Langkahku terhenti ketika melihat
pasangan berbahagia sedang berjalan tak jauh dimana ku berpijak dengan tangan
saling merangkul mesra di pinggang. Yah... aku melihatmu dengannya. Dengan
cepat ku berbalik badan menatap pintu bioskop. Beradu pandang dengan satpam
yang mungkin bingung melihatku mengusap mata sebelah kiri ketika air mata
setetes mulai turun tanpa permisi. Oh
boy... tidakkan pertemuan terkutuk kita ini membuat semua usahaku untuk move on gagal total?
“Re...” Ku rasakan pundak kiriku
ditepuk lembut. Salah satu kebiasaanmu setiap kita bertemu. Aku menghela napas
berat dan menutup mata untuk menyingkirkan salah satu kenangan yang satu –
persatu mulai muncul menyerang mental bobrokku. Lalu berbalik menatapmu –
dengan tatapan kaget yang wajar.
“Hai, Van. Sama siapa?” Setahun tak
bertemu, kau masih tetap sama, teman. Senyummu yang manis hingga siapapun yang
melihat tanpa sadar akan ikut tersenyum, sorot mata yang ramah, wajahmu yang
enak dilihat dan kulit sawo matang yang kadang kontras bila bersentuhan dengan
tubuhku– yang kau bilang seputih mayat beroleskan dengan sebotol formalin,
kemeja kotak abu – abu yang selalu kau pakai hingga bosan ku melihatnya,
tatanan rambut yang cukup berani untuk seorang kamu yang kukenal cuek dengan
penampilan. Ah... tak kusangka setahun lebih dari cukup untuk mengubah seluruh
dirimu.
Tapi
tidak pernah mengubah kemana arah hatiku yang selalu tertuju padamu.
Senyummu semakin lebar dan kulihat kau
merangkulnya erat mendekat kearahmu. Tak taukah kau kalau aku disini, berdiri
berapa senti darimu berusaha menahan gejolak kecemburuan yang mengaduk – aduk
isi perutku hingga mual? “Kenalin, Re. Dia Intan, pacar gue.”
Aku mengulurkan tangan kearah cewek –
yang berat hati harus kuakui bahwa dia manis, dengan enggan. “Gue Rere.”
“Intan.” Ucapnya dengan senyum manis.
Tuhan... tolong jaga diriku agar tak khilaf berteriak tepat didepan wajahnya
betapa aku sangat tidak menyukai semua perhatian dia kearahnya. Betapa aku
ingin sedetik saja bertukar posisi dengannya untuk merasakan dicintai oleh dia untuk
kali ini saja, agar semua penantianku selama 3 tahun tak sia – sia. Agar semua
kesakitan yang aku alami, setiap tetes air mata yang kukeluarkan di malam – malam
sepi takkan terbuang percuma ketika mendengar dia berpacaran dengan cewek lain
dan akulah yang pertama kali tau, menjadi sepadan dengan apa yang kudapatkan.
Aku berpaling kearahnya. Menatap
dengan penuh tau. “Boy.. selama setahun
kita tak bersua, apakah dia sebagai pengganti posisiku yang selalu mendengarkan
curhatmu dan menjadi tempat sampahmu bila kau sedang kacau balau, sebelum
menjadikannya kekasihmu? Jika iya, kenapa aku tak bisa seperti itu? Apakah aku
terlalu berharga untuk menjadi sahabat, namun tak pantas untuk menjadi
pacarmu?”
Seolah tau, kau balas menatapku dengan
tatapan teduhmu. “Sama siapa kesini, Re? Pacar?”
Aku menggeleng. Jika saja kau tau bahwa selama setahun ini aku berusaha membuang semua
kenangan tentang kita hingga lupa untuk mencari penggantimu, masihkah kau
bertanya tentang statusku? “Gue sendiri
aja nontonnya. Lo?”
“Intan pengen nonton film Hunger Games
yang terbaru, Re. Jadi gue temenin deh sekalian gak ada latihan juga. Lo masih
manggung?” sambil berkata begitu, kau memeluk Intan yang tersipu – sipu ketika
ku tatap dengan erat. Tidakkah kau sadar
bahwa semua itu semakin menghancurkan benteng pertahananku?
“Masih kok Cuma gak segila dulu. Lo
masih basket, Van?”
“Masih kok. Cuma tugas kuliah gue
semakin gila aja jadi agak jarang latihan. Sekarang gue bolak – balik keluar
kota buat bisa pacaran sama Intan. Hahahaa... lo masih nulis, Re?” Kau tertawa
lepas dan mencium pipinya sekilas. Wajahnya bersemu malu dan aku tersenyum.
Berusaha menekan sakit hatiku yang semakin menyiksa, dan menekan air mata yang
semakin ingin menetes melihat kemesraan mereka tepat di ujung hidung.
“Masih kok. Kenapa?”
Kau berhenti tertawa dan menatapku
dalam. Tatapan yang membuatku seolah terlempar kemasa lalu disaat kau menatapku
seperti ini apabila aku menyembunyikan sesuatu darimu, yang membuat lidahku
terhipnotis untuk membeberkan semuanya tanpa ada rahasia. “Gak papa. Gue pengen
baca cerita lo, Re. Siapa tau ada yang terinspirasi dari gue. Hahaha.”
“Ntar gue kasih tau, Van.” Aku
tersenyum simpul. Takkan pernah kuberi tau link blogku kepadamu, sayang.
Kenapa? Karna semua cerita yang kutulis, selalu mengisayaratkan tentangmu.
Tentangku yang mencintaimu selama tiga tahun dan selama itu menahan rasa sakit
dihati ketika kau bercerita penuh sukacita tentang cewek yang memikat hatimu,
lalu tanpa dosa memintaku untuk mendekatinya tak peduli hatiku berteriak sakit,
dan memelukku erat ketika kau berhasil jadian dengannya tanpa mengetahui bahwa
dalam hati aku mengucapkan seribu macam doa jahat agar kalian putus ditengah
jalan, Kemudian tersenyum diam – diam ketika mengetahui kau berpisah dan berdoa
pada Tuhan lebih khusyuk lagi untuk membuka hatimu hanya untukku. Dan semua itu
musnah ketika aku mengucapkan kata cinta padamu karna tak tahan dengan semua
penantian ini, kau balas dengan pergi perlahan – lahan meninggalkan ku dengan
hati yang remuk redam. Dan butuh setahun untuk memulihkan ini semua, sebelum
semuanya berantakan lagi karna pertemuan ini.
“Gue tunggu, Re. By the way, gue masuk dulu yah. Udah jamnya masuk soalnya. Bye, Re.” Kau menepuk pundakku dan
tersenyum manis. Aku membalas senyummu dan menatap Intan yang kini merangkul
tanganmu dengan penuh sayang. Hatiku semakin teriris melihatnya. “Ayo, sayang.”
Ucapmu padanya dengan nada manis.
“Duluan, Re. Nice to meet you.”
“Iya, Intan. Nice to meet you too. Have a nice day with him.” Ucapku dengan nada
manis bercampur pilu dihati ketika kedua pasangan sejoli itu saling memeluk
erat dibelakang pinggang dengan mesra. Hatiku retak.
“Be
strong, Re.” Ku ucapkan kalimat sakti itu berulang kali dalam hati. Namun
air mata ini tak mau berkompromi dan keluar perlahan dari mata kiriku dengan
denyut sakit didada. Cepat ku hapus air mata ini dan membuang tiket bioskop yang
kudapatkan dengan susah payah ke bak sampah dan berjalan menjauh. Tak sanggup
hati ini untuk duduk dua jam satu ruangan sama dengan mereka dan mungkin, duduk
bersebelahan atau sakitnya lagi, malah tepat dibelakang mereka. Melihat semua
kemesraannya tanpa sensor.
¤¸¤
How
can I move on when I'm still in love with you?
Ku tulis kalimat ini diatas kertas.
Bagaimana aku bisa yakin move on
kalau ternyata disudut hati paling dalam masih merindukannya? Ingin kembali ke
masa – masa itu, dan berharap sekali lagi seperti anak labil bahwa nanti akan
ada saatnya dia putus dengan Intan, dan suatu saat entah kapan, dia benar –
benar melihatku?
Tatapanku kosong kearah meja belajar ketika
melihat figura berisi foto – fotoku dengannya waktu masih SMA. Sahabatku, Ufi
dengan bagus mengambil beberapa angle untukku saat bercanda dengannya yang sampai
saat ini tak tau bahwa ia difoto. melihat semua ini, semua kesakitan yang
kupendam sore tadi seakan menyeruak keluar. Perlahan ku berdiri dari ranjang
menuju sudut meja belajarku dan duduk dikursi, mengambil gitar kemudian memetik
senar sambil menutup mata. Ingatan tentang dia mengajariku bermain gitar
akustik seakan terputar tanpa permisi.
“Ajarin
gue main gitar dong, Van.” Aku langsung berlari kearahnya ketika melihat ia
sedang duduk di sudut kelas dengan gitar kesayangannya. Dia dan gitar adalah
satu. Tak terpisahkan. Bahkan aku pernah menyeletuk hanya gitarlah pacar ia sebenarnya.
Membuatnya tersenyum simpul mendengar celetukan bernada sindiran itu.
Dia
mendongkak menatapku dengan senyum tulus. Ku balas senyumnya tak kalah manis dan
duduk disampingnya. “beneran mau, Re?”
Aku
mengangguk pasti dan ia memberikan Mika, nama gitar akustiknya itu padaku dan
menuntun tangan kiriku untuk memegang gagang gitar, dan tangan kananku memegang
senar di tubuhnya lalu memposisikan dirinya bersentuhan dengan punggungku
seperti ia memelukku dari belakang. Wajahnya berada disebelah kiriku. “Lo petik
yang ini, dan ini.” Dia menuntun jemariku ntuk memetiknya. Mengabaikan wajahku
yang merona malu. Hatiku loncat gembira karna bisa dekat dengannya.
“Terus?”
“Nyanyikan
lagu tentang kita, Re.”
Di
sudut lain, ku lihat Ufi mengambil foto kebersamaan kami dengan senyum manis.
Seolah bangga dengan hasilnya.
Dan air mataku menetes tanpa permisi
sambil memetik Mika sebagai hadiah ulang tahunku yang ke – 17. Dia
mempercayakan Mika padaku, tetapi kenapa hatinya ia berikan pada orang lain?
“He's the reason for the teardrops on
my guitar,
The only thing that keeps me wishing on a wishing star.
He's the song in the car I keep singing, don't know why I do.”
The only thing that keeps me wishing on a wishing star.
He's the song in the car I keep singing, don't know why I do.”
*Taylor Swift – Teardrops on my
guitar.
“Gue
suka sama lo, Van.” Ucapku penuh keberanian kepadanya di parkiran saat pulang
sekolah. Keadaan yang sunyi senyap membuat atmosfer sekeliling kami menegang
seketika bak senar gitar yang ditarik kuat hingga nyaris putus bila disentil.
Dia
menatapku tanpa kedip. Sorot mata yang teduh itu kini berganti penyesalan.
Tanpa ia berkata pun aku sudah tau, semua penantian 3 tahun sia – sia belaka.
Dia hanya menganggapku sahabat. Akulah yang bodoh karna menyukainya.
“Maaf,
Re. Gue..”
Aku
menggeleng. Ku tatap wajahnya dengan senyum yang sering kutampilkan bila
bersamanya. Kusembunyikan sorot sakit hati jauh – jauh dari radarnya. Hanya aku
dan Tuhan yang tau betapa sakit hati ini. “Gue ngerti, Van. Lo gak usah
ngomong, please. Gue Cuma ingin bilang apa yang gue rasa selama ini. Sebentar
lagi kita lulus dan gue gak mau ini menjadi beban ntuk otak gue yang udah over
– capacity ini. Gue gak butuh balasan, Van. Hanya ingin lo tau tentang apa yang
selama ini gue pendam.”
Tatapannya
semakin sendu dan ia memegang pundakku. “udah berapa lama lo suka sama gue, Re?
Jujur.”
“Dari
lo putus dengan Ufi, Van dan gue putus dengan dia. Tiga tahun yang lalu hingga
saat ini, gue masih suka sama lo.”
“Re..
gue anggap lo sebagai sahabat yang paling, paling mengerti gue, cewek yang
kapanpun selalu ada disamping gue, gak pernah terbersit ntuk menjadikan ini
lebih, Re. Maaf.”
Aku
mengangguk dan tersenyum sambil menepuk pundaknya riang. Mengabaikan jeritan
hatiku yang menyumpah ria mengapa selama kami bersama, tak ada satu moment pun
membuat pintu hatinya terbuka ntukku. Malah cewek lain yang ia temui sekilas
lah yang selalu menjadi ratu hatinya. “gue ngerti, Van. Tapi, kita tetap teman,
kan walaupun lo tau isi hati gue?”
Aku
bisa melihat ketidakyakinan yang nyata disorot mata teduhnya itu, namun ku
abaikan kuat – kuat. Aku tak mau melihat apapun yang tersirat dimatanya. “gue
janji kita tetap sahabatan, Re.”
Janji
tinggal janji, dia perlahan menjauh dariku, hingga akhirnya menjadi yang asing
ntukku sekarang.
Aku menangis tak terkendali dengan
air mata yang membasahi tubuh Mika. Hanya Tuhan dan Mika yang tau betapa
sakitnya aku selama setahun itu karna merindukannya, tiap malam aku menyanyikan
lagu persahabatan tentang kami dan besok pagi mataku bengkak sebesar bola
tenis. Ketika semua masa itu berlalu dan aku bisa berdiri tegak, kenapa dia
hadir dihidupku lagi? dengan mudahnya menjentikkan jari ke benteng pertahananku
hingga rubuh tanpa sisa? Seandainya bisa, seandainya mudah, aku ingin
membencimu. Ingin membenci pertemuan kita. Baik tiga tahun yang lalu saat kita
masih putih abu – abu, atau masa sekarang. Jika bisa memilih. Lebih baik kita
tak usah bertemu saja agar aku tak mengharapkanmu sekali lagi.
“I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me, it isn't over.”
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me, it isn't over.”
Aku teringat
ucapan sok taumu yang mengatakan setiap kau putus dengan salah satu mantanmu
itu, bahwa cinta kadang terlihat sangat indah dan abadi seperti keindahan bunga
Sakura di bulan April, tapi bisa sangat menyakitkan lebih dari tertusuk duri
mawar jika bertepuk sebelah tangan. Kalau dulu aku hanya tertawa dan mengejek
kegalauanmu habis – habisan, kini aku membenari setiap ucapanmu. Aku sakit
hati.
“I
remember you said
Sometimes it lasts in love,
but sometimes it hurts instead.”
Sometimes it lasts in love,
but sometimes it hurts instead.”
*Adele – Someone Like You.
Getar ponsel
diatas ranjang menyadarkanku dari kegalauan yang menyiksa batin ini. Sambil
mengusap air mata aku berdiri dari kursi dan berjalan lemah menuju ranjang.
Keningku berkerut ketika sebuah nomor tanpa nama tertera dilayar. Ku buka isi
pesan itu dan seketika ponselku jatuh tanpa suara diatas ranjang. Ku pejamkan
mata sambil meneteskan air mata.
From :081xxx
Re, gimana kabar Mika? Sore nanti gue
kerumah lo, yah? Udah lama kita gak nyanyi bareng. Banyak yang ingin gue
ceritain ke lo setelah setahun menghilang.
I
miss you, Re. So much.
Sambil
mengusap air mata yang terus menetes, ku tekan beberapa kata untuknya dan
menutup mata ketika menekan tombol “send”
To : You.
Oke, Van. Gue tunggu.”
“Cause
if one day you wake up and find that you're missing me,
And your heart starts to wonder where on this earth I could be.
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet.
And you see me waiting for you on the corner of the street.
And your heart starts to wonder where on this earth I could be.
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet.
And you see me waiting for you on the corner of the street.
*The Scripts – the Man who can’t be
moved.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar