Minggu, 29 Desember 2013

Terpesona (Obsesi, Memilikimu)



Saat kita jumpa,
Ada rasa di dalam dada.
kau tersenyum manja,
membuatku terpana.
           
            “Coba liat.” kata seorang temannya kepada Dimas yang fokus melihat- lebih tepatnya mencari mangsa untuk melatih bakat menggombal perempuan. Penasaran,  ia menoleh dan seketika terdiam.
            Sebut dia gila sekarang. Tapi ia tak bisa melepaskan tatapan dari sosok gadis yang cekikikan dengan ketiga temannya berjarak tak jauh dari mereka. Dia, yang mengenakan kerudung hitam dan celana jeans serta baju kaos panjang, pipi tembam serta alis yang tebal dan panjang itu mencuri hatinya dari masuk cafee bernuansa minimalis – country, kemudian duduk sambil memesan minuman. Tanpa sadar dia berdiri, tak menghiraukan panggilan teman – temannya, lalu mendekati gadis itu dan tersenyum ketika mereka menatapnya dengan tatapan aneh. Seolah – olah dia alien berubah menjadi manusia.

            “Hai.”
♥ ♥

            “Siapa makhluk sialan – dengan senyum bodoh bikin ilfeel, duduk di depan gue seolah – olah bagian dari kami?!" Andini melirik sinis ketika cowok tak tau malu itu duduk didepannya.
            “Lo siapa?”
            Bukannya terintimidasi, atau mengkeret malu, cowok di depannya ini malah mengulurkan tangan. Mengajak kenalan. “Gue Dimas Dirgantara. Lo?”
            “Dirgantara? Papah lo punya perusahaan pesawat atau yang berhubungan dengan penerbangan nasional, yah?” Celetuk seseorang di samping. Membuat Dimas tertawa. “Menurut lo?”
            “Yaaa.. mungkin papah atau mama lo suka dengan nama nasional kali yah mengingat banyak anak sekarang mempunyai nama barat. Oh iya, nama gue Rere. Dan gadis di depan lo yang pasang wajah jutek sekarang ini namanya kak Andini. Dia... Aduh!” cerocosnya terhenti karna merasa di tendang dari bawah meja. “Sakit tauk, kak Dini!”
            Yang bernama Andini hanya tersenyum puas dan menatap penuh merendahkan kepada Dimas. “Kenapa lo duduk disini? That’s a girl area, boy. Kecuali lo pake rok dan baju seksi dulu, baru bisa nongkrong disini.”
            “Gak masalah.” Ucapnya sambil melipat tangan di meja dan memajukan tubuh mendekati Andini yang spontan mundur. “Asalkan gue bisa duduk di depan cewek yang udah mencuri perhatian sejak tadi. Gue serasa jadi Jaka Tarub yang terpesona karna melihat Bidadari turun di Bumi, memutuskan untuk mendekat setelah mencuri selendangnya. Dalam hal ini, lo mencuri perhatian gue.”

            Kalau cewek lain terkikik malu mendengarnya. Maka gadis ini adalah pengecualian. Dia memutar mata. “Lo ngomong yah?”
             “Menurut gue muji, kok.”

            Jaka Tarub dan Bidadari, yah?” Celetuk satu orang lagi lalu cekikikan. “Perumpamaan unik ntuk pertemuan pertama. Betul gak, Re? Anna?”
            Absolutely right, ka.” Sahut Rere yang kini asyik melempar kode – kode rahasia ke arah panggung. Bisa dipastikan bahwa penyanyi itu adalah salah satu temannya.
            “Lo ngapain sih, dek daritadi kedap- kedip mulu matanya? Sakit mata?” Tanya gadis disebelah kiri Andini dan tersenyum melirik Dimas. “Oh iya, gue Anna Jefriana dan ini kak Lyesha.”
           
            Dimas mengulurkan tangan kearah mereka bertiga dan menyalami satu persatu. “Gue Dimas. Dan itu teman – teman gue.” Dia memiringkan tubuh agar para gadis itu bisa melihat teman – temannya yang sekarang melambai heboh ke arah mereka. “Maklumin aja yah, perkumpulan para jomblo sih. Jadi begini ceritanya. Gak bisa liat cewek ngumpul, langsung aja radar pada tegak semua.”

            “Berarti lo salah satu dari para jomblo, dong? kasian banget.” Andini bersuara sinis sambil melirik Dimas dari atas sampai ke bawah dengan tatapaan menilai. “Aduduh... kenapa spesies macam dia yang muncul, sih? Gue malah berharap cowok seganteng Logan Lerman atau Orlando Bloom yang mampir dan duduk disini. Bukannya dia!” Gerutunya dalam hati.

            Dimas tersenyum simpul. “Tapi ntah kenapa ketemu lo bikin status jomblo gue memudar tuh.”
            “Dih! Merinding gue dengernya!” Andini memasang wajah jijik dan memalingkan wajah ke arah lain.


            “Dimas, kenapa lo jadi duduk disini? Bukannya mengusir lo yah, yaaa.. penasaran aja.” Tanya Lyesha yang dibalas anggukan oleh kedua temannya. Andini malah mengambil earphone dari tas ransel lalu mencolokkan ke ponsel dan asyik dengan dunianya sendiri dengan musik berdentum di telinga.
            “Gue awalnya Cuma nongkrong doang sih. Terus...” Dia melirik Andini yang asyik dengan dunianya sendiri sambil mengetuk meja mengikuti alunan musik. memberikan efek hipnotis tersendiri. “Gue liat dia, terpesona terus tau – tau duduk disini deh.”

            “Lo terpesona dengan kak Dini?” Rere menatap mereka bergantian. Dan Dimas mengangguk setuju. “Hebat banget  kak Dini udah bisa naklukin cowok dengan satu kali pertemuan.” Celetuknya usil sambil menepuk pelan pundak Andini. Membuat cewek itu menoleh garang seolah mengatakan “Shut up!”
            Anna dan Lyesha memperhatikan ekspresi Dimas yang tak bosan melirik Andini daritadi. membuat mereka saling bertatapan seolah satu pikiran kemudian Lyesha mengedipkan mata, menyuruh Anna melakukan apa yang mereka rencanakan dari telepati dadakan.
            “Dek...” Bisiknya sambil menarik lengan Rere agar mendekat dan membisiki sesuatu. Sesuai perkiraan, wajahnya merona mengiyakan penuh semangat. Seolah – olah dia baru saja menang undian mobil mewah keluaran terbaru tanpa dikenai pajak.
            Rere berdiri dari duduknya terlalu cepat hingga lutut kanan terantuk tiang meja. Ia meringis. “Gue ke depan dulu yah.”
            “Mau ngapain Re?” Tanya Andini yang curiga melihat wajah ketiga temannya penuh konspirasi. Apalagi yang baru saja berdiri ini.
            Rere menunjuk panggung. “Biasa kak. Panggilan mikrofon. Bentar aja kok gantiin temen.” Tanpa basa – basi, dia langsung memundurkan kursi dan berlari ke arah panggung. Menghampiri temannya dan membisiki sesuatu.

            Lyesha tersenyum geli menatap Dimas yang bingung dengan tingkah Rere yang terlalu ajaib itu. “Maklumin aja Dimas. Rere mah begitu kalau melihat mikrofon, panggung kecil, dan ada temannya disitu. Pasti pengen ikut - ikutan.”

            “Selamat sore semuanya. Hari ini gue mau bawain sebuah lagu yang menceritakan pertemuan pertama. Gue harap, siapapun yang mengalami pandangan pertama disini dan melakukan pedekate ala Jaka Tarub bertemu Bidadari...” Dia melirik ke arah teman – temannya dan Dimas yang mengangkat jempol setuju. Berbanding terbalik dengan Andini yang mengacungkan tinju di belakang Anna. “Gue doain dengan tulus semoga sukses pedekatenya.” Dia tertawa dan menatap ke belakang. memberi kode lewat jentikan jari agar musik dimainkan.

Saat kujumpa dirinya,
Di suatu suasana.
Terasa getaran dalam dada.
Kucoba mendekatinya,
Kutatap dirinya,
Oh,  dia sungguh mempesona.”

           
            Lyesha dan Anna saling berpandangan dan tertawa geli tertahan  melihat Andini kini melepas headset. Anna melirik Rere yang menyanyi sambil menatap mereka dan mengacungkan jempol. “Good job.”

            Rere tertawa melihat isyarat Anna dan semakin bersemangat menyanyikan isi hati sang cowok yang sekarang duduk di tempatnya.

“Inikah namanya cinta, inikah cinta.
Cinta pada jumpa pertama.
Inikah rasanya cinta, inikah cinta.
Terasa bahagia saat jumpa, dengan dirinya.”


*M.E – Inikah Cinta.

♥ ♥

            “Kalian sekongkol, kan?!” Andini menuduh mereka bertiga yang asyik cekikan karna Bian, pacarnya Lyesha “melempar” lelucon luar biasa hingga mereka mendadak terkena kram perut.
            Tuduhan itu membuat Rere menarik napas sambil memegang perutnya dan menghapus air mata yang menetes, dia berusaha fokus. namun wajah Bian yang melucu itu membuatnya semakin tertawa terbahak – bahak. “Ya Tuhan, Kak Lyesha! Bisa gak suruh  kak Bian jangan pasang wajah gitu? Mati ketawa gue kalau begini ceritanya.”
            “Bian...” Lyesha mencubit pinggang pacarnya mesra untuk berhenti memasang tampang wajah badut Ancol tak dikasih pesangon setahun itu. dan cowok itu berdehem lalu berusaha memasang tampang waras, melirik Andini yang bahkan tak tertawa sama sekali. “Lo kenapa, Din? Sakit perut jadi pasang wajah tertekuk gitu? Ke toilet gih.”
            “Kak Bian!” Dia menjerit dan mencubit Bian garang di lengan. “Gue jengkel tauk! Bukannya mau ke toilet! Gak peka amat sih!”
            Bian melirik Lyesha yang hanya tersenyum lalu mengalihkan tatapan ke arah mereka yang mulai bisa bernapas lega. “Emangnya lo jengkel kenapa?”
            Andini mendengus seperti Banteng siap menyeruduk siapa saja. masih sangat segar dalam ingatannya, setelah Rere selesai menyanyi dan turun ke panggung, cowok sialan - yang untungnya sudah pulang itu, menggoda habis – habisan! Membuatnya gatal ingin melempar kursi yang ia duduki ke arah cowok itu sampai seringai menyebalkan itu hilang! Parahnya lagi, Anna malah memberikan nomor ponselnya ke cowok itu terang – terangan! Dan sekarang, sudah ratusan kali cowok itu menelpon, mengirim sms yang membuat ia ingin melempar ponselnya ke bak sampah!

            Arrrgghh!!

            Dan dia menceritakan semuanya kepada Bian yang hanya mangut – mangut saja mendengarkan. Selesai bercerita, dia memanggil waiters untuk memesan minuman untuk ketiga kalinya. Bercerita tentang cowok sialan itu membuatnya haus.
            “Menurut gue, ladenin aja kali. siapa tau dia bisa ilangin status jomblo abadi lo, Din.”
            Jawaban Bian membuatnya melotot ganas. “WHAT?! Ladenin? NO WAY! Gue mending disuruh ladenin orang gila ngomong semalaman daripada balas semua responnya dia, kak. Lo ngasih usul yang waras dikit napa?!”
            “Itu usul yang paling waras, tauk!” Bian menggetok kepala Andini. “Gini yah, cowok kalau udah tertarik ama cewek memang begitu tingkahnya, Din. Tapi dengan gaya berbeda sih. Nah.. Dimas itu sama kayak gue. Bedanya mungkin gue butuh perantara, dia Cuma naikin tingkat pede ama pasang topeng Badak ntuk melakukan itu. Cuma yang bikin heran, kok bisa dia menjatuhkan pilihan ke lo yang sangar ini, yah?”Bian menatap Andini dengan tatapan menilai dari ujung kaki ampe ujung kepala. Mencoba mencari dari sisi mana seorang Dimas itu bisa tertarik dengan Andini yang dikenalnya selalu naik darah ini.
            “Yaaa.. maklumin deh kak. Di mata kak Dimas, kak Andini itu diibaratin kayak Bidadari baru turun dari Bumi biarpun belum mandi, tetap aja cantik mempesona. Sama dengan sekarang, walaupun kak Dini galak ampun – ampunan, tetap aja dia tutup telinga, kuatin hati, melekin mata kalo kak Dini lewat. Kayak lagu...” Rere mencerocos ala bajaj balapan dengan angkot di jalan sempit. Kemudian terkikik sendiri. “biar kata dia buaya, bagiku Luna maya. Biar kata ka dini galak, bagi Dimas dia bagai burung Merak . Wahahaaa...”
            “Tobat Re.. tobat..” Anna langsung menyodorkan segelas air putih pada dia yang tertawa daritadi dan Rere menyambut dengan senang hati. “Aduh! Sakit kak Dini!” Jeritnya sambil mengelus kepalanya yang baru saja “Dicium” kak Dini dengan buku menu seberat Galaxy Tab. 10.1 inchnya.
            “Makanya jangan ngaco!”
            Bian tertawa terbahak – bahak. “Gue jadi penasaran gimana tampang Dimas deh. ngomong – ngomong, dia kuliah dimana, Din?”
            “Mana gue tau! Ngeliat wajahnya aja males, ngapain nanya dia kuliah dimana? Besar kepala, gede mulut ntar! Hiiyy...”
            “Duilee...” Lyesha menghapus air mata yang menetes. Suara cempreng Rere menyanyikan lagu itu membuatnya benar – benar mengalami kram perut. “Gue berfirasat, lo akan mengalami kejadian haters being lovers. Betul ‘kan?”
            Anna mengangguk setuju dan Andini mendengus jengkel. “Kalau sampai itu terjadi, tagih gue untuk makan jengkol sepiring berdua saling suap – suapan! Gimana?”

            Ucapan Andini membuat mereka berempat terbahak – bahak. Bahkan Lyesha sambil memegang perutnya karna tak tahan lagi. “Lo serius nih?”
            “Serius! Kalian bisa jaga omongan gue loh..”
            “Yakin?” Bian melirik Andini yang terlihat kalap daripada berpikir logis dengan apa yang diucapkan barusan.
            “Iya, Kak Bian. gue yakin!”
            “Oke deh!” Rere mengangkat gelas berisi air putih itu tinggi – tinggi. Mengajak bersulang. “Bagaimana kalau kita bersulang aja ntuk resmiin ucapan kak Dini yang sakral itu?”
            Mereka semua mengangkat gelas dan mendentingkan ke udara. Kemudian melirik Andini yang masih tersenum penuh percaya diri. “Gue gak akan jatuh cinta ama cowok songong itu! tagih janji gue kalau sampai kejadian.”

            “Oke!!” Teriak mereka bersamaan dan tertawa lagi.

            Tapi... apa yakin?

♥ ♥

                        “Cengengesan mulu lo! dibilang gila baru tau rasa!” Sebuah jitakan melayang mulus ke arah Dimas yang sedari tadi bertopang dagu di depan rumah sambil cengengesan. Seandainya tak akrab, mungkin dia akan menelpon 911 untuk menanyakan nomor telpon Rumah Sakit Jiwa terdekat.

                        Dimas menoleh ke arah sahabatnya dan tersenyum lebar. Kalau saja virus jatuh cinta tak membuat otaknya serasa jungkir balik, dengan senang hati dia akan membalas jitakan itu dengan gulungan diktat yang ia pegang sekarang. “Gue jatuh cinta nih.”
                        “Lo bisa jatuh cinta? Alhamdulilah... terimakasih Tuhan karna sudah membuat image hamba yang selama ini dibilang pacaran ama kunyuk tengil satu ini, menjadi pulih menjadi laki – laki tulen.”
                        “Sialan lo Rey!” Dan sebuah diktat tergulung kuat melayang di bahu Reynald hingga berdebum. Dan cowok itu meringis kesakitan namun cengiran semakin melebar saja. selebar lubang di jalan yang belum tersentuh aspal. “Gue serius tauk!”
                        “Siapa cewek yang ketiban cinta lo, Dim?”
                        “Lo inget cewek yang di cafee tadi itu? yang gue samperin?”
                        “Yang mana? Ada tiga cewek lo ajak ngobrol. Yang pasang muka emosi tiap liat lo, atau yang tersenyum dari tadi, atau cewek yang sibuk berbisik – bisik ama temannya yang nyanyi di atas panggung tadi?”
                        “Yang pasang muka emosi itu, Rey. Gak tau kenapa, pertama kali liat dia gue gak bisa lirik ke arah lain gitu. Mau – maunya natap dia walau tuh cewek emosi mulu. Justru semakin dia emosi, gue semakin gemes, Rey.”
                        “Gemes mau ngapain lo, Dim?”        
                        “Pengen...” Dia memonyongkan mulut seperti Ikan Mas Koki megap – megap kehabisan air, membuat Reynald mengambil sandal terdekat dan mengarahkannya tepat di mulut Dimas yang monyong – menjijikkan itu. “Kampret lo, Rey!” Ia mengelus bibirnya yang malang itu dan melempar balik sandal sialan itu tepat mengenai kepala Reynald.
                        “Tingkah lo juga bikin gue semakin kehilangan image cowok tulen! Normal dikit, napa?!”           
                        Dia tertawa dan Reynald geleng – geleng kepala. “Lo serius naksir ama dia?”
                        “Sejak kapan gue main – main urusan beginian, Rey?”
                        “Punya nomor ponselnya gak? kalau sampai gak minta, mati aja lo sana.”
                        “Punya kok.” Dimas mengambil ponsel dari saku celana lalu membuka kotak pesan terkirim dan menunjukkan ke Reynald. “Gue sms dia daritadi, gak direspon.”
                        Rey merebut ponsel Dimas dan terbelalak. “50 sms lo kirim ke dia dan semuanya gak dibalas?” Lalu dia membuka isi pesan itu satu – persatu. “Yaiyalah gak dibalas! Lo sms dengan kata – kata rayuan semua! Gini yah, kalau lo naksir sama cewek, jangan pernah sekalipun ntuk rayu dia! apalagi cewek galak begitu! Beuh...”
                        “Terus gue harus gimana dong? Gue punya nomor ponsel doang nih.”
                        “Gue kenal kok salah satu dari mereka.”
                        Ucapan Rey membuat ia serasa ketiban durian masak dari pohon. “Serius?”
                        Rey mengangguk sambil mengangkat sebelah alisnya. “Mau gue tanyain? Mumpung gue lagi baik hati nih.”

