar.

            Dia melihat gadis itu gemetar memegang buku. Matanya terus – menerus menatap isi buku itu tanpa membalik halamannya. Entah karna gadis itu tipe lambat membaca suatu buku atau karna alasan lain. dia tak tau.

            Tapi mencurigakan.
           
            Dia memutuskan mendekati Gwen dan mengulurkan tangannya di atas buku yang dibacanya. Keningnya semakin berkerut semakin dalam ketika gadis itu terpaku menatap tangannya yang terulur.
            “Hai, Gue Tom. Lo siapa?” Dia tersenyum ramah ketika gadis itu mendongkakkan wajah dan menatapnya. Tak mengerti kenapa tatapan mata indahnya itu seperti ketakutan. Seolah dia melihat hantu.
           
            Tanpa membalas ulurannya. Dia mendengar suara bergetar itu menyebutkan nama. “Gwen.” Satu kalimat sepertinya sangat susah dikeluarkan oleh gadis itu. karna setelah menyebutkan nama, dia seperti mendesah lega.
            Entah apa yang membuatnya seperti ini, tau – tau dia mengambil tangan Gwen yang mencengkram erat pinggiran buku itu dan menyalaminya. Membuat gadis itu melotot kaget dan hendak menarik tangan yang dipegangnya. Tapi dia memegang kuat. “Salam kenal, Gwen. Senang berkenalan dengan lo.” Dan dia langsung melepaskan pegangan tangannya ketika keringat dingin membasahi telapak tangannya.

            Gadis ini ketakutan tanpa alasan yang jelas.

Sorry. Cuma gue kadang gatal gitu kalau ada ngajak kenalan ga balas rangkul tangan. Serasa ada yang kurang aja.” Dia meminta maaf dan cewek itu hanya mengangguk saja tanpa melihat sekalipun kearahnya.
            Tepukan di pundak sebelah kanan agak keras membuatnya menoleh ke belakang dan melihat Andrew yang tersenyum samar. “Kenapa, Ndrew?”
            “Bagaimana kalau lo gue ajak keliling sekolah disini beserta ekskul yang ada? Siapa tau lo tertarik untuk mengikuti salah satu.”
            “Boleh juga.” Dia tersenyum. Yah, setidaknya dia menemukan teman baik di hari pertama sekolah. Teman sebangkunya yang tersenyum ke arahnya, namun tatapan matanya tajam dan waspada. “Gue cabut dulu, Tiara, dan ... Gwen.” Ucapnya dan dia melihat Gwen meliriknya takut dan tersenyum canggung.

            Tanpa disadarinya, Andrew melihat perubahan Gwen dengan sedih dan memutuskan untuk menarik Tom keluar agar gadis itu tidak menunjukkan gelagat penolakan yang semakin melebarkan jarak antara mereka.


♥ ♥

            “Gue aneh.” Itu saja yang diucapkannya ketika dia memutuskan lari kerumah Tiara setelah pulang sekolah untuk menenangkan pikiran. Dan dari tatapan Andrew yang sedih semakin membuatnya tertekan.

            “Aneh bagaimana?” Tiara baru saja datang dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman dingin untuk sahabatnya yang terlihat seperti mengalami tekanan batin yang luar biasa menyiksa.
            “Gue merasa merinding apabila didekati cowok dan rasanya ingin lari saja kalau dekat dengan mereka. Oke, semua cowok tak segila Jo, tapi...”  Dia terdiam dan sibuk membuat pola – pola aneh di karpet Tiara dengan jemarinya. “Kenapa gue juga takut dengan Andrew? Dia menolong gue, tapi.. gue takut setiap dia mendekati gue. Padahal otak gue tau, dia bukan Jo. Tapi ketakutan ini membuat gue gila, Tiara. Belum lagi...” Dia terdiam. ucapan cinta Andrew yang ternyata hanya lelucon belaka itu menyakiti hatinya. “Dia bilang cinta sama gue beberapa hari lalu.”

            Ucapan Gwen membuatnya tersedak. Andrew menembak Gwen? Serius?!
            “Serius lo, Gwen? Terus, terus lo jawab apa? Iya, kan?”

            Dia bingung karna tau – tau Gwen memeluknya erat. Sangat erat hingga rasanya menyakitkan. Dan dia bisa merasakan air mata Gwen membasahi bajunya sekarang. “Dia bilang lelucon untuk membuat gue gak ketakutan lagi, Tiara. Dia bilang gitu supaya gue bisa didekati dan kembali seperti dulu. Tanpa dia tau...” Dia terisak sekarang karna hatinya sakit hingga ingin membelah diri menjadi dua.

            “Dia tak mencintai gue, Tiara. Dia hanya anggap gue sahabat dia. Itu aja. Dan bahkan gue pikir. Dia nolong gue dua kali itu karna gue sahabat dia. Itu aja.” Ucapnya lambat dan dia melepas pelukan Tiara lalu menatap sahabatnya pedih.

            “Dia takkan mencintai gue.” Ulangnya lagi membuat Tiara terdiam.
            Kenapa?”

            “Karna...” Dia terdiam. hatinya serasa ditusuk pecahan kaca ketika siang tadi dia melihat Andrew dan Arny saling merangkul pundak dan tertawa bersama. Bahkan cewek itu tak tanggung – tanggung mengacak rambut Andrew dan membiarkan rambutnya diacak balik oleh cowok itu. tatapan mereka terasa lain. terasa...

            Menusuknya dari belakang.

            “Dia mencintai Arny, Tiara. Bukan gue. I’m invisible.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar