“Edric?” Eva terbangun dari tidur
ayamnya – sebagai usaha menghilangkan rasa sakit dikaki, dan kaget ketika dia
menoleh, ada seseorang yang tidur dengan kepala bersandar di bahu kirinya.
Spontan dia menyentuh telapak tangan cowok itu dan kaget ketika hal itu
membuatnya terbangun dan tatapan hitam kelam itu langsung menusuk ke arahnya.
Edric
sejenak salah tingkah. Tertidur disini bukanlah rencananya. Dia berdiri dan
menatap Eva dengan tatapan dingin - seperti biasa, dan sedikit cemas dihati
ketika cewek itu berusaha berdiri sambil bertumpu pada dinding dibelakang
dengan wajah meringis kesakitan namun tersenyum ketika menatapnya. Spontan dia
merangkul pinggang Eva dan melingkarkan tangan yang memegang dinding itu ke
belakang lehernya. Gerakan itu membuat ia – juga Eva, terkejut. Terlalu banyak
kontak sentuhan yang terlibat sekarang. “Edric, Gue..”
“Gue
antar lo ke tukang pijat.”
“Gak,
gak usah. Gue bisa..”
“Kunci
mobil mana?” Edric menuntunnya berjalan dan Eva tak bisa berkata apa – apa
selain bertumpu kepada Edric. Dia tak bisa berjalan normal karna kakinya
membengkak dari yang diperkirakan. “Gue bisa
pulang send..”
“Gue
tau dan gak peduli, tapi gue merasa bertanggung jawab kalau – kalau lo
ditemukan tewas besok karena tabrakan didepan sekolah dan ada saksi mata bilang
kalau sebelum lo kecelakaan, kita bertemu dan gue biarin lo bawa mobil dengan
kaki bengkak yang bahkan...” Edric sempat melempar tatapan mengejek ke arah
kaki Kiri Eva yang sangat bengkak, bahkan membiru. “berpijak pun tak kuat.
Apalagi menginjak rem.”
Ucapan
bernada sinis dan dingin serasa membuat dadanya yang merasakan kesenangan yang
aneh ketika Edric perhatian dengannya, berubah menjadi jengkel tak terkira. “Lo
nyumpahin gue mati?”
“Mungkin.”
Perut
mendadak lapar, kakinya yang luar biasa sakit hingga nyaris ia ingin menangis,
dan ucapan serta tatapan penuh mengejek telak yang diterima dari Edric,
membuatnya refleks melepas rangkulan dan hampir terhuyung jatuh kalau saja ia
tak bisa menyeimbangkan diri. Dia menatap Edric dengan emosi tertahan. “Tenang
aja, kalaupun gue mati besok, lo gak akan gue gentayangin kok. Jadi gak usah
merasa repot tanggung jawab!” Dan dia tertatih menjauhi Edric sambil menghapus
air mata yang sial- menetes karna kesakitan di fisik dan hatinya tanpa sadar.
Entah
karna terlalu sibuk menyumpah atau bagaimana, tau – tau dia merasa tubuhnya
dalam gendongan dan ia menoleh. Edric menatapnya tajam, sangat tajam hingga ia
mendadak bisu. “Edr..”
“Kunci
mobil.”
Dan
dia menyerahkannya tanpa banyak perlawanan karna terlalu shock, dan Edric mengambil dengan menggigit kunci
mobilnya dan membawa dirinya sampai ke parkiran. Dan selama itu jua, dia tak
bisa melepas tatapan matanya kearah cowok itu. Membiarkan ia digendong masuk
dalam mobil dan dibawa ke tempat pemijatan refleksi.
![]() |
Felix. |
“Kapan datang, Felix?”
“Malam tadi, Va. Fresh tuh jepit rambutnya dari pasar Sukowati.” Eva tertawa
mendengar canda gayus dari Felix dan
membiarkan rambutnya dijepit lagi. Perhatian sahabat tampannya ini membuat ia
tersenyum.
“Gimana Bali, Felix?”
“Awesome
as usual. Gimana dengan peran Odette?”
“Lihat aja hasilnya.” Dia menunjuk
kakinya dan Felic tau – tau berlutut lalu menyentuhnya, membuat ia meringis
kesakitan. Ketika mereka bertatapan, tatapan coklat gelap Felix bersorot sangat
khawatir. “Sakitkah?”
“Gak. Udah biasa.”
“Ke sekolah lo dengan siapa? Jangan
bilang...”