                        Dimas mengangguk seperti anak kecil mau dibelikan selusin eskrim kesukaaan. Reynald menghubungi temannya dan berbicara ngolor – ngidul­ sebelum ke topik sebenarnya. Dan Dimas menunggu dengan sabar. Ketika Rey mematikan telpon, senyum di wajahnya melebar.
                        “Dia satu kampus ama lo dan...” Rey menceritakan detail dan Dimas mengangguk. Senyum di wajahnya semakin lebar. Semua rencana ntuk menaklukan hati gadis incaran sudah terketik rapi di dalam otaknya. Tinggal menunggu dilaksanakan dan SIMSALABIM! Hati gadis itu akan ada di genggamannya. Dan takkan pernah dilepas.

                        You’ll be mine, dear. Just wait and see.

♥ ♥

                        “Eh.. Eh.. Din...” Anna menyodok pelan lengan Andini ketika cewek itu lebih memilih menghabiskan mie goreng yang ia hadapi sekarang daripada menghiraukannya. Karna terlalu kencang, dia mendapatkan pelototan tajam. “Apaan sih Ann? Rere bikin ulah lagi? Biarin aja tuh anak rusuhin panggung!”
                        “Apaaan tentang gue, kak?” Rere muncul bagai jin dan duduk di depan Andini dengan mimik bertanya. Membuat Anna memberi isyarat minggir. “Lo nutupin pemandangan, dek.”
                        “Pemandangan?” Matanya membesar dan mengikuti arah tatapan Anna dengan penuh antusias berlebihan. Namun kecuekan Andini membuat usilnya kumat. Ia menarik piring makan kakak tingkatnya yang pemarah itu dan nyengir lebar ketika si korban meradang. “Apa –app—“
                        “Halo Andini.” Omelannya menggantung di udara ketika mendongkak, wajah cowok luar biasa tengil yang menerornya hampir seminggu hingga ia memilih ganti kartu, sekarang tepat di hadapan. Dengan senyum andalan, dia duduk di samping Rere. “Gak nyangka kita ketemu disini. Mungkin kita jodoh.”

                        Kalimat jodoh yang diucapkan lantang itu membuat ia langsung tersedak tanpa sebab dan memukul dada heboh. Anna langsung mengelus punggung Andini dengan senyum yang berusaha ia tahan mati – matian agar tak mendapat ‘semprot’. “Jodoh mbahmu! Ogah gue!”
                        “Buktinya kita ketemu lagi disini. Gak nyangka cewek yang menjadi penghias mimpi indah gue setiap malam ternyata satu kampus. Wah.. wah.. thanks God for everything.” Dia menengadahkan tangan seolah bersyukur. Membuat Andini ikut menengadahkan tangan dengan mimik memelas. “Tuhan.. kenapa hamba jadi satu tempat kuliah dengan cowok tengil ini? Aduh... aduh...”
                        “Udah jalannya mungkin, kak.” Ucapan Rere bernada songong itu membuat ia memberikan sebuah jitakan dengan sangat, sangat sukarela. “Sakit, kak Dini!”
                        “Biarin!”
                        Dimas melihat pertengkaran mereka hanya tersenyum simpul. Wajah marah Andini sangat lucu dilihat. Pipi tembam yang menggembung, rona merah merayapi seluruh wajah, dan tatapan tajam melirik Rere yang tersenyum tanpa dosa sambil berlindung di balik punggung Anna dengan tatapan minta dijitak.
                        “Lo ngapain disini, kak Dimas?” ia menoleh dan tersenyum menatap Andini yang membuang muka. “Kuliah dong, re. masa gue jualan? Tapi kalau jualan cinta sih gue mau. Asal Andini yang beli.”
                        Andini mencebik mendengar gombalan nyasar bin basi itu, Anna terkikik geli diikuti si penanya yang terbahak – bahak. Mungkin satu lelucon lagi, dia akan diseret ke rumah sakit jiwa terdekat ntuk diperiksa mentalnya yang mungkin agak terguncang.
                        “Lucu banget yah lelucon gue jadi lo pada ketawa hampir kehabisan napas gitu?”
                        “BASI! MURAHAN! NORAK!” Andini langsung menyambar start ketika dilihat Anna ingin menjawab. Dia berdiri dari duduknya dan mengambil tas. Nafsu makannya yang menggebu – gebu sekarang hilang seperti debu disedot oleh vacumm cleaner karna Dimas di depannya.
                        Dimas tersenyum menanggapi emosi Andini yang tak kenal tempat itu dan melipat tangan diatas meja. “lo antipati banget sama gue, yah?”
                        “Gue antipati ama orang yang SKSD, yang bikin hidup gue seperti dikejar selusin debt collector karna sms dan telpon mendominasi ponsel gue. Dan orang itu adalah lo!” Ucapnya sambil menodongkan jari telunjuk tepat didepan Dimas yang tersenyum.
                        “Lo kenapa senyam – senyum sih?! Ngomel dong! Balas gue dong! Dasar gila! Gak waras! Sinting!”
                        Dimas mangut – mangut mendengarkan. Seolah Andini sedang memberikan instruksi yang harus dikerjakan, bukan melempar omelan nyelekit. “Lo mau ga diperlakuin gitu lagi? Gue kasih cara ampuh deh.”
                        “Oh yah? apaan?”
            “Eum...” Dimas memasang wajah berpikir ntuk melihat ekspresi Andini yang semakin masam. Hal itu membuatnya tertawa. “Jadi pacar gue aja gimana? atau kalau lo gak mau, kita nikah aja! Gue siap kok. Siap pake’ banget deh!”

                        “Kak Anna.. kita berdoa yuk moga kak Andini gak kolaps.” Rere berbisik pelan ketika melihat ekspresi kak Andini berubah mulai menjadi kaget luar biasa, lalu melongo lebar, dan tatapan matanya berubah sinis. Kemudian dengan kasar ia mendorong kursinya kebelakang dan menatap Dimas yang masih tersenyum. “Mimpi aja lo sana! Gue O.G.A.H!” Dia berbalik badan dan meninggalkan mereka dengan emosi menggebu – gebu hingga beberapa orang memilih minggir kalau ingin selamat.

                        Dimas nyengir lebar. Dengan cepat ia berdiri dan berteriak. “Oke! Gue anggap lo terima gue, Andini!”
                        Melihat respon Andini yang mengacungkan tinju di belakang kepala, membuat ia tersenyum geli dan memutuskan mengobrol dengaln teman akrab cewek pujaannya itu ntuk mencari informasi sekecil apapun.


                        “Sialan! Sialan! Sialan!!! Arghh!!!” Andini sekuat tenaga melempar batu ke arah danau kecil di belakang kampus ntuk meluapkan semua emosinya disana. Ponselnya berulang kali berdering dia abaikan. Dia tak ingin mengangkat telpon dari siapapun. Bodo amat semua orang mencarinya. Dia tak butuh dicari!
                        Tapi dia lelah mendengar ponselnya bernyanyi tanpa henti. Dengan malas dia menekan tombol On. “Apa?”
                        Suara Anna yang lembut menjawab, “Lo dimana, Din?”
                        “Di danau mau bunuh diri!”
                        Suara Anna semakin lembut. berbeda sangat dengan dirinya yang siap – siap ingin membunuh orang. “Kenapa lari, Din? Dimas bukan Evan loh.”
                        Nama itu sukses membuat Andini terdiam. Dia menghela napas sambil menyandarkan tubuh yang mendadak sangat lelah ke pohon. Dia butuh sandaran sekarang.  “Tapi tingkahnya mirip, An. Gue gak sanggup disakitin dua kali lagi.”
                       
                        “Sifat yang sama bukan berarti orangnya juga kan, Din? Dia nanya lo panjang lebar dan gue bisa menilai dia cocok ntuk imbangin lo yang terlalu serius.”
                        Andini menggeleng walau tau Anna tak melihat. “Gak, An. Kalau lo menelpon gue hanya ntuk yakinin Dimas itu beda. Makasih. Usaha lo sia – sia. Bye.” Dia menutup telepon tanpa mempedulikan Anna akan menjawab apa. Dia tak peduli lagi. Baginya semua cowok itu sama seperti Evan. Mendekat hanya untuk pelampiasan.

            Flashback.

            “Terlalu sadis caramu, menjadikan diriku.
pelampiasan cintamu, agar dia kembali padamu.
tanpa peduli sakitnya aku.”

                        Hatinya hancur luar biasa dibalik pintu ketika  mendengar bahwa selama ini dia mau berpacaran dengannya bukan karna cinta, tapi ingin mendekati Lisa yang kebetulan akrab dengannya, yang merupakan mantan cowok itu. Ajakan makan siang yang ia siapkan pun hancur berantakan.
                        “Jadi lo benar – benar gak sayang dengan Andini, Bro?” Andini mendengarkan dengan hati hancur berkeping – keping. Dia ingin lari, tapi kakinya serasa telah dilem kuat ntuk mendengarkan semua pengakuan busuk Evan.
                        “Gak. Gue Cuma ingin ngajak Lisa balikan doang makanya pacaran dengan Andini. Daripada gue nganggur dan dicap jomblo ngenes. Toh kalau gue balikan lagi ama Lisa, gue bisa putusin Andini.”

            “tega niannya caramu. Menyingkirkan diriku
Dari percintaan ini. Agar dia kembali, padamu.

tanpa peduli sakitnya aku.”

*Afgan – Sadis.

                        “Jahat banget ide lo, Van. Ga mikirin hati Andini?”
                        Andini meremas tangannya hingga memutih. Tak ada air mata yang menetes ketika mendengar itu. Yang ada dia membuka pintu kelas dengan kasar, berjalan cepat kearah Evan yang sangat terkejut melihat kedatangannya, dan...

                        Plak!

                        Dia menampar pipi Evan dengan sangat keras hingga pipi cowok itu memerah dan cap tangannya terlihat jelas. Tangannya sakit namun ia abaikan. “kita putus!” ucapnya lantang dan berbalik badan keluar ruangan. Mengabaikan Evan yang kini berlari menyusulnya. Baginya, semua telah selesai.

                        Sejak itulah, dia tak pernah lagi percaya dengan cowok. Takkan pernah.


∞ ∞

                        Suara isakan dibelakang pohon terdengar ketika Dimas melangkah ringan menuju danau ntuk berpikir jernih, dan itu membuat ia merinding. “Memangnya Mbak Kunti sekarang ganti jadwal jadi Patroli Siang atau patah hati berat hingga niat muncul siang bolong begini?” Batinnya sambil melangkah pelan tanpa suara mendekat ke arah sumber suara memilukan itu, menghela napas lega – sekaligus sakit secara bersamaan.
                        Lega, karna bukan Mbak Kunti yang menangis siang bolong di depan pohon, sakit karna yang menangis itu adalah cewek ditaksirnya. Dia duduk disamping dan menarik badannya ntuk bersandar didadanya. Meminta secara halus ntuk merasakan kesakitannya.
                        Sentuhan itu membuat Andini kaget. Ia langsung menyikut perut cowok itu dan berdiri menjauh. Cepat ia menghapus air mata dan menatap tajam kearah Dimas yang mengernyit sedikit kesakitan. “Ngapain lo disini? Ngikutin gue?!”
                        Dimas menatap Andini yang berkacak pinggang dan melihat benteng pertahanan mengelilingi gadis itu dengan sangat tegak dan tinggi. Dia tau semuanya dari Anna tentang kenapa gadis pujaannya ini sangat antipati dengan perhatian manis.  Membuatnya bertekad ntuk membuktikan bahwa dia bukan pria yang sama. “Berapa kali harus gue bilang kalau kita ini jodoh sejak pertemuan pertama itu?”
                       
                        Andini memasang wajah jijik. “Dih! Gombal basi lo gak laku!” ucapnya ketus dan berbalik pergi. Namun mendadak lengannya ditarik maju dan terkurung dipelukan dengan sangat erat.
                        “Lo! Lo ngapain?! Lepasin gue! Lep..” Ucapannya terhenti ketika bibirnya yang siap menembak amunisi menyakitkan, terbungkam seutuhnya oleh sentuhan lembut oleh bibir Dimas. Sentuhan yang menyenangkan, membuatnya tak sadar berhenti meninju dada Dimas dan berganti memeluk erat. Ciuman yang paling lembut pernah ia rasakan. Bahkan Evan pun tak pernah seperti ini.

                        Evan!

                        Nama itu seolah menampar kesadarannya. Cepat dia mendorong Dimas menjauh darinya, meronta ketika Dimas memasukkan lidahnya dan bermain di sudut – sudut mulutnya dengan sangat ahli. Membuatnya lemah dan merasa perlu dipegang agar tak merosot ke tanah.
                       
                        Dimas yang tau perlawanan Andini melemah, tersenyum senang dalam hati dan mencium penuh lembut. Membuat perbandingan tersirat bahwa dia tak bisa disamakan dengan siapapun dimasa lalu Andini. Dia adalah dia. Bukan dia yang mirip dengan orang lain yang ia sendiri tak pernah liat. Dan Andini harus tau semua itu di setiap sentuhannya. Dan ia menunjukkan itu dengan mengelus punggung Andini dengan sangat lembut hingga bisa merasakan bahwa tubuhnya bergetar gugup, French kiss ria dengannya memberi kenikmatan yang sangat indah hingga Andini tak sanggup menanggungnya sendiri.
                        Ia berontak lagi – bahkan menginjak kaki Dimas keras hingga spontan mundur dan pelukannya terlepas. Ia meneteskan air mata dan bibirnya terasa panas dan membengkak. Tanda ciuman panas mereka benar – benar mantap. Dan air matanya diusap penuh kelembutan oleh Dimas membuat ia mendidih dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tak pernah merasakan dilecehkan segitu hinanya.

                        PLAK!
           
                        Sebuah tamparan keras dan sangat telak melayang ke arah pipi kirinya tanpa antisipasi. Dia menatap Andini yang bernapas naik – turun penuh emosi meluap dan tatapan matanya yang sangat dingin. “Brengsek! Apa maksud lo cium gue, Dimas?! Lo mau melecehkan gue? Lo anggap gue murahan?!” Andini mengacungkan jari telunjuknya tepat didepan hidung Dimas dan meludah kesamping. Seolah membuang jejak apapun yang tersisa sambil mengusap kasar bibirnya yang membengkak dan merah itu.
                        Bukannya marah atau balas menyerang Andini, dia malah tersenyum simpul sambil mengelus pipinya yang merah dan menatap tingkah Andini yang mengelap sekali lagi bibirnya dengan tisu basah sambil tersenyum geli. “Tapi lo menyukainya, kan? Mengakui dalam hati, kan kalau ciuman gue memang tak ada tandingannya?”

                        Sialan! Dasar cowok mesum!” Andini menyumpah dalam hati dan menatap Dimas garang.  “Lo..”
                        Dan Dimas mencium Andini sekali lagi sebelum semua sumpah serapah itu terucap. Hanya ciuman ringan, namun membuat Andini sedikit lemas hingga Dimas harus menopangnya ntuk berdiri tegak. Merasa Andini akan semakin merosot saja dan ada sebuah perasaan aneh – ingin memiliki lebih kuat hingga takut tak bisa menanggung sendirian, Dimas melepaskan pelukannya dan menatap Andini lekat – lekat.
                        “Gue tau kenapa lo hindarin semua perhatian gue, Andini. Tapi satu hal yang harus lo ingat, Gue adalah Dimas. Bukan Evan. Jadi jangan bandingin gue dengan cowok sialan itu.”
                       
                        PLAK!

                        Dan sebuah tamparan keras pun melayang lagi ke pipi Dimas. “Tapi lo sama brengseknya!” Ucapnya pedas dan langsung meninggalkan Dimas tanpa banyak kata lagi.
                        Dimas mengelus kedua pipinya yang ditampar Andini dengan senyum lebar. Bangga dalam hati karna baru saja meninggalkan jejak manis di bibir gadis itu, yang mungkin akan diingatnya sampai mati. Yang ia lakukan sekarang adalah, bagaimana caranya agar gadis manis pemarah itu menjadi miliknya.

                        Yah miliknya. Tanpa ada bayang – bayang seseorang dikehidupannya. Hanya ada dia.

∞ ∞

                        Lo pengen tau detektor perasaan paling ampuh kalau kata – kata tidak meyakinkan ntuk dipercaya? Cium saja dia dan rasakan bagaimana manisnya bibirnya menyentuh lo. Apalabila itu terasa sangat indah hingga tak ingin lepas, maka itulah isi hatinya.

                        Andini langsung melempar majalah berisi quotes tentang ciuman bisa mendeteksi isi hati! Bah! Teori nyasar darimana pula itu?! Teori itu hanya ntuk mendukung ulah pria – pria mesum diluar sana ntuk mencium cewek sesuka hatinya dengan modus cinta mati!
                        Tapi.. ciuman dia gak buruk – buruk amat kok. Spektakuler malah.”
           
                        “Spekatkuler apaan?! Harga diri lo baru saja dititik paling rendah karna mau – mau aja dicium ama cowok sinting itu! Dua kali lo dicium dan pasrah aja?! Dimana lo naroh moral?!”
                        “Diam!” teriaknya frustasi ketika isi hati dan otaknya saling ribut tentang kejadian sialan tadi siang. Ini memang bukan ciuman pertamanya, tapi tetap saja setelah 3 tahun putus dari Evan dan tau – tau dicium mendadak membuatnya kaget luar biasa, dan sensasi ciuman itu, sangat terpaksa mengakui, dia tak bisa melupakannya begitu saja.

                        “Sialan! Dasar cowok brengsek!” Andini menyumpah dan menelungkupkan wajah dengan bantal yang ia ambil dari ranjang. Kenangan itu membuat wajahnya malu tanpa sebab. Seandainya ada sabun pencuci kenangan, dia akan membeli dan menghapus memori sialan itu dari otaknya agar tak teringat bagaimana rasa bibir Dimas ketika menyentuhnya, tak terburu – buru seperti Evan. Sangat manis dan lembut. Membuat ia seketika lupa akan kebencian yang menggung bak Gunung Everest sebelum nama Evan bertalu – talu di gendang telinga.
                        “Tuhan...” Andini menengadahkan kepala menatap langit – langit kamar. Kalimat lanjutan quotes  sialan itu masih terbayang jelas di kepalanya, tercetak di langit – langit kamarnya yang  berwarna putih. Membuat ia mengerang.
                        Lupain, Please.”

                        “Fakta menyebutkan, ketika seseorang mencium lo sepenuh hati, padahal lo benci setengah mati dengannya. Hati – hati, siapa tau lo akan jatuh kedalam pesonanya sebentar lagi.”

∞ ∞

                        Reynald menggaruk kepalanya sedari tadi yang gatal. Melihat Dimas senyum – senyum sendiri didepan pintu  kost dengan pandangan fokus kearah pohon Beringin, membuatnya merinding. Dia tau efek jatuh cinta bisa membuat orang waras menjadi sedikit kacau, tapi dia tak tau kalau Dimas yang dari sononya sudah kacau, menjadi setengah gila. Terkutuklah para cebol bersayap bernama Cupid Asmara diluar sana yang sekarang terkikik geli dan bertos ria melihat keadaan mental sahabatnya ini.
           
                        “Dia itu hot banget, Rey.” Gerakan tangan Reynald yang ingin menepuk punggung Dimas terhenti diudara mendengar ucapan sinting sahabatnya itu. Ada apalagi ini?
                        Gue cium dia siang tadi, Rey! Dua kali gue cium dan rasanya itu...” Dimas menoleh kearah Reynald yang memasang wajah ngeri dan tertawa terbahak – bahak karnanya. “Ekspresi wajah lo yang waras aja napa!”
            “Gimana gue gak ngeri liat lo ngomong seolah tau gue datang, gitu!”
                        “Bau badan yang gak mandi seminggu itu ngasih tau gue.” Dan sebuah toyoran kepala menghampiri Dimas. “Sompret lo! By the way,  lo ngomong apa tadi? Hot apan?”
                        “Gue cium Andini.” Ucapnya santai dengan senyum super lebar diwajah mengingat kejadian siang tadi. Tamparan telak di kedua pipinya seolah tak ada pengaruh sama sekali.
                        Reynald shock dibuatnya. Andini, gadis pemarah itu baru saja berciuman dengan Dimas?  Ini Luar biasa. “Lo gak ngayal, kan?”
                        “Buat apa gue ngayal hal seindah ini, Rey?” Dimas menatap Reynald dengan seringai jahilnya. “Gue serius, Rey. Dan lo sebagai sahabat gue yang baik, mau gak tolongin gue?”
                        Reynald menatap Dimas dan geleng – geleng kepala menyadari sahabat labilnya ini tak bohong. “Mau gue bantu apaan?”

                        Dimas tersenyum dan membisiki sebuah rencana hasil pemikiran dia dan semedi di tepi danau kampus setelah kejadian indah itu. Dan Reynald hanya mengangguk saja tanpa banyak kata.

∞ ∞

                        “Pagi, Andini.”
                        Dia terlonjak mendengar sapaan manis didepan ruangannya. Ia menoleh  lalu masuk tanpa membalas. Sejak ciuman sialan beberapa minggu lalu itu, Dimas berusaha mendekat, namun ia memperlakukannya seperti tembok kusam. Terlihat dan terabaikan. dan ia jagonya dalam hal itu.
                        Bukan Dimas Dirgantara namanya kalau tak bisa membuat Andini berbicara sepatah – dua kata sejak kejadian indah – dan ingin terulang lagi itu. Dia mengikuti Andini dan duduk menyamping dengan menumpukan kepalanya di tangan kiri. Fokus sepenuhnya tanpa bicara. Hanya tersenyum setiap Andini menoleh padanya.
                        Dia salah tingkah dibuatnya. Cewek manapun – baik waras atau tidak pasti salting luar biasa kalau dipandang terus  terusan bak kamera CCTV oleh siapapun. Apalagi cowok! Dan Dimas seolah tak bosan menatapnya seperti itu. Tersenyum ketika dia menoleh garang. Seolah – olah memancing emosinya yang semakin menipis ini ntuk berbicara.
                        Tidak! Silahkan bermimpi saja, Boy! Dia takkan sudi mengeluarkan suara indahnya ntuk Dimas. Tidak akan pernah lagi! Andini bertekad dalam hati dan fokus membaca catatannya karna hari ini ada kuis.
                       
                        “Loh, Dimas? Ngapain disini?” Anna bingung ketika ingin duduk disamping Andini, melihat Dimas yang jelas – jelas bukan mahasiswa satu jurusannya, rela duduk seperti patung peraga disamping Andini yang jelas – jelas mengacuhkannya. “Menunggu pujaan hati gue, Ann.”
                        Anna terkikik geli. Dia bisa melihat gerakan naik bahu Andini dan dengusan pelan. Sahabatnya ini sama batunya dengan tekad Dimas ntuk membuka hatinya. Membuat ia tersanjung dan menepuk pundak Dimas. Memberi semangat moril. “Ganbatte, Dimas! Gue dukung lo kok.”
                        Dimas tersenyum dan menatap punggung Andini yang pasti mencibir panjang – pendek mendengar dukungan Anna yang membelot itu. Tapi memang ini yang ia butuhkan. Menarik perhatian semua sahabat Andini ntuk mendapatkannya.
                        “Dosennya masuk tuh, Dim.” Bisik Anna ketika melihat dosen mereka masuk ruangan. Ntungnya mereka duduk dibagian belakang. Jadi kalau ingin menyelinap kabur takkan kelihatan.
                        Dimas mendesah kecewa. Kalau saja dia tak ujian hari ini, sudah pasti akan duduk disini mengikuti mata kuliah Andini yang sangat bertolak belakang dengannya. Dia berdiri dan mendekati Andini, menarik tubuh gadis itu dan mencium puncak kepalanya. Mengabaikan eskpresi kaget Andini. “Gue masuk kelas dulu yah, beib.” dan keluar dengan santai. Tanpa mengabaikan tangan Andini yang terkepal dengan secarik kertas yang ia remas sampai hancur.
           
                        Dia menatap Anna yang duduk ditempat Dimas tadi dengan tajam. “Liat tuh sekutu lo gimana ama gue! Cium – cium dia kira gue sudi?!”
                        Anna membalas dengan senyum perhatian – seperti biasa. “Tapi lo suka, kan?”

                         “Dih! Kalau udah pulang kuliah ntar, gue bakal cuci nih rambut pakai air kembang sampai bersih!”

                        Anna yang mengetahui Andini sejak lama, hanya tersenyum tanpa menimpali. Membiarkan Andini berkata sesukanya. Mengelak sekehendak hati.

∞ ∞
                     
            “Dia yang sesungguhnya,
tak mungkin kuterima.
apakah mungkin ku jatuh cinta.

jatuh padanya.”

                      “Hahhaha.. gak mungkin! Mustahil!” Andini tertawa sendiri mendengar selentingan lagu yang menjawab kegelisahan hatinya. Bagaimana mungkin dalam kurun waktu sebulan dia sudah kelepek – kelepek dalam pesona seorang Dimas? Hahhaaa.. that’s impossible!
                      mungkin gue sudah gila.” Ucapnya dalam hati sambil mengucap puncak kepala yang dielus Dimas pagi tadi. Masih terasa kehangatan tangan yang mengelus puncak kepalanya dengan sayang, tangan yang sama memeluk pinggangnya erat beberapa minggu lalu sambil menciumnya ditepi danau yang hening. Hanya Tuhan yang tau perasaannya menjadi amburadul sejak terjadi kejadian “naas” itu.

            “Bersamamu, itu tak mungkin.
Sungguh tak mungkin.
oh mungkinkah.
rasa ini, apa namanya.
 sungguh ku tak mengerti.

apakah ku jatuh cinta.”

*Sherina ft Vidi Aldiano – Apakah Ku Jatuh Cinta.
                     
                      Wajah Andini merona tanpa sebab memancing perhatian Anna dan Lyesha. Biarpun mereka beda fakultas, tapi selalu berkumpul ditaman yang berada ditengah kampus apabila jadwal memungkinkan. “Kenapa lo, Din?”
                      Pertanyaan Lyesha membuat ia terkesiap kaget dan wajahnya semakin merah. Dengan penuh gengsi ia membuang kenangan memalukan itu dan menatap Lyesha. “Kenapa apanya, kak?”
                      “Senyum – senyum sendiri  denger lagu terus merona tiba – tiba. Hayooo... mikirin Dimas, yah? Tuh kan, wajahnya merona lagi. Ciee.. Dini.. ciee..” Goda Lyesha sambil mencolek dagu Andini dengan kerlipan jahil dan tertawa melihatnya membuang muka. “Gue kasih tau Bian, ah. Pasti dia ngikik nih.” Cepat ia mengambil ponsel dan mengetik beberapa kata sambil terkikik sendiri membacanya. Ia menatap Lyesha dengan galak sebagai usaha menyembunyikan rona merah yang masih tersisa di pipi. “Apaan lo sih, kak norak banget! Gue gak ngayal si kutu kupret itu! Dih! Tak sudi!”
                      “Yakin? Tadi malah senyum – senyum sendiri pas disapa Dimas. Sudahlah Din, ngaku aja ada hati gak bakal dibully kok.” Desakan Lyesha malah membuatnya berdecak sebal. “Apaan sih lo, kak?! Nyebelin deh!”
                      “Udah... udah...” Anna melerai mereka dengan senyum terkulum. Penolakan telak – telak dari Andini dengan wajah memerah malah semakin mengiyakan ledekan Lyesha. Andini mencebik si peledek semakin menertawakannya.
                      Cebikannya berhenti ketika melihat tak jauh dari mereka, ia melihat Rere dan Dimas saling mengobrol riang seolah mengenal lama. Bahkan tak segan – segan tangan Rere merangkul pundak Dimas dan tersipu malu ketika dibisiki oleh si cowok. membuat hatinya merasa panas dan emosinya teraduk super cepat didalam perutnya hingga nyaris mual. Perasaan menjengkelkan yang membuatnya ingin mendamprat mereka berdua habis – habisan. 
                      Dia menunduk berusaha fokus membaca novel ketika melihat mereka menghampiri. Bahkan tangan Rere tak lepas jua dari pundak Dimas. “Haloo..” Sapanya riang sambil duduk disamping Andini dan Dimas mengikutinya.
                      Andini menoleh kearah Rere yang tersenyum bahagia. Dia menatap Dimas yang hanya tersenyum ketika mereka bertatapan. Tak ada godaan menjurus, hanya sebuah sapaan biasa. Terlalu aneh untuk seorang Dimas, terlalu menjengkelkan karna ia sudah menanti godaan itu – entah sejak kapan, Dan itu membuat hatinya merasa tertusuk dalam.

                      Baru kali ini rasanya diabaikan.
         
                      “Hari ini kita makan di Mc Donalds, yuk! Gue traktir..” Ucapan Rere bernada super riang membuatnya mengalihkan pandangan kearah sahabatnya itu dengan kening berkerut.
          “tumben ngajak traktiran. Biasanya lo paling pelit kalau urusan nraktir orang. Biarpun Cuma air putih doang.” Ledeknya dengan nada sinis. Kebersamaan Rere dengan Dimas entah kenapa membuat hari indahnya rusak seketika.
                      Rere mengabaikan kesinisan lebih nada Andini. Dia menatap Dimas dan cengengesan. Dan Andini melihat semua itu. Tanpa sadar tangannya terkepal dibalik meja. Dia rela melakukan apa saja asal hatinya senang, bukan aneh seperti ini ketika melihat mereka bertukar tatapan.
                      “apa mereka pacaran?” bisikan tiba – tiba dalam hatinya membuat ia terkesiap. “Tidak! Tidak! Dimas takkan jatuh cinta dengan Rere!” ucapnya penuh yakin dalam hati. Membantah bisikan hatinya yang menguat.
                      “sebenarnya bukan Rere yang nraktir, kak. Tapi Dimas. Hahahaa..”ucapnya sambil menggenggam tangan Dimas erat. Dan Dimas membalas sambil tersenyum. Membuat ia membatu seketika ditempat. Merasa mendengar suara pecah disini – hatinya.
           
                       Oh Tidak...
           
                      “Loo? Kok..?” Anna menunjuk mereka berdua dengan wajah tak mengerti. Dan tiba – tiba ia terkesiap kaget. “Jangan bilang kalian...”        
                      Dimas tersenyum menatap Andini lalu beralih kearah Anna yang terngaga. “Gue pacaran sama Rere. Baru lima menit yang lalu. Iya kan, sayang?”
                      “Iya, Dimas.”
                      “Hah?” Lyesha shock berat dan menatap Dimas, Andini, serta Rere bergantian dengan mata melotot. “Gue kira lo naksir ama Dini, Dimas.”
                      Dimas tersenyum dan menatap Andini yang kini menundukkan wajah. “Dulunya. Tapi Dini gak pernah kasih respon ke gue, membuat gue lelah dan dekat dengan Rere, selama itulah gue merasa dialah yang gue cari selama ini. Malah gue merasa bahwa Dini – lah yang menjodohkan gue dengan Rere lewat tingkahnya itu. Karna kalau tidak...” Dimas merangkul pundak Rere agar mendekat padanya dan mencium pipi pacarnya itu. “gue gak akan pacaran sama dia.”
                      Dimas menatap Dini yang sedari tadi memperhatikannya. Tatapan mata yang bersinar galak itu kini sendu. Ia pura – pura tak melihat itu semua lalu menatap Rere. “Love you, Rere.”
                      “Love you, too.”

                      CUKUP SUDAH!

                      Andini berdiri sambil memasukkan semua barang – barangnya dalam tas, dan menatap mereka dengan mimik datar. Hanya Tuhan yang tau betapa susahnya ia berakting seperti ini sedangkan hatinya ingin berteriak – khususnya kepada Dimas betapa dia sangat, sangat sakit hati. “Gue baru ingat ada janji sama nyokap untuk pergi ke pasar. Jadi sorry gabisa ikut. Duluan yah.”
                      “sayang banget. Padahal ada teman gue yang naksir berat sama lo tuh. Mending lo ikut aja dan coba deketin temen gue, siapa tau cocok.” Ucapan Dimas yang santai itu membuat air matanya hampir saja lolos kalau saja ia tak menahan lebih kuat lagi. “Gak usah. Gue anti dijodohin. Duluan, Dim, Re. Selamat yah.” Dia menatap Dimas untuk terakhir kalinya, lalu berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Tak ingin mereka – khususnya Dimas melihat betapa hancur hatinya. Melihat tetesan air mata yang kini membasahi kedua pipi tanpa ampun.
                     
∞.∞
            Dimas mengetuk gelisah stir mobil sambil menatap rumah Andini. tatapan sendu Andini serasa mengguncang seluruh alam sadarnya. Bahagia karna jauh dalam lubuk hatinya, perasaannya tak bertepuk sebelah tangan, sakit hati luar biasa karna perbuatannya itu ternyata lebih menghancurkan Andini lebih dari ia perkirakan.

            Dan ia takut, perbuatannya kali ini takkan termaafkan. Membuat gadis itu menjauh dari kehidupannya dan tak sudi untuk kembali.

            “Tuhan...” Dimas menyandarkan kepala ke jok mobil sambil mendongkak. Kepalanya berdenyut sakit hingga nyaris pecah. “Semoga dia maafin gue dan terima semuanya. Amien.” Doanya dan mematikan mesin mobil lalu mencabut kunci, dengan hela napas berat dia keluar dan memencet bel rumah Andini.

∞.∞

“Jangan kau ganggu hidupku lagi.
sudah jelasi yang kau mau.

            Andini sudah tau kedatangan Dimas ketika mendengar bujukan manis cowok itu agar diperbolehkan masuk pada pembantunya. Membuat ia seperti terlempar ke masa dia dirayu habis – habisan ntuk jatuh cinta padanya, lalu dicampakkan begitu saja ketika ia jatuh dalam pesonanya.

“Kau sakiti hati ini, ntuk kesekian kali.
memang ku cinta, namun tak begini.”

*Glen Fredly – Terserah.
           
            “Ngapain lo disini?
            “Gue pengen jelasin semuanya, Andini.”
            “Silahkan. Tapi setelah itu,” Andini berdiri dari ayunan dan menatap Dimas dengan wajah muak. “lo gak usah muncul dalam kehidupan gue!”
            Dimas menghela napas. tatapan Andini sudah lebih dari cukup bahwa ia terluka. Ia menggenggam tangan Andini namun dihempaskan kasar. seolah melindungi harga diri, gadis itu melipat kedua tangannya didada.

            “Gue cinta sama lo, Andini. Dari dulu sampai saat ini.”
           
            Plak!
           
            “Lo bilang cinta sama gue? GUE?! BULSHIT!” Andini mendorong mundur tubuh Dimas kemudian memukul dada cowok itu dengan kencang. Ia ingin Dimas merasakan kesakitan hatinya, dia ingin Dimas tau bahwa ia lebih dari sekedar patah hati. Ini bukan patah lagi, tapi hancur. Mati rasa.

Buang saja semua kasihmu.
ku tak mau kau ada disini.”

            “Lepasin gue, Dimas! Lepasss!!” Andini berontak ketika ia berada dalam kurungan Dimas yang seolah ingin meremukkan daripada menenangkan. Tangannya terhimpit diantara tubuhnya dan dada Dimas hingga ia merasa kesemutan.
            “Gue serius , Andini!”
            “Lepasin pelukan sialan lo dan pergi dari kehidupan gue! Dasar buaya!”
            “Gue gak akan lepasin sebelum lo biarin gue ngomong, Andini. Gue serius cinta sama lo.”
            “ Lo bilang cinta sama gue setelah beberapa jam lalu baru saja mengumumkan lo pacaran sama sahabat gue sendiri?! apa itu namanya, Dimas? Apa?! Selama ini lo deketin gue supaya bisa pacaran salah satu dari kami, kan?! Iya, kan?!”
            “Demi Tuhan, Andini!” Dimas melepas pelukannya ketika merasa Andini tersengal – sengal. Dan Andini langsung meloncat menjauh seolah ia wabah berbahaya. “Gue gak ada pernah punya pikiran sekeji itu!”
            “Lo sama Evan sama saja! Lo deketin gue hanya ntuk mendekati salah satu dari kami, membuat gue jatuh cinta biar kedok busuk lo gak ketahuan, dan ketika gue terjebak, lo malah pacaran dengan sahabat gue sendiri! dan lo mencium gue! Apa maksudnya?! Gue bodoh karna cinta sama lo, Dimas!”

“Oh.. ku mati rasa.
ketika kau bersamanya.

tak ada lagi perasaan.
tak bisa lagi ku merasakan,

Cinta.”

*Dewi Sandra – Mati Rasa.

            Melihat Dimas hanya terdiam mendengar semua amarahnya, dia melanjutkan. “sekarang buang semua omong kosong cinta lo ke gue itu, Dimas. Mulai hari ini, gue udah hapus semuanya dan takkan ada lagi nama lo disini,” Dia menunjuk kepalanya, “dan disini!” dia menunjuk hatinya dengan tangan terkepal dan air mata yang semakin membasahi pipinya.
            Dimas mendekati Andini, dan ia mengambil langkah mundur. “Jangan mendekat! Gue gak sudi lo sentuh sekali lagi!”
            “Andini... satu yang harus lo tau, gue gak pacaran dengan Rere. Gue melakukan ini semua karna ingin melihat reaksi lo. Gue capek mengejar lo tapi tak pernah direspon. Ketika ide ini muncul diotak gue , gue langsung menghubungi Rere yang kebetulan sahabat Reynald dan ia rela menjadi pacar sehari gue. Andini. Percaya sama gue.”

            “Jangan percaya, Dini! Dia bohong!”
           
            Kata hatinya yang terlanjur sakit menyuruh ia ntuk tak usah percaya, tapi tatapan Dimas yang bersorot seolah mengiyakan setiap ucapannya membuat ragu. Apa dia harus percaya?
           
            “Gak usah percaya, Dini! Lo bilang gak percaya dengan semua ucapannya terus usir dia keluar biar tau rasa!”
           
            “Pembohong.”
            “Gue tau lo bakal ngomong begini, Andini.” Dimas menatap lelah dan mengeluarkan ponsel lalu menekan sebuah nomor kemudian mengarahkan ke arah Andini. namun cewek itu membuang muka. Tak sudi melihat barang – barang yang berhubungan dengannya. Membuat Dimas menghela napas dan menekan tombol loudspeaker  ketika telpon tersambung.
            “Halo. Kenapa kak Dimas?” terdengar suara Rere membuat Andini menutup mata. Hatinya serasa terkoyak ketika kilasan kejadian siang tadi terbayang lagi. “Gue dirumah Andini untuk jelasin siang tadi, tapi dia gak percaya, Re.” Suara lelah nada Dimas terdengar dan ia memilih menutup hati. Tak terpengaruh. “Bisa lo bantu gue jelasin, Re?”

            Hela napas terdengar di seberang telpon kemudian terdengar gerutuan. “gue udah tau bakal rempong kayak begini. Hedeuh.. kak Dimas. Lo bikin kepala gue bakal benjol bertingkat kalau kak Dini tau hal ini.” Dan Dimas tersenyum.
            “ucapan lo gue loudspeaker loh, Re.”
            Shit!” terdengar ketukan gelisah diatas meja dan bisik – bisik disekitarnya. “Semoga kepala gue beneran gak benjol kali ini, amien.”doanya dengan suara lirih.
            “gue cerita dari awal yah kak Dini, dimanapun lo berada. Sebenarnya gue gak pacaran sama dia. Gue bakal dibakar massa kalau sampai berpacaran dengan sahabat sendiri, kak Dini. Ide ini muncul karna kak Dimas curhat sama gue dan Reynald betapa susahnya mendekati lo dan tak tau harus berbuat apa lagi. Dan... VOILA! Ide gak waras pun muncul dan dia memohon sama gue ntuk menjadi pacar sehari saja demi melihat perasaan kakak sebenarnya. Gue awalnya nolak mati – matian dan menyuruh kak Dimas ntuk adegan berpacaran saja sama Reynald. Membuat kepala gue langsung ditoyor berjamaah.” Gerutuan Rere membuat Andini terkikik sendiri tanpa sadar, dan Dimas tersenyum.
            “tapi permohonan dia bikin gue luluh. Rasanya sakit ketika mengucapkan hal itu karna seolah gue perebut. dan melihat kakak yang terluka, bikin bibir gue gatal pengen ngucapin kebenaran saat ini juga. Tapi gue gak bisa lakuin itu karna sudah terikat janji. setelah kakak pergi, kak Dimas langsung menyusul kakak dan ninggalin gue jadi pesakitan ama kak Anna dan kak Lyesha. Sumpah demi apapun, gue gak pernah niat ntuk merebut kak Dimas dari kakak. Dia cinta matinya sama kakak. Kalau kakak gak percaya sama ucapannya, lihat saja matanya, kak. Cause eyes are mirrors of heart. And never lying you.

            Dimas langsung menekan tombol merah ketika Dini berbalik menatapnya. Penjelasan Rere lebih dari cukup untuk membuat Dini percaya. Dan harus mempercayainya.
           
            “Din..”
            “Pulang.”
            “Kalau gue gak mau?” Sembari berkata begitu, ia mendekat dan memegang pundak Andini. “Gue serius loh, Din. Jangan pernah lo mikir ini main – main, taruhan atau gimana.”
            Andini menggerakkan jemari kaki dengan gelisah. Pengakuan Rere membuatnya ingin menggorok sahabatnya atau malah memeluknya hingga kehabisan napas. “Gue juga serius ngusir lo, Dimas!”
            Ucapan Andini membuatnya terdiam. Bingung harus berkata apalagi selain menatapnya dalam. “Kenapa?”
            “Karna lo bohongin gue! Karna lo berani – beraninya cium Rere tepat didepan gue! Karna lo..”  semua sumpah serapah bergema didalam kepalanya. Tapi ia hanya mengatakan. “Karna gue benci dengan lo!”
           
            “Yakin, Andini?” Dia mendekatinya yang mundur perlahan. Senyum miring tercetak jelas melihat kegugupan Andini yang sangat kentara. “Bukan cemburu karna gue melakukan kemesraan tepat dihidung lo, sayang?”
            “IYA! Eh.. maksudnya..” dia menutup mulutnya sendiri dan membelalakkan matanya. Harga dirinya tak bisa diselamatkan lagi. “dasar bodoh! Kenapa jadi ngomong itu juga?! Dimas jugasih mancing gak tanggung – tanggung! Kampret!”
            Pengakuan Andini membuat senyumnya melebar. “Jadi lo cemburu dengan gue, Andini? wah..” Dia mendekatinya yang hanya menunduk malu. Tanpa ragu ia memeluk Andini erat. Dan tak ada penolakan membuatnya menghela napas lega. “Kita pacaran, yuk!”
            “Ogah!” ucap Andini ketus sambil menyembunyikan wajahnya yang diyakini – memerah didada Dimas. Ia sangat, sangat malu hingga ntuk mendongkak pun tak sanggup. “Karna lo udah niatin gue ntuk jodohin dengan teman lo sendiri! daripada dengan lo, mending gue ama temen lo aja!”
            “Itu hanya akal – akalan gue, Andini. lagian mana mau gue jodohin cewek yang gue cinta dengan teman sendiri? Gila namanya!”
            “Dan lo mencium pipi Rere tepat didepan gue! Gue gak sudi punya pacar yang pernah cium sahabat ceweknya sendiri tepat didepan hidung!” Ucapan Andini tanpa sensor membuat ia terbahak – bahak dan melepaskan pelukannya lalu mendongkakkan wajah Andini dengan lembut. Melihat rona merah menjalar keseluruh wajah hingga membuatnya gemas.  “Itu gampang kok. Bisa dihapus dengan mudah, Cuma syaratnya lo doang yang bisa, sayang.”
            Andini mencebik mendengarnya. Namun tak urung jua penasaran. “Apaan?”
            “Jadi pacar gue dulu, Dini. Gimana?”
            Tatapan tulus bercampur geli membuat Andini tersenyum. Rasanya susah ntuk menolak lebih lama lagi pesona konyol Dimas. Ia bisa mengkhayal bagaimana hari – harinya nanti bila bersamanya. Tak jauh dari kegilaan dan kenarsisan setinggi langit. “ Iya, gue mau.”

            Ucapan Andini membuat bebannya seakan terangkat. Kedua tangannya meraih pinggang Andini dan memeluk erat. Wajahnya ia tundukkan hingga saling menyentuh ujung hidung. “setelah itu, satu ciuman manis dari lo cukup menghilangkan jejak Rere dari wajah gue, Andini.”
            Sebelum mulutnya menjawab, bibir Dimas langsung menutup semua perkataan yang ingin diucapkan. Tapi Andini tak peduli lagi, ia melingkarkan tangan ke leher Dimas dan membalas setiap sentuhan lembut Dimas.

            “Loving you always, Andini.”
            “Me too.”

“Take me to your place.
Where our hearts belong together.
I will follow you.
You're the reason that I breathe.

I'll come running to you.
Fill me with your love forever.
I'll promise you one thing.
That I would never let you go.
'Cause you are my everything.”

Glen Fredly – You’re my everything.

2 Tahun Kemudian.
           
            “Ayooo kak Dini! Masa dipelototin doang sih? Dimakan, dong.. dimakann!!!” Rere menyodorkan sepiring penuh jengkol tepat didepan Andini yang mual melihatnya. Tak menyangka sumpah konyolnya 2 tahun lalu diungkit seenak dengkul oleh Rere yang kini nyengir super lebar disamping pacarnya, Jayden.
            Dan Dimas, seolah pahlawan siang bolong menghampirinya yang dibully oleh teman – temannya sendiri dan duduk disamping. “Sini, aku bantuin makan.”
            “Gak boleh.. gak boleh! Pokoknya ka Dini yang harus makan, kak Dimas. Gitu peraturannya.” Ucapan Rere dibalas pelototan super sadis oleh Andini. “Awas dikau, Reree!!!”  Gerutunya dalam hati.
            “Kamu sih sayang kok janji aneh – aneh gini, sih? Seharusnya kan bilang “kalau pacaran ama Dimas, gue bakal ciuman sampai semaput didepan kalian,” atau...” Ucapannya terhenti ketika sebuah buku melayang ke mulutnya sendiri dan ia melihat Andini mempelototinya. “Mana kepikiran Dimassssss!!!!” jeritnya pelan penuh frustasi. Menciumnya sjaa ia mual, apalagi memasukkan kedalam mulutnya. Bisa pingsan nanti.
            Dimas menatap Anna, Lyesha, dan Rere bergantian. ketika tatapannya bersirobok dengan Bian, cengirannya melebar. Walau bertemu beberapa kali, tapi mereka satu pikiran dalam urusan beginian. “Gue boleh bantuin, kan?”
            Bian yang tau arti tatapan Dimas – yang merupakan rahasia antar pria, tersenyum. “silahkan.”
            Dimas tersenyum dan menatap Andini yang menatap jengkol penuh ekspresi muntah. Dia mengambil satu, meletakkan di ujung bibir lalu menarik lengan Andini dan memberikan isyarat. Membuat ia mendapat jitakan. “Jangan gila, Dimas!”
            Dimas melepaskan biji jengkol itu dan tersenyum. “Untuk ilangin pahitnya, sayang. Biar cepat habis dan kamu gak dibully mereka.”
            Andini menatap teman – temannya dan kembali ke Dimas dengan wajah luar biasa merona. “Malu, bodoh!”
            Dimas tersenyum dan meletakkan sebutir biji jengkol didepan mulutnya dan mendorong Andini mendekat. Melihat pacarnya tak jua membuka mulutnya, ia menggelitiki pinggang Andini dan membuatnya tertawa kegelian. Membuat ia langsung tancap gas memasukkan biji itu kedalam mulut Andini seraya menciumnya.

            “Gak boleh lihat, Rere..” Spontan Jayden menutup mata pacarnya yang kini membesar maksimal. Masih dibawah umur, pikirnya.
            Andini membeku. Ini bukan ciuman pertamanya dengan Dimas, tapi tetap saja dilihat semua teman – temannya membuat ia merinding panas dingin. Namun, pelukan Dimas menghangatkan. Dan ajaib! Bahkan jengkol yang sekarang berpindah ke mulutnya pun tak terasa lagi rasanya. Membuatnya harus bersyukur atau malah menjitak Dimas sampai benjol karna tingkah gilanya ini.
            Ciuman mereka terlepas dan Dimas menatap Andini yang kini bibirnya memerah. Senyum jahilnya kumat. “Aku sanggup kok nyuapin kamu makan jengkol sepiring penuh asalkan caranya kayak tadi. Gimana?”
            “Gak usah!”

            Jawaban ketus Andini membuatnya tertawa. Mengabaikan sahabat pacarnya yang kini duduk mengelilingi mereka, ia berbisik. “Bagaimana kalau setelah Lyesha dan Bian menikah,” dia menatap undangan pernikahan mereka diatas meja, “Kita menikah juga?”

            Lamaran Dimas tanpa rencana membuatnya melongo total. “serius? Jangan ngajak ribut disini, Dimas.”
            “Apapun tentang kamu, aku selalu serius, Andini. will you be my wife?” bisiknya ditengah teman – teman yang asyik bercanda ria membuat Andini merasa berbunga – bunga. Ia menatap Dimas dan mencium pipinya. Mengabaikan siulan penuh goda dari Anna, nyanyian kecil penuh cinta dari Rere, dan senyum jahil Lyesha dan Bian yang semakin lebar saja. “Aku mau, Dimas.”

            Dan Dimas mengenggam tangan Andini dan menciumnya. Mereka bertatapan. “ I love you.”

Kini kita telah bersama,
Tuk selamanya
Bahagia tak terlukiskan.
Because I love you.
Yes, I love you.
U know I love you.
Yes,
I love you.
From deep in my heart.”

            “Forever?”
            Pertanyaan Andini membuat ia tersenyum. “Forever, Honey.”


Berjanjilah tuk terus bersama
Sampai maut memisahkan.”


*D’cinamons – I Love You.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar