Bestfriend? Hmm... Part 8 – Broken
Vow.
Author : Andini Ekaputri Nur’Aulia.
:
Rere Nurlie.
Gwen menghabiskan waktunya sepanjang
hari di rumah Tiara tanpa niat kemana – mana. Dia hanya berguling, tengkurap,
rebahan, kemudian menatap kosong langit – langit kamar sahabatnya itu tanpa
banyak komentar berarti. Bahkan usul Tiara ntuk keluar dari kamar- sekali saja
sekedar makan malam dengan keluarganya – yang berarti secara tak langsung
mengusir ia secara halus ntuk kembali pulang kerumah, ia tolak. Dia tak sanggup
kemana – mana. Tak ingin meninggalkan jejak ditempat manapun dengan suasana
hati seperti ini.
Hal
itu semakin membuatnya yakin ntuk menginap disini.
Tiara
menghela napas melihat sahabatnya tiduran di ranjangnya. Dia tau Gwen sudah
menelpon kakaknya, Rere ntuk mengabarkan bahwa ia menginap disini dan memberi
pesan kalau – kalau Andrew menelponnya, bilang pergi kemana saja asalkan tak
memberitahu keberadaannya. Hal itu membuatnya menghela napas.
Tak
menyangka persahabatan selama 3 tahun yang terjalin penuh tawa dan canda itu,
akan rapuh seperti ini. Lebh rapuh dari rumah bobrok.
“Gwen..” Panggilnya ketika sahabatnya
itu duduk di atas ranjangnya sambil mengubek – ubek isi tas lalu mengeluarkan
semua isinya. Berusaha mencari kesibukan.
“Makan
yuk. Lo gak makan ’kan daritadi?” Tanyanya sambil membawa nampan berisi nasi
putih dengan lauk ayam bakar penyet super pedas dan semangkuk cah jamur
kesukaannya serta jus melon. Dalam kondisi normal, mungkin Gwen akan bertepuk
tangan seperti anak kecil dikasih makanan kesukaan, tapi dengan kondisi seperti
ini, dia hanya menggeleng lemah. Tak bernafsu.
“Makasih,
Tiara. Tapi gue gak lapar.” Ia menjawab dengan tatapan fokus ke arah Tiara.
Menguatkan penolakannya.
Tiara
mendesah pelan dan meletakkan nampan berisi makanan kesukaan Gwen itu di meja
kecil samping ranjangnya. Lalu duduk menyamping dan tersenyum penuh pengertian.
Berusaha memberitahu pada sahabatnya ini, bahwa masih banyak cowok yang jauh,
jauh lebih baik, tak bejat di dunia ini. Dan menyayanginya. Tentu saja.
“Termasuk
Andrew.” Batinnya menjawab spontan.
“Gwen..”
Dia mengelus rambut sahabatnya itu. “Jangan siksa diri lo dengan cara seperti
ini. Lo harus makan kalau gak mau sakit. Please, Gwen.”
“Tapi, Tiara, Gue gak—“
“No
more argue, Gwen.” Potongnya cepat dan menggenggam tangan Gwen yang terasa
rapuh. “Kalau lo ngeyel gak mau makan, jangan salahin gue akan...”
“Akan
apa?”
Gwen
mengikuti gerakan Tiara yang mengeluarkan ponsel dari sakunya. “Akan nelpon
Andrew dan bilang sejujur – jujurnya kalau lo ada disini dan –“
“Oke...
oke!” Gwen mengangkat tangan dan berteriak frustasi ketika Tiara tersenyum
kemenangan. “Gue akan makan.” Putusnya lalu mengambil ponsel Tiara dan
menyembunyikan di saku seragamnya. Dia tak mau kecolongan. “Asal ponsel lo ada
di tangan gue.”
“Silahkan.”
Tiara tersenyum dan mengangkat nampan dari atas meja lalu meletakkan di atas
ranjang. Biar saja ponselnya disita Gwen semalaman, asalkan sahabatnya mau
makan.
Gwen
menatap menu kesukaannya itu dengan tak berselera dan memasukkan makanannya
perlahan ke dalam mulut lalu mengunyah pelan. Makanan ini enak, sangat enak.
Tapi ada yang kurang. Ada yang hambar.
Tentu
saja. dia tau apa yang membuat semua makanan kesukaannya menjadi tak berasa.
“Biasanya...” Gwen mendesah sambil
menyuap lagi makanannya ke dalam mulut. ia menatap makanannya dan Tiara secara
bergantian dengan menerawang. Seolah tubuhnya ada disini, jiwanya terbang entah
kemana.
“Andrew
akan menyuapin sambil ngomel – ngomel mengalahkan mama kalau gue gak mau makan.
Dia akan menyuapi gue dengan porsi besar tanpa tanggung – tanggung. Gak peduli kalau
pipi gue menggembung kayak balon saking banyaknya. Tapi gue suka. If you
wanna know how it felt, that so
comfortable, Tiara.” Suara lirih itu
membuat Tiara terhenyak ketika Gwen tetap melanjutkan makannnya dengan air mata
menetes di pipi. Membasahi pinggiran piringnya.
“I know, love, (I'm
a sucker for that feeling),
Happens all the time, love, (I always end up feelin' cheated.),
You're on my mind, love, (or so that matter when I need it.),
It happens all the time- love, yeah.
Happens all the time, love, (I always end up feelin' cheated.),
You're on my mind, love, (or so that matter when I need it.),
It happens all the time- love, yeah.
Will he love me like I loved
you?,
Will he tell me everyday?,
Will he make me feel like i’m invincible with every word he'll say?,
Can you promise me if this was right: Don't throw it all away?,
Can you do all these things?,
Will he tell me everyday?,
Will he make me feel like i’m invincible with every word he'll say?,
Can you promise me if this was right: Don't throw it all away?,
Can you do all these things?,
Will you do all these things,
Like we used to?,
Oh, like we used to...
Like we used to?,
Oh, like we used to...
*A Rocket To The Moon - Like We
Used To*
*maaf, liriknya aku ubah yah. soalnya ini yang
nyanyi sebenarnya cowok dan biar matching gitu ama ceritanya. ‘_’v *author
seenak jidat.
♥ ♥
Andrew tak
keruan rasa di kamar. Dia hanya berguling seperti trenggiling, lalu tengkurap
dengan tangan terentang lebar melewati ranjang seperti penyu terdampar di
tengah pasir, hingga akhirnya berubah posisi menjadi telentang dengan kedua
lengan dijadikan alas kepalanya. Persis seperti orang berjemur di tengah pantai
tropis tanpa pelindung apapun. Dia menatap langit – langit kamar dengan
membuang napas lalu menariknya kembali. hanya ada satu kata yang sukses membuat
ia seperti ini. membuatnya seperti cowok pengangguran, dipingit, apapun sebutannya.
Gwen.
“Tuhan..” Dia menutup wajah
dengan kedua tangan dan mengusap keras. Dia sungguh frustasi sekarang dengan
perubahan Gwen. Dia tak sanggup menerima semua perubahan ini. tidak bisa.
Betapa dia merindukan Gwen yang hangat setiap mereka bertemu, yang selalu
membuat ponselnya berdering sepanjang waktu dan terdengar jeritan minta tolong
dari seberang sana ntuk diselamatkan dari masalah yang ia buat sendiri, membuatnya
mengomel tanpa henti namun tak berhenti mencemaskan. dia menikmati semua itu
hingga terasa sakit ketika kehilangannya.
“Apa gue
mencintainya? kalau iya, kenapa gue malah bilang itu semua akal – akalan ntuk
bikin dia senyum lagi? Oh Tuhan.. betapa bodoh, pengecut, sinting hambaMu yang
satu ini.” Andrew menggumam sambil mengambil bantal lalu menutup wajahnya
dan menekan kuat – kuat hingga ia tak bisa bernapas. Sekedar ingin tahu apakah
sakit yang ia rasakan sekarang ini sama dengan sakit apabila ia menekan bantal
terlalu keras ke wajahnya hingga tak bisa bernapas.
Aku baru tau
kalau sakit dihati lebih mengerikan daripada sakit di fisik. Kenapa? Karna kau
tak tau dibagian hati mana yang teriris luka, yang meneteskan darah terus
menerus, dan kau tak bisa melakukan apapun selain merasakannya hingga kau lelah
menanggung semuanya.
Tapi... Apa yang harus dia lakukan
ketika ia mengucapkan kalimat sakti- yang konon bisa membuat siapa saja memeluk
bahagia atau tersenyum malu itu, ternyata membuat Gwen pucat seperti ia baru
saja berkata ingin pergi ke medan perang dan tak tau kapan kembali. wajah pucat
pasi itulah yang membuat ia tanpa sadar mengatakan bahwa semua ini adalah
lelucon belaka! BAH!
“Andrew..
Andrew kenapa, sih, lo bisa goblok banget kayak gini?! Lo cowok pinter apa anak
bawang?!” Gerutunya sambil duduk di tepi ranjang dan mengacak – acak rambut.
Dia sungguh frustasi hingga mendekati gila.
“Apa yang harus
gue lakuin agar lo seperti dulu, Gwen? Don’t you know that, i really, really
missing about us.”
Ponselnya berdering dan dia
melirik malas. Sms dari nomor tak dikenal itu awalnya membuat ia berkerut
kening, tapi ketika ia membaca isi pesannya, mau tak mau dia tersenyum miris.
Dengan cepat ia membalas sms itu dan melempar kembali ke belakang- entah mendarat
dimana ponsenya itu, dia tak peduli. Dia hanya peduli dengan hatinya yang masih
berdenyut sakit.
“Gue benar –
benar cinta sama lo kayaknya, Gwen. Semoga lo juga.”
From :
081xxx
Andrew,
Ini gue Tiara. Lo jangan khawatir, Gwen dirumah gue dengan yah.. you know what
deh. dia mau makan dengan sedikit paksaan. Kalau lo tanya ponsel gue lari
kemana, silahkan tanya sahabat tercinta lo itu. yang jelas, dia aman sama gue
dan lo bisa bernapas tenang.
Reply
to : 081xxx
Thank
you so much, Tiara lo udah kasih tau kabar Gwen. Keep in touch yah tentang dia.
gue ingin tau sedetail apapun tentang Gwen. Gue tersiksa, Tiara. Tapi.. gue gak
mungkin muncul kan? gue titip salam dan bilang sama dia kalau memungkinkan...
Gue
mencintai dia, entah sejak kapan. Dan maaf kalau baru sadar sekarang dengan
semua ini setelah semuanya mungkin agak terlambat ntuk mendapat balasan.
“And don't you know, My heart is
pumping,
Oh, it's putting up the fight.
And I've got this feeling,
That everything's alright.
Don't you see? I'm not the only one for you,
But you're the only one for me...
Oh, it's putting up the fight.
And I've got this feeling,
That everything's alright.
Don't you see? I'm not the only one for you,
But you're the only one for me...
(Secondhand Serenade-Stay Close,
Don’t Go)
Tiara menghela napas membaca pesan balasan Andrew dari ponsel
cadangan yang selalu ia simpan di lemari belajarnya. Dia melirik Gwen yang meringkuk
di sudut ranjang seperti janin dalam kandungan. Dia mematikan ponselnya itu
lalu meletakkan kembali dalam laci, kemudian mendekati Gwen dan mengelus rambut
hitam sahabatnya itu dengan sayang, kemudian membungkukkan badan agar bisa
berbisik,
“Tersenyumlah,
Gwen sekarang, Andrew mencintai lo.”
♥ ♥
Andrew bolak – balik di depan gerbang sekolah persis seperti
kucing jantan kebingungan ingin melamar kucing betina pujaannya. Jam tangan
pemberian Gwen yang ia nobatkan menjadi barang paling ia sayangi itu sudah
ratusan kali ia pandangi dan menunjukkan dengan malas dan lambat jarum panjang
semakin maju mendekati bel masuk bernyanyi. Namun yang ia tunggu tak kunjung
tiba. Membuat ia frustasi sekali lagi.
“Nunggu Gwen,
Ndrew?” Suara berat itu tau – tau berdiri di belakang dan membuat ia nyaris
melonjak kaget. Dia berdehem lalu melirik Tom yang sekarang menepuk pundaknya
seolah ia sahabat lama. bukan beberapa hari yang lalu baru masuk ke sekolah ini
dan mengetahui masalah penting kenapa Gwen, sahabat yang diajak kenalan itu
membuatnya ketakutan.
Yah.. Tom
tau masalah dia, Gwen, dan Jo yang lebih mirip seperti lingkaran setan dengan
gadis itu sebagai tumbal persembahan.
“Sialan lo, Tom! Gue kira si
Jo!”
“Yaaa maaf.
Habis lo mondar – mandir mulu sih daritadi, makanya gue samperin. By the
way, denger cerita lo kemaren soal dia ama Gwen, bikin gue penasaran
bagaimana wajah tuh anak. Secara.. dia kan gak masuk beberapa hari?”
“Ehm.. kayaknya
ada yang mencari gue nih.” Terdengar nada suara berat bercampur geli di
belakang mereka. Membuat Andrew membeku di tempat. Dia merasakan peredaran
darah di tubuhnya berhenti di satu titik. Membuat ia merasa menggigil menahan
emosi yang meletup – letup.
Dia berbalik
dan menatap Jo yang hanya tersenyum sinis. Tak mempedulikan bahwa kehadirannya
membuat cowok di hadapan ia ini ingin melayangkan satu atau dua tonjokan di
wajah. “Ngapain lo disini?”
“Ngapain gue
disini?” Jo mengulang kalimat itu dengan nada geli dan tertawa terbahak –
bahak. Seolah – olah Andrew sedang melempar lelucon super lucu hingga ia merasa
kram di perutnya. “Tentu saja ntuk sekolah, Andrew. Tapi kalau lo mau jawaban
jujur, tentu saja gue pengen ketemu Gwen. Sahabat lo yang—“
“Jaga omongan
lo, son of bitch!” Andrew menarik kasar kerah bajunya dan berbisik garang tepat di depan
muka. Dia takkan terima tujuh turunan Jo menghina sahabat yang ia cintai itu!
“Sudah,
Andrew.. udah..” Tom menarik mundur lengan Andrew agar melepas pegangan di
kerah Jo yang tak terintimidasi dengan tatapan cowok yang siap menghajar ia hingga
babak belur ini.
Tarikan
di lengannya membuat ia dengan terpaksa melepas kerah baju Jo dengan gigi
saling bergemeratak menahan emosi ntuk tak melayangkan pukulan bertubi – tubi.
Sedangkan Jo, merapikan bajunya yang kusut dan tersenyum seolah tak terjadi apa
– apa. Dia pura – pura buta bagaimana ekspresi Andrew yang siap membunuhnya itu
dengan tangan terkepal dingin dan anak baru-entah siapa namanya dia tak peduli,
menatap ia tajam sambil menahan lengan Andrew agar tak menyerangnya. Semua itu
membuat ia tersenyum sinis.
“See
you at class, Andrew.” Ucapnya dan
dia merangkul tas dengan sebelah pundak dan berjalan santai masuk seolah tak
ada apa – apa.
Melihat
kepergian Jo yang seperti pahlawan yang selamat dari medan perang, membuat ia
menatap Tom dengan tatapan apa-lo-gila–hah!
“Kenapa lo tahan gue, Tom?! Dia
menghina Gwen dan gue gak terima! Lo seharusnya biarin gue hajar dia! bukannya
nahan seperti anak kecil yang takut ketika ada ular gede di depannya!”
“Justru
gue sedang nyelamatin lo dari ancaman kursi panas BP, Andrew. Jo sengaja begitu
karna dia ta kelemahan lo dan memanfaatkannya! Dia ingin liat lo kalah, Andrew!
Gue tau lo eneg liat mukanya, dan gue pun juga begitu, tapi bukan lewat emosi
lo bisa numpahin semua itu dan biarin dia menang. Lo harus tenang dan terlihat
tak terpancing dengan semua umpan busuk itu.”
Ucapan
bernada tenang itu membuat ia terdiam. mencerna setiap perkataan Tom dalam
otaknya dan dalam hati dengan sangat, sangat terpaksa, mengiyakan semua ucapan
itu. “Lo tau..” Andrew menatap Tom yang hanya angkat bahu, “Ucapan sok bijak lo
itu adalah alasan gue masuk Rumah Sakit Jiwa suatu saat nanti.”
“Gue
akan menjenguk lo tiap hari kalau sampai terjadi, Ndrew.”
“Hayooooo...”
Sebuah tepukan ringan mendarat di punggung Andrew dan membuat cowok itu
terkejut lalu menoleh ke belakang. dia melihat Arny tersenyum manis. “Lo berdua
ngapain disini? Part time menjadi satpam sekolah, yah?”
Tom
menggeleng dan mengedipkan mata ke arah Arny. Membuat cewek itu berkerut kening
semakin dalam. “Gue lagi nungguin lo. cewek yang menjadi tulang rusuk gue yang
hilang sejak dalam kandungan nyokap.”
Andrew
hampir saja menyembur tawa mendengar ucapan Tom yang gombal itu. dia melirik
Arny yang tersenyum sekilas lalu menatap cowok di sampingnya itu. “Lo masih
percaya kalau kita jodoh, Tom?” Dan Tom mengangguk penuh mantap. Semanta ketika
ia ditanya apakah dirinya benar – benar anak SMA atau bukan.
“Maka
lo jangan patah hati, Tom.” Jawab Arny dan Tom tersenyum geli mendengarnya.
Sungguh, gadis di depan dia ini sanggup membuat isi kepalanya serasa jungkir
balik.
“Terimakasih
atas peringatan dininya, Arny.”
“Hai...”
Sapaan riang dari belakang Arny membuat mereka bertiga menoleh. Andrew merasa
semua kecemasan yang memberati punggungnya, kini terbang bebas ke awan ketika
melihat Gwen memeluk erat lengan Tiara. Tatapan mata mereka bersirobok dan ia
menghela napas miris ketika mata yang ia rindukan hingga nyaris gila itu cepat
– cepat beralih ke arah lain dengan tatapan ketakutan.
Gwen merasa sekujur tubuhnya
dilempari oleh batu besar dari belakang. tangan Arny yang bergelayut manja di
pundak Andrew membuatnya sakit sendiri. keakraban telak seolah membenarkan
semua dugaannya tepat di depan mata membuat ia ingin menjauh sekarang juga. Dia tak sanggup melihat orang yang ia
cintai entah sejak kapan, saling merangkul tepat di depannya.
Lebih
baik dia mati daripada melihat itu semua.
“Hai, Gwen.” Sapaan Andrew seolah
menyiram alkohol di lukanya yang masih berdarah. Sakit. Dia membuka matanya
yang sempat terpejam ntuk mengurangi rasa sakit itu dan merasakan suaranya
bergetar. Entah menahan tangis yang hendak meluncur keluar, atau ketakutannya
akan cowok. “H-ha-i, N-ndrew.”
Tom
tersenyum mengerti mendengar balasan Gwen. Dia melirik Andrew yang menghela
napas berat dan wajahnya semakin miris saja. entahlah, melihat semua itu
membuat ia merasa simpati.
“Halo,
Tiara, Gwen. Tumben datang pagi.”
“Emangnya
lo mau kami datang jam berapa, Tom?
Subuh?” Semprot Tiara membuat ia tertawa terbahak – bahak. “Duilee..
galak amat lo, Tiara. Kan gue Cuma nanya doang. Soalnya lo selalu datang paling
akhir dan hampir beberapa kali dicegat satpam , kan?”
“Are
you stalking me, Tom?” Desis Tiara mati kutu karna tingkahnya yang hampir
selalu dicegat satpam setiap ia nekat menerobos pagar sekolah, diketahui Tom,
si anak baru tengil ini.
“Gue
suka melihat keadaan sekitar, Tiara.”
“Lo
udah sarapan, Gwen?” Tanya Andrew sambil mendekati Gwen yang spontan langsung
menjauh. Membuat ia memilih mundur selangkah dan hatinya merasa teriris ketika
Gwen menghela napas lega. “U-udah kok ama Tiara.”
Tiara
merasakan lengannya dicekal semakin erat. Tanda Gwen ingin melarikan diri dari
situasi ini. dia menatap Andrew dan menghela napas. “Permisi bapak – bapak penjaga
gerbang, kami mau lewat.” Ucapnya membuat Tom tergelak dan membungkukkan badan
persis seperti prajurit menyambut kedatangan ratu. “Silahkan Ratu Tiara, Ratu
Gwen.”
“Gue
ikut.” Arny melepas rangkulan di pundak Andrew dan menghampiri mereka berdua.
“Yuk.”
Ajak Tiara dan mereka berjalan bertiga memasuki kelas. Meninggalkan Andrew yang
tak lepas menatap kepergian Gwen. Melihat itu, Tom menepuk pelan pundaknya.
“Sabar, Drew. Mungkin Gwen butuh waktu ntuk pulihin ini semua.”
Andrew
mengangkat bahu dan tatapannya beralih ke arah Tom yang sekarang tersenyum
sendiri seperti orang gila. Sebuah pemikiran hadir mengetuk otaknya. “Lo naksir
ama Arny, yah?”
“Hah?”
Tom melongo bego. Terlalu kaget dengan pertanyaan Andrew hingga otaknya error
seketika.
Dan tawa
Andrew meledak. Cukup ntuk mengurangi sedikit sakit di hatinya. “Lo naksir sama
Arny, yah?” Melihat Tom hanya melongo bego, dia melanjutkan. “Kalau iya, gue
bisa kok bantu lo supaya deket ama dia. bahkan pacaran.”
Tawaran
manis itu langsung ia sambar tanpa menunggu pengulangan. “Serius lo bisa?”
“Yaiya
dong!”
“Yakin
banget. gue gak percaya ama lo yang lebih mirip tukang tipu daripada
pencomblang handal.”
“Sialan!”
Andrew langsung menepuk kepala Tom dengan keras hingga cowok itu kesakitan. “Lo
harus yakin sama gue, Tom.” Ucapnya sambil ngelonyor pergi dengan tas
tergantung d pundak kanan.
Nada
percaya diri tinggi itu membuat Tom mengekor di belakangnya dengan penuh
antusias. Persis seperti anak kecil yang mengikuti kemanapun kakeknya pergi
ketika tak mendapat jawaban yang memuaskan.
“Oh
yah? kenapa?”
“Karena..”
Tau – tau Andrew berbalik badan dengan cengiran semakin lebar. “Dia mantan
pacar gue.”
HAH?!
♥
♥
“Gwen..
Gwen! Tunggu!” Dia spontan berlari ketika mendengar seseorang itu memanggilnya.
Seharian ini dia menghindari Andrew dan memilih lengket dengan Tiara persis
seperi anak kembar siam. Dia tak menyangka Andrew akan menunggu saat yang tepat
dimana ia sendiri- seperti saat ini dan mengejarnya.
“Demi Tuhan, Gwen! Could you stop
running, now? I didn’t hurt you!” Teriakan frustasi itu membuat ia berhenti
seketika. tepat di taman sekolah yang mulai sepi karna seluruh siswa sudah
pulang. Hanya tinggal mereka berdua disini.
“Gwen...” Andrew mendekati gadis
yang membelakanginya itu dengan terengah – engah. Berlari dari toilet wanita
hingga ke taman hanya ntuk mengejar Gwen ternyata melelahkan. Dia menarik
lembut lengan Gwen agar berbalik ke arahnya dan ia merasakan tubuh gadis itu
mendingin seketika. “Kenapa lo lari, Gwen? Lo tau gue gak akan nyakitin
lo. Gue malah jagain lo dari siapapun yang berniat bikin lo nangis!”
Entah kenapa, ucapan Andrew itu
membuat memori – memori siang tadi terputar jelas di depannya. Tentang Andrew
berbicara berdua dengan Arny di sudut taman saat istirahat siang dan ia melihat
dengan sangat jelas, wajah Arny memerah malu dan mengangguk ketika Andrew
berbisik sesuatu- entah apa ditelinga gadis itu. semua pemandangan itu telak –
telak muncul di depannya tanpa sensor. Membuat ia ingin menangis.
Andrew memang takkan pernah
menyakitinya. Secara fisik. Bukan hati. Karna dia merasakan kini hatinya
berdenyut sakit. Seolah ada luka baru yang ditoreh tanpa sadar disini. Di
hatinya.
“Gue tau. Ndrew. Sorry. Gue pulang dulu.
Ditunggu Tiara.” Dia melepas genggaman Andrew di lengannya dan menjauh. Namun
tangannya ditarik ke depan hingga ia jatuh kepelukan cowok yang ia cintai,
sekaligus menyakiti hatinya ini.
“I love You, Gwen.” Bisik
Andrew di atas kepalanya. Membuat ia membeku seketika. ingatan ketika Andrew
mengucapkan kalimat serupa – yang ternyata lelucon basi agar ia tertawa,
membuatnya menutup mata pedih.
Not again, please.
“Tidakkah
cukup lo bikin gue nangis karna tiga kata sakti itu, Ndrew? Kenapa lo ucapin
lagi? Ntuk hiburin gue? Kalau iya, selamat! Lo gak Cuma bikin gue terhibur,
tapi juga membuat gue serasa ingin mati daripada hidup!” Batiinya dalam hati.
“Terimakasih atas leluconnya,
Andrew. Gue mau pulang.” Ucapnya dan mendorong agar Andrew melepas pelukannya.
Namun cowok itu tak mau. “Ini bukan lelucon, Gwen! Gue serius suka sama lo!”
DEG!
“Terakhir lo bilang begini, itu ternyata
lelucon, Ndrew. Gue bukan keledai yang terperosok lubang ntuk kedua kalinya.”
Dan sakit ntuk kedua kalinya
juga.
“Look
at me.” Andrew mendongkakkan lembut dagu Gwen
ke atas agar ia bisa menatap mata sahabatnya itu dengan jelas. “Gue bilang
cinta waktu itu bukan ntuk sebagai lelucon agar lo mau tertawa. sama sekali
bukan. Gue serius bilang waktu itu, tapi wajah lo yang pucat pasi ketika
mendengar itu membuat gue merasa...” Dia melirik Gwen yang terbelalak di
depannya dengan mulut tipis itu terbuka. “Lo shock berat dan tak
merasakan apa yang gue rasa. Jadi ntuk menyelamatkan keadaan, gue bilang saja
semua itu hanya lelucon. Gue gak sanggup menerima penolakan yang berujung
persahabatan kita hancur, Gwen. Lo tau, gue mencoba memendam rasa ini, tapi hal
itu buat gue gila.”
“Tap..tapi...” Dia kelabakan
sekarang dipelukan Andrew. Dia mencoba melepas, namun cowok itu semakin
menyanderanya. “Bagaimana dengan Arny? Bukannya lo cinta sama dia? dan juga
Tiara?”
“Gak, Gwen Lucynda. Dulu gue memang
cinta sama dia. tapi setelah bertemu lo dan kita bersahabat, gue merasa
perasaan ini gak sama lagi. Gue ingin lebih, Gwen. Dengan lo. nah..” Tau – tau
Andrew melepas pelukannya dan merangkul pinggang Gwen dengan lembut. Dia
melihat sorot mata ketakutan ketika ia melakukan itu.
“Singkirin pikiran lo kalau gue sama
bejatnya dengan Jo, Gwen. Gue sahabat lo, yang mencintai lo.”
Melihat dia terdiam, membuatnya
frustasi. Dia memegang lengan Gwen dan menundukkan badan hingga wajahnya
sejajar dengan Gwen, karna gadis itu terlalu pendek ntuknya.
“Gwen, answer my simple question,
did you love me like i am?”
♥
♥
“Tell me her name, i want to know.
the way she looks and where you go.”
the way she looks and where you go.”
Arny membeku di tempat. Ucapan cinta
dari Andrew yang kemudian berakhir dengan anggukan dari gadis yang sangat ia
kenal itu, membuat hatinya terbelah menjadi dua dengan sangat kasar. Ajakan
Andrew ntuk menemuinya sore ini di taman tempat mereka sering berpacaran karna
ada yang ia bahas, harapannya yang menggembung setiap mengingat ajakan itu,
bahkan mengkhayal bahwa Andrew akan menyatakan cinta sekali lagi di tempat itu,
ternyata..
Sia – sia belaka.
“Tell me again, i want to hear.
who broke my faith in all these years
Who there’s with you at night, when i’m here all alone.”
who broke my faith in all these years
Who there’s with you at night, when i’m here all alone.”
Tuhan...
dia tak perlu penjelasan dari orang
lain , bahkan pakar cinta sekalipun ntuk hal yang dia lihat sekarang. Tatapan mata
Andrew ktika melihat Gwen, perhatiannya yang terlalu berlebihan ntuk seorang
sahabat, dan pelukan yang entah sudah berapa kali dia lihat. Sudah mengatakan
jelas bahwa cowok yang ia cintai hingga saat ini, ternyata tidak mencintainya
lagi.
Entah kenapa, semua kenangan manis
tentangnya dan Andrew menyeruak keluar. Janji yang ia ucapkan ketika memutuskan
ntuk pergi. Janji ntuk akan kembali suatu saat nanti dan cowok itu mengatakan
mereka akan bersatu bila hal itu terjadi, kini seperti janji yang remuk. Semuanya
terlalu sakit ntuk ia tanggung sekarang.
Dia tak tahan lagi. Dengan cepat ia berbalik
dan berlari kemanapun ia ingin ntuk membuang semua duri yang tertancap kuat
dihatinya, melukai setiap sisi. Hingga dia menabrak seseorang yang entah sejak
kapan-sudah membuka lengannya ntuk menyambut ia dalam pelukan. Dia memeluk cwok
itu dengan isakan yang paling sakit pernah ia keluarkan.
Give
me the touch,
that one you promised to be mine.
Or has it vanished for all time.
that one you promised to be mine.
Or has it vanished for all time.
Hanya dengan Andrew dia begini.
Menangis hingga rasa perih di mata pun takkan ada artinya dibandingkan hancur
hatinya kini.
“Kenapa sekarang begini? Gue pulang kesini
hanya ntuk kembali dengan dia, bukan melihat dia bahagia dengan cewek lain
tepat di depan gue! Kenapa?! Kenapa?! Answer me!” Arny histeris sambil
memukul dada cowok yang ia peluk itu dengan lemah. Dia tak peduli siapa yang ia
peluk sekarang, tak peduli bahwa pukulan di dada itu mungkin akan menyakiti
orang itu, tak peduli bahwa orang yang memeluknya ini mengelus pungungnya
lembut. Memberi efek tenang.
“Lo tau? Gue mencintainya sejak
dulu. Hingga sekarang. And no one can changes his position on my heart.
Although, he did it.”
“Just
let him go, Arny. Lo akan sakit kalau mempertahankan perasaan ini.” bisikan lembut tepat di atas kepalanya membuat
ia terdiam. dia mendongkak dan menatap wajah pemeluknya sekarang. Tom menatap
dia dengan wajah prihatin.
“let go? How?”
“Just using me to forget him, Arny.
I’m here for you.”
lanjutannya mana ya ?
BalasHapus