“Gue gak bawa mobil sendiri. Gue
dianter sama ..”
“Siapa?
Eva menggaruk kepalanya tak gatal.
Tatapan Felix sangat mengganggunya. Diapun mendorong wajah sahabatnya dengan
sebal. “Felix! Jangan deket – deket napa?!”
“Tell
me, beauty girl. Who?”
“Edric, eh maksud gue..” Dia salah
tingkah ketika tatapan Felix mulai mennyebalkan. Dengan sebal dia melayangkan
buku setebal kamus ke wajahnya agar seringai jahil menghilang. “Dia jemput gue
bareng Fio. Saudara kembarnya.”
“Tapi tetep dia jemput lo, kan?”
“Tapi kami gak berdua, Felix!”
“Apa bedanya, Va?” Dia menatap Eva
yang merona dengan bangga. Evangeline Fransesca, sahabat cantiknya yang selalu
tenang setiap digoda oleh beberapa cowok yang mendekatinya, ternyata bisa
memerah juga hanya karna satu orang.
“Bagaimana kalau dia naksir sama lo,
Va?”
Eva menatap Felix dengan tatapan lo – waras – gak – sih! kemudian
mendesah. “Mana mungkin!”
“Mau bukti?” Felix duduk di samping
Eva dan menatapnya serius. Tatapan itu membuat ia tergoda ntuk bertanya. “How?”
“Jadi pacar gue, Eva.”
∞ ∞
“Singkirkan apapun yang ada di
kepalamu dan fokus dengan drama, Edric Hayman!” Teriakan Ibu Ariana hanya
dijawab dengan anggukan sambil lalu olehnya. Dia tak bisa berkonsetrasi
seharian ini. Seolah kepalanya membuat banyak cabang hingga pusing sendiri. Dia
melihat Kim yang menatapnya dengan kening berkerut.
“Lo kenapa?”
“Kenapa gimana?” Edric menatap Kim
yang tak berkedip. Dia tau seharusnya dirinya fokus dengan drama yang akan
dipentas beberapa minggu lagi dan menjadikan Kim sebagai pasangannya. Berakting
seolah – olah Kim benar – benar Odette. Gadis misterius yang dicintainya. Bukan
Odille.
Tapi
entahlah. Adegan bisa saja dibuat semesra mungkin, tapi hati dan pikirannya tak
bisa berakting.
Dia tak bohong kali ini kalau
pikirannya melanglang buana ke Eva dan kondisi kakinya yang bengkak beberapa
hari lalu itu. Tadi pagi dia dipaksa menjemputnya oleh Fio, kembarannya yang
entah kenapa lebih cerewet dari nenek – nenek kehilangan cucu kalau sudah
berurusan dengan Eva. Seolah – olah apapun yang terjadi dengan gadis itu, dia
harus terlibat. Kalau saja dia tak ingin menjadi kembaran yang baik ntuk Fio,
mungkin sudah ia turunkan Fio dipinggir jalan agar tak ada yang merekcokinya
lagi.
“Gue tau..” dan kini perhatiannya
fokus ke arah Kim yang tersenyum ke arahnya. Senyum biasa tanpa embel – embel
menggoda iman. “Mikirin Eva, Edric?”
“Bukan urusan lo.” Edric menjawab
sambil lalu. Namun bukan Kim namanya kalau tak mengekori kemanapun Edric pergi.
Menggoda cowok pemarah macam Edric adalah kesenangannya yang sebenarnya. Serasa
ada kepuasan tersendiri ketika cowok itu menatapnya tajam – tatapan yang
seharusnya ia paling hindari karna sangat mengerikan.tapi dia malah
menantikannya.
Tuh
Kan...
Edric berbalik dan menatap Kim dari
ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan sinis. Dia tak suka diekori
kemana – mana dan Kim baru saja mengusik hal itu. “Apa?”
“Apaan?” Kim balik bertanya dengan
mata biru indahnya yang berpendar polos. Kalau cowok lain takkan tega
menyumpahinya – dan malah memujanya, maka Edric adalah pengecualian. “Lo gak
ada kerjaan lain selain ikutin gue kemana – mana, Kim?”
“Gak ada.”
Teriakan Ibu Ariana memanggil mereka
menyadarkan Edric. Dia menoleh ke belakang dan melihat Eva kini masuk dalam
ruangan dengan rambut panjang yang kini dijepit cantik oleh bunga Kamboja
putih. Matanya yang coklat terang itu – mirip dengan warna mata neneknya, Erza
Noor Assifa, berpendar cerah dan kuat. Bibir bawahnya yang tebal dan belah
seolah menggodanya untuk dikecup sekali lagi. Pemikiran terakhir itu ia
musnahkan tanpa ampun. Hingga tatapannya beralih ke arah seseorang yang menggandeng
Eva berjalan.
Cowok!
Edric menatapnya lekat. Rangkulan
posesif di lengan Eva entah kenapa sangat, sangat menganggunya hingga dia
merasa perasaan aneh ingin mendorong cowok itu menjauh dan berkata dengan
lantang takkan ada yang boleh menyentuh Eva. Miliknya.
Eva
Miliknya?
Dia merasa gila sekarang. “Pasti efek kecapekan atau terlalu
menghayati peran hingga gue bilang super ngaco begini.” Batinnya dalam
hati. Tapi melihat rangkulan cowok berambut hitam agak kecoklatan itu, tatapan
matanya yang melembut setiap menatap Eva yang tersenyum sambil sesekali
menjelaskan maksud ibu Ariana kepada Eva, dan beberapa bisikan ringan serta
jabat tangan dan senyum ramah ketika Fio menghampiri mereka. Dan tatapan
kembarannya itu, astaga.. seperti tuan putri yang akhirnya menemukan
pangerannya setelah ngumpet dari balik jerami selama 1000 tahun! Entahlah,
ekspresi penuh kagum dan puja dari Fio membuatnya ingin tertawa sampai perutnya
sakit dan melemparkan beberapa opini ‘’manis’’ ntuk gadis itu.
Kim – lah yang membuyarkan emosi asing
hatinya. “Eva sama siapa tuh?”
“Tanya aja sendiri.”
“Lo gak cemburu, Edric?”
“Cemburu?” Dia menatap Kim dan
tersenyum sinis. “Buat apa? Dia bukan siapa – siapa gue. Mau dia sama siapa
terserah. Gak ngurus.” Ucapnya dan berjalan menghampiri Ibu Ariana dan menatap
Eva dan cowok itu yang kini menatapnya. Dia takkan pernah terintimidasi sampai
Kim – merangkul lengannya sangat erat.
“Lo gak bisa bohongin gue, Edric.
Kalau suka, bilang. Jangan dipendam, jangan hanya dipelototin, nanti kalau dia
pergi lo akan galau sendiri.”
“Mending nasihat itu buat lo aja, Kim.
Gue gak butuh.”
Jawaban Edric itu membuatnya tersenyum.
“Gue udah kenyang ama nasihat itu, Edric.”
Dan Edric tak mempedulikannya. Entah
kenapa, tatapan tajam Eva ketika melihat lengannya dirangkul Kim dengan mesra
dan beberapa percakapan singkat mereka yang terlihat lebih dari sekedar teman itu dan gesture tubuh menggoda Kim yang seolah tak bisa menjauh darinya
itu, membuat ia serasa puas sekarang.
∞ ∞
Entah sudah berapa jam dia habiskan
didepan sekolah sepupunya itu. Ingin sekali hatinya menelpon ntuk menanyakan
apakah gadis itu sudah pulang atau belum, apakah kegiatannya masih lama atau
sebentar lagi agar penantiannya selama dua jam disini jelas. Tapi dia tak mau
kejutannya gagal. Takkan ada kegagalan lagi.
Dia menoleh ke arah dashboard dan mengambil ponselnya yang
bergetar. Satu panggilan dari Annisa serasa membuat jantungnya serasa jatuh
sekarang. Ciumannya beberapa minggu itu bukannya menyenyangkan hati seperti
yang ia perkirakan, malah memperburuk pilihannya. Dia tak bisa memilih keduanya
kalau hatinya cenderung ke arah lain. Tapi ... menyakiti gadis manis berhati
lembut itu adalah pilihan paling kejam yang pernah diambilnya.
Semua
pilihan takkan ada yang gampang kalau sudah berurusan dengan cinta.
Dia menghela napas dan mengangkat
telpon itu. “Halo, Nisa? Ada apa?”
Suara Annisa yang lembut dan
menanyakan bagaimana kabarnya, membuat ia menutup mata sambil bersandar ke arah
kursi. “Ampuni aku Tuhan. Aku hanya tak
tau bagaimana menolaknya hingga akhirnya terjerat pada pesona yang menyakitkan
ini.” Batinnya dalam hati.
“Kak Frans?” Suara Annisa yang bingung
membuyarkan lamunannya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya berdenyut sakit
karena bersalah. “Kenapa, Annisa?”
“Kakak dimana? Dengarin omongan
Annisa, gak?”
“Denger kok, manis. Gue lagi di jalan
nih. Kenapa?”
Terdengar nada keraguan dari Annisa.
Salah satu tanda dia membutuhkan bantuan namun tak tau berkata apa. “Ada apa,
Annisa?”
“Anu..” Diseberang sana, Annisa duduk
di atas ranjang sambil memainkan lipitan rok sekolahnya dan berulangkali
memilin rambut panjangnya itu dengan gelisah. Dia sebenarnya ingin mengajak
Frans menonton film romantis yang ada di bioskop. Tapi ntahlah, hatinya ragu Frans akan setuju. Memangnya dia siapa Frans
jadi harus mengajaknya jalan?
“Gue
pacarnya, kan? Kalau bukan pacarnya, dia takkan cium gue. Walaupun tak ada
ucapan yang nunjukin dia pengen gue jadi pacarnya? Tapi tindakan sudah cukup,
kan?” Batinnya memberikan pendapat, dan ia menyetujui.
“kakak sibuk gak?”
Jawaban Frans yang terlihat bimbang
itu membuat ia menghela napas. penolakan halus bahwa Frans tak bisa. Dan ia
memahaminya. Sangat, sangat memahami kesibukan cowok itu. “Yasudah, kak. Nisa
nonton ama yang lain aja.”
“Annisa?”
“Iya, kak?”
“Minggu aja gimana? Kalau hari ini gue
gak bisa. Maaf.”
Jawaban Frans bernada lembut membuat
harapannya layu, serasa tumbuh lagi. Tanpa sadar ia mengangguk. “Oke, kak
Frans. Nisa tunggu. Makasih yah, kak. Bye.”
“Sama – sama, Nisa. Udah dulu yah, gue
lagi di jalan nih. Bye.” Frans
memutuskan telponnya cepat dan melempar ponselnya ke samping. Telpon Nisa
membuat rasa bersalahnya semakin menumpuk saja.
Ketika melihat beberapa siswi keluar
dari pagar sekolah itu, dia mulai waspada dan menegakkan tubuh sambil memegang
stir mobilnya. Sampai pemandangan yang paling ia nantikan itu lewat di depannya.
Seorang gadis berambut ikal panjang sedang menelpon seseorang tak jauh dari
jarak mobilnya dan terlihat bersungut – sungut. Ekspresi yang sangat ia sukai
sampai saat ini. Melihat wajahnya yang cantik dan meggodanya itu, wajah yang
selalu menghiasi mimpinya setiap malam, wajah yang baru saja menghapuskan
sepercik rasa bersalah di hatinya sepersekian detik lalu, membuat ia mematikan
mesin mobil, mencabut kunci dan keluar dari mobilnya lalu tersenyum ketika
gadis itu menatapnya terpaku. Ekspresinya tak percaya. Namun ini yang ia
nantikan.
Kimberly Vexia. Gadis yang sanggup
menjungkir – balikkan kehidupannya. Mantan pacar pertamanya. Hanya Edric yang
super dingin itu tau seberapa berartinya Kim untuknya, dan dia harus berterima
kasih dengan Tian karna mau bekerja sama dengannya ntuk urusan begini. Walaupun
rahasia hubungan mereka terbongkar karna cowok itu hanya tau dia mengejar Kim.
Bukan memacarinya.
Dan dia sangat menikmati ekspresi Kim
yang tajam itu menatapnnya. Matanya waspada. “Kak Frans? Ngapain disini?”
“Jemput kamu, little- bear Ly.”
Dan untuk sepersekian detik kalinya,
dia benar – benar melupakan Annisa.
∞ ∞
“Kak
Tian, foto bareng yuk.”
Tian
yang asyik bermain basket dengan seragam olahraga sekolah kebanggaannya,
tersenyum manis dan mengiyakan tanpa ragu. Gadis yang disukainya sejak pertama
kali bertemu. Dengan rambut panjang ikal yang sekarang dikuncir dua, baju
cheerleader dan senyum yang memikat serta warna matanya yang kuat, dia terbius
oleh semua kombinasi itu.
“Ayooo..”
Tanpa ragu dia merangkul gadis itu dan meminta salah satu temannya ntuk
mengabadikan di ponsel. Dalam hati bertekad setelah pulang sekolah nanti, foto
ini akan ia cetak dan diberi pigura yang bagus lalu diletakkan dengan pas di
meja belajar. Hingga dimanapun dia memandang, wajah cantik gadis itu akan
selalu terlihat.
“Udah
selesai?
“Sebentar,
kak.” Dia melepas kunciran dan menggeraikan. Sisi manis itu berubah menjadi
lebih dewasa dan sangat cantik. Dia mengagumi kecantikan itu dalam hati. Tanpa
pernah ada yang menyadari, selama gadis itu bersekolah, dia selalu
melindunginya.
Sampai
hari ini. Di penghujung akhir sekolahnya.
Tian
mengambil pose merangkul gadis itu dan meletakkan hidungnya di rambut
panjangnya. Akan dia ingat aroma rambutnya ini setiap ia merindukan cerianya
gadis itu. Yah... gadis berharganya yang sebentar lagi akan ia tinggalkan karna
udah lulus.
“Kak
Tian?”
“Iya..”
“Makasih,
yah.”
Tian tersenyum. Dia siap. Yah... dia siap mengatakannya. Sudah dua tahun ia memendam rasa ini. Dan ini harus dilakukan atau tidak sama sekali.
Tian tersenyum. Dia siap. Yah... dia siap mengatakannya. Sudah dua tahun ia memendam rasa ini. Dan ini harus dilakukan atau tidak sama sekali.
“Sesca...”
“Kak
Tian..”
Tian
mengalah. “Ada apa?”
“Kakak
dulu, deh. Kayaknya lebih penting daripada gue.”
“Lo dulu, dek. Gue nyusul.”
“bagaimana
kalau kita sambil duduk, kak?” Dan Tian mengangguk. Mengabaikan beberapa
tatapan memuja cowok yang melirik Sesca tanpa kedip. Hingga mereka tiba
disebuah kursi taman yang fokus tatapan berada di lapangan basket. Dia menoleh.
“Lo mau ngomong apa?”
“Deketin
gue sama Edric dong, kak. Gue suka nih.” Tatapan penuh malu – malu ala dia
membuat Tian terdiam. Dia berulang kali menelan ludah, mengatur ekspresi
wajahnya agar tak terlihat bahwa hatinya serasa ditusuk seribu belati beracun.
Dan
Tian merasa, semuanya terlambat sekarang. Gadis itu sudah memilih.
Yah...
Evangeline Fransesca sudah menetapkan kemana hatinya berlabuh nanti.
“serahin
sama gue, Eva. Lo akan mendapatkan Edric.”
Tian mendesah. Setiap dia memandang
foto di meja belajarnya itu, kenangan menyakitkan itu menyerangnya lagi. Yah,
Evangeline Fransesca adalah adik kelasnya saat ia berada di kelas tiga. Dia
sudah terpikat pada pandangan pertama ketika gadis itu tersenyum padanya.
Hatinya merasa sangat senang ketika mereka juga dekat secara keluarga. serasa
dimudahkan oleh Tuhan untuk mendapatkannya.
Tapi,
itu hanya awalnya saja.
Pertemuan pertama Eva dengan Edric di
rumahnya itulah yang ia selalu sesali hingga saat ini. Saat Edric datang
kerumahnya, saat itu Eva juga ada dan ia terpesona dengan semua yang dimiliki
Edric. Dia melihat namun pura – pura buta. Meyakinkan hatinya berulang kali
bahwa Eva hanya sekedar terpikat, mengagumi sambil lalu. Bukan benar – benar
jatuh cinta padanya.
Tian menyandarkan tubuh di kursi
belajarnya. Tangannya menelusuri garis wajah Eva yang tersenyum saat
merangkulnya. Terkadang ia bertanya dalam hati, saat Eva berfoto dengannya,
apakah senyum itu hadir karna teringat Edric atau murni karna ada ia disamping
gadis itu? Merangkul pundaknya posesif dan menghalau secara halus beberapa
cowok yang mendekati Eva. Dia takkan pernah mau Eva dimiliki siapa – siapa.
Tapi ketika gadis itu memilih, dia tak bisa berbuat apa – apa selain
mengiyakan.
Ucapan Kim beberapa hari lalu terulang
lagi di kepalanya. Bagaimana rasanya
mencintai seseorang yang ternyata dari dulu memilih orang lain? Kita harus
meninggalkan? Atau tetap berusaha membuatnya berpaling?” dan ia juga sangat
ingat jawaban yang membuat Kim mendesah prihatin. Jawaban yang mungkin membuat
sebagian orang berpikir dia bodoh.
Menunggu
Eva melupakan Edric seperti mengharapkan matahari terbit di malam hari.
Tian menutup mata dan meletakkan foto
itu dengan sangat sakit. Begini rasanya mencintai seseorang yang ternyata dari
awal tak pernah memilihnya. Mencintai orang yang memilih orang lain.
Sometimes
it last in love, but sometimes, it hurts instead.
Pintu kamar terbuka dengan kasar. Tian
membuka mata dan melihat Kim menatapnya dengan melotot. Mata biru laut yang
indah itu semakin bagus saja karna terpancar oleh sinar matahari. Ketika
tatapan Kim beralih ke meja belajarnya dan melihat dua pigura foto yang
tergeletak didepannya, tatapan garang itu menyurut dan berubah menjadi simpati.
Tanpa minta ijin, Kim masuk dalam kamarnya dan menutup pintu, lalu melemparkan
tas ke ranjangnya dan merebahkan diri. Mata indah itu menatapnya.
“Kenapa lo ijinin gue sama Frans,
kak?”
Tian tersenyum geli. Dia sudah menduga
dari awal kedekatan mereka 4 tahun yang lalu bukan kedekatan sebagai cowok
pedekate dengan cewek. Tapi lebih ke arah orang pacaran serius. Frans yang
serius dan dewasa dengan Kim yang waktu itu masih liar dan kanak – kanak,
membuat mereka terlihat sangat klop. Tapi tetap saja ia kaget ketika Frans
memberitahu hubungan mereka sebenarnya di masa lalu itu dan alasan kenapa
mereka memutuskan hubungan. Tak ada yang ia bisa lakukan selain membantunya
walaupun masalah dia sendiri tak bisa dibantu oleh siapapun.
“Karna dia masih sayang sama lo, Kim.
Lo diajak Frans kemana aja?”
“Dia gak sayang sama gue, kak. Itu
hanya perasaan menyesal aja. Dulu gue bodoh karna percaya, tapi sekarang, gak,
kak Tian. Dia akan selalu salah dimata gue walau lo berusaha memperbaiki arah
pandangan gue. Lagian, mau ia kemanakan si Annisa kalau dia sama gue?”
Pertanyaan sinis namun bernada sakit hati itu membuat Tian menoleh ke arah Kim
seutuhnya. Wajah Kim memang tidak baik – baik saja. Pengaruh Frans yang kuat
dan kesakitan hati yang diberikan cukup membuat Kim terguncang. Refleks dia
berdiri dan memeluk Kim yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu dengan sayang.
Dan Kim memeluknya sangat erat. Air mata menetes di wajahnya yang bening.
Kalau
ada yang bisa membuat orang berhati baja itu menangis tersedu - sedu, maka jawabannya
ada dua, kehilangan atau cinta tulus yang terkhianati.
“Nisa bukan pacar Frans, Kim. Percaya
sama gue.”
“Ijinin gue peluk lo, kak. Gue
capek...” Kim menggeleng lemah dipelukan Tian. Dia butuh pelukan dan Tian
memberikan. Sesederhana itu hubungan mereka.
“Kimberly, lo gak berniat kasih Frans
kesempatan?”
“Gak akan pernah ada kesempatan, kak
Tian. Itu sumpah gue saat tau dia selingkuh dengan cewek yang sudah gue anggap
kakak sendiri. Gue dulu memang masih muda, tapi bukan berarti gue bisa
dipermainkan.”
“Kalau begitu, apa alasan lo
menyetujui kembali ke Indonesia, Kim? Gak mungkin karna taruhan konyol gue,
kan?”
Kim terdiam. Mendadak alasan
sebenarnya dia ingin pulang tak ingin ia sebut. Hanya Tuhan dan dirinya yang
tau apa alasannya. “I just wanna go home,
brother.”
“Not
for him?”
“No!”
“How
about me?”
Kim tersenyum di pelukan Tian yang
hangat. Inilah Sebastian Pradipta yang ia sukai. Tak salah keputusannya untuk
menginap dirumah Tian walaupun harus disambut tatapan tajam tante Lyesha ini
benar. Dia mensykuri itu. “Memangnya kenapa dengan lo, kak?”
Tian nyengir. Kim yang menggoda sudah
kembali lagi. Dia sudah bersedih hati, jangan sampai Kim ikut – ikutan sedih.
Mungkin ia akan mencari cara agar mereka bisa menyelesaikan masalah sendiri.
Yah.. pasti. “Yaaa... gak papa, sih. Udah makan, Kim?”
Kim mengangguk enggan dan ia tau diri
ntuk tak usah membahasnya. “Bagaimana latihan lo tadi?”
Wajah Kim berubah cerah dan membahas
apa yang ia lihat tadi dengannya. Tanpa menyadari bahwa setiap informasi itu
menghancurkan hatinya sekali lagi.
∞ ∞
Annisa menatap danau kecil yang berada
tak jauh dari kompleknya itu dengan muram. Yah... percakapannya dengan Frans
siang tadi mengganggu pikirannya.
“Apa
iya gue pacaran dengannya? Kenapa jadi hiatus begini?”
Asyik melamun, tau – tau ada yang
menutup matanya dengan kedua tangan. Spontan ia menyentuh tangan itu dan
tersenyum lebar. Dia tau siapa pemilik tangan kekar dan hangat ini. “Kak
Frans?”
Tawa ramah terdengar di atas kepalanya
dan ia merasakan kecupan di ubun – ubunnya. Perlakuan manis itu membuat Nisa
tersenyum dan menggeser posisi agar Frans bisa duduk disampingnya. “Bawa apa,
kak?”
“Tebak dong, Nisa.” Senyuman Frans
menularnya, dia tersenyum dan menatap Frans dengan manis. Wajah sangat tampan
dengan anting hitam yang menghiasi kedua telinganya itu membuat ia terlihat bad boy namun sangat manis. “Martabak
manis?” tebaknya ketika melihat kotak di dalam plastik yang dipegang Frans.
Sebuah kecupan manis menyentuh
pipinya. Membuat wajahnya merona seketika. “Salah.” Frans membuka kotak kue itu
dan Nisa memekik riang. Cupcake lucu
berisi delapan membuatnya tertawa riang. Perhatian manis yang membuatnya
semakin yakin Frans menyukainya. Dan ia takkan pernah bertanya bagaimana
perasaan cowok itu padanya. Perlakuan saja cukup mengatakan semua pertanyaan
yang menggantung di benak. “makasih, kak Frans.”
“Anytime,
Annisa.” Dia tersenyum dan membiarkan Nisa menyuapi cupcake itu untuknya dengan matahari terbenam sempurna di depan
mereka.
∞ ∞
Edric masuk kedalam ruang teater
dengan kening berkerut. Siapa lagi yang berada disini jam 7 malam selain
dirinya? Ketika ia melangkah kedalam dengan skateboard
di tangan dan ia letakkan di sudut pintu, ia menemukan jawabannya.
Eva menari sangat anggun dengan baju
balerinanya berwarna putih. Rambut panjang ikal itu digulungnya ke atas dan
menyisakan sedikit di sisi kiri – kanan wajahnya. Wajahnya yang cantik itu
mengkhayati setiap alunan lagu yang diputar pada tape recorder dan Edric menonton semua ekspresi itu
dari cermin yang menjadi dinding ruangan mereka. Hal itu membiusnya tanpa sadar
ntuk mendekati Eva dan menyentuh pinggang ramping itu. Sentuhan yang cukup
membuat Eva terdiam dan berbalik menatapnya. Terpesona dengan balutan baju kaos
hitam polos yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih. Serta
pelindung lutut dan siku yang masih belum terlepas. Membuat ia seketika blank.
“Edric?”
Dia salah tingkah sekarang. Edric
mundur perlahan dan tersenyum agak kikuk. “Sorry,
gue..”
Eva tersenyum maklum. Melihat Edric
salting adalah pemandangan baru yang berarti ntuknya. “Gak papa, Edric. Ada apa
kesini?”
“Lo sendiri?”
“Kenapa
jadi balik nanya?”
“Latihan juga. Kalau dirumah gue
terganggu. Jadi yaa.. gue lari kesini.”
“Oh.” Edric menemukan separo harga
dirinya ntuk bersifat acuh dan berjalan membelakangi Eva ntuk mengambil naskah
ceritanya. Dia bisa saja latihan dirumah menghapal semuanya, tapi Fio membuat
banyak kerusuhan dirumah membuat ia memilih lebih aman disekolah ntuk latihan
agar bisa konsentrasi.
“Gue sama Felix, loh.”
“Apa untungnya buat gue?” Edric
berbalik cepat dan menatap Eva tajam. “Gue gak pernah peduli lo sama siapa.
Kita Cuma partner ntuk latihan drama.
Kalau acara sialan ini selesai, kita takkan berhubungan lagi.”
Eva tersenyum miring. Menutupi sedikit
denyut sakit yang melanda hatinya. “Baguslah.”
Giliran Edric yang menatap Eva
bingung. “Bagus dalam arti apaan?”
Ingin ia mengucapkan itu, namun
hatinya gengsi. Jadi ia hanya mengangkat bahu dan duduk di tempat terjauh
sambil menyandarkan kepala ntuk menghapal naskah yang berlembar – lembar.
Tatapan Edric tidak fokus lagi dengan
naskah yang ia pegang, tapi malah ke arah Eva yang kini menari balet dengan
manis sambil menutup mata. Seolah menghayati peran Odette yang akan dipentaskan
nanti. Mereka sering berlatih bertiga, namun baru kali ini dia dan Eva berdua
saja diruang latihan dan itu aneh. Seolah – olah dia benar – benar seperti
pangeran Segfried yang terkesima dengan tarian Odette ditengah danau saat malam
purnama berada di atas kepalanya. Tanpa sadar dia mendekat ke arah Eva dan
mengulurkan tangan. Salah satu scene yang tak pernah mereka lakukan karna keegoisan
hatinya.
Eva berhenti dan membuka mata.
Terkejut ketika melihat tatapan Edric terlihat aneh ntuknya dan uluran tangan
yang membuat jantungnya berdegup riang. Dengan ragu ia menyambut tangan Edric
dan cowok itu langsung menariknya ntuk mengikuti gerakannya. Dia tak tau kalau
Edric ternyata bisa berdansa seperti ini. Kalau tau ceritanya, kenapa ia
menolak adegan ini dan rela bertengkar hebat dengan Ibu Ariana?
“Gue gak bisa menari didepan umum.”
Jawaban Edric seperti menjawab pertanyaannya sendiri. Ia menatap Edric yang
tepat menatapnya. Tatapan yang membuat ia tersenyum manis. “Gue orang pertama
yang dansa dengan lo?”
Edric tak menjawab. Dan itu sudah
cukup jawaban telak untuknya. Entahlah, hal itu membuat Eva tersenyum.
“permainan Balet lo parah.”
Senyum itu langsung menghilang dari
wajahnya. “Parah? Maksud lo? Lo gak ngerti balet, Edric. Jadi gak usah banyak
komentar.” Jawabnya ketus. Dia tak mau berbaik – baik ria lagi dengan Edric
yang menghina caranya menari. Astaga!
Senyum sinis menghiasi wajahnya yang
tampan. Membuat Eva antara ingin mencakar wajah itu atau ikut tersenyum tak
kalah sinis. “Gue jujur.”
“Punya referensi?”
Tau – tau Edric melepas pelukannya dan
menjauh. Membuat Eva mengikutinya sampai Edric membuka tas ransel dan mengambil
dua tiket pertunjukan balet. “Kenal Eleanor Boulanger?”
Eva mengingat – ingat. Kemudian
mengangguk. “Memangnya kenapa dengan adek Frans?”
“Dia mengadakan pertunjukan balet
musikal besok malam. Gue dapat tiketnya gratis dari dia. Kalau lo mau bandingin
permainan parah lo dengan Lea, mending datang saja.”
“dengan lo?”
“Dengan pacar lo, Felix. Gue ada
urusan.”
“Edric...” Dia menatapnya penuh
memohon. “Gue maunya sama lo.”
“Gue menolak.”
“Edric.. sekali aja,”
Tatapan penuh memohon dari Eva membuat
ia mendengus kesal. “Jam 7 malam gue jemput.”
Eva tak bisa menghilangkan senyumnya.
“Makasih, Edric.” Dan ia berbalik ntuk mengambil tasnya. Hari ini ia merasa
cukup latihan. “Bagaimana kalau kita sambil makan didepan sekolah, Edric?
Kayaknya warung didepan itu enak. Gimana?”
“Terserah.” Jawabnya membelakangi Eva
agar tak melihat bahwa dia tersenyum lebar sekarang.
“Benar – benar deh.”
ini lanjutanya mana kak
BalasHapus