Saat kita
jumpa,
Ada rasa di dalam dada.
kau tersenyum manja,
membuatku terpana.
Ada rasa di dalam dada.
kau tersenyum manja,
membuatku terpana.
“Coba liat.” kata seorang temannya
kepada Dimas yang fokus melihat- lebih tepatnya mencari mangsa untuk melatih
bakat menggombal perempuan. Penasaran, ia
menoleh dan seketika terdiam.
Sebut dia gila sekarang. Tapi ia tak bisa melepaskan
tatapan dari sosok gadis yang cekikikan dengan ketiga temannya berjarak tak
jauh dari mereka. Dia, yang mengenakan kerudung hitam dan celana jeans serta
baju kaos panjang, pipi tembam serta alis yang tebal dan panjang itu mencuri
hatinya dari masuk cafee bernuansa minimalis – country, kemudian
duduk sambil memesan minuman. Tanpa sadar dia berdiri, tak menghiraukan
panggilan teman – temannya, lalu mendekati gadis itu dan tersenyum ketika
mereka menatapnya dengan tatapan aneh. Seolah – olah dia alien berubah menjadi
manusia.
“Hai.”
♥
♥
“Siapa makhluk sialan – dengan
senyum bodoh bikin ilfeel, duduk di depan gue seolah – olah bagian dari
kami?!" Andini
melirik sinis ketika cowok tak tau malu itu duduk didepannya.
“Lo siapa?”
Bukannya terintimidasi, atau
mengkeret malu, cowok di depannya ini malah mengulurkan tangan. Mengajak
kenalan. “Gue Dimas Dirgantara. Lo?”
“Dirgantara? Papah lo punya perusahaan
pesawat atau yang berhubungan dengan penerbangan nasional, yah?” Celetuk seseorang
di samping. Membuat Dimas tertawa. “Menurut lo?”
“Yaaa.. mungkin papah atau mama lo
suka dengan nama nasional kali yah mengingat banyak anak sekarang mempunyai
nama barat. Oh iya, nama gue Rere. Dan gadis di depan lo yang pasang wajah
jutek sekarang ini namanya kak Andini. Dia... Aduh!” cerocosnya terhenti karna
merasa di tendang dari bawah meja. “Sakit tauk, kak Dini!”
Yang bernama Andini hanya tersenyum
puas dan menatap penuh merendahkan kepada Dimas. “Kenapa lo duduk disini? That’s
a girl area, boy. Kecuali lo pake rok dan baju seksi dulu, baru bisa
nongkrong disini.”
“Gak masalah.” Ucapnya sambil
melipat tangan di meja dan memajukan tubuh mendekati Andini yang spontan
mundur. “Asalkan gue bisa duduk di depan cewek yang udah mencuri perhatian sejak
tadi. Gue serasa jadi Jaka Tarub yang terpesona karna melihat Bidadari turun di
Bumi, memutuskan untuk mendekat setelah mencuri selendangnya. Dalam hal ini, lo
mencuri perhatian gue.”
Kalau cewek lain terkikik malu
mendengarnya. Maka gadis ini adalah pengecualian. Dia memutar mata. “Lo ngomong
yah?”
“Menurut gue muji, kok.”
Jaka Tarub dan Bidadari, yah?”
Celetuk satu orang lagi lalu cekikikan. “Perumpamaan unik ntuk pertemuan
pertama. Betul gak, Re? Anna?”
“Absolutely right, ka.” Sahut
Rere yang kini asyik melempar kode – kode rahasia ke arah panggung. Bisa
dipastikan bahwa penyanyi itu adalah salah satu temannya.
“Lo ngapain sih, dek daritadi kedap-
kedip mulu matanya? Sakit mata?” Tanya gadis disebelah kiri Andini dan tersenyum
melirik Dimas. “Oh iya, gue Anna Jefriana dan ini kak Lyesha.”
Dimas mengulurkan tangan kearah mereka bertiga dan menyalami satu persatu. “Gue Dimas. Dan itu teman – teman gue.” Dia memiringkan tubuh agar para gadis itu bisa melihat teman – temannya yang sekarang melambai heboh ke arah mereka. “Maklumin aja yah, perkumpulan para jomblo sih. Jadi begini ceritanya. Gak bisa liat cewek ngumpul, langsung aja radar pada tegak semua.”
“Berarti lo salah satu dari para
jomblo, dong? kasian banget.” Andini bersuara sinis sambil melirik Dimas dari
atas sampai ke bawah dengan tatapaan menilai. “Aduduh... kenapa spesies
macam dia yang muncul, sih? Gue malah berharap cowok seganteng Logan Lerman atau
Orlando Bloom yang mampir dan duduk disini. Bukannya dia!” Gerutunya dalam
hati.
Dimas tersenyum simpul. “Tapi ntah
kenapa ketemu lo bikin status jomblo gue memudar tuh.”
“Dih! Merinding gue dengernya!”
Andini memasang wajah jijik dan memalingkan wajah ke arah lain.
“Dimas, kenapa lo jadi duduk disini? Bukannya mengusir lo yah, yaaa.. penasaran aja.” Tanya Lyesha yang dibalas anggukan oleh kedua temannya. Andini malah mengambil earphone dari tas ransel lalu mencolokkan ke ponsel dan asyik dengan dunianya sendiri dengan musik berdentum di telinga.
“Dimas, kenapa lo jadi duduk disini? Bukannya mengusir lo yah, yaaa.. penasaran aja.” Tanya Lyesha yang dibalas anggukan oleh kedua temannya. Andini malah mengambil earphone dari tas ransel lalu mencolokkan ke ponsel dan asyik dengan dunianya sendiri dengan musik berdentum di telinga.
“Gue awalnya Cuma nongkrong doang
sih. Terus...” Dia melirik Andini yang asyik dengan dunianya sendiri sambil
mengetuk meja mengikuti alunan musik. memberikan efek hipnotis tersendiri. “Gue
liat dia, terpesona terus tau – tau duduk disini deh.”
“Lo terpesona dengan kak Dini?” Rere
menatap mereka bergantian. Dan Dimas mengangguk setuju. “Hebat banget kak Dini udah bisa naklukin cowok dengan satu
kali pertemuan.” Celetuknya usil sambil menepuk pelan pundak Andini. Membuat
cewek itu menoleh garang seolah mengatakan “Shut up!”
Anna dan Lyesha memperhatikan
ekspresi Dimas yang tak bosan melirik Andini daritadi. membuat mereka saling
bertatapan seolah satu pikiran kemudian Lyesha mengedipkan mata, menyuruh Anna
melakukan apa yang mereka rencanakan dari telepati dadakan.
“Dek...” Bisiknya sambil menarik
lengan Rere agar mendekat dan membisiki sesuatu. Sesuai perkiraan, wajahnya
merona mengiyakan penuh semangat. Seolah – olah dia baru saja menang undian mobil
mewah keluaran terbaru tanpa dikenai pajak.
Rere berdiri dari duduknya terlalu
cepat hingga lutut kanan terantuk tiang meja. Ia meringis. “Gue ke depan dulu
yah.”
“Mau ngapain Re?” Tanya Andini yang
curiga melihat wajah ketiga temannya penuh konspirasi. Apalagi yang baru saja
berdiri ini.
Rere menunjuk panggung. “Biasa kak.
Panggilan mikrofon. Bentar aja kok gantiin temen.” Tanpa basa – basi, dia
langsung memundurkan kursi dan berlari ke arah panggung. Menghampiri temannya
dan membisiki sesuatu.
Lyesha tersenyum geli menatap Dimas
yang bingung dengan tingkah Rere yang terlalu ajaib itu. “Maklumin aja Dimas.
Rere mah begitu kalau melihat mikrofon, panggung kecil, dan ada temannya
disitu. Pasti pengen ikut - ikutan.”
“Selamat sore semuanya. Hari ini gue
mau bawain sebuah lagu yang menceritakan pertemuan pertama. Gue harap, siapapun
yang mengalami pandangan pertama disini dan melakukan pedekate ala Jaka Tarub
bertemu Bidadari...” Dia melirik ke arah teman – temannya dan Dimas yang
mengangkat jempol setuju. Berbanding terbalik dengan Andini yang mengacungkan
tinju di belakang Anna. “Gue doain dengan tulus semoga sukses pedekatenya.”
Dia tertawa dan menatap ke belakang. memberi kode lewat jentikan jari agar
musik dimainkan.
Di suatu suasana.
Terasa getaran dalam dada.
Kucoba mendekatinya,
Kutatap dirinya,
Oh, dia sungguh mempesona.”
Lyesha dan Anna saling berpandangan dan tertawa geli tertahan melihat Andini kini melepas headset. Anna melirik Rere yang menyanyi sambil menatap mereka dan mengacungkan jempol. “Good job.”
Rere tertawa melihat isyarat Anna dan semakin
bersemangat menyanyikan isi hati sang cowok yang sekarang duduk di tempatnya.
“Inikah namanya cinta, inikah
cinta.
Cinta pada jumpa pertama.
Inikah rasanya cinta, inikah cinta.
Terasa bahagia saat jumpa, dengan dirinya.”
Cinta pada jumpa pertama.
Inikah rasanya cinta, inikah cinta.
Terasa bahagia saat jumpa, dengan dirinya.”
*M.E –
Inikah Cinta.
♥
♥
“Kalian sekongkol, kan?!” Andini menuduh
mereka bertiga yang asyik cekikan karna Bian, pacarnya Lyesha “melempar”
lelucon luar biasa hingga mereka mendadak terkena kram perut.
Tuduhan
itu membuat Rere menarik napas sambil memegang perutnya dan menghapus air mata
yang menetes, dia berusaha fokus. namun wajah Bian yang melucu itu membuatnya
semakin tertawa terbahak – bahak. “Ya Tuhan, Kak Lyesha! Bisa gak suruh kak Bian jangan pasang wajah gitu? Mati
ketawa gue kalau begini ceritanya.”
“Bian...”
Lyesha mencubit pinggang pacarnya mesra untuk berhenti memasang tampang wajah
badut Ancol tak dikasih pesangon setahun itu. dan cowok itu berdehem lalu
berusaha memasang tampang waras, melirik Andini yang bahkan tak tertawa sama
sekali. “Lo kenapa, Din? Sakit perut jadi pasang wajah tertekuk gitu? Ke toilet
gih.”
“Kak
Bian!” Dia menjerit dan mencubit Bian garang di lengan. “Gue jengkel tauk!
Bukannya mau ke toilet! Gak peka amat sih!”
Bian
melirik Lyesha yang hanya tersenyum lalu mengalihkan tatapan ke arah mereka
yang mulai bisa bernapas lega. “Emangnya lo jengkel kenapa?”
Andini
mendengus seperti Banteng siap menyeruduk siapa saja. masih sangat segar dalam
ingatannya, setelah Rere selesai menyanyi dan turun ke panggung, cowok sialan -
yang untungnya sudah pulang itu, menggoda habis – habisan! Membuatnya gatal
ingin melempar kursi yang ia duduki ke arah cowok itu sampai seringai
menyebalkan itu hilang! Parahnya lagi, Anna malah memberikan nomor ponselnya ke
cowok itu terang – terangan! Dan sekarang, sudah ratusan kali cowok itu
menelpon, mengirim sms yang membuat ia ingin melempar ponselnya ke bak sampah!
Arrrgghh!!
Dan
dia menceritakan semuanya kepada Bian yang hanya mangut – mangut saja
mendengarkan. Selesai bercerita, dia memanggil waiters untuk memesan
minuman untuk ketiga kalinya. Bercerita tentang cowok sialan itu membuatnya
haus.
“Menurut
gue, ladenin aja kali. siapa tau dia bisa ilangin status jomblo abadi lo, Din.”
Jawaban
Bian membuatnya melotot ganas. “WHAT?! Ladenin? NO WAY! Gue
mending disuruh ladenin orang gila ngomong semalaman daripada balas semua
responnya dia, kak. Lo ngasih usul yang waras dikit napa?!”
“Itu
usul yang paling waras, tauk!” Bian menggetok kepala Andini. “Gini yah, cowok
kalau udah tertarik ama cewek memang begitu tingkahnya, Din. Tapi dengan gaya
berbeda sih. Nah.. Dimas itu sama kayak gue. Bedanya mungkin gue butuh
perantara, dia Cuma naikin tingkat pede ama pasang topeng Badak ntuk melakukan
itu. Cuma yang bikin heran, kok bisa dia menjatuhkan pilihan ke lo yang sangar
ini, yah?”Bian menatap Andini dengan tatapan menilai dari ujung kaki ampe ujung
kepala. Mencoba mencari dari sisi mana seorang Dimas itu bisa tertarik dengan
Andini yang dikenalnya selalu naik darah ini.
“Yaaa..
maklumin deh kak. Di mata kak Dimas, kak Andini itu diibaratin kayak Bidadari
baru turun dari Bumi biarpun belum mandi, tetap aja cantik mempesona. Sama
dengan sekarang, walaupun kak Dini galak ampun – ampunan, tetap aja dia tutup
telinga, kuatin hati, melekin mata kalo kak Dini lewat. Kayak lagu...” Rere
mencerocos ala bajaj balapan dengan angkot di jalan sempit. Kemudian terkikik
sendiri. “biar kata dia buaya, bagiku Luna maya. Biar kata ka dini galak,
bagi Dimas dia bagai burung Merak . Wahahaaa...”
“Tobat
Re.. tobat..” Anna langsung menyodorkan segelas air putih pada dia yang tertawa
daritadi dan Rere menyambut dengan senang hati. “Aduh! Sakit kak Dini!”
Jeritnya sambil mengelus kepalanya yang baru saja “Dicium” kak Dini dengan buku
menu seberat Galaxy Tab. 10.1 inchnya.
“Makanya
jangan ngaco!”
Bian
tertawa terbahak – bahak. “Gue jadi penasaran gimana tampang Dimas deh. ngomong
– ngomong, dia kuliah dimana, Din?”
“Mana
gue tau! Ngeliat wajahnya aja males, ngapain nanya dia kuliah dimana? Besar
kepala, gede mulut ntar! Hiiyy...”
“Duilee...”
Lyesha menghapus air mata yang menetes. Suara cempreng Rere menyanyikan lagu
itu membuatnya benar – benar mengalami kram perut. “Gue berfirasat, lo akan
mengalami kejadian haters being lovers. Betul ‘kan?”
Anna
mengangguk setuju dan Andini mendengus jengkel. “Kalau sampai itu terjadi,
tagih gue untuk makan jengkol sepiring berdua saling suap – suapan! Gimana?”
Ucapan
Andini membuat mereka berempat terbahak – bahak. Bahkan Lyesha sambil memegang
perutnya karna tak tahan lagi. “Lo serius nih?”
“Serius!
Kalian bisa jaga omongan gue loh..”
“Yakin?”
Bian melirik Andini yang terlihat kalap daripada berpikir logis dengan apa yang
diucapkan barusan.
“Iya,
Kak Bian. gue yakin!”
“Oke
deh!” Rere mengangkat gelas berisi air putih itu tinggi – tinggi. Mengajak
bersulang. “Bagaimana kalau kita bersulang aja ntuk resmiin ucapan kak Dini
yang sakral itu?”
Mereka
semua mengangkat gelas dan mendentingkan ke udara. Kemudian melirik Andini yang
masih tersenum penuh percaya diri. “Gue gak akan jatuh cinta ama cowok songong
itu! tagih janji gue kalau sampai kejadian.”
“Oke!!”
Teriak mereka bersamaan dan tertawa lagi.
Tapi...
apa yakin?
♥ ♥
“Cengengesan
mulu lo! dibilang gila baru tau rasa!” Sebuah jitakan melayang mulus ke arah
Dimas yang sedari tadi bertopang dagu di depan rumah sambil cengengesan.
Seandainya tak akrab, mungkin dia akan menelpon 911 untuk menanyakan nomor
telpon Rumah Sakit Jiwa terdekat.
Dimas menoleh ke arah sahabatnya
dan tersenyum lebar. Kalau saja virus jatuh cinta tak membuat otaknya serasa
jungkir balik, dengan senang hati dia akan membalas jitakan itu dengan gulungan
diktat yang ia pegang sekarang. “Gue jatuh cinta nih.”
“Lo bisa jatuh cinta?
Alhamdulilah... terimakasih Tuhan karna sudah membuat image hamba yang
selama ini dibilang pacaran ama kunyuk tengil satu ini, menjadi pulih menjadi
laki – laki tulen.”
“Sialan lo Rey!” Dan
sebuah diktat tergulung kuat melayang di bahu Reynald hingga berdebum. Dan
cowok itu meringis kesakitan namun cengiran semakin melebar saja. selebar
lubang di jalan yang belum tersentuh aspal. “Gue serius tauk!”
“Siapa cewek yang
ketiban cinta lo, Dim?”
“Lo inget cewek yang di cafee
tadi itu? yang gue samperin?”
“Yang mana? Ada tiga
cewek lo ajak ngobrol. Yang pasang muka emosi tiap liat lo, atau yang tersenyum
dari tadi, atau cewek yang sibuk berbisik – bisik ama temannya yang nyanyi di
atas panggung tadi?”
“Yang pasang muka emosi
itu, Rey. Gak tau kenapa, pertama kali liat dia gue gak bisa lirik ke arah lain
gitu. Mau – maunya natap dia walau tuh cewek emosi mulu. Justru semakin dia
emosi, gue semakin gemes, Rey.”
“Gemes mau ngapain lo,
Dim?”
“Pengen...” Dia
memonyongkan mulut seperti Ikan Mas Koki megap – megap kehabisan air, membuat
Reynald mengambil sandal terdekat dan mengarahkannya tepat di mulut Dimas yang
monyong – menjijikkan itu. “Kampret lo, Rey!” Ia mengelus bibirnya yang malang
itu dan melempar balik sandal sialan itu tepat mengenai kepala Reynald.
“Tingkah lo juga bikin
gue semakin kehilangan image cowok tulen! Normal dikit, napa?!”
Dia tertawa dan Reynald
geleng – geleng kepala. “Lo serius naksir ama dia?”
“Sejak kapan gue main –
main urusan beginian, Rey?”
“Punya nomor ponselnya
gak? kalau sampai gak minta, mati aja lo sana.”
“Punya kok.” Dimas
mengambil ponsel dari saku celana lalu membuka kotak pesan terkirim dan
menunjukkan ke Reynald. “Gue sms dia daritadi, gak direspon.”
Rey merebut ponsel Dimas
dan terbelalak. “50 sms lo kirim ke dia dan semuanya gak dibalas?” Lalu dia
membuka isi pesan itu satu – persatu. “Yaiyalah gak dibalas! Lo sms dengan kata
– kata rayuan semua! Gini yah, kalau lo naksir sama cewek, jangan pernah
sekalipun ntuk rayu dia! apalagi cewek galak begitu! Beuh...”
“Terus gue harus gimana
dong? Gue punya nomor ponsel doang nih.”
“Gue kenal kok salah
satu dari mereka.”
Ucapan Rey membuat ia
serasa ketiban durian masak dari pohon. “Serius?”
Rey mengangguk sambil
mengangkat sebelah alisnya. “Mau gue tanyain? Mumpung gue lagi baik hati nih.”
Dimas mengangguk seperti
anak kecil mau dibelikan selusin eskrim kesukaaan. Reynald menghubungi temannya
dan berbicara ngolor – ngidul sebelum ke topik sebenarnya. Dan Dimas
menunggu dengan sabar. Ketika Rey mematikan telpon, senyum di wajahnya melebar.
“Dia satu kampus ama lo
dan...” Rey menceritakan detail dan Dimas mengangguk. Senyum di wajahnya
semakin lebar. Semua rencana ntuk menaklukan hati gadis incaran sudah terketik
rapi di dalam otaknya. Tinggal menunggu dilaksanakan dan SIMSALABIM! Hati
gadis itu akan ada di genggamannya. Dan takkan pernah dilepas.
You’ll be mine, dear.
Just wait and see.
♥
♥
“Eh.. Eh.. Din...” Anna menyodok
pelan lengan Andini ketika cewek itu lebih memilih menghabiskan mie goreng yang
ia hadapi sekarang daripada menghiraukannya. Karna terlalu kencang, dia
mendapatkan pelototan tajam. “Apaan sih Ann? Rere bikin ulah lagi? Biarin aja
tuh anak rusuhin panggung!”
“Apaaan tentang gue,
kak?” Rere muncul bagai jin dan duduk di depan Andini dengan mimik bertanya.
Membuat Anna memberi isyarat minggir. “Lo nutupin pemandangan, dek.”
“Pemandangan?” Matanya
membesar dan mengikuti arah tatapan Anna dengan penuh antusias berlebihan.
Namun kecuekan Andini membuat usilnya kumat. Ia menarik piring makan kakak
tingkatnya yang pemarah itu dan nyengir lebar ketika si korban meradang. “Apa
–app—“
“Halo Andini.” Omelannya
menggantung di udara ketika mendongkak, wajah cowok luar biasa tengil yang
menerornya hampir seminggu hingga ia memilih ganti kartu, sekarang tepat di
hadapan. Dengan senyum andalan, dia duduk di samping Rere. “Gak nyangka kita
ketemu disini. Mungkin kita jodoh.”
Kalimat jodoh yang
diucapkan lantang itu membuat ia langsung tersedak tanpa sebab dan memukul dada
heboh. Anna langsung mengelus punggung Andini dengan senyum yang berusaha ia
tahan mati – matian agar tak mendapat ‘semprot’. “Jodoh mbahmu! Ogah gue!”
“Buktinya kita ketemu
lagi disini. Gak nyangka cewek yang menjadi penghias mimpi indah gue setiap
malam ternyata satu kampus. Wah.. wah.. thanks God for everything.” Dia
menengadahkan tangan seolah bersyukur. Membuat Andini ikut menengadahkan tangan
dengan mimik memelas. “Tuhan.. kenapa hamba jadi satu tempat kuliah dengan
cowok tengil ini? Aduh... aduh...”
“Udah jalannya mungkin,
kak.” Ucapan Rere bernada songong itu
membuat ia memberikan sebuah jitakan dengan sangat, sangat sukarela. “Sakit,
kak Dini!”
“Biarin!”
Dimas melihat pertengkaran
mereka hanya tersenyum simpul. Wajah marah Andini sangat lucu dilihat. Pipi
tembam yang menggembung, rona merah merayapi seluruh wajah, dan tatapan tajam
melirik Rere yang tersenyum tanpa dosa sambil berlindung di balik punggung Anna
dengan tatapan minta dijitak.
“Lo ngapain disini, kak
Dimas?” ia menoleh dan tersenyum menatap Andini yang membuang muka. “Kuliah
dong, re. masa gue jualan? Tapi kalau jualan cinta sih gue mau. Asal Andini
yang beli.”
Andini mencebik
mendengar gombalan nyasar bin basi itu, Anna terkikik geli diikuti si
penanya yang terbahak – bahak. Mungkin satu lelucon lagi, dia akan diseret ke
rumah sakit jiwa terdekat ntuk diperiksa mentalnya yang mungkin agak
terguncang.
“Lucu banget yah lelucon
gue jadi lo pada ketawa hampir kehabisan napas gitu?”
“BASI! MURAHAN! NORAK!”
Andini langsung menyambar start ketika dilihat Anna ingin menjawab. Dia
berdiri dari duduknya dan mengambil tas. Nafsu makannya yang menggebu – gebu
sekarang hilang seperti debu disedot oleh vacumm cleaner karna Dimas di
depannya.
Dimas tersenyum menanggapi emosi Andini
yang tak kenal tempat itu dan melipat tangan diatas meja. “lo antipati banget
sama gue, yah?”
“Gue antipati ama orang
yang SKSD, yang bikin hidup gue seperti dikejar selusin debt collector
karna sms dan telpon mendominasi ponsel gue. Dan orang itu adalah lo!” Ucapnya
sambil menodongkan jari telunjuk tepat didepan Dimas yang tersenyum.
“Lo kenapa senyam – senyum sih?! Ngomel dong! Balas gue dong! Dasar
gila! Gak waras! Sinting!”
Dimas mangut – mangut
mendengarkan. Seolah Andini sedang memberikan instruksi yang harus dikerjakan,
bukan melempar omelan nyelekit. “Lo mau ga diperlakuin gitu lagi? Gue
kasih cara ampuh deh.”
“Oh yah? apaan?”
“Eum...” Dimas memasang wajah berpikir ntuk melihat ekspresi Andini yang semakin masam. Hal itu membuatnya tertawa. “Jadi pacar gue aja gimana? atau kalau lo gak mau, kita nikah aja! Gue siap kok. Siap pake’ banget deh!”
“Eum...” Dimas memasang wajah berpikir ntuk melihat ekspresi Andini yang semakin masam. Hal itu membuatnya tertawa. “Jadi pacar gue aja gimana? atau kalau lo gak mau, kita nikah aja! Gue siap kok. Siap pake’ banget deh!”
“Kak Anna.. kita berdoa
yuk moga kak Andini gak kolaps.” Rere berbisik pelan ketika melihat
ekspresi kak Andini berubah mulai menjadi kaget luar biasa, lalu melongo lebar,
dan tatapan matanya berubah sinis. Kemudian dengan kasar ia mendorong kursinya
kebelakang dan menatap Dimas yang masih tersenyum. “Mimpi aja lo sana! Gue O.G.A.H!”
Dia berbalik badan dan meninggalkan mereka dengan emosi menggebu – gebu hingga
beberapa orang memilih minggir kalau ingin selamat.
Dimas nyengir lebar.
Dengan cepat ia berdiri dan berteriak. “Oke! Gue anggap lo terima gue, Andini!”
Melihat respon Andini
yang mengacungkan tinju di belakang kepala, membuat ia tersenyum geli dan memutuskan
mengobrol dengaln teman akrab cewek pujaannya itu ntuk mencari informasi
sekecil apapun.
♥ ♥
“Sialan! Sialan!
Sialan!!! Arghh!!!” Andini sekuat tenaga melempar batu ke arah danau kecil di
belakang kampus ntuk meluapkan semua emosinya disana. Ponselnya berulang kali
berdering dia abaikan. Dia tak ingin mengangkat telpon dari siapapun. Bodo amat
semua orang mencarinya. Dia tak butuh dicari!
Tapi dia lelah mendengar
ponselnya bernyanyi tanpa henti. Dengan malas dia menekan tombol On. “Apa?”
Suara Anna yang lembut
menjawab, “Lo dimana, Din?”
“Di danau mau bunuh
diri!”
Suara Anna semakin
lembut. berbeda sangat dengan dirinya yang siap – siap ingin membunuh orang.
“Kenapa lari, Din? Dimas bukan Evan loh.”
Nama itu sukses membuat
Andini terdiam. Dia menghela napas sambil menyandarkan tubuh yang mendadak
sangat lelah ke pohon. Dia butuh sandaran sekarang. “Tapi tingkahnya mirip, An. Gue gak sanggup
disakitin dua kali lagi.”
“Sifat yang sama bukan
berarti orangnya juga kan, Din? Dia nanya lo panjang lebar dan gue bisa menilai
dia cocok ntuk imbangin lo yang terlalu serius.”
Andini menggeleng walau
tau Anna tak melihat. “Gak, An. Kalau lo menelpon gue hanya ntuk yakinin Dimas
itu beda. Makasih. Usaha lo sia – sia. Bye.”
Dia menutup telepon tanpa mempedulikan Anna akan menjawab apa. Dia tak peduli
lagi. Baginya semua cowok itu sama seperti Evan. Mendekat hanya untuk
pelampiasan.
Flashback.
“Terlalu
sadis caramu, menjadikan diriku.
pelampiasan cintamu, agar dia kembali padamu.
tanpa peduli sakitnya aku.”
pelampiasan cintamu, agar dia kembali padamu.
tanpa peduli sakitnya aku.”
Hatinya
hancur luar biasa dibalik pintu ketika
mendengar bahwa selama ini dia mau berpacaran dengannya bukan karna
cinta, tapi ingin mendekati Lisa yang kebetulan akrab dengannya, yang merupakan
mantan cowok itu. Ajakan makan siang yang ia siapkan pun hancur berantakan.
“Jadi
lo benar – benar gak sayang dengan Andini, Bro?” Andini mendengarkan dengan
hati hancur berkeping – keping. Dia ingin lari, tapi kakinya serasa telah dilem
kuat ntuk mendengarkan semua pengakuan busuk Evan.
“Gak.
Gue Cuma ingin ngajak Lisa balikan doang makanya pacaran dengan Andini.
Daripada gue nganggur dan dicap jomblo ngenes. Toh kalau gue balikan lagi ama
Lisa, gue bisa putusin Andini.”
“tega
niannya caramu. Menyingkirkan diriku
Dari percintaan ini. Agar dia kembali, padamu.
tanpa peduli sakitnya aku.”
*Afgan – Sadis.
Dari percintaan ini. Agar dia kembali, padamu.
tanpa peduli sakitnya aku.”
*Afgan – Sadis.
“Jahat
banget ide lo, Van. Ga mikirin hati Andini?”
Andini
meremas tangannya hingga memutih. Tak ada air mata yang menetes ketika
mendengar itu. Yang ada dia membuka pintu kelas dengan kasar, berjalan cepat
kearah Evan yang sangat terkejut melihat kedatangannya, dan...
Plak!
Dia
menampar pipi Evan dengan sangat keras hingga pipi cowok itu memerah dan cap
tangannya terlihat jelas. Tangannya sakit namun ia abaikan. “kita putus!”
ucapnya lantang dan berbalik badan keluar ruangan. Mengabaikan Evan yang kini
berlari menyusulnya. Baginya, semua telah selesai.
Sejak
itulah, dia tak pernah lagi percaya dengan cowok. Takkan pernah.
∞ ∞
Suara isakan dibelakang
pohon terdengar ketika Dimas melangkah ringan menuju danau ntuk berpikir
jernih, dan itu membuat ia merinding. “Memangnya
Mbak Kunti sekarang ganti jadwal jadi Patroli Siang atau patah hati berat
hingga niat muncul siang bolong begini?” Batinnya sambil melangkah pelan
tanpa suara mendekat ke arah sumber suara memilukan itu, menghela napas lega –
sekaligus sakit secara bersamaan.
Lega, karna bukan Mbak
Kunti yang menangis siang bolong di depan pohon, sakit karna yang menangis itu
adalah cewek ditaksirnya. Dia duduk disamping dan menarik badannya ntuk
bersandar didadanya. Meminta secara halus ntuk merasakan kesakitannya.
Sentuhan itu membuat
Andini kaget. Ia langsung menyikut perut cowok itu dan berdiri menjauh. Cepat ia
menghapus air mata dan menatap tajam kearah Dimas yang mengernyit sedikit
kesakitan. “Ngapain lo disini? Ngikutin gue?!”
Dimas
menatap Andini yang berkacak pinggang dan melihat benteng pertahanan
mengelilingi gadis itu dengan sangat tegak dan tinggi. Dia tau semuanya dari
Anna tentang kenapa gadis pujaannya ini sangat antipati dengan perhatian manis.
Membuatnya bertekad ntuk membuktikan
bahwa dia bukan pria yang sama.
“Berapa kali harus gue bilang kalau kita ini jodoh sejak pertemuan pertama
itu?”
Andini memasang wajah
jijik. “Dih! Gombal basi lo gak laku!” ucapnya ketus dan berbalik pergi. Namun
mendadak lengannya ditarik maju dan terkurung dipelukan dengan sangat erat.
“Lo! Lo ngapain?!
Lepasin gue! Lep..” Ucapannya terhenti ketika bibirnya yang siap menembak
amunisi menyakitkan, terbungkam seutuhnya oleh sentuhan lembut oleh bibir
Dimas. Sentuhan yang menyenangkan, membuatnya tak sadar berhenti meninju dada
Dimas dan berganti memeluk erat. Ciuman yang paling lembut pernah ia rasakan.
Bahkan Evan pun tak pernah seperti ini.
Evan!
Nama itu seolah menampar kesadarannya. Cepat
dia mendorong Dimas menjauh darinya, meronta ketika Dimas memasukkan lidahnya
dan bermain di sudut – sudut mulutnya dengan sangat ahli. Membuatnya lemah dan
merasa perlu dipegang agar tak merosot ke tanah.
Dimas yang tau
perlawanan Andini melemah, tersenyum senang dalam hati dan mencium penuh
lembut. Membuat perbandingan tersirat bahwa dia tak bisa disamakan dengan
siapapun dimasa lalu Andini. Dia adalah dia. Bukan dia yang mirip dengan orang
lain yang ia sendiri tak pernah liat. Dan Andini harus tau semua itu di setiap
sentuhannya. Dan ia menunjukkan itu dengan mengelus punggung Andini dengan
sangat lembut hingga bisa merasakan bahwa tubuhnya bergetar gugup, French kiss ria dengannya memberi
kenikmatan yang sangat indah hingga Andini tak sanggup menanggungnya sendiri.
Ia berontak lagi –
bahkan menginjak kaki Dimas keras hingga spontan mundur dan pelukannya terlepas.
Ia meneteskan air mata dan bibirnya terasa panas dan membengkak. Tanda ciuman
panas mereka benar – benar mantap. Dan air matanya diusap penuh kelembutan oleh
Dimas membuat ia mendidih dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tak pernah
merasakan dilecehkan segitu hinanya.
PLAK!
Sebuah
tamparan keras dan sangat telak melayang ke arah pipi kirinya tanpa antisipasi.
Dia menatap Andini yang bernapas naik – turun penuh emosi meluap dan tatapan
matanya yang sangat dingin. “Brengsek! Apa maksud lo cium gue, Dimas?! Lo mau
melecehkan gue? Lo anggap gue murahan?!” Andini mengacungkan jari telunjuknya
tepat didepan hidung Dimas dan meludah kesamping. Seolah membuang jejak apapun
yang tersisa sambil mengusap kasar bibirnya yang membengkak dan merah itu.
Bukannya marah atau
balas menyerang Andini, dia malah tersenyum simpul sambil mengelus pipinya yang
merah dan menatap tingkah Andini yang mengelap sekali lagi bibirnya dengan tisu
basah sambil tersenyum geli. “Tapi lo menyukainya, kan? Mengakui dalam hati,
kan kalau ciuman gue memang tak ada tandingannya?”
“Sialan! Dasar cowok mesum!” Andini menyumpah dalam hati dan menatap
Dimas garang. “Lo..”
Dan Dimas mencium Andini
sekali lagi sebelum semua sumpah serapah itu terucap. Hanya ciuman ringan,
namun membuat Andini sedikit lemas hingga Dimas harus menopangnya ntuk berdiri
tegak. Merasa Andini akan semakin merosot saja dan ada sebuah perasaan aneh –
ingin memiliki lebih kuat hingga takut tak bisa menanggung sendirian, Dimas
melepaskan pelukannya dan menatap Andini lekat – lekat.
“Gue tau kenapa lo
hindarin semua perhatian gue, Andini. Tapi satu hal yang harus lo ingat, Gue adalah Dimas. Bukan Evan. Jadi jangan
bandingin gue dengan cowok sialan itu.”
PLAK!
Dan
sebuah tamparan keras pun melayang lagi ke pipi Dimas. “Tapi lo sama
brengseknya!” Ucapnya pedas dan langsung meninggalkan Dimas tanpa banyak kata
lagi.
Dimas mengelus kedua
pipinya yang ditampar Andini dengan senyum lebar. Bangga dalam hati karna baru
saja meninggalkan jejak manis di bibir gadis itu, yang mungkin akan diingatnya
sampai mati. Yang ia lakukan sekarang adalah, bagaimana caranya agar gadis
manis pemarah itu menjadi miliknya.
Yah miliknya. Tanpa ada bayang –
bayang seseorang dikehidupannya. Hanya ada dia.
∞ ∞
Lo pengen tau detektor perasaan
paling ampuh kalau kata – kata tidak meyakinkan ntuk dipercaya? Cium saja dia
dan rasakan bagaimana manisnya bibirnya menyentuh lo. Apalabila itu terasa
sangat indah hingga tak ingin lepas, maka itulah isi hatinya.
Andini langsung melempar majalah berisi quotes tentang ciuman bisa mendeteksi
isi hati! Bah! Teori nyasar darimana pula itu?! Teori itu hanya ntuk mendukung
ulah pria – pria mesum diluar sana ntuk mencium cewek sesuka hatinya dengan
modus cinta mati!
“Tapi.. ciuman dia gak buruk – buruk amat kok. Spektakuler malah.”
“Spekatkuler
apaan?! Harga diri lo baru saja dititik paling rendah karna mau – mau aja
dicium ama cowok sinting itu! Dua kali lo dicium dan pasrah aja?! Dimana lo
naroh moral?!”
“Diam!” teriaknya frustasi
ketika isi hati dan otaknya saling ribut tentang kejadian sialan tadi siang.
Ini memang bukan ciuman pertamanya, tapi tetap saja setelah 3 tahun putus dari
Evan dan tau – tau dicium mendadak membuatnya kaget luar biasa, dan sensasi
ciuman itu, sangat terpaksa mengakui, dia
tak bisa melupakannya begitu saja.
“Sialan!
Dasar cowok brengsek!” Andini menyumpah dan menelungkupkan wajah dengan bantal
yang ia ambil dari ranjang. Kenangan itu membuat wajahnya malu tanpa sebab. Seandainya
ada sabun pencuci kenangan, dia akan membeli dan menghapus memori sialan itu
dari otaknya agar tak teringat bagaimana rasa bibir Dimas ketika menyentuhnya,
tak terburu – buru seperti Evan. Sangat manis dan lembut. Membuat ia seketika
lupa akan kebencian yang menggung bak Gunung Everest sebelum nama Evan bertalu
– talu di gendang telinga.
“Tuhan...” Andini
menengadahkan kepala menatap langit – langit kamar. Kalimat lanjutan quotes sialan itu masih terbayang jelas di kepalanya,
tercetak di langit – langit kamarnya yang
berwarna putih. Membuat ia mengerang.
“Lupain, Please.”
“Fakta menyebutkan, ketika seseorang
mencium lo sepenuh hati, padahal lo benci setengah mati dengannya. Hati – hati,
siapa tau lo akan jatuh kedalam pesonanya sebentar lagi.”
∞ ∞
Reynald
menggaruk kepalanya sedari tadi yang gatal. Melihat Dimas senyum – senyum
sendiri didepan pintu kost dengan
pandangan fokus kearah pohon Beringin, membuatnya merinding. Dia tau efek jatuh
cinta bisa membuat orang waras menjadi sedikit kacau, tapi dia tak tau kalau
Dimas yang dari sononya sudah kacau,
menjadi setengah gila. Terkutuklah para cebol bersayap bernama Cupid Asmara
diluar sana yang sekarang terkikik geli dan bertos ria melihat keadaan mental
sahabatnya ini.
“Dia
itu hot banget, Rey.” Gerakan tangan Reynald yang ingin menepuk punggung Dimas
terhenti diudara mendengar ucapan sinting sahabatnya itu. Ada apalagi ini?
“Gue cium dia siang tadi, Rey! Dua kali gue
cium dan rasanya itu...” Dimas menoleh kearah Reynald yang memasang wajah ngeri
dan tertawa terbahak – bahak karnanya. “Ekspresi wajah lo yang waras aja napa!”
“Gimana gue gak ngeri liat lo ngomong seolah tau gue datang, gitu!”
“Gimana gue gak ngeri liat lo ngomong seolah tau gue datang, gitu!”
“Bau badan yang gak
mandi seminggu itu ngasih tau gue.” Dan sebuah toyoran kepala menghampiri
Dimas. “Sompret lo! By the way, lo ngomong apa tadi? Hot apan?”
“Gue cium Andini.”
Ucapnya santai dengan senyum super lebar diwajah mengingat kejadian siang tadi.
Tamparan telak di kedua pipinya seolah tak ada pengaruh sama sekali.
Reynald shock dibuatnya. Andini, gadis pemarah
itu baru saja berciuman dengan Dimas?
Ini Luar biasa. “Lo gak ngayal, kan?”
“Buat apa gue ngayal hal
seindah ini, Rey?” Dimas menatap Reynald dengan seringai jahilnya. “Gue serius,
Rey. Dan lo sebagai sahabat gue yang baik, mau gak tolongin gue?”
Reynald menatap Dimas
dan geleng – geleng kepala menyadari sahabat labilnya ini tak bohong. “Mau gue
bantu apaan?”
Dimas tersenyum dan
membisiki sebuah rencana hasil pemikiran dia dan semedi di tepi danau kampus
setelah kejadian indah itu. Dan Reynald hanya mengangguk saja tanpa banyak kata.
∞ ∞
“Pagi,
Andini.”
Dia terlonjak mendengar
sapaan manis didepan ruangannya. Ia menoleh
lalu masuk tanpa membalas. Sejak ciuman sialan beberapa minggu lalu itu,
Dimas berusaha mendekat, namun ia memperlakukannya seperti tembok kusam.
Terlihat dan terabaikan. dan ia jagonya dalam hal itu.
Bukan Dimas Dirgantara
namanya kalau tak bisa membuat Andini berbicara sepatah – dua kata sejak
kejadian indah – dan ingin terulang lagi itu. Dia mengikuti Andini dan duduk
menyamping dengan menumpukan kepalanya di tangan kiri. Fokus sepenuhnya tanpa
bicara. Hanya tersenyum setiap Andini menoleh padanya.
Dia salah tingkah
dibuatnya. Cewek manapun – baik waras atau tidak pasti salting luar biasa kalau
dipandang terus terusan bak kamera CCTV
oleh siapapun. Apalagi cowok! Dan Dimas seolah tak bosan menatapnya seperti
itu. Tersenyum ketika dia menoleh garang. Seolah – olah memancing emosinya yang
semakin menipis ini ntuk berbicara.
Tidak! Silahkan bermimpi saja, Boy!
Dia takkan sudi mengeluarkan suara indahnya ntuk Dimas. Tidak akan pernah lagi! Andini bertekad
dalam hati dan fokus membaca catatannya karna hari ini ada kuis.
“Loh, Dimas? Ngapain
disini?” Anna bingung ketika ingin duduk disamping Andini, melihat Dimas yang
jelas – jelas bukan mahasiswa satu jurusannya, rela duduk seperti patung peraga
disamping Andini yang jelas – jelas mengacuhkannya. “Menunggu pujaan hati gue,
Ann.”
Anna terkikik geli. Dia
bisa melihat gerakan naik bahu Andini dan dengusan pelan. Sahabatnya ini sama
batunya dengan tekad Dimas ntuk membuka hatinya. Membuat ia tersanjung dan
menepuk pundak Dimas. Memberi semangat moril. “Ganbatte, Dimas! Gue dukung lo kok.”
Dimas tersenyum dan
menatap punggung Andini yang pasti mencibir panjang – pendek mendengar dukungan
Anna yang membelot itu. Tapi memang ini yang ia butuhkan. Menarik perhatian
semua sahabat Andini ntuk mendapatkannya.
“Dosennya masuk tuh,
Dim.” Bisik Anna ketika melihat dosen mereka masuk ruangan. Ntungnya mereka
duduk dibagian belakang. Jadi kalau ingin menyelinap kabur takkan kelihatan.
Dimas mendesah kecewa.
Kalau saja dia tak ujian hari ini, sudah pasti akan duduk disini mengikuti mata
kuliah Andini yang sangat bertolak belakang dengannya. Dia berdiri dan
mendekati Andini, menarik tubuh gadis itu dan mencium puncak kepalanya.
Mengabaikan eskpresi kaget Andini. “Gue masuk kelas dulu yah, beib.” dan keluar dengan santai. Tanpa
mengabaikan tangan Andini yang terkepal dengan secarik kertas yang ia remas
sampai hancur.
Dia menatap Anna yang
duduk ditempat Dimas tadi dengan tajam. “Liat tuh sekutu lo gimana ama gue!
Cium – cium dia kira gue sudi?!”
Anna membalas dengan senyum
perhatian – seperti biasa. “Tapi lo suka, kan?”
“Dih! Kalau udah pulang kuliah ntar, gue bakal
cuci nih rambut pakai air kembang sampai bersih!”
Anna yang mengetahui
Andini sejak lama, hanya tersenyum tanpa menimpali. Membiarkan Andini berkata
sesukanya. Mengelak sekehendak hati.
∞ ∞
“Dia yang sesungguhnya,
tak mungkin kuterima.
apakah mungkin ku jatuh cinta.
jatuh padanya.”
tak mungkin kuterima.
apakah mungkin ku jatuh cinta.
jatuh padanya.”
“Hahhaha.. gak mungkin! Mustahil!” Andini
tertawa sendiri mendengar selentingan lagu yang menjawab kegelisahan hatinya.
Bagaimana mungkin dalam kurun waktu sebulan dia sudah kelepek – kelepek dalam
pesona seorang Dimas? Hahhaaa.. that’s
impossible!
“mungkin gue sudah gila.” Ucapnya dalam
hati sambil mengucap puncak kepala yang dielus Dimas pagi tadi. Masih terasa
kehangatan tangan yang mengelus puncak kepalanya dengan sayang, tangan yang
sama memeluk pinggangnya erat beberapa minggu lalu sambil menciumnya ditepi
danau yang hening. Hanya Tuhan yang tau perasaannya menjadi amburadul sejak
terjadi kejadian “naas” itu.
“Bersamamu, itu tak mungkin.
Sungguh tak mungkin.
oh mungkinkah.
rasa ini, apa namanya.
sungguh ku tak mengerti.
Sungguh tak mungkin.
oh mungkinkah.
rasa ini, apa namanya.
sungguh ku tak mengerti.
apakah ku jatuh cinta.”
*Sherina ft Vidi Aldiano – Apakah Ku Jatuh Cinta.
Wajah
Andini merona tanpa sebab memancing perhatian Anna dan Lyesha. Biarpun mereka
beda fakultas, tapi selalu berkumpul ditaman yang berada ditengah kampus
apabila jadwal memungkinkan. “Kenapa lo, Din?”
Pertanyaan
Lyesha membuat ia terkesiap kaget dan wajahnya semakin merah. Dengan penuh
gengsi ia membuang kenangan memalukan itu dan menatap Lyesha. “Kenapa apanya,
kak?”
“Senyum
– senyum sendiri denger lagu terus
merona tiba – tiba. Hayooo... mikirin Dimas, yah? Tuh kan, wajahnya merona
lagi. Ciee.. Dini.. ciee..” Goda Lyesha sambil mencolek dagu Andini dengan
kerlipan jahil dan tertawa melihatnya membuang muka. “Gue kasih tau Bian, ah.
Pasti dia ngikik nih.” Cepat ia mengambil ponsel dan mengetik beberapa kata
sambil terkikik sendiri membacanya. Ia menatap Lyesha dengan galak sebagai
usaha menyembunyikan rona merah yang masih tersisa di pipi. “Apaan lo sih, kak
norak banget! Gue gak ngayal si kutu kupret itu! Dih! Tak sudi!”
“Yakin?
Tadi malah senyum – senyum sendiri pas disapa Dimas. Sudahlah Din, ngaku aja
ada hati gak bakal dibully kok.”
Desakan Lyesha malah membuatnya berdecak sebal. “Apaan sih lo, kak?! Nyebelin
deh!”
“Udah...
udah...” Anna melerai mereka dengan senyum terkulum. Penolakan telak – telak
dari Andini dengan wajah memerah malah semakin mengiyakan ledekan Lyesha. Andini
mencebik si peledek semakin menertawakannya.
Cebikannya
berhenti ketika melihat tak jauh dari mereka, ia melihat Rere dan Dimas saling
mengobrol riang seolah mengenal lama. Bahkan tak segan – segan tangan Rere
merangkul pundak Dimas dan tersipu malu ketika dibisiki oleh si cowok. membuat
hatinya merasa panas dan emosinya teraduk super cepat didalam perutnya hingga
nyaris mual. Perasaan menjengkelkan yang membuatnya ingin mendamprat mereka
berdua habis – habisan.
Dia
menunduk berusaha fokus membaca novel ketika melihat mereka menghampiri. Bahkan
tangan Rere tak lepas jua dari pundak Dimas. “Haloo..” Sapanya riang sambil
duduk disamping Andini dan Dimas mengikutinya.
Andini
menoleh kearah Rere yang tersenyum bahagia. Dia menatap Dimas yang hanya tersenyum
ketika mereka bertatapan. Tak ada godaan menjurus, hanya sebuah sapaan biasa.
Terlalu aneh untuk seorang Dimas, terlalu menjengkelkan karna ia sudah menanti
godaan itu – entah sejak kapan, Dan itu membuat hatinya merasa tertusuk dalam.
Baru kali ini rasanya diabaikan.
“Hari ini kita makan di Mc Donalds, yuk! Gue
traktir..” Ucapan Rere bernada super riang membuatnya mengalihkan pandangan
kearah sahabatnya itu dengan kening berkerut.
“tumben ngajak traktiran. Biasanya lo paling pelit kalau urusan nraktir orang. Biarpun Cuma air putih doang.” Ledeknya dengan nada sinis. Kebersamaan Rere dengan Dimas entah kenapa membuat hari indahnya rusak seketika.
“tumben ngajak traktiran. Biasanya lo paling pelit kalau urusan nraktir orang. Biarpun Cuma air putih doang.” Ledeknya dengan nada sinis. Kebersamaan Rere dengan Dimas entah kenapa membuat hari indahnya rusak seketika.
Rere
mengabaikan kesinisan lebih nada Andini. Dia menatap Dimas dan cengengesan. Dan
Andini melihat semua itu. Tanpa sadar tangannya terkepal dibalik meja. Dia rela
melakukan apa saja asal hatinya senang, bukan aneh seperti ini ketika melihat
mereka bertukar tatapan.
“apa mereka pacaran?” bisikan tiba –
tiba dalam hatinya membuat ia terkesiap. “Tidak!
Tidak! Dimas takkan jatuh cinta dengan Rere!” ucapnya penuh yakin dalam
hati. Membantah bisikan hatinya yang menguat.
“sebenarnya
bukan Rere yang nraktir, kak. Tapi Dimas. Hahahaa..”ucapnya sambil menggenggam
tangan Dimas erat. Dan Dimas membalas sambil tersenyum. Membuat ia membatu
seketika ditempat. Merasa mendengar suara pecah disini – hatinya.
Oh
Tidak...
“Loo?
Kok..?” Anna menunjuk mereka berdua dengan wajah tak mengerti. Dan tiba – tiba
ia terkesiap kaget. “Jangan bilang kalian...”
Dimas
tersenyum menatap Andini lalu beralih kearah Anna yang terngaga. “Gue pacaran
sama Rere. Baru lima menit yang lalu. Iya kan, sayang?”
“Iya,
Dimas.”
“Hah?”
Lyesha shock berat dan menatap Dimas,
Andini, serta Rere bergantian dengan mata melotot. “Gue kira lo naksir ama
Dini, Dimas.”
Dimas
tersenyum dan menatap Andini yang kini menundukkan wajah. “Dulunya. Tapi Dini
gak pernah kasih respon ke gue, membuat gue lelah dan dekat dengan Rere, selama
itulah gue merasa dialah yang gue cari selama ini. Malah gue merasa bahwa Dini
– lah yang menjodohkan gue dengan Rere lewat tingkahnya itu. Karna kalau
tidak...” Dimas merangkul pundak Rere agar mendekat padanya dan mencium pipi
pacarnya itu. “gue gak akan pacaran sama dia.”
Dimas
menatap Dini yang sedari tadi memperhatikannya. Tatapan mata yang bersinar
galak itu kini sendu. Ia pura – pura tak melihat itu semua lalu menatap Rere. “Love you, Rere.”
“Love you, too.”
CUKUP SUDAH!
Andini berdiri sambil memasukkan semua barang
– barangnya dalam tas, dan menatap mereka dengan mimik datar. Hanya Tuhan yang
tau betapa susahnya ia berakting seperti ini sedangkan hatinya ingin berteriak –
khususnya kepada Dimas betapa dia sangat, sangat sakit hati. “Gue baru ingat
ada janji sama nyokap untuk pergi ke pasar. Jadi sorry gabisa ikut. Duluan yah.”
“sayang
banget. Padahal ada teman gue yang naksir berat sama lo tuh. Mending lo ikut
aja dan coba deketin temen gue, siapa tau cocok.” Ucapan Dimas yang santai itu
membuat air matanya hampir saja lolos kalau saja ia tak menahan lebih kuat
lagi. “Gak usah. Gue anti dijodohin. Duluan, Dim, Re. Selamat yah.” Dia menatap
Dimas untuk terakhir kalinya, lalu berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Tak
ingin mereka – khususnya Dimas melihat betapa hancur hatinya. Melihat tetesan
air mata yang kini membasahi kedua pipi tanpa ampun.
∞.∞
Dimas
mengetuk gelisah stir mobil sambil menatap rumah Andini. tatapan sendu Andini serasa
mengguncang seluruh alam sadarnya. Bahagia karna jauh dalam lubuk hatinya,
perasaannya tak bertepuk sebelah tangan, sakit hati luar biasa karna
perbuatannya itu ternyata lebih menghancurkan Andini lebih dari ia perkirakan.
Dan ia takut, perbuatannya kali ini takkan
termaafkan. Membuat gadis itu menjauh dari kehidupannya dan tak sudi untuk
kembali.
“Tuhan...” Dimas menyandarkan kepala ke jok
mobil sambil mendongkak. Kepalanya berdenyut sakit hingga nyaris pecah. “Semoga
dia maafin gue dan terima semuanya. Amien.” Doanya dan mematikan mesin mobil
lalu mencabut kunci, dengan hela napas berat dia keluar dan memencet bel rumah
Andini.
∞.∞
“Jangan kau ganggu hidupku lagi.
sudah jelasi yang kau mau.
sudah jelasi yang kau mau.
Andini sudah tau kedatangan Dimas ketika
mendengar bujukan manis cowok itu agar diperbolehkan masuk pada pembantunya.
Membuat ia seperti terlempar ke masa dia dirayu habis – habisan ntuk jatuh
cinta padanya, lalu dicampakkan begitu saja ketika ia jatuh dalam pesonanya.
“Kau sakiti hati ini, ntuk kesekian kali.
memang ku cinta, namun tak begini.”
memang ku cinta, namun tak begini.”
*Glen Fredly – Terserah.
“Ngapain lo disini?
“Gue
pengen jelasin semuanya, Andini.”
“Silahkan.
Tapi setelah itu,” Andini berdiri dari ayunan dan menatap Dimas dengan wajah
muak. “lo gak usah muncul dalam kehidupan gue!”
Dimas
menghela napas. tatapan Andini sudah lebih dari cukup bahwa ia terluka. Ia
menggenggam tangan Andini namun dihempaskan kasar. seolah melindungi harga
diri, gadis itu melipat kedua tangannya didada.
“Gue
cinta sama lo, Andini. Dari dulu sampai saat ini.”
Plak!
“Lo bilang cinta sama gue? GUE?! BULSHIT!”
Andini mendorong mundur tubuh Dimas kemudian memukul dada cowok itu dengan
kencang. Ia ingin Dimas merasakan kesakitan hatinya, dia ingin Dimas tau bahwa
ia lebih dari sekedar patah hati. Ini bukan patah lagi, tapi hancur. Mati rasa.
“Buang
saja semua kasihmu.
ku tak mau kau ada disini.”
ku tak mau kau ada disini.”
“Lepasin gue, Dimas! Lepasss!!” Andini
berontak ketika ia berada dalam kurungan Dimas yang seolah ingin meremukkan
daripada menenangkan. Tangannya terhimpit diantara tubuhnya dan dada Dimas
hingga ia merasa kesemutan.
“Gue
serius , Andini!”
“Lepasin
pelukan sialan lo dan pergi dari kehidupan gue! Dasar buaya!”
“Gue
gak akan lepasin sebelum lo biarin gue ngomong, Andini. Gue serius cinta sama
lo.”
“
Lo bilang cinta sama gue setelah beberapa jam lalu baru saja mengumumkan lo
pacaran sama sahabat gue sendiri?! apa itu namanya, Dimas? Apa?! Selama ini lo
deketin gue supaya bisa pacaran salah satu dari kami, kan?! Iya, kan?!”
“Demi
Tuhan, Andini!” Dimas melepas pelukannya ketika merasa Andini tersengal –
sengal. Dan Andini langsung meloncat menjauh seolah ia wabah berbahaya. “Gue
gak ada pernah punya pikiran sekeji itu!”
“Lo
sama Evan sama saja! Lo deketin gue hanya ntuk mendekati salah satu dari kami,
membuat gue jatuh cinta biar kedok busuk lo gak ketahuan, dan ketika gue
terjebak, lo malah pacaran dengan sahabat gue sendiri! dan lo mencium gue! Apa
maksudnya?! Gue bodoh karna cinta sama lo, Dimas!”
“Oh.. ku mati rasa.
ketika kau bersamanya.
tak ada lagi perasaan.
tak bisa lagi ku merasakan,
Cinta.”
ketika kau bersamanya.
tak ada lagi perasaan.
tak bisa lagi ku merasakan,
Cinta.”
*Dewi Sandra – Mati Rasa.
Melihat
Dimas hanya terdiam mendengar semua amarahnya, dia melanjutkan. “sekarang buang
semua omong kosong cinta lo ke gue itu, Dimas. Mulai hari ini, gue udah hapus semuanya
dan takkan ada lagi nama lo disini,” Dia menunjuk kepalanya, “dan disini!” dia
menunjuk hatinya dengan tangan terkepal dan air mata yang semakin membasahi
pipinya.
Dimas
mendekati Andini, dan ia mengambil langkah mundur. “Jangan mendekat! Gue gak
sudi lo sentuh sekali lagi!”
“Andini...
satu yang harus lo tau, gue gak pacaran dengan Rere. Gue melakukan ini semua
karna ingin melihat reaksi lo. Gue capek mengejar lo tapi tak pernah direspon.
Ketika ide ini muncul diotak gue , gue langsung menghubungi Rere yang kebetulan
sahabat Reynald dan ia rela menjadi pacar sehari gue. Andini. Percaya sama
gue.”
“Jangan percaya, Dini! Dia bohong!”
Kata hatinya yang terlanjur sakit menyuruh ia
ntuk tak usah percaya, tapi tatapan Dimas yang bersorot seolah mengiyakan
setiap ucapannya membuat ragu. Apa dia harus percaya?
“Gak usah percaya, Dini! Lo bilang gak
percaya dengan semua ucapannya terus usir dia keluar biar tau rasa!”
“Pembohong.”
“Gue
tau lo bakal ngomong begini, Andini.” Dimas menatap lelah dan mengeluarkan
ponsel lalu menekan sebuah nomor kemudian mengarahkan ke arah Andini. namun
cewek itu membuang muka. Tak sudi melihat barang – barang yang berhubungan
dengannya. Membuat Dimas menghela napas dan menekan tombol loudspeaker ketika telpon tersambung.
“Halo.
Kenapa kak Dimas?” terdengar suara Rere membuat Andini menutup mata. Hatinya
serasa terkoyak ketika kilasan kejadian siang tadi terbayang lagi. “Gue dirumah
Andini untuk jelasin siang tadi, tapi dia gak percaya, Re.” Suara lelah nada
Dimas terdengar dan ia memilih menutup hati. Tak terpengaruh. “Bisa lo bantu
gue jelasin, Re?”
Hela
napas terdengar di seberang telpon kemudian terdengar gerutuan. “gue udah tau
bakal rempong kayak begini. Hedeuh..
kak Dimas. Lo bikin kepala gue bakal benjol bertingkat kalau kak Dini tau hal
ini.” Dan Dimas tersenyum.
“ucapan
lo gue loudspeaker loh, Re.”
“Shit!” terdengar ketukan gelisah diatas
meja dan bisik – bisik disekitarnya. “Semoga kepala gue beneran gak benjol kali
ini, amien.”doanya dengan suara lirih.
“gue
cerita dari awal yah kak Dini, dimanapun lo berada. Sebenarnya gue gak pacaran
sama dia. Gue bakal dibakar massa kalau sampai berpacaran dengan sahabat
sendiri, kak Dini. Ide ini muncul karna kak Dimas curhat sama gue dan Reynald
betapa susahnya mendekati lo dan tak tau harus berbuat apa lagi. Dan... VOILA! Ide gak waras pun muncul dan dia
memohon sama gue ntuk menjadi pacar sehari saja demi melihat perasaan kakak
sebenarnya. Gue awalnya nolak mati – matian dan menyuruh kak Dimas ntuk adegan
berpacaran saja sama Reynald. Membuat kepala gue langsung ditoyor berjamaah.”
Gerutuan Rere membuat Andini terkikik sendiri tanpa sadar, dan Dimas tersenyum.
“tapi
permohonan dia bikin gue luluh. Rasanya sakit ketika mengucapkan hal itu karna
seolah gue perebut. dan melihat kakak yang terluka, bikin bibir gue gatal
pengen ngucapin kebenaran saat ini juga. Tapi gue gak bisa lakuin itu karna
sudah terikat janji. setelah kakak pergi, kak Dimas langsung menyusul kakak dan
ninggalin gue jadi pesakitan ama kak Anna dan kak Lyesha. Sumpah demi apapun,
gue gak pernah niat ntuk merebut kak Dimas dari kakak. Dia cinta matinya sama
kakak. Kalau kakak gak percaya sama ucapannya, lihat saja matanya, kak. Cause eyes are mirrors of heart. And never
lying you.”
Dimas
langsung menekan tombol merah ketika Dini berbalik menatapnya. Penjelasan Rere
lebih dari cukup untuk membuat Dini percaya. Dan harus mempercayainya.
“Din..”
“Pulang.”
“Kalau
gue gak mau?” Sembari berkata begitu, ia mendekat dan memegang pundak Andini.
“Gue serius loh, Din. Jangan pernah lo mikir ini main – main, taruhan atau
gimana.”
Andini
menggerakkan jemari kaki dengan gelisah. Pengakuan Rere membuatnya ingin
menggorok sahabatnya atau malah memeluknya hingga kehabisan napas. “Gue juga
serius ngusir lo, Dimas!”
Ucapan
Andini membuatnya terdiam. Bingung harus berkata apalagi selain menatapnya
dalam. “Kenapa?”
“Karna lo bohongin gue! Karna lo berani –
beraninya cium Rere tepat didepan gue! Karna lo..” semua sumpah serapah bergema didalam kepalanya.
Tapi ia hanya mengatakan. “Karna gue benci dengan lo!”
“Yakin,
Andini?” Dia mendekatinya yang mundur perlahan. Senyum miring tercetak jelas
melihat kegugupan Andini yang sangat kentara. “Bukan cemburu karna gue
melakukan kemesraan tepat dihidung lo, sayang?”
“IYA!
Eh.. maksudnya..” dia menutup mulutnya sendiri dan membelalakkan matanya. Harga
dirinya tak bisa diselamatkan lagi. “dasar
bodoh! Kenapa jadi ngomong itu juga?! Dimas jugasih mancing gak tanggung –
tanggung! Kampret!”
Pengakuan Andini membuat senyumnya melebar.
“Jadi lo cemburu dengan gue, Andini? wah..” Dia mendekatinya yang hanya
menunduk malu. Tanpa ragu ia memeluk Andini erat. Dan tak ada penolakan
membuatnya menghela napas lega. “Kita pacaran, yuk!”
“Ogah!”
ucap Andini ketus sambil menyembunyikan wajahnya yang diyakini – memerah didada
Dimas. Ia sangat, sangat malu hingga ntuk mendongkak pun tak sanggup. “Karna lo
udah niatin gue ntuk jodohin dengan teman lo sendiri! daripada dengan lo,
mending gue ama temen lo aja!”
“Itu
hanya akal – akalan gue, Andini. lagian mana mau gue jodohin cewek yang gue
cinta dengan teman sendiri? Gila namanya!”
“Dan
lo mencium pipi Rere tepat didepan gue! Gue gak sudi punya pacar yang pernah
cium sahabat ceweknya sendiri tepat didepan hidung!” Ucapan Andini tanpa sensor
membuat ia terbahak – bahak dan melepaskan pelukannya lalu mendongkakkan wajah
Andini dengan lembut. Melihat rona merah menjalar keseluruh wajah hingga
membuatnya gemas. “Itu gampang kok. Bisa
dihapus dengan mudah, Cuma syaratnya lo doang yang bisa, sayang.”
Andini
mencebik mendengarnya. Namun tak urung jua penasaran. “Apaan?”
“Jadi
pacar gue dulu, Dini. Gimana?”
Tatapan
tulus bercampur geli membuat Andini tersenyum. Rasanya susah ntuk menolak lebih
lama lagi pesona konyol Dimas. Ia bisa mengkhayal bagaimana hari – harinya
nanti bila bersamanya. Tak jauh dari kegilaan dan kenarsisan setinggi langit. “
Iya, gue mau.”
Ucapan
Andini membuat bebannya seakan terangkat. Kedua tangannya meraih pinggang
Andini dan memeluk erat. Wajahnya ia tundukkan hingga saling menyentuh ujung
hidung. “setelah itu, satu ciuman manis dari lo cukup menghilangkan jejak Rere
dari wajah gue, Andini.”
Sebelum
mulutnya menjawab, bibir Dimas langsung menutup semua perkataan yang ingin
diucapkan. Tapi Andini tak peduli lagi, ia melingkarkan tangan ke leher Dimas
dan membalas setiap sentuhan lembut Dimas.
“Loving you always, Andini.”
“Me
too.”
“Take me to your place.
Where our hearts belong together.
I will follow you.
You're the reason that I breathe.
I'll come running to you.
Fill me with your love forever.
I'll promise you one thing.
That I would never let you go.
'Cause you are my everything.”
Where our hearts belong together.
I will follow you.
You're the reason that I breathe.
I'll come running to you.
Fill me with your love forever.
I'll promise you one thing.
That I would never let you go.
'Cause you are my everything.”
Glen Fredly – You’re my everything.
2 Tahun Kemudian.
“Ayooo
kak Dini! Masa dipelototin doang sih? Dimakan, dong.. dimakann!!!” Rere
menyodorkan sepiring penuh jengkol tepat didepan Andini yang mual melihatnya.
Tak menyangka sumpah konyolnya 2 tahun lalu diungkit seenak dengkul oleh Rere
yang kini nyengir super lebar disamping pacarnya, Jayden.
Dan
Dimas, seolah pahlawan siang bolong menghampirinya yang dibully oleh teman – temannya sendiri dan duduk disamping. “Sini, aku
bantuin makan.”
“Gak
boleh.. gak boleh! Pokoknya ka Dini yang harus makan, kak Dimas. Gitu
peraturannya.” Ucapan Rere dibalas pelototan super sadis oleh Andini. “Awas dikau, Reree!!!” Gerutunya dalam hati.
“Kamu
sih sayang kok janji aneh – aneh gini, sih? Seharusnya kan bilang “kalau
pacaran ama Dimas, gue bakal ciuman sampai semaput didepan kalian,” atau...”
Ucapannya terhenti ketika sebuah buku melayang ke mulutnya sendiri dan ia
melihat Andini mempelototinya. “Mana kepikiran Dimassssss!!!!” jeritnya pelan
penuh frustasi. Menciumnya sjaa ia mual, apalagi memasukkan kedalam mulutnya.
Bisa pingsan nanti.
Dimas
menatap Anna, Lyesha, dan Rere bergantian. ketika tatapannya bersirobok dengan
Bian, cengirannya melebar. Walau bertemu beberapa kali, tapi mereka satu
pikiran dalam urusan beginian. “Gue boleh bantuin, kan?”
Bian
yang tau arti tatapan Dimas – yang merupakan rahasia antar pria, tersenyum.
“silahkan.”
Dimas
tersenyum dan menatap Andini yang menatap jengkol penuh ekspresi muntah. Dia
mengambil satu, meletakkan di ujung bibir lalu menarik lengan Andini dan
memberikan isyarat. Membuat ia mendapat jitakan. “Jangan gila, Dimas!”
Dimas
melepaskan biji jengkol itu dan tersenyum. “Untuk ilangin pahitnya, sayang.
Biar cepat habis dan kamu gak dibully mereka.”
Andini
menatap teman – temannya dan kembali ke Dimas dengan wajah luar biasa merona.
“Malu, bodoh!”
Dimas
tersenyum dan meletakkan sebutir biji jengkol didepan mulutnya dan mendorong
Andini mendekat. Melihat pacarnya tak jua membuka mulutnya, ia menggelitiki
pinggang Andini dan membuatnya tertawa kegelian. Membuat ia langsung tancap gas
memasukkan biji itu kedalam mulut Andini seraya menciumnya.
“Gak
boleh lihat, Rere..” Spontan Jayden menutup mata pacarnya yang kini membesar
maksimal. Masih dibawah umur, pikirnya.
Andini
membeku. Ini bukan ciuman pertamanya dengan Dimas, tapi tetap saja dilihat
semua teman – temannya membuat ia merinding panas dingin. Namun, pelukan Dimas
menghangatkan. Dan ajaib! Bahkan jengkol yang sekarang berpindah ke mulutnya
pun tak terasa lagi rasanya. Membuatnya harus bersyukur atau malah menjitak
Dimas sampai benjol karna tingkah gilanya ini.
Ciuman
mereka terlepas dan Dimas menatap Andini yang kini bibirnya memerah. Senyum
jahilnya kumat. “Aku sanggup kok nyuapin kamu makan jengkol sepiring penuh
asalkan caranya kayak tadi. Gimana?”
“Gak
usah!”
Jawaban
ketus Andini membuatnya tertawa. Mengabaikan sahabat pacarnya yang kini duduk
mengelilingi mereka, ia berbisik. “Bagaimana kalau setelah Lyesha dan Bian
menikah,” dia menatap undangan pernikahan mereka diatas meja, “Kita menikah
juga?”
Lamaran
Dimas tanpa rencana membuatnya melongo total. “serius? Jangan ngajak ribut
disini, Dimas.”
“Apapun
tentang kamu, aku selalu serius, Andini. will
you be my wife?” bisiknya ditengah teman – teman yang asyik bercanda ria
membuat Andini merasa berbunga – bunga. Ia menatap Dimas dan mencium pipinya.
Mengabaikan siulan penuh goda dari Anna, nyanyian kecil penuh cinta dari Rere,
dan senyum jahil Lyesha dan Bian yang semakin lebar saja. “Aku mau, Dimas.”
Dan
Dimas mengenggam tangan Andini dan menciumnya. Mereka bertatapan. “ I love you.”
Kini kita
telah bersama,
Tuk selamanya
Bahagia tak terlukiskan.
Tuk selamanya
Bahagia tak terlukiskan.
“Forever?”
Pertanyaan Andini membuat ia
tersenyum. “Forever, Honey.”
Berjanjilah tuk terus bersama
Sampai maut memisahkan.”
*D’cinamons – I Love You.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar