Minggu, 29 Desember 2013

BestFriend? Hmmm.. Part 8 - Broken Vow.



Bestfriend? Hmm... Part 8 – Broken Vow.

Author : Andini Ekaputri Nur’Aulia.
            : Rere Nurlie.


            Gwen menghabiskan waktunya sepanjang hari di rumah Tiara tanpa niat kemana – mana. Dia hanya berguling, tengkurap, rebahan, kemudian menatap kosong langit – langit kamar sahabatnya itu tanpa banyak komentar berarti. Bahkan usul Tiara ntuk keluar dari kamar- sekali saja sekedar makan malam dengan keluarganya – yang berarti secara tak langsung mengusir ia secara halus ntuk kembali pulang kerumah, ia tolak. Dia tak sanggup kemana – mana. Tak ingin meninggalkan jejak ditempat manapun dengan suasana hati seperti ini.
           
            Hal itu semakin membuatnya yakin ntuk menginap disini.

            Tiara menghela napas melihat sahabatnya tiduran di ranjangnya. Dia tau Gwen sudah menelpon kakaknya, Rere ntuk mengabarkan bahwa ia menginap disini dan memberi pesan kalau – kalau Andrew menelponnya, bilang pergi kemana saja asalkan tak memberitahu keberadaannya. Hal itu membuatnya menghela napas.
           
            Tak menyangka persahabatan selama 3 tahun yang terjalin penuh tawa dan canda itu, akan rapuh seperti ini. Lebh rapuh dari rumah bobrok.
           
            “Gwen..” Panggilnya ketika sahabatnya itu duduk di atas ranjangnya sambil mengubek – ubek isi tas lalu mengeluarkan semua isinya. Berusaha mencari kesibukan.            
            “Makan yuk. Lo gak makan ’kan daritadi?” Tanyanya sambil membawa nampan berisi nasi putih dengan lauk ayam bakar penyet super pedas dan semangkuk cah jamur kesukaannya serta jus melon. Dalam kondisi normal, mungkin Gwen akan bertepuk tangan seperti anak kecil dikasih makanan kesukaan, tapi dengan kondisi seperti ini, dia hanya menggeleng lemah. Tak bernafsu.
            “Makasih, Tiara. Tapi gue gak lapar.” Ia menjawab dengan tatapan fokus ke arah Tiara. Menguatkan penolakannya.
            Tiara mendesah pelan dan meletakkan nampan berisi makanan kesukaan Gwen itu di meja kecil samping ranjangnya. Lalu duduk menyamping dan tersenyum penuh pengertian. Berusaha memberitahu pada sahabatnya ini, bahwa masih banyak cowok yang jauh, jauh lebih baik, tak bejat di dunia ini. Dan menyayanginya. Tentu saja.

            Termasuk Andrew.” Batinnya menjawab spontan.
           
            “Gwen..” Dia mengelus rambut sahabatnya itu. “Jangan siksa diri lo dengan cara seperti ini. Lo harus makan kalau gak mau sakit. Please, Gwen.”
            Tapi, Tiara, Gue gak—“
            No more argue, Gwen.” Potongnya cepat dan menggenggam tangan Gwen yang terasa rapuh. “Kalau lo ngeyel gak mau makan, jangan salahin gue akan...”
            “Akan apa?”
            Gwen mengikuti gerakan Tiara yang mengeluarkan ponsel dari sakunya. “Akan nelpon Andrew dan bilang sejujur – jujurnya kalau lo ada disini dan –“

            Oke... oke!” Gwen mengangkat tangan dan berteriak frustasi ketika Tiara tersenyum kemenangan. “Gue akan makan.” Putusnya lalu mengambil ponsel Tiara dan menyembunyikan di saku seragamnya. Dia tak mau kecolongan. “Asal ponsel lo ada di tangan gue.”
            “Silahkan.” Tiara tersenyum dan mengangkat nampan dari atas meja lalu meletakkan di atas ranjang. Biar saja ponselnya disita Gwen semalaman, asalkan sahabatnya mau makan.
            Gwen menatap menu kesukaannya itu dengan tak berselera dan memasukkan makanannya perlahan ke dalam mulut lalu mengunyah pelan. Makanan ini enak, sangat enak. Tapi ada yang kurang. Ada yang hambar.

            Tentu saja. dia tau apa yang membuat semua makanan kesukaannya menjadi tak berasa.
            “Biasanya...” Gwen mendesah sambil menyuap lagi makanannya ke dalam mulut. ia menatap makanannya dan Tiara secara bergantian dengan menerawang. Seolah tubuhnya ada disini, jiwanya terbang entah kemana.
            “Andrew akan menyuapin sambil ngomel – ngomel mengalahkan mama kalau gue gak mau makan. Dia akan menyuapi gue dengan porsi besar tanpa tanggung – tanggung. Gak peduli kalau pipi gue menggembung kayak balon saking banyaknya. Tapi gue suka. If you wanna know how it  felt, that so comfortable, Tiara.”  Suara lirih itu membuat Tiara terhenyak ketika Gwen tetap melanjutkan makannnya dengan air mata menetes di pipi. Membasahi pinggiran piringnya.

“I know, love, (I'm a sucker for that feeling),
 Happens all the time, love, (I always end up feelin' cheated.),
You're on my mind, love, (or so that matter when I need it.),
 It happens all the time- love, yeah.

Will he love me like I loved you?,
 Will he tell me everyday?,
 Will he make me feel like i’m  invincible with every word he'll say?,
 Can you promise me if this was right: Don't throw it all away?,
 Can you do all these things?,

 Will you do all these things,
Like we used to?,

 Oh, like we used to...

*A Rocket To The Moon - Like We Used To*

 *maaf, liriknya aku ubah yah. soalnya ini yang nyanyi sebenarnya cowok dan biar matching gitu ama ceritanya. ‘_’v *author seenak jidat.

♥ ♥
            Andrew tak keruan rasa di kamar. Dia hanya berguling seperti trenggiling, lalu tengkurap dengan tangan terentang lebar melewati ranjang seperti penyu terdampar di tengah pasir, hingga akhirnya berubah posisi menjadi telentang dengan kedua lengan dijadikan alas kepalanya. Persis seperti orang berjemur di tengah pantai tropis tanpa pelindung apapun. Dia menatap langit – langit kamar dengan membuang napas lalu menariknya kembali. hanya ada satu kata yang sukses membuat ia seperti ini. membuatnya seperti cowok pengangguran, dipingit, apapun sebutannya.

            Gwen.

            “Tuhan..” Dia menutup wajah dengan kedua tangan dan mengusap keras. Dia sungguh frustasi sekarang dengan perubahan Gwen. Dia tak sanggup menerima semua perubahan ini. tidak bisa. Betapa dia merindukan Gwen yang hangat setiap mereka bertemu, yang selalu membuat ponselnya berdering sepanjang waktu dan terdengar jeritan minta tolong dari seberang sana ntuk diselamatkan dari masalah yang ia buat sendiri, membuatnya mengomel tanpa henti namun tak berhenti mencemaskan. dia menikmati semua itu hingga terasa sakit ketika kehilangannya.

            Apa gue mencintainya? kalau iya, kenapa gue malah bilang itu semua akal – akalan ntuk bikin dia senyum lagi? Oh Tuhan.. betapa bodoh, pengecut, sinting hambaMu yang satu ini.” Andrew menggumam sambil mengambil bantal lalu menutup wajahnya dan menekan kuat – kuat hingga ia tak bisa bernapas. Sekedar ingin tahu apakah sakit yang ia rasakan sekarang ini sama dengan sakit apabila ia menekan bantal terlalu keras ke wajahnya hingga tak bisa bernapas.

            Aku baru tau kalau sakit dihati lebih mengerikan daripada sakit di fisik. Kenapa? Karna kau tak tau dibagian hati mana yang teriris luka, yang meneteskan darah terus menerus, dan kau tak bisa melakukan apapun selain merasakannya hingga kau lelah menanggung semuanya.

            Tapi... Apa yang harus dia lakukan ketika ia mengucapkan kalimat sakti- yang konon bisa membuat siapa saja memeluk bahagia atau tersenyum malu itu, ternyata membuat Gwen pucat seperti ia baru saja berkata ingin pergi ke medan perang dan tak tau kapan kembali. wajah pucat pasi itulah yang membuat ia tanpa sadar mengatakan bahwa semua ini adalah lelucon belaka! BAH!
            “Andrew.. Andrew kenapa, sih, lo bisa goblok banget kayak gini?! Lo cowok pinter apa anak bawang?!” Gerutunya sambil duduk di tepi ranjang dan mengacak – acak rambut. Dia sungguh frustasi hingga mendekati gila.
            “Apa yang harus gue lakuin agar lo seperti dulu, Gwen? Don’t you know that, i really, really missing about us.”

            Ponselnya berdering dan dia melirik malas. Sms dari nomor tak dikenal itu awalnya membuat ia berkerut kening, tapi ketika ia membaca isi pesannya, mau tak mau dia tersenyum miris. Dengan cepat ia membalas sms itu dan melempar kembali ke belakang- entah mendarat dimana ponsenya itu, dia tak peduli. Dia hanya peduli dengan hatinya yang masih berdenyut sakit.

            “Gue benar – benar cinta sama lo kayaknya, Gwen. Semoga lo juga.”

            From : 081xxx
            Andrew, Ini gue Tiara. Lo jangan khawatir, Gwen dirumah gue dengan yah.. you know what deh. dia mau makan dengan sedikit paksaan. Kalau lo tanya ponsel gue lari kemana, silahkan tanya sahabat tercinta lo itu. yang jelas, dia aman sama gue dan lo bisa bernapas tenang.

            Reply to : 081xxx
            Thank you so much, Tiara lo udah kasih tau kabar Gwen. Keep in touch yah tentang dia. gue ingin tau sedetail apapun tentang Gwen. Gue tersiksa, Tiara. Tapi.. gue gak mungkin muncul kan? gue titip salam dan bilang sama dia kalau memungkinkan...

            Gue mencintai dia, entah sejak kapan. Dan maaf kalau baru sadar sekarang dengan semua ini setelah semuanya mungkin agak terlambat ntuk mendapat balasan.

“And don't you know, My heart is pumping,
Oh, it's putting up the fight.
And I've got this feeling,
That everything's alright.
 Don't you see? I'm not the only one for you,
But you're the only one for me...

(Secondhand Serenade-Stay Close, Don’t Go)

            Tiara menghela napas membaca pesan balasan Andrew dari ponsel cadangan yang selalu ia simpan di lemari belajarnya. Dia melirik Gwen yang meringkuk di sudut ranjang seperti janin dalam kandungan. Dia mematikan ponselnya itu lalu meletakkan kembali dalam laci, kemudian mendekati Gwen dan mengelus rambut hitam sahabatnya itu dengan sayang, kemudian membungkukkan badan agar bisa berbisik,

            “Tersenyumlah, Gwen sekarang,  Andrew mencintai lo.”

♥ ♥

            Andrew bolak – balik di depan gerbang sekolah persis seperti kucing jantan kebingungan ingin melamar kucing betina pujaannya. Jam tangan pemberian Gwen yang ia nobatkan menjadi barang paling ia sayangi itu sudah ratusan kali ia pandangi dan menunjukkan dengan malas dan lambat jarum panjang semakin maju mendekati bel masuk bernyanyi. Namun yang ia tunggu tak kunjung tiba. Membuat ia frustasi sekali lagi.

            “Nunggu Gwen, Ndrew?” Suara berat itu tau – tau berdiri di belakang dan membuat ia nyaris melonjak kaget. Dia berdehem lalu melirik Tom yang sekarang menepuk pundaknya seolah ia sahabat lama. bukan beberapa hari yang lalu baru masuk ke sekolah ini dan mengetahui masalah penting kenapa Gwen, sahabat yang diajak kenalan itu membuatnya ketakutan.
            Yah.. Tom tau masalah dia, Gwen, dan Jo yang lebih mirip seperti lingkaran setan dengan gadis itu sebagai tumbal persembahan.

            “Sialan lo, Tom! Gue kira si Jo!”
            “Yaaa maaf. Habis lo mondar – mandir mulu sih daritadi, makanya gue samperin. By the way, denger cerita lo kemaren soal dia ama Gwen, bikin gue penasaran bagaimana wajah tuh anak. Secara.. dia kan gak masuk beberapa hari?”
            “Ehm.. kayaknya ada yang mencari gue nih.” Terdengar nada suara berat bercampur geli di belakang mereka. Membuat Andrew membeku di tempat. Dia merasakan peredaran darah di tubuhnya berhenti di satu titik. Membuat ia merasa menggigil menahan emosi yang meletup – letup.
            Dia berbalik dan menatap Jo yang hanya tersenyum sinis. Tak mempedulikan bahwa kehadirannya membuat cowok di hadapan ia ini ingin melayangkan satu atau dua tonjokan di wajah. “Ngapain lo disini?”
            “Ngapain gue disini?” Jo mengulang kalimat itu dengan nada geli dan tertawa terbahak – bahak. Seolah – olah Andrew sedang melempar lelucon super lucu hingga ia merasa kram di perutnya. “Tentu saja ntuk sekolah, Andrew. Tapi kalau lo mau jawaban jujur, tentu saja gue pengen ketemu Gwen. Sahabat lo yang—“
            “Jaga omongan lo, son of bitch!” Andrew menarik kasar kerah bajunya dan berbisik garang tepat di depan muka. Dia takkan terima tujuh turunan Jo menghina sahabat yang ia cintai itu!
            “Sudah, Andrew.. udah..” Tom menarik mundur lengan Andrew agar melepas pegangan di kerah Jo yang tak terintimidasi dengan tatapan cowok yang siap menghajar ia hingga babak belur ini.
            Tarikan di lengannya membuat ia dengan terpaksa melepas kerah baju Jo dengan gigi saling bergemeratak menahan emosi ntuk tak melayangkan pukulan bertubi – tubi. Sedangkan Jo, merapikan bajunya yang kusut dan tersenyum seolah tak terjadi apa – apa. Dia pura – pura buta bagaimana ekspresi Andrew yang siap membunuhnya itu dengan tangan terkepal dingin dan anak baru-entah siapa namanya dia tak peduli, menatap ia tajam sambil menahan lengan Andrew agar tak menyerangnya. Semua itu membuat ia tersenyum sinis.
            See you at class, Andrew.”  Ucapnya dan dia merangkul tas dengan sebelah pundak dan berjalan santai masuk seolah tak ada apa – apa.
           
            Melihat kepergian Jo yang seperti pahlawan yang selamat dari medan perang, membuat ia menatap Tom dengan tatapan apa-lo-gila–hah!
            Kenapa lo tahan gue, Tom?! Dia menghina Gwen dan gue gak terima! Lo seharusnya biarin gue hajar dia! bukannya nahan seperti anak kecil yang takut ketika ada ular gede di depannya!”
           
            “Justru gue sedang nyelamatin lo dari ancaman kursi panas BP, Andrew. Jo sengaja begitu karna dia ta kelemahan lo dan memanfaatkannya! Dia ingin liat lo kalah, Andrew! Gue tau lo eneg liat mukanya, dan gue pun juga begitu, tapi bukan lewat emosi lo bisa numpahin semua itu dan biarin dia menang. Lo harus tenang dan terlihat tak terpancing dengan semua umpan busuk itu.”
            Ucapan bernada tenang itu membuat ia terdiam. mencerna setiap perkataan Tom dalam otaknya dan dalam hati dengan sangat, sangat terpaksa, mengiyakan semua ucapan itu. “Lo tau..” Andrew menatap Tom yang hanya angkat bahu, “Ucapan sok bijak lo itu adalah alasan gue masuk Rumah Sakit Jiwa suatu saat nanti.”

            “Gue akan menjenguk lo tiap hari kalau sampai terjadi, Ndrew.”

            “Hayooooo...” Sebuah tepukan ringan mendarat di punggung Andrew dan membuat cowok itu terkejut lalu menoleh ke belakang. dia melihat Arny tersenyum manis. “Lo berdua ngapain disini? Part time menjadi satpam sekolah, yah?”
            Tom menggeleng dan mengedipkan mata ke arah Arny. Membuat cewek itu berkerut kening semakin dalam. “Gue lagi nungguin lo. cewek yang menjadi tulang rusuk gue yang hilang sejak dalam kandungan nyokap.”
            Andrew hampir saja menyembur tawa mendengar ucapan Tom yang gombal itu. dia melirik Arny yang tersenyum sekilas lalu menatap cowok di sampingnya itu. “Lo masih percaya kalau kita jodoh, Tom?” Dan Tom mengangguk penuh mantap. Semanta ketika ia ditanya apakah dirinya benar – benar anak SMA atau bukan.
            “Maka lo jangan patah hati, Tom.” Jawab Arny dan Tom tersenyum geli mendengarnya. Sungguh, gadis di depan dia ini sanggup membuat isi kepalanya serasa jungkir balik.
            “Terimakasih atas peringatan dininya, Arny.”

            “Hai...” Sapaan riang dari belakang Arny membuat mereka bertiga menoleh. Andrew merasa semua kecemasan yang memberati punggungnya, kini terbang bebas ke awan ketika melihat Gwen memeluk erat lengan Tiara. Tatapan mata mereka bersirobok dan ia menghela napas miris ketika mata yang ia rindukan hingga nyaris gila itu cepat – cepat beralih ke arah lain dengan tatapan ketakutan.
            Gwen merasa sekujur tubuhnya dilempari oleh batu besar dari belakang. tangan Arny yang bergelayut manja di pundak Andrew membuatnya sakit sendiri. keakraban telak seolah membenarkan semua dugaannya tepat di depan mata membuat ia ingin menjauh sekarang juga.  Dia tak sanggup melihat orang yang ia cintai entah sejak kapan, saling merangkul tepat di depannya.

            Lebih baik dia mati daripada melihat itu semua.
           
            “Hai, Gwen.” Sapaan Andrew seolah menyiram alkohol di lukanya yang masih berdarah. Sakit. Dia membuka matanya yang sempat terpejam ntuk mengurangi rasa sakit itu dan merasakan suaranya bergetar. Entah menahan tangis yang hendak meluncur keluar, atau ketakutannya akan cowok. “H-ha-i, N-ndrew.”
            Tom tersenyum mengerti mendengar balasan Gwen. Dia melirik Andrew yang menghela napas berat dan wajahnya semakin miris saja. entahlah, melihat semua itu membuat ia merasa simpati.
            “Halo, Tiara,  Gwen. Tumben datang pagi.”
            “Emangnya lo mau kami datang jam berapa, Tom?  Subuh?” Semprot Tiara membuat ia tertawa terbahak – bahak. “Duilee.. galak amat lo, Tiara. Kan gue Cuma nanya doang. Soalnya lo selalu datang paling akhir dan hampir beberapa kali dicegat satpam , kan?”

            Are you stalking me, Tom?” Desis Tiara mati kutu karna tingkahnya yang hampir selalu dicegat satpam setiap ia nekat menerobos pagar sekolah, diketahui Tom, si anak baru tengil ini.
            “Gue suka melihat keadaan sekitar, Tiara.”

            “Lo udah sarapan, Gwen?” Tanya Andrew sambil mendekati Gwen yang spontan langsung menjauh. Membuat ia memilih mundur selangkah dan hatinya merasa teriris ketika Gwen menghela napas lega. “U-udah kok ama Tiara.”

            Tiara merasakan lengannya dicekal semakin erat. Tanda Gwen ingin melarikan diri dari situasi ini. dia menatap Andrew dan menghela napas. “Permisi bapak – bapak penjaga gerbang, kami mau lewat.” Ucapnya membuat Tom tergelak dan membungkukkan badan persis seperti prajurit menyambut kedatangan ratu. “Silahkan Ratu Tiara, Ratu Gwen.”
            “Gue ikut.” Arny melepas rangkulan di pundak Andrew dan menghampiri mereka berdua.
            “Yuk.” Ajak Tiara dan mereka berjalan bertiga memasuki kelas. Meninggalkan Andrew yang tak lepas menatap kepergian Gwen. Melihat itu, Tom menepuk pelan pundaknya. “Sabar, Drew. Mungkin Gwen butuh waktu ntuk pulihin ini semua.”
           
            Andrew mengangkat bahu dan tatapannya beralih ke arah Tom yang sekarang tersenyum sendiri seperti orang gila. Sebuah pemikiran hadir mengetuk otaknya. “Lo naksir ama Arny, yah?”
            “Hah?” Tom melongo bego. Terlalu kaget dengan pertanyaan Andrew hingga otaknya error seketika.
            Dan tawa Andrew meledak. Cukup ntuk mengurangi sedikit sakit di hatinya. “Lo naksir sama Arny, yah?” Melihat Tom hanya melongo bego, dia melanjutkan. “Kalau iya, gue bisa kok bantu lo supaya deket ama dia. bahkan pacaran.”

            Tawaran manis itu langsung ia sambar tanpa menunggu pengulangan. “Serius lo bisa?”
            “Yaiya dong!”
            “Yakin banget. gue gak percaya ama lo yang lebih mirip tukang tipu daripada pencomblang handal.”
            “Sialan!” Andrew langsung menepuk kepala Tom dengan keras hingga cowok itu kesakitan. “Lo harus yakin sama gue, Tom.” Ucapnya sambil ngelonyor pergi dengan tas tergantung d pundak kanan.

            Nada percaya diri tinggi itu membuat Tom mengekor di belakangnya dengan penuh antusias. Persis seperti anak kecil yang mengikuti kemanapun kakeknya pergi ketika tak mendapat jawaban yang memuaskan.
            “Oh yah? kenapa?”

            “Karena..” Tau – tau Andrew berbalik badan dengan cengiran semakin lebar. “Dia mantan pacar gue.”

            HAH?!


♥ ♥

            “Gwen.. Gwen! Tunggu!” Dia spontan berlari ketika mendengar seseorang itu memanggilnya. Seharian ini dia menghindari Andrew dan memilih lengket dengan Tiara persis seperi anak kembar siam. Dia tak menyangka Andrew akan menunggu saat yang tepat dimana ia sendiri- seperti saat ini dan mengejarnya.
            “Demi Tuhan, Gwen! Could you stop running, now? I didn’t hurt you!” Teriakan frustasi itu membuat ia berhenti seketika. tepat di taman sekolah yang mulai sepi karna seluruh siswa sudah pulang. Hanya tinggal mereka berdua disini.
            “Gwen...” Andrew mendekati gadis yang membelakanginya itu dengan terengah – engah. Berlari dari toilet wanita hingga ke taman hanya ntuk mengejar Gwen ternyata melelahkan. Dia menarik lembut lengan Gwen agar berbalik ke arahnya dan ia merasakan tubuh gadis itu mendingin seketika. Kenapa lo lari, Gwen? Lo tau gue gak akan nyakitin lo. Gue malah jagain lo dari siapapun yang berniat bikin lo nangis!”

            Entah kenapa, ucapan Andrew itu membuat memori – memori siang tadi terputar jelas di depannya. Tentang Andrew berbicara berdua dengan Arny di sudut taman saat istirahat siang dan ia melihat dengan sangat jelas, wajah Arny memerah malu dan mengangguk ketika Andrew berbisik sesuatu- entah apa ditelinga gadis itu. semua pemandangan itu telak – telak muncul di depannya tanpa sensor. Membuat ia ingin menangis.
            Andrew memang takkan pernah menyakitinya. Secara fisik. Bukan hati. Karna dia merasakan kini hatinya berdenyut sakit. Seolah ada luka baru yang ditoreh tanpa sadar disini. Di hatinya.

            Gue tau. Ndrew. Sorry. Gue pulang dulu. Ditunggu Tiara.” Dia melepas genggaman Andrew di lengannya dan menjauh. Namun tangannya ditarik ke depan hingga ia jatuh kepelukan cowok yang ia cintai, sekaligus menyakiti hatinya ini.

            “I love You, Gwen.” Bisik Andrew di atas kepalanya. Membuat ia membeku seketika. ingatan ketika Andrew mengucapkan kalimat serupa – yang ternyata lelucon basi agar ia tertawa, membuatnya menutup mata pedih.

            Not again, please.
           
            “Tidakkah cukup lo bikin gue nangis karna tiga kata sakti itu, Ndrew? Kenapa lo ucapin lagi? Ntuk hiburin gue? Kalau iya, selamat! Lo gak Cuma bikin gue terhibur, tapi juga membuat gue serasa ingin mati daripada hidup!” Batiinya dalam hati.
            “Terimakasih atas leluconnya, Andrew. Gue mau pulang.” Ucapnya dan mendorong agar Andrew melepas pelukannya. Namun cowok itu tak mau. “Ini bukan lelucon, Gwen! Gue serius suka sama lo!”

            DEG!

            “Terakhir lo bilang begini, itu ternyata lelucon, Ndrew. Gue bukan keledai yang terperosok lubang ntuk kedua kalinya.”
           
            Dan sakit ntuk kedua kalinya juga.

            “Look at me.” Andrew mendongkakkan lembut dagu Gwen ke atas agar ia bisa menatap mata sahabatnya itu dengan jelas. “Gue bilang cinta waktu itu bukan ntuk sebagai lelucon agar lo mau tertawa. sama sekali bukan. Gue serius bilang waktu itu, tapi wajah lo yang pucat pasi ketika mendengar itu membuat gue merasa...” Dia melirik Gwen yang terbelalak di depannya dengan mulut tipis itu terbuka. “Lo shock berat dan tak merasakan apa yang gue rasa. Jadi ntuk menyelamatkan keadaan, gue bilang saja semua itu hanya lelucon. Gue gak sanggup menerima penolakan yang berujung persahabatan kita hancur, Gwen. Lo tau, gue mencoba memendam rasa ini, tapi hal itu buat gue gila.”
            “Tap..tapi...” Dia kelabakan sekarang dipelukan Andrew. Dia mencoba melepas, namun cowok itu semakin menyanderanya. “Bagaimana dengan Arny? Bukannya lo cinta sama dia? dan juga Tiara?”
            “Gak, Gwen Lucynda. Dulu gue memang cinta sama dia. tapi setelah bertemu lo dan kita bersahabat, gue merasa perasaan ini gak sama lagi. Gue ingin lebih, Gwen. Dengan lo. nah..” Tau – tau Andrew melepas pelukannya dan merangkul pinggang Gwen dengan lembut. Dia melihat sorot mata ketakutan ketika ia melakukan itu.
            “Singkirin pikiran lo kalau gue sama bejatnya dengan Jo, Gwen. Gue sahabat lo, yang mencintai lo.”
            Melihat dia terdiam, membuatnya frustasi. Dia memegang lengan Gwen dan menundukkan badan hingga wajahnya sejajar dengan Gwen, karna gadis itu terlalu pendek ntuknya.

            Gwen, answer my simple question, did you love me like i am?”

♥ ♥

“Tell me her name, i want to know.
the way she looks and where you go.”

            Arny membeku di tempat. Ucapan cinta dari Andrew yang kemudian berakhir dengan anggukan dari gadis yang sangat ia kenal itu, membuat hatinya terbelah menjadi dua dengan sangat kasar. Ajakan Andrew ntuk menemuinya sore ini di taman tempat mereka sering berpacaran karna ada yang ia bahas, harapannya yang menggembung setiap mengingat ajakan itu, bahkan mengkhayal bahwa Andrew akan menyatakan cinta sekali lagi di tempat itu, ternyata..

            Sia – sia belaka.
           
“Tell me again, i want to hear.
who broke my faith in all these years
Who there’s with you at night, when i’m here all alone.”


            Tuhan... dia tak perlu penjelasan dari orang lain , bahkan pakar cinta sekalipun ntuk hal yang dia lihat sekarang. Tatapan mata Andrew ktika melihat Gwen, perhatiannya yang terlalu berlebihan ntuk seorang sahabat, dan pelukan yang entah sudah berapa kali dia lihat. Sudah mengatakan jelas bahwa cowok yang ia cintai hingga saat ini, ternyata tidak mencintainya lagi.


            Entah kenapa, semua kenangan manis tentangnya dan Andrew menyeruak keluar. Janji yang ia ucapkan ketika memutuskan ntuk pergi. Janji ntuk akan kembali suatu saat nanti dan cowok itu mengatakan mereka akan bersatu bila hal itu terjadi, kini seperti janji yang remuk. Semuanya terlalu sakit ntuk ia tanggung sekarang.



            Dia tak tahan lagi. Dengan cepat ia berbalik dan berlari kemanapun ia ingin ntuk membuang semua duri yang tertancap kuat dihatinya, melukai setiap sisi. Hingga dia menabrak seseorang yang entah sejak kapan-sudah membuka lengannya ntuk menyambut ia dalam pelukan. Dia memeluk cwok itu dengan isakan yang paling sakit pernah ia keluarkan.

Give me the touch,
 that one you promised to be mine.

Or has it vanished for all time.


            Hanya dengan Andrew dia begini. Menangis hingga rasa perih di mata pun takkan ada artinya dibandingkan hancur hatinya kini.

            Kenapa sekarang begini? Gue pulang kesini hanya ntuk kembali dengan dia, bukan melihat dia bahagia dengan cewek lain tepat di depan gue! Kenapa?! Kenapa?! Answer me!” Arny histeris sambil memukul dada cowok yang ia peluk itu dengan lemah. Dia tak peduli siapa yang ia peluk sekarang, tak peduli bahwa pukulan di dada itu mungkin akan menyakiti orang itu, tak peduli bahwa orang yang memeluknya ini mengelus pungungnya lembut. Memberi efek tenang.


            “Lo tau? Gue mencintainya sejak dulu. Hingga sekarang. And no one can changes his position on my heart. Although, he did it.”


            Just let him go, Arny. Lo akan sakit kalau mempertahankan perasaan ini. bisikan lembut tepat di atas kepalanya membuat ia terdiam. dia mendongkak dan menatap wajah pemeluknya sekarang. Tom menatap dia dengan wajah prihatin.

            “let go? How?”

            “Just using me to forget him, Arny. I’m here for you.”

1 komentar